Rabu, 26 Juni 2013

Makanya dengerin kata-kata mamak III



That’s a wow!! Untuk dua tulisan pertama yang kurasa masih sangat acak-acakan, aku sudah mendapat hingga 150 kunjungan. Perasaan biasa-biasaku ketika aku dipaksa Laila mengecek blogku kini berubah sangat antusias. Masa siyh?? (ungkapan lebai). Dan hasilnya seharian aku mencari ide untuk tulisanku selanjutnya, ck…ck…ck, dan hasilnya nol besar dan kosong, hihi. Bikin bête, aku pun seperti cacing kepanasan mondar-mandir kamarku. Gak bisa dibiarin, Laila harusnya tanggung jawab, yap…beneran, kenapa gak kepikiran sama sekali. Laila itu sumberku yang paling qualified, dua cerita pertama itu kan hasil pengalaman dia dan meledak kecil-kecilan di dunia blog. Malah ada yang minta episode 3 nya.

Dan sampailah pada titik ini. Haha. Yap… anda benar sekali, kini aku sedang mengiba-ngiba (lebih tepatnya memaksa Laila yang juga sedang asik menulis di blognya). Teganya aku (peran antagonis) adalah ketika, aku menjadi pengganggu paling utama waktunya hari itu. Dan baiknya dia (peran protagonis), dengan sangat sabarnya meladeni penulis kacangan yang sedang naik daun ini.

“Aliya sayang, aku beneran gak ada ide kali ini… hmm, beberapa hari ini belum ada siyh kejadian tentang makanya dengerin kata-kata mamak!
“Gak mesti itu kok La, apa aja dech asal pengalama kamu… abis kalau kamu yang ceritakan lagi jadinya asik…”, Laila melihat lembut kearahku.
“That’s not the point lagi! Setelah itu kamu tulis, seluruhnya itu menjadi tulisanmu dan kamu yang berhasil membuatnya jadi asik. Ide ceritanya dariku, tapi gaya penulisannya is totally yours, beibi!”, bisa diliat kan, betapa protagonisnya sahabatku itu…

“Hmm…but let me think, kaya’a ada satu kisah yang mau aku bagi… ”, ucapnya sambil menepuk-nepuk dagunya dengan jari telunjuk, dan detik selanjutnya melirikku senang. Senyumku yang sudah merekah karena merasa senang mempunyai sahabat super duper protagonist kaya’ Laila, kini senyum itu semakin melebar hingga memamerkan sederetan gigi-gigi yang kurang putih milikku sendiri, hihi. Itu artinya aku senang stadium empat. Yihaaaa….

Begini kira-kira kisahnya…

Pagi itu aku berencana mengantarkan mamak ke gedung Darussalam, karena beliau jadi pengawas ujian SMPTN. Pagi-pagi buta, gak ada kegiatan, membuatku malas sekali bangkit dari bantalku apalagi dalam keadaan aku juga libur shalat. Dan yang paling memperparah lagi, hari itu ujan (semakin membuat seluruh badan serasa mengantuk).

“Bangun Non! Siap-siap gih sana, mamak harus nyampe cepat ini”, ucap mamak dari pintu kamarku. Kulirik jam di hape. It’s still 6 early in the morning.
“Lima menit lagi ya mak!”, ucapku tidak jelas.
“Hmm…lima menit jadinya lima belas menit. Belum lagi post-bangunnya kamu, duduk sepuluh menit ngilangin malas, beresin tempat tidur juga sepuluh menit, cek hape lima menit, jadinya hampir setengah jam juga. Kamu tuch kerjanya lambat banget, mamak selesai semuanya kamu masih sikat gigi. Hei… mamak gak boleh telat ini, belum lagi macet. Ini hari ujian SMPTN, Laila! Jalanan pasti desak-desakan”

Aku pun bangkit dengan sedikit malas. Duduk sejenak mengumpulkan seluruh jiwaku (butuh 5 menit kali ini). Mamak geleng-geleng dan pergi meninggalkanku dengan post-wakeup-activityku. Aroma wangi dan segar khas menggelitik hidung, kurasa mamak sudah selesai mandi. Aku bangkit buru-buru, dan langsung membereskan tempat tidurku. Tapi tetap saja minimal aku butuh waktu lima menit, entah apa yang kulakukan yang jelas waktu sudah berjalan lima menit lagi. Bener saja kata mamak, kegiatan selanjutnya pasti ngecek hape, padahal entah siapa yang akan menguhubungi pagi-pagi buta begini. What a habit!! Ck…ck…ck.

It’s 7.30. Dan tebak aku lagi ngapain? Hehe… masih asik menyikat gigi, sedang mamak sudah stand by dengan rapinya di ruang santai.

“Laila, disikat selama mungkin pun, gak bikin gigi kamu seputih awan! Kecuali kalau dipakein Byclean!”
“Ihhh… tega amat mak!”, ucapku geleng-geleng kepala setelah selesai membasuh mukaku. Dan melangkah lagi ke kamar.
“Non, gak perlu semprot parfum sana-sini. Cuma ngantarin mamak aja, ntar kamu juga pulang lagi…”
“Siap juragan, cuma ganti ngambil jaket en jilbab!”

Ketika aku akan ke garasi menghidupkan mobil, sudut mataku menangkap sesuatu. Segelas penuh milo hangat sudah tersedia di meja makan. Bundaku. Bikin haru. Jadi nyesal, betapa enggannya aku tadi bangkit dari tidur, tapi disela-sela ketergesaannya dan kesibukannya hari ini, dia masih sempat membuatkanku minuman kesukaanku.

“Non, cepetan! Udah mau jam 7 ini”, teriak mamak dari garasi. Tuch kan, aku melamun lagi.
“Milonya jangan lupa diminum”, sambungnya.
“Iya mak, La hidupkan mobil dulu…”

Saat aku selesai menghidupkan mobil dan membalikkan badan menuju dapur, dengan sangat mengejutkan bundaku sudah berdiri dibelakangku sambil menyodori segelas milo.
“Ini, minum dulu! Ntar kalau gak, kamu pasti lupa!”, aku terkesima, dan memang ini bukan yang pertama seorang ibu bersikap seperti ini pada anaknya. Hanya saja…ah, aku speechless aja!
“Hei, udah gak usah terharu gitu… Telat mamak ntar! Melamun kamu aja hampir lima menit, dua kali melamun jadinya sepuluh menit…”, aku terkekeh.

***
Hujan masih sangat deras.
“La, mending lewat jembatan Pango aja, pasti jam segini udah padat jalan utama T. Nyak Arief…”, ucap mamak ketika kami sudah jalan.
“Ntar agak kesulitan juga kalau lewat UK mak, jalannya agak sempit, banyak bolong lagi dijalan kampungnya, nyita waktu juga. Sama aja”
“Hmm… kan kita bisa lurus kearah lampineung…”
“Just the same, I guess. Kita lewat jalan utama aja yaa…”
“Oke, terserah kamu aja. Yang penting mamak jangan telat!”
“Beres ma’am!”

Kulihat persimpangan Surabaya, masih aman. Tikungan Beurawe juga masih aman dan mudah-mudahan Jambotape juga aman. Tapi ternyata kendaraan sedikit padat di lampu merah Jambotape, kami hampir terkena lampu merah tuk kedua kalinya. Dan melewati simpang Jambotape, aku ingat sesuatu penting ketika kusadari semakin kedepan, kendaraan semakin padat dan semakin melambat.

“Haduuu…”
“Kenapa?”, tanya mamak.
“Laila lupa, kan lagi ada perbaikan jalan di arah ini…”
“Iyaaa, mamak kok juga bisa lupa yaa…”
“Kena macet dah…”
Dan benar saja, melewati RSUZA kendaraan proyek sedang melancarkan aksinya. Dan dengan terpaksa banyak kendaraan harus melewati jalan yang sudah ditutup setengah. Macet luar biasa, belum lagi kalau kena lampu lalulintas didepan Mesjid Al-Makmur. Kacau.

Aku beneran nyesal. Kini kami terjebak macet sekaligus lampu merah tepat didepan Mesjid.  Coba saja dari tadi aku mendengar kata-kata mamak, mulai dari bangun pagi dan segala post activities, juga masalah arah, mungkin saja… Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat. Kulirik jam, it’s 7.08. Kulirik bundaku. Beliau terlihat tenang dengan handphonenya, dan mudah-mudahan luardalam tenangnya, bukan cuma kamuflase untuk membuatku tak merasa bersalah.

And it’s almost 10 minutes we’re stuck in traffic jam. Ketika akhirnya kami sampai, aku sangat lega. Kuraih payung dikursi belakang dan kuberikan pada mamak.
“Here we are”
“Sms La kalau udah selesai ya mak!”, ucapku ketika mamak sudah siap-siap keluar.
“Siap bu supir!”, mamak keluar. Tapi sejenak sebelum dia menutup pintu mobil,
“Besok-besok dengerin kata mamak ya Non!”, ucapnya sambil tersenyum dan melangkah pergi.

Aku tersenyum dalam sesalku. I’m sorry mom!

Hmm…cerita Laila kali ini sedikit membuat haru. Aku saja sempat berulang kali tertangkap matanya sedang sendu. Seprotagonisnya sahabatku itu, ternyata masih ada ibunya yang lebih super dan tentu saja ibuku. Oke, pastinya semua ibu didunia ini. We love Mom, Yeayyyyyy!!!



Makanya dengerin kata-kata mamak II



Firasatku bener kali ini, belum juga aku mengungkapkan kalimat, “kita lihat saja kamu belajar dari pengalaman gak, atau malah akan ada kata-kata makanya dengerin kata mamak II”, si Laila langsung menuturkan cerita keduanya untuk lagi-lagi menjadi tulisan-tulisan pertama di blogku.

Begini kisahnya seperti yang aku quote…

Haduuu…emanglah hari ini beneran “What a day”. Jadi selesai dengan kasus penyebaran warna illegal ke jilbab kesayanganku, ada kisah lain lagi. Namun yang ini agak memalukan.

Aku sedang duduk santai di beranda bersama mamak, dan kami menikmati mangga hasil dari pohon sendiri. Setelah hampir setengah jam mengobrol santai dan selesai menikmati buah mangga, mamak melirikku…
“Hari ini ada kegiatan apa lagi?”
“Heh! Hmm… gak ada siyh mak, ngajar juga udah selesai. Anak-anak udah selesai final, jadi La dirumah aja…”
“Mending kamu nyetrika sana, dari pada ntar numpuk lagi terus kamu bête gak jelas lagi…”
Sifat malasku langsung mekar saat kalimat itu keluar dari mulut mamak. Muka berubah sedikit lesu. Dan bisikan syeitan semakin kencang ditelingaku. Aku malas.
Detik selanjutnya aku mulai mencari solusi. Ini gak bener kalau aku vakum dari kegiatan, bisa beneran malas terus and nambah berat badan (problem anak muda jaman sekarang, hehe). Dan sebuah ide muncul dengan sangat cemerlang, dan kurasa tak ada yang dirugikan dengan ideku ini, hihi.
“Mak, beneran Laila males banget nyetrika ni, gimana kalau Laila bantuin si abang ngecat? Yaah… dia kan sibuk beberapa hari ini, dari pada cat nya kering dan janjinya tinggal janji untuk ngecat ruang santai, mending Laila yang mulai…”
“Beneran ni?”
“Bener mak! Dari pada Laila gak ngerjain apa-apa…”


Semenit kemudian aku dan mamak sudah berada diruang yang akan segera aku eksekusi alias aku cat. Disana sudah ada dua kaleng cat warna light cappuccino.
“Memangnya kamu bisa ngebuka kaleng cat itu?”, tanya mamak sedikit meragukanku. Aku tersenyum. Tentu aku bisa, toh… kemarin si abang udah ngetrain aku sedikit.

Dan ketika beberapa menit kesulitan membuak kaleng cat itu (karena aku lupa triknya, hehe), akhirnya tutup itu lepas juga.

“Waah… catnya kental amat ini, mesti dicampur air…”, ucapku lirih seperti pada diriku sendiri. Sang bunda sudah sedikit repot di dapur yang memang berada disebelah ruang itu. Aku ingat pesan abangku, kalau agak kental campurkan dengan air sedikit aja ya, ingat sedikit aja…
Segera kuisi air dalam gayung kira-kira 1/3 dari isi seluruhnya, dan kutuangkan sedikit kedalam kaleng cat yang sekitar 1 cm penuh dengan cat light cappuccino itu. Hanya sedikit air dan kuaduk kembali cat itu. Ketika kucoba mengecat, kuasnya agak sedikit berat kugerakkan karena catnya masih sangat kental saudara-saudara.

“Non, itu air dalam gayung dituang aja semuanya kedalam kaleng cat itu, itu masih kental amat…”, ucap mamak yang sudah berdiri disampingku.
“Gak bisa mak! Ntar kecairan, bisa berabe…”
“Itu masih kental amat, kamu juga bakalan susah ngecatnya… mamak liat si abang nuangin air malah sampai diujung kaleng ini…”
“Laila gak berani mak, ntar kalau salah malah kena semprot abang…”
“Ih…dibilangin juga…”
Tanpa ingin membuat mamakku kecewa kali ini, kutuangkan lagi sedikit air, namun lagi-lagi aku masih kesulitan menggerakkan kuasku. Ketika aku akan menuangkan tetes air selanjutnya, mamak sudah merebut gayung itu. Dengan wajah gemasnya, bundaku itu dengan cepat menuangkan tiga kali lipat dari jumlah air yang aku tuangkan. Aku sedikit berteriak.
“Ih…mak, ntar kalau kecairan gimana?”
“Kagak! Coba diaduk dulu… Tuch kan, udah mendingan… hmm, malah seharusnya ditambah lagi…”
“No…no…no!”, ucapku sambil memindahkan gayung air yang sudah akan diraih ibuku lagi. Eh, malah si bunda ketawa sambil geleng-geleng kepala dan ngeloyor pergi.

Menit selanjutnya, setelah beberapa kali mengecat, aku merasa catnya masih agak kental. Aku celingak-celinguk melihat mamak, merasa aman kutuangkan sedikit lagi air. Kejadian itu terus berulang ketika beberapa kali aku mengecat, catnya masih sangat kental. Dan saat kesekian kalinya aku masih merasa cat itu masih saja sangat kental, aku merasa heran. Aneh. Dari tadi, gak sesuai-sesuai ini cat. Masih kental aje. Kulirik kedalam gayung, dan masih ada sedikit air, kuraih gayung itu dan dengan sedikit kesal kutuang semua sisa air itu…

“Makanya besok-besok dengerin kata mamak ya Laila!”, ucap mamak dan mengejutkanku. Aku tersipu malu, kuaduk cat itu tak menoleh sama sekali.
“Habis juga kan air dalam gayung itu…”, aku tetap menunduk sambil tersenyum malu, hehe.

Dan yang paling ajaibnya, catnya jadi normal setelah sisa air dalam gayung itu aku campurkan. And the truth is mom’s words are truly magical.



Hehe, kali ini gak ada excuse buat Laila untuk menyerangku dengan cubitannya yang super duper ganas itu. Toh, emang ceritanya konyol. Dan lihat saja, akan ada lagi makanya denger kata-kata mamak III, hihi. To be continued…

Makanya Dengerin Kata Mamak!!



Kalau ngebaca judul ini selalu bikin aku sedikit tersipu malu, merasa bersalah, cekikikan dan ujung-ujungnya menyesal. Makanya dengerin kata mamak! Itu judul yang Laila usulkan ketika dia dengan sedikit semangat (namun yang pasti agak memaksa) menawarkanku sebuah cerita yang akan menjadi tulisan pertamaku diblog baruku (horreeeiiii, akhirnya Laila berhasil memaksaku membuat sebuah blog yang masih kosong). Begini penuturan Laila…

Pagi itu, aku dan mamakku berencana mencuci tumpukan pakaian yang seharusnya sudah dicuci empat hari lalu. Bisa dibayangkan tumpukan itu sekarang sudah setinggi apa. Biasanya adalah kebiasaan mamak yang merendam pakaian, namun entah apa yang terjadi pagi itu, si Laila yang tidak lain adalah aku sendiri, yang masih dengan mata kantuknya mencoba menjadi pahlawan kesubuhan. Aku yang masih dengan susah payah melawan rasa malas bercampur kesal karena cucian yang menggunung itu, terkesima melihat tumpukan pakaian yang sebagian besarnya adalah milikku sendiri… What a day! Oh dear… bener-bener hari “ngebabu” dah hari ini…

Aku pun dengan bersemangat membuka kran air dan menampung air di tiga ember super duper besar. Lalu aku menuangkan Rin** (kurasa ini sepatutnya tak perlu disebutkan, kecuali si brand mau jadi sponsor tulisan Aliya, hehe) secukupnya ke ember kecil dan mencampurnya dengan beberapa gayung air. Kemudian I mix both stuffs using my hands, hingga muncul ratusan ribu busa (aku gak sempat ngitung siyh). Ketika aku masih asik mengocok-ngocok air dan deterjen yang tak boleh disebutkan namanya itu, sebuah suara sedikit mengejutkanku…

“Itu pakaiannya jangan direndam sembarangan, perhatikan kain-kain yang beresiko luntur…”, mamak sudah berdiri di depan pintu sumur dengan memegang sapu dan kurasa she’s gonna clean up the kitchen. Hanya kudongak sejenak dan aku kembali asik dengan kegiatanku.

Aku selesai dengan campuran air dan deterjen (masih tidak bisa kusebutkan namanya itu). Dan perasaan asikku tadi hilang seketika saat aku melihat lagi pakaian yang menggunung itu. Bête tingkat kronis dah. Dan dengan perasaan kesal kusabet kain-kain itu seenaknya dan dan kumasukkan ke dalam ember kecil pertama, tanpa memperhatikan dan melakukan nasehat sang bunda. Jilbab cream berenda yang sangat sering jadi andalanku, dan beberapa warna lainnya, beberapa bajuku dan juga baju batik ungu punya mamak.

Selesai dengan ember kecil pertama, aku meraih ember kecil kedua dan melakukan hal yang sama. Namun, gerakanku mendadak berhenti seketika saat tak sengaja mataku melihat kearah ember pertama. Air deterjen yang awalnya berwarna sedikit putih, kini berubah sangat keunguan. No way!!! Pikiranku langsung sesat sesaat, semuanya seperti berhenti sejenak, namun detik selanjutnya dengan gerakan super cepat aku mencari jilbab cream berendaku. Dan kebetulan si kain malang itu tepat berada dibawah baju batik mamak yang jadi biang keroknya penyebar warna ungu itu. Dan sudah bisa ditebak apa yang terjadi?? Yaa… sampai jumpa jilbab cream sendu, kini berganti jilbab cream berplak ungu. Hikss…
Saat aku sedang meratapi jilbabku itu, sebuah perasaan menyesal menyergap. Gara-gara perasaan kesal tak beralasan (), aku mengabaikan kata-kata mamak dan berujung fatal begini.

“Ya Rabbii… baru aja dibilangin, lah… kejadian pula! Makanya dengerin kata mamak La…”
Aku menatap mamakku yang sedikit kebingungan didepan pintu sumur dengan tatapan sangat menyesal.
“Besok-besok kalau gak mau cuciannya numpuk, jangan nunda-nunda! Jadinya bête gak jelas, terus nyiksa pakaian gini. Ujung-ujungnya nyesal kan?”, aku hanya diam masih dengan perasaan sedih sembari terus memegang jilbab kesayanganku itu.

Mamak segera meraih jilbab itu dan melihat sejenak, kemudian tersenyum…
“Udah ah! Memangnya kalau disesali gini, jilbabnya balik lagi ke warna semula, mending diambil hikmahnya. Setidaknya, kamu punya jilbab baru bernoda ungu…gak ada yang punya selain kamu”, mamak tertawa kecil.
Aku tersenyum. Iyyaa…mau gimana lagi, Tuhan yang punya kok! Jadi terserah Dia mau diapain juga, cuma caranya itu yang bikin aku nyesal. Ah… setidaknya besok-besok aku benar-benar harus dengar kata-kata mamak. Gak bole underestimate kata-kata seorang ibu pokoknya. Ini baru jilbab dan luntur, belum lagi persoalan jiwa dan perasaan dan hopefully it never happens.



Hehe, jahatnya aku ketika malah tertawa saat Laila bercerita. Beberapa kali meminta maaf, namun tak menahannya memberikanku beberapa cubitan dilengan. Kita lihat saja La, ada kisah selanjutnya tidak dengan kata-kata makanya dengerin kata-kata mamak! Hehe…

Senin, 13 Mei 2013

TAKEN by Alif



Eitss…ini bukan judul film yang tengah fenomenal itu. Ini judul lagunya One Direction. Begini kira-kira bunyi liriknya, coba perhatikan dengan seksama, apa kiranya yang menarik dari lirik ini hingga kuanggap sebagai sebuah fenomena.

Now that you can’t have me, you suddenly want me…
Now that I’m with somebody else, you tell me you love me…
I slept on your doorstep, begging for one chance…
Now that I finally moved on, you say that you missed me all alone…

Who do you think you are, who do you think I am…
You only love to see me breaking, you only want me cause I’m taken…
You don’t really want my heart; no…you just like to know you can…
Still be the one who can see I’m breaking…
You only want me when I’m taken…

You’re messing with my head; Girl, that’s what you do best…
Saying there’s nothing you won’t do to get me to say yes…
You’re impossible to resist, but I wouldn’t bet your heart on it…
It’s like I’m finally awake, and you’re just a beautiful mistake…

Thank you for showing me who you are underneath, no…
Thank you I don’t need another heartless misery…
You think I’m doing this to make you jealous…
And I know that you hate to hear this…
But this is not about you anymore…


Aku tertarik dengan liriknya yang sederhana, namun ada makna yang menarik perhatianku untuk mengulasnya. Dan lirik lagu ini pas sekali dengan sebuah fenomena berjudul “Love and Romance”. Banyak sekali kejadian percintaan yang terjadi ketika seseorang memutuskan pasangannya begitu saja dengan berbagai alasan, ketika si pasangan begitu sayang dan berusaha merajut kembali hubungan itu (terkadang secara berlebihan meminta dengan mengiba-iba), dia malah dengan sombongnya menolak bahkan untuk sekedar menjadi teman. Namun, kenyataan yang terjadi ketika si pasangan berusaha move on, dia datang lagi merusak segalanya hanya karena merasa bahwa mantan pasangannya itu masih menyimpan rasa padanya. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika dia berhasil menghancurkan perjalanan si mantan untuk move on, dengan sengaja juga dia mencabik-cabik perasaan si mantan dengan menolaknya lagi. What a nasty Joe!

Satu kisah milik seseorang yang 3 bulan lalu mulai kukenal dekat. Hmm…sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu aku mengenalnya. Seorang perempuan yang dengan seenaknya (bahasaku “sadis”) dipermainkan oleh lelaki yang berpendidikan tinggi, berkeluarga terhormat, namun sayangnya kurang memiliki perasaan. Sebutlah namanya Daniel. Tebakanku, dia tak sepenuhnya mengerti arti “perempuan” dalam hidup ini.

Sebenarnya miris dan malu sekali mengungkapkan kisah ini, karena aku diposisi yang sama dengan si lelaki itu. Sama-sama bergender “male”.

Sepengetahuanku berdasarkan cerita yang keluar sedikit demi sedikit dari mulut perempuan itu, dia lelaki pertama yang berhasil meluluhkan hatinya. Ketika dia menahan diri untuk tidak “berpacaran” selama dibangku sekolah, Daniel dengan gagahnya datang dan menjulurkan tangan kanannya, tanpa diketahui si perempuan bahwa tangan kirinya dia tautkan pada tangan perempuan lain.
Hubungan itu tak berjalan lama, karena mereka menjalaninya secara diam-diam. Namun, komunikasi tetap berjalan hingga mereka menyelesaikan tahun pertama dibangku perkuliahan. Iyya, perempuan itu dengan tulusnya menganggap Daniel sebagai teman dekat, padahal sebenarnya tanpa sepengetahuannya Daniel berusaha tetap memastikan bahwa perasaan si perempuan terjaga untuknya. Di satu sisi itu baik ketika dia sendiri juga menjaga perasaannya, hingga kelak diwaktu yang tepat ketika mereka berdua sudah siap dan pantas, perasaan keduanya bisa terikat dalam hubungan yang lebih suci. Pernikahan. Namun, apa jadinya ketika Daniel hanya memanfaatkan perasaan perempuan itu. Ketika dia merasa bosan dengan perempuan-perempuannya, dia tahu kemana akan kembali.

Dan itu memang itu terjadi. Tiga tahun ketika mereka “break”, Daniel sudah punya pacar baru dan secara tiba-tiba ketika mereka dipertemukan kembali dalam satu scene bernama “Reuni Kelas” setelah hampir satu tahun tak komunikasi, Daniel seperti menemukan kembali persinggahannya. Perempuan itu pun dengan lapang dada menerima kedatangan Daniel, hingga ketika perasaan yang sudah 3 tahun dengan susah payah si perempuan kubur, muncul kembali hanya dengan hitungan hari. Semuanya terbangun megah dan indah di hati si perempuan. She’s falling in love again with him. Namun dia tak sadar bahwa podasi perasaannya tak kuat. She was really blinded by love. Dan ketika perempuan itu mulai membuka perasaannya dan memastikan sebuah kesempatan, Daniel mencabik-cabik harapan itu dengan hanya sebuah kalimat, “Aku sayang kamu, tapi aku juga sayang pacarku”. Si perempuan merasa sangat hina.

Sejak saat itu hubungan kembali terputus. Tak ada lagi komunikasi. Setahun kemudian Daniel dengan mulusnya memulai komunikasi lagi. Aku juga tak mengerti, si perempuan punya hati yang terbuat dari apa. Yang jelas, dia dengan sangat ramah merespon komunikasi itu. Tebakanku, dia hanya ingin hubungan yang dulunya berawal dari teman, seharusnya juga berakhir baik sebagai teman. Betapa tak pantas perempuan sepertinya diperlakukan kejam. Dua hari komunikasi itu berjalan. Intens. Dihari ketiganya, Daniel mulai memastikan posisinya di hati si perempuan. Dan memang siperempuan tak memungkiri bahwa “kisah” yang dia punya dengan Daniel sangat membekas (kutahu, ini yang pertama baginya). Dan Daniel dengan bangganya mengerti bahwa dia masih punya kans besar dihati si perempuan.

Kejadiannya ini seperti déjà vu, berulang ditiap tahun. Daniel seperti datang dan pergi, dan ketika dia datang kembali dia tak lupa memastikan (dengan caranya sendiri) posisinya dihati si perempuan.

Hingga ketika aku pertama kali mengenal si perempuan dua tahun lalu, ketika kami sama-sama di Melbourne. Aku bekerja di salah satu developer real estate di kota besar itu, dan si perempuan melanjutkan studynya. Aku pertama kali bertemu dengannya di acara buka puasa bersama di Konjen Indonesia di Queen street, Melbourne. Dimasa-masa dia melanjutkan studynya, kenyataannya, ada beberapa teman yang ingin mendekatkannya dengan lelaki. Dan ada juga beberapa lelaki yang mendekat dengannya, namun entah mengapa taka da yang direspon olehnya. Apa mungkin karena Daniel?
Dan berdasarkan pengakuannya, ditahun pertama Daniel begitu gencar menjalin komunikasi dengannya. Dan memasuki tahun kedua komunikasi itu mulai menurun. Disaat yang sama, siperempuan itu telah setuju untuk bertaaruf dengan salah seorang kerabat dari teman dekatnya. Taaruf yang dijalaninya pun LD – R. Yang sangat aneh adalah ketika sebulan komunikasi mulai terjalin baik dengan pasangan “taaruf”nya, Daniel datang lagi. Dan kali itu, dia seperti resah dan senantiasa bertanya apakah si perempuan sedang dekat dengan lelaki lain, apa sudah tak ada kesempatan baginya. Si perempuan berusaha menjawab bijak (namun menurutku jawabannya menggantung, hingga membuat Daniel merasa masih punya harapan). Namun, si perempuan dengan gencarnya membatasi komunikasi dengan Daniel, mengurangi untuk merespon segala perhatian Daniel.

Menurut pengakuannya, komunikasi berjalan sangat baik dengan pasangan taarufnya. Beberapa kali istikharah, jawabannya seperti mengarah pada kemudahan untuk keduanya. Hingga di bulan terakhirnya, ketika dia masih gencar memohon doa akan kelancaran proses ini, namun sebuah keraguan tumbuh. Dan dia melakukan shalat istikharah terakhir, dan secara mengejutkan keraguan itu semakin memuncak. Dia utarakan itu pada sang pasangan “taaruf” sebutlah namanya Raja, meminta waktu agar mereka bertemu terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka memutuskan. Karena menurutnya keraguan yang muncul karena komunikasi yang terjalani adalah jarak jauh, dan mereka belum pernah bertatap mata.

Dan yang paling menyebalkan, adalah ketika sehari sebelum kepulangannya ke Aceh. Daniel dengan sangat perhatiaannya mulai datang lagi menebarkan semilyar perhatian. Dan secara kebetulan Raja pun seperti menghilang. Hingga, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Aceh, sms pertama yang masuk adalah dari Daniel, padahal Raja tahu pasti tanggal kepulangannya . Ada perasaan aneh merasukinya, apa ini pertanda?

Hingga dua hari dia di Aceh, tak ada satu pun sms atau telpon dari Raja. Hanya Daniel yang hampir setiap jam menawarkan sejuta perhatian. Perasaan siperempuan menjadi resah, dia merasa seperti pengkhianat bagi Raja. Padahal dia sangat menunggu saat-saat Raja mengajaknya bertemu, karena sejujurnya she thought she had already moved on and with Raja, she would have something else that would be more worthwhile. But, she’s wrong, ternyata beberapa hari setelah itu Raja mengabarinya kalau dia sudah menjalin hubungan serius dan akan segera menikah dengan rekan kerjanya sendiri. Perempuan itu tersenyum tipis, perih. Semua yang mendengar cerita itu, merasa ada yang aneh dengan segala proses yang sangat instant itu. Mereka curiga, kalau Raja sengaja menjalin dua komunikasi serius dengan beberapa perempuan saat itu dan ketika si perempuan ini berkata hal yang berkaitan dengan keraguan, dia dengan mudahnya beralih. Fenomena, ck…ck…ck (Aku beristighfar, memohon agar dijaga dari segala perbuatan yang menyakiti dan berdosa itu). Namun, siperempuan tetap merasa ini semua salahnya, karena disaat dia seharusnya focus dengan komunikasinya dengan Raja di detik-detik kepulangannya, dia malah merespon datangnya Daniel. Dan dia merasa akan menerima balasan perbuatannya ini.

Dan seperti mengiyakan semua pikirannya tentang dirinya sendiri, setelah beberapa minggu Daniel seperti tak ingin melepaskannya lagi, tiba-tiba dia menghilang sejenak. Kemudian datang dengan perhatian yang sedikit berkurang. Ternyata, tepat ketika siperempuan bertemu seorang teman lamanya, sebut saja namanya Sarah. Sarah mengungkap segala kebenaran.
Ini potongan ceritanya kepadaku:

Hari itu entah kenapa aku pergi mengunjungi teman lamaku, Sarah. Di tengah pembicaraan santai, Sarah memandangku dengan sedikit gelisah dan berkata:
“Ya, ada yang ingin aku tanyakan…”,
“Serius amat Sar, mau nanya apa siyh?”
“Hmm…”
“Waah…jadi deg-degan, ada apa siyh?”
“Sebenarnya gimana hubungan kamu dengan Daniel sekarang? Masih komunikasi?”
Aku tertegun. Sarah memang sering menanyakan kisah asmaraku, baik dengan Daniel atau dengan yang lainnya, tapi beberapa hari terakhir dia sering sekali menanyakan tentang Daniel. Ada apa sebenarnya? Aku jadi sedikit resah, namun aku sudah sangat siap dengan segala konsekuensi.
“Hmm…dua minggu terakhir Daniel udah jarang hubungi aku siyh, terakhir kemarin malam, dan itu pun hanya nelpon tanyain kabar…”
“Oh… tapi masih hubungi kamu?”
“Yaa… terakhir cuma itu, gak ada yang special lagi. Emang ada apa Sar?”
Iya, kalau aku sadari memang selama dua minggu terakhir Daniel seperti menjauh. Tapi terakhir dia menelponku lama, Daniel masih sering merayu dan seperti mengharapkan kesempatan. Entahlah.
“Gak ada, sebenarnya… hmm, ah, gak ada apa-apa siyh, hehe”
Aku semakin tak percaya. Siapa yang percaya kalau tingkah Sarah jadi mencurigakan begini, dia seperti menyembunyikan sesuatu besar.
“Serius gak mau kasi tahu aku? Aku pulang aja dech…”
“Eh…kok gitu? Enggak Ya, aduuuh…seharusnya aku gak ngomong ini ke kamu… jadi nyesal”
“Begini aja, coba pikirkan kamu akan lebih nyesal kalau kamu yang kasi tahu aku, atau aku tahu dari yang lain…”, Sarah Nampak berpikir keras.
“Menyesal kalau kamu tahu dari yang lain…”
“Then tell me… what’s wrong?”
“Daniel itu bukan lelaki yang baik buat kamu, Aliya. Dia dekati kamu tapi diwaktu yang sama dia dekati perempuan lain…”
Deg, dadaku sedikit perih. Apa aku gak salah dengar?
“Aku gak berani kasi tahu kamu, karena kamu sepertinya masih punya rasa sama Daniel, Aliya kamu gak apa-apa kan?”
Aku tersenyum.
“Dia lelaki pertama yang pernah dekatku dengan status pacar, dan selama bertahun-tahun dia seperti gak melepaskan aku, walaupun statusnya hanya teman. Kalau dibilang masih punya rasa, that’s true! Tetapi gak seperti dulu, apalagi ketika dia udah nyakitin aku dulu. Maybe, itu hanya sebatas factor yang aku bilang tadi. Buktinya, aku gak shock-shock amat mendengar ini. emangnya ceritanya gimana, Sar?”
“Bener ya, gak apa-apa”
“Kamu bisa menilai sendiri gimana keadaanku sekarang, kalau kamu merasa aku belum siap, kamu gak perlu cerita kok…”, ucapku sambil tersenyum.
“Beberapa waktu lalu Vina cerita ke aku, katanya Daniel pernah hubungi dia sekitar dua tahunan lalu, kamu masih di Oz… Daniel minta dicarikan cewek untuk hubungan serius…”
Hah? Waktu itu kan dia juga lagi berusaha komunikasi denganku.
“Vina pernah kenalin dia dengan Raisa, sempat dekat namun gagal. Beberapa waktu lalu Daniel juga pernah dekatin Nina, tapi Nina menolak dan kata Vina ada beberapa perempuan lain yang sempat dekatnya”.
Aku sedikit terpana.Ternyata kamu memang belum berubah, Dan. Speechless.
Aliya, kalau boleh tahu, awalnya Daniel hubungi kamu lagi kapan?”
“Pas aku di Aceh dia pertama kali hubungi aku, hmm..enggak-enggak sehari sebelum aku pulang, dia sudah mulai menjalin komunikasi lagi karena dia tahu pasti tanggal kepulanganku, kemudian terus berlanjut sampai dia meminta kesempatan untuk dekat lagi denganku. Tapi aku menolak karena aku tidak mau menjalin hubungan pacaran lagi, kecuali dia mau menikah tahun depan, tapi dia belum bisa berjanji. Komunikasi tetap berjalan walau tak seintens dulu, tapi sebulan lalu dia masih sangat sering meghubungi hingga dua minggu lalu sedikit berkurang. Aku pun jarang menjawab telponnya karena takut memberinya harapan…”
“Sebenarnya dua bulan terakhir Daniel juga lagi dekat sama Tita…”
Nah, pernyataan ini yang membuatku terkejut. Pertama, karena dua bulan terakhir dia juga mengiba-ngiba ingin kembali padaku. Kedua, Tita itu teman semasa SMAku.. Ketiga, baru kemarin aku bertemu Tita.
“Oia?”, hanya itu responku.
“Iyaa, dan Vina yang menjembatinya karena setelah putus dari tunangannya, Tita seperti terluka sekali…”
“So…”
“Daniel mendekatinya, namun awalnya Tita juga menolak tapi… btw, Daniel pernah menjanjikan sesuatu sama kamu gak? Menikah tahun depan gitu?”
“Hmm…gak ada yang eksplisit banget Sar, tapi sebelumnya Daniel pernah bilang kalau aku memberinya kesempatan, dia akan berusaha untuk bisa melamarku tahun depan, namun lagi-lagi dia belum bisa berjanji… Terus kenapa?”
“Dia menjanjikan akan menikah dengan Tita bulan 6 tahun depan, dan Tita pun membuka jalan buat Daniel sekitar dua mingguan ini…”
“Oh iya?”
“Iya… maaf ya Aliya, tapi memang sebaiknya kamu tahu…”
Pantes saja dia sudah jarang menghubungiku, ternyata pancingannya untuk Tita sudah digigit. Daniel-Daniel, kamu memang damn shit man! Aku tertawa kaku sambil geleng-geleng kepala memikirkan nasibku.
“Ya, kamu gak apa-apa kan?”
“Heh?”
Ketika aku akan menjawab pertanyaan Sarah, telponku berdering. Laila.
“Sar, aku harus jemput Laila dulu ya… dia udah nunggu aku ni…”, aku bangkit buru-buru dan pamit.
“Oke! Tapi Aliya, jangan sedih ya…”
Aku melihat kearah Sarah dan tersenyum. Aku memang perih Sar, tapi bukan karena Daniel, ada hal lain…
“Emangnya aku keliatan patah hati ya? Hehe”

Hmm… miris ya? Dia memang tak apa-apa, malah dia merasa terlepas sejak saat itu. Dan dengan senyumnya yang cantik itu, si perempuan mengatakan padaku dengan bangganya,  “I gained almost 6 kilos after that, hehe…Alhamdulillah, the kilos that I had never got before. What a gift!”.

Namun yang paling menyebalkannya lagi, ketika siperempuan lagi-lagi sudah move on bersama lelaki lain, Daniel datang lagi. Dia lagi-lagi menawarkan perhatian, namun dengan cara yang lebih halus. Aku bisa menangkapnya kali ini, ketika aku dengan mata kepalaku sendiri bertemu dengan Daniel pagi itu di sebuah masjid dalam rangka menghadiri pernikahan seorang teman. Dia memulai dengan mengirimkan sms kepada si perempuan (sms itu langsung diperlihatkan padaku).

          From: Daniel
          Aliya, kamu apa kabar? Hampir setahun tak ada kabar, baru kali ini aku bisa melihat kamu lagi. You look even like an angel now, more beautiful.

Seketika, setelah membaca sms itu aku tertawa sebal. Aku bangkit setelah memakai sepatuku dan kulihat dari arah jam 12, lelaki itu tersenyum penuh arti sambil melihat penuh kasih kearah perempuan itu tepat 2 meter di depanku (si perempuan itu sedang sibuk berbicara dengan seorang temannya sambil tersenyum). Daniel melangkah pasti menuju si perempuan. Aku pun melangkah dan dalam hati aku berucap, No dude! From now on, I won’t let you break my girl again. She’s mine now. Aku genggam jemari perempuanku itu, sehingga Aliya merasa sedikit terkejut dan pipinya memerah, tersipu menatap lembut kearahku. Kulihat Daniel seperti terkejut dan berhenti dari langkah pastinya.

Kutatap Daniel dan dia membalas tatapanku dengan ekspresi sedikit perih dan bingung. Kukatakan padanya lewat mataku, I have no idea if you really love Aliya or not, the thing I know is, you love to see her breaking and with me beside her, don’t even think to do it again.

“What’s wrong mas?”, tanya Aliya lirih. Aku menunduk menatap lembut kearah mata indah itu. Tersenyum. Kamu pasti menertawakanku jika kuberitahu.
“Now that you can’t have me, you suddenly want me… Now that I’m with somebody else, you tell me you love me… I slept on your doorstep, begging for one chance… Now that I finally moved on, you say that you miss me all alone…”, kusenandungkan lagu itu ditelinganya. Aliya sedikit tersentak.
“Remember sayang?”, tanyaku.
“You thought of the lyrics while reading the text message of him, didn’t you?”
“I did…”

***

Kisah ini berawal, ketika aku dan perempuanku (istriku, Aliya) sedang membersihkan kamar. Aliya menyetel music dari laptopnya, dia memang lebih aktif ketika mendengar musik atau lantunan ayat suci dari laptopnya. Aku hanya geleng-geleng. Tak apalah, asal kamu senang dan semua tugas juga terselesaikan sayang! Awalnya semuanya biasa saja, aku juga sesekali tersenyum mendengarnya bersenandung atau sekedar mengikuti bacaan Al-Quran (karena Aliya mencampur semua mp3 dalam listnya). Sampai disalah satu lagu, suddenly she became still. She was in a minute motionless. Aku meliriknya. Dia seperti sedang memaknai setiap untaian kata-kata dalam lagu itu dan sesekali tersenyum.

Aku menepuk lembut pipinya.
“What’s wrong, pink?”
Aliya tersenyum penuh arti.
“It seems that I turn back time. Lirik lagunya seperti kisahku, mas, hehe…”
Aku pun memutar ulang lagu itu, dan kudengarkan liriknya dengan seksama.

Aku melihat kearah si pink (panggilanku untuk Aliya). Bukan tertawa seperti yang biasa kulakukan ketika aku menjailinya karena sesuatu lucu tentangnya , kali ini aku tersenyum sedikit iba dan mengusap rambutnya.
“Sayang, you don’t deserve to be hurt. I know one day he will finally be awake and realize that you are an angel”, Aliya tersenyum dan tersipu.
“And hopefully he won’t regret it, because I myself can’t give up your smile, babe”, aku menggodanya. Aliya terkekeh sambil menarik hidungku.
“Nope, of course not”, ucapnya sambil bangkit dan mulai merapikan lemari.
“Why not! You’re really a blue-eyed lady…”, ucapku tak mau terima.
“And I want it’s only for you… not for somebody else…”, ucapnya serius sambil menatapku. Aku sedikit terhenyak. Dan kata-katanya memang benar. Aliya, you’re my one and only. Perempuan baik mana yang mau keindahannya dinikmati oleh lelaki selain suaminya sendiri.
Daniel, mudah-mudahan saja kamu tidak menyesal. Karena Tuhan maha melihat apa yang kita kerjakan. Dan mudah-mudahan saja kamu tak merasa dumb, ketika kamu bertemu lagi dengan Aliya kelak. Atau jangan-jangan kamu sedang bersenandung, “When I was your man” nya Bruno Mars sekarang?? Aku terkekeh.
“What’s up, mas?”, tanya Aliya curiga ketika menyadari aku sedang melamun.
“Nothing…”
“Trus kenapa senyum-senyum gak jelas gitu? Mencurigakan!”, ucapnya sambil menyipitkan matanya tanda curiga.
“Gak ada apa-apa pink, well… pernah dengar lagu BM terbaru gak, sini aku setel…Liriknya lucu, hehe…”
Aku pun mengalihkan perhatiannya dengan menyetel sebuah lagu…
When our friends talk about you, all that it does is just tear me down…
Cause my heart breaks a little when I hear your name…
And it all just sound like… too young, too dumb to realize…
That I should have bought you flowers and held your hand…
Should have gave you all my hours when I had the chance…
Take you to every party cause all you wanted to do was dance…
Now my baby is dancing, but she’s dancing with another man…

Sebuah fenomena terkadang memang mudah terbentuk, dan itu sulit terlupakan dan hilang. Syukur jika itu sebuah fenomena yang baik, otherwise… Yaaa…mudah-mudahan saja kita hanya mengikuti fenomena yang baik dan berharap menciptakan fenomena yang baik pula. Dan mudah-mudahan saja tulisan ini menjadi pelajaran buat siapa saja. Satu hal yang pasti ini hanya fiktif belaka, jikalau ada kesamaan nama, tokoh, cerita, mohon dimaklumi karena namanya saja Fenomena, tentu saja diangkat dari kejadian nyata.

Selasa, 08 Januari 2013

Fenomena V by Aliya




Finally today is coming. Penghujung hari di tahun 2012. Dari sejak pagi tadi Laila sibuk mengirimkanku pesan singkat mengingatkanku untuk segera membuat resolusi untuk tahun depan.

Jangan banyak bengong lagi. Banyakin doa and ibadah.

Dan…

Resolusinya jangan lupa ya non, nti pas kita ketemuan kita diskusikan panjang lebar, sebisa mungkin tahun depan harus lebih baik. Hmm…btw, jangan banyak melamun lagi untuk tahun depan ya, hehe

Dan…

Kamu itu kan sukanya melamun, tatapan kosong kalau lagi asik mikirin sesuatu. Apalagi kalau lagi ada masalah, beeeuh… seolah dunia milikmu doang, kita alien semua. Harus dikurangi ya tahun ini. Hmm… pokoknya listkan resolusinya, terlebih masalah ibadah.

Dan…
Non Aliya, kenapa gak balas smsku? Masih melamun ? or bengong kah? Udah mau ganti tahun ini, kebiasaan buruk mesti segera diubah, oke? Soon, respond my sms please!

Dan… masih banyak lagi. Satu intinya, Aliya itu harus segera mengurangi kebiasaan buruknya yang keseringan bengong, hihi.

Setelah kurespon sms Laila aku mulai menyadari sesuatu. Dan ini sangat mengejutkan bagiku dimalam menjelang pergantian tahun ini.

Sejak siang sampai malam, hujan deras mengguyur kota Banda Aceh tercinta ini. Setelah menyelesaikan shalat magrib, aku sedikit bersyukur ketika hujan masih saja turun. Mudah-mudahan saja hujan ini terus hujan sampai besok pagi, jadi at least perayaan tahun baru yang sudah tiga tahun terakhir di Serambi Mekkah ini tak begitu ramai. Sedih rasanya mengingat-ngingat dua tahun lalu, ketika perayaan tahun baru begitu semarak mengalahkan takbiran Idul Fitri dan Idul Adha. Suara kembang api bersahut-sahutan dilangit Banda Aceh seolah berbahagia dengan bertambahnya usia dunia, sedangkan seharusnya kita sepatutnya berduka dan banyak berdoa ketika dunia semakin renta dan mungkin hanya tinggal menghitung angka ketika akhirnya Allah memanggilnya. Apa tabungan akhirat kita sudah cukup? Apa kita sudah siap menghadapi dunia akhirat yang tiada tipu daya disana? Apa kita sudah yakin akan bersama dengan orang-orang yang baik bisa melewati Padang Masyar dan Jembatan Shiratal Mustaqim dengan baik? Aku bergidik mengingat itu semua.

Tahun lalu aku teringat ketika salah seorang teman mengajak menunggu pergantian tahun baru di salah satu kedai kopi di pusat simpang lima. Perayaannya luar biasa meriah, bahkan radio-radio seantero Banda Aceh seolah seperti dengan bangga menyiarkan detik-detik pergantian itu. Dan kini aku bersyukur telah menolak ajakan itu. Entah apa jadinya ketika aku menjadi salah satu orang dalam ratusan remaja, muda-mudi bahkan dewasa disana meniup terompet, bersorak-sorak menyambut tahun baru. Allah Maha Melihat dan malaikatnya mencatat.

Dan tahun ini aku semakin ketakutan dan cemas apalagi dengan fenomena yang terjadi di Banda Aceh ini. Kota kebanggaanku ini semakin dikhianati oleh penduduknya sendiri. Sejak bencana gempa dan tsunami menerjang 8 tahun lalu, kota ini semakin jauh dari ketaatan pada Allah. Aku teriris karena aku merasa menjadi salah satu yang menjadi pengkhianat itu. Maka sejak menjelang malam, rasa deg-degan menunggu bagaimana meriahnya pergantian tahun baru kali ini menyerangku. Bukan deg-degan bahagia, tapi cemas luar biasa. Beberapa teman sudah mulai mengirimkan ucapan dan tak satupun kurespon (salah memang, tapi aku terlewat cemas dengan segala keadaan ini). Banyak yang sudah mengupdate statusnya di Facebook menjelang pergantian tahun, aku miris. Terus apa yang aku lakukan? Aku terus berdoa semoga hujan terus mengguyur agar perayaan ini akan gagal. Namun, suara deru kendaraan yang lebih ramai dari biasanya di jalan raya depan rumahku sedikit merontokkan semangatku, semakin hujan mengguyur, semakin banyak anak-anak muda menuju titik-titik perayaan. Seorang teman mengatakan padaku bahwa jalan Medan-Banda Aceh dipenuhi para muda-mudi yang melajukan kendaraannya menuju Banda Aceh, dan tujuannya satu, perayaan Tahun Baru. Aku semakin miris.

Dan tepat setelah isya, aku menyadari sesuatu. Kubuka jendela kamarku. Hujan secara tiba-tiba berhenti total. Kupandangi langit, dan aku terkejut bukan kepalang. Langit yang sedari siang gelap karena mendung, kini menjadi sangat cerah bahkan aku bisa melihat awan-awan kecil menghiasi langit cerah dimalam hari. Ya Rabb, apapun yang Engkau tentukan, aku tahu ini hanya cobaan dariMu. Yaa..Allah sedang mencoba kita.

Benar saja. Suara kembang api bersahutan menjelang tengah malam. Kututup telinga dan berdoa aku dapat memejamkan mata dan tak mendengar ketika orang-orang sedang berfoya-foya membakar uangnya untuk merayakan bertambahnya tahun sang dunia.

Aku memang tertidur, hingga pada jam 3 dini hari sebuah dering telpon mengejutkanku. Laila menelpon membangunkanku.

Non, bangun ya! Tahajud! Berdoa, banyakin istighfar dan zikir. Mudah-mudahan awal tahun ini bisa jadi lebih baik. Ingat jangan tidur lagi!

Aku bangkit.
Dalam sujudku aku masih mendengar suara dentuman kembang api. Ada rasa miris yang luar biasa disana. Entah kenapa air mata seperti memaksa keluar. Aku merasa penuh dosa. Aku ketakutan luar biasa mengingat dosa-dosa. Aku teringat siksa kubur yang luar biasa pedihnya. Aku terbayang keadaan di padang masyar ketika tak ada tabungan amal yang kubawa sama sekali. Matahari yang kian panas terasa di Banda Aceh, kini seperti muncul dalam bayanganku. Bagaimana nasib kami kelak ketika matahari hanya sejengkal diatas kepala. Aku juga terbayang melintasi jembatan shiratal mustaqim yang dibelah tujuh hanya dari sehelai rambut. Hanya 1 diantara seribu yang kemungkinan bisa melewatinya, yaitu orang-orang yang bertakwa. Apa aku termasuk didalamnya?

Airmata kian jatuh dalam istighfarku dan semakin deras ketika sebuah dentuman kembang api lagi berbunyi. Aku teringat kemurkaan Allah. Membayangkan daerah yang terkenal dengan budaya islamnya ini akan Tuhan murkai untuk kedua kalinya setelah 8 tahun lalu. Bukan salah siapa-siapa, salah kami sendiri.

Kulipat mukenaku dalam ketermenunganku – maaf La, diawal tahun ini aku masih saja suka melamun. Mungkin ini memang akhir zaman ketika malah didaerah-daerah Non-Muslim, pertumbuhan islam semakin pesat dan maju. Dan didaerah Islam seperti ini seolah Islam hanya cover, isinya KOSONG. Apa ada jalan keluarnya? Tentu ada. Dan itu pun harus dimulai dari hal yang terkecil, dari diri sendiri dan dari sekarang. Ya… at least aku mulai menyadari dan berdoa akan terus istiqamah dengan segala perubahan ini. Amiiin.

Besok paginya kulihat banyak muda-muda yang baru saja bangkit dari tidurnya setelah lelah berpesta pora tadi malam. Entah dimana mereka tidur, yang jelas satu entah mereka shalat subuh atau enggak? Wallahualam. Suara kendaraan kian kencang menjelang siang hari. Dan yang membuatku lebih sesak adalah ketika aku membaca sebuah berita. Ya…sebuah berita mengejutkan dan semakin membuat hati miris.

PERAYAAN TAHUN BARU TERUNIK DISELURUH DUNIA judul headlinenya. Isi nya? Aku rasanya mau menangis.

Perayaan tahun baru di Banda Aceh dianggap terunik karena tepat di seputaran Mesjid Raya Banda Aceh, dua hal yang saling bertentangan terjadi. Disaat sebagian muslim berzikir dan memohon ampun kepada Allah dikala pergantian tahun, ribuan orang lainnya dan mereka kebanyakan juga Muslim merayakan tahun baru dengan terompet dan kembang api. Semakin keras suara zikir semakin kencang juga suara terompet dan kembang api. Massa itu juga tak terkendali hingga memaksa masuk kearea Mesjid. Ironis dan Mengiris.

Kita sebagai Muslim rasanya bagai ditampar. Tak cukup hanya itu, seharusnya kita berkaca bahwa inilah tanda-tanda akhir jaman…Apa kita sudah cukup siap untuk itu??

Allah Maha Melihat dan Dialah Maha Penentu. Sebagai manusia kita hanya perlu ingat bahwa Janji Allah pasti akan Dia tepati, apapun itu.

Jumat, 21 Desember 2012

Fenomena IV by Laila


Sebulan sebelum kepulangan Aliya dari Oz, aku sudah mewanti-wantinya agar menikmati waktu-waktunya disana sebelum akhirnya harus pulang. Serindu-rindunya dia pada kampung halaman, kebiasaan dan suasana yang sudah terbiasa di negeri orang akan dengan mudah dirindukan kelak ketika sudah berada di negeri sendiri. Apalagi dengan keadaan dan system yang berbeda jauh antara kampung halaman kita dengan Negara sekelas Down Under, Australia.

Kami pernah punya pengalaman reverse culture shock sebelumnya. Aku baru saja kembali dari study Masterku di Amerika, sedang Aliya sekitar 4 tahun kembali dari Kanada – program pertukaran pemuda. Aku memang seharusnya tak perlu khawatir berlebihan karena kurasa Aliya sudah bisa mengerti bagaimana rasa mengalami reverse culture shock itu. Tetapi, satu sisi hatiku merasa Aliya belum cukup kuat kelak ketika harus menjalani hari-hari baru dikampung halaman setelah hampir setahun setengah di rantau dengan keadaan yang lebih teratur di Oz.

Sekembalinya aku ke Banda Aceh, hal pertama yang membuatku terkejut adalah cuaca. Kebetulan aku kembali Oktober, yaitu ketika musim peralihan fall ke winter. Cuaca dingin mencekam kentara terasa berubah ketika aku menginjakkan kaki ke Jakarta. Kulitku yang dulunya kering kini sedikit berpeluh dan lembah. That’s a good one. Tapi, aku tak tahan berdiri lama-lama dalam keadaan panas. Rasanya mau pingsan.

Dan banyak hal lainnya mulai dari lalu lintas yang berantakan di nagroe tercinta. Para pengendara seperti asal-asalan dalam mengemudi atau mengendarai sepeda motornya. Lampu lalu lintas terkadang hanya menjadi symbol, tak pun dipatuhi. Padahal, resikonya sangat berbahaya jika melanggar itu. Speechless kalau kata Aliya. Belum lagi kondisi parkir yang tak berarturan, birokrasi pemerintahan yang juga seenak pegawainya. Pussing. Awalnya ibuku sempat resah melihat keadaanku yang malas keluar kemana-kemana saking shocknya.
“Laila, mana boleh begitu? Kamu disekolahkan sampai ke Amerika untuk bisa mengabdi di daerah kita. Kamu disana sudah mandiri selama hampir dua tahun, kalau hanya karena keadaan yang sudah 24 tahun kamu alami ini kamu kalah, untuk apa sekolah jauh-jauh sampai ke LN? mending sekolah disini dan tidak perlu ada masalah ini…”, aku terdiam meresapi kata-kata ibuku.
“Lagi pula, bersyukurlah dengan segala kondisi yang Allah berikan, artinya sudah bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Ini kenyataan, Nak! Anggap saja dua tahun lalu itu hanya mimpi, dan kamu kini sudah kembali bangun dan inilah hidup…”

Dan sejak saat itulah aku mencoba kembali hidup normal seperti sebelum aku berangkat ke LN.

Dan benar saja anggapanku, Aliya sepertinya belum cukup mempersiapkan diri. Sepulangnya dari LN, mulailah kebiasannya melihat fenomena-fenomena ajaib terbentuk.
“That’s not true Laila, emang dari dulu aku suka perhatiin fenomena-fenomena, gak cuma sepulang dari Oz, ayoo…edit statement diatas!”, ucapnya ketika berhasil membaca tulisanku. Aku terkekeh tapi tidak mengedit statement itu karena bukan inti yang ingin kubicarakan.

Fenomena pertama yang diperhatikannya adalah masalah lalu lintas. Ketika kuajak keluar pertama kali, Aliya memegang erat pinggangku.
“La, jangan ngebut donk! Ah… gak sayang nyawa nih anak!”, cerocosnya dan aku hanya cekikikan.
“Apanya ngebut? Ini cuma 60km/jam… biasanya kamu lebih dari itu…”
“Itu kan dulu La, gak liat ni orang bawa kendaraan kok ngasal gini, kita mana boleh juga asal-asalan plus ngebut lagi… Kalau di luar kan walaupun 100km/jam tapi mereka teratur dan hukumnya jelas dan mahal…Please dech La!”, kulambatkan motorku.
“Seeh… cewek ni baru pulang dari LN rupanya…hehe”
“Ah, Laila…”

Kami terkena lampu merah di simpang Surabaya. Tiba-tiba seorang cewek disebelah kami menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi, dan Aliya sadar akan itu.
“Wah…wah, bahaya banget tuch…”
Dan memang nasibnya sedikit kurang beruntung karena tiba-tiba  dari arah jalan Ladiagalaska, sebuah mobil dengan kecepatan tidak kalah cepat – mungkin mengejra lampu hijau yang segera berganti – hampir saja menabraknya. Syukurnya si cewek mengerem dengan cepat hingga dia hampir terjatuh, kulihat lelaki dalam mobil itu berang dan mengeluarkan sepah serapah. Dan yang membuatku mulai tersenyum, adalah kudengar Aliya mengucap istighfar sambil urut-urut dada.
“Sabar ya Ya, this’s the real life we have to be through…”, bisikku.

Tak lama tibalah kami di lampu lalu lintas simpang Lamprit. Kebetulan lalu lintas tidak begitu sibuk, tapi persoalannya karena tidak sibuk kebanyakan orang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedikit diatas rata-rata karena menganggap jalanan sedikit sepi. Kendaraan dari dua arah Lamprit dan jalan didepan stadium Lampineung sedang sangat lempang, padahal lampu hijau sedang menyala. Suara klakson kendaraan dibelakang kami satu persatu berbunyi, dan semakin nyaring ketika aku dan sebuah mobil disamping enggan menerobos lampu lalulintas. Namun, aku tak sanggup mendengarnya jadi ketika aku memutuskan menarik gas motorku…
“Jangan macam-macam ya La! Aku baru pulang dan masih ingin bareng keluargaku…”, ucap Laila sambil memegang pundakku erat. Kuturunkan kembali gasku dan dengan sabar mendengarkan suara klakson.
“Inilah fenomena kita Aliya…”
“I know… tapi kalau bukan kita yang berusaha mengubah, siapa lagi?”
“Apa kita bisa bertahan? Sehari dua hari, that’s ok! Tapi setelah itu…”
“Gak ada salahnya mencoba, kan? Urusan hari ketiga, kita liat saja nanti…”
Aku mengangguk serius. Benar kata Aliya. 

Fenomena III – by Aliya and Laila


Entah kenapa diusia “rawan” ini banyak fenomena yang aku temukan. Sejak menyelesaikan study Master di LN, aku dan Laila banyak dicecar pertanyaan-pertanyaan sejuta umat. “Kapan menikah?”, yaa…pertanyaan itu akan muncul dari sudut manapun. Tante, bunda, sepupu, kakak ipar, keponakan juga punya pertanyaan yang sama, belum lagi sepupu ipar, calon kakak ipar, teman seangkatan yang sudah menikah – yang belum juga ikut-ikutan, temannya mamak, dosen, anak-anak murid, teman kerja, dan masih banyak daftar lainnya. Capek nyebutinnya satu persatu.

Sejak menginjak usia 23 tahun, aku sudah mulai dikejar pertanyaan-pertanyaan itu. Ke kondangan ditanya itu, ke acara nikahan juga pertanyaan yang sama, ditambah lagi ketika ada acara kumpul-kumpul keluarga, weleeh…keriting bibir kita jawabnya. Ketika akhirnya lebaran pun tiba, aku sudah bersiap-siap dengan jawaban patenku – senyum semanis mungkin dan itu berarti aku belum ada rencana dalam waktu dekat. Siapa juga yang tidak mau melengkapkan setengah ibadah itu, hanya saja… jodohnya belum kelihatan batang hidungnya – yaah… mungkin masih Allah sembunyikan, sampai waktunya tiba. InshaAllah.

Sebenarnya ada tiga fenomena kali ini.
Dulu sebelum aku berangkat untuk sekolah Master, tak satu pun dari yang bertanya percaya kalau aku belum punya calon. Dan hal serupa juga terjadi pada Laila, Sarah, Dina dan beberapa temanku yang memang tidak mau menjalin hubungan sebelum menikah alias “pacaran”. Semuanya menganggap kami tak jujur, dan menyembunyikan “seseorang” ketika akhirnya kami dapat memperkenalkannya ketika sudah tepat waktunya.
“Masa dikira aku punya pacar, yang bener aja…memang sekonyol itu yaa kalau kita gak pacaran? Gak gaul maksudnya?”, cerocos Laila, aku cekikikan.
“Hehe… Ih Laila cem gak tau aja, setahun lalu pacaran dianggap lumrah, malah anak gadis yang tidak punya pacar dianggap tidak laku dan orang tuanya resah, tahun ini pegangan tangan sesama pasangan “pacaran” dianggap hal lumrah, boncengan dengan pacar mah itu hal biasa, malah kalau enggak jalan itu dianggap konyol, setahun kedepan kali aja rangkulan dan pelukan, diikuti ciuman, dan bisa jadi…”
“Eitss stop! Ngomong apa?”, potong Laila sambil melotot kearahku. Aku tersenyum geli.
“Beneran La, itu mah fenomena dan seharusnya kamu tulis di blog kamu itu. Pernah kejadian, salah satu temen semasa SMPku dulu, keluarganya memang keluarga biasa aja tapi kedua orang tuanya sangat menjaga anak-anak agar tidak pacaran, nah…salah satu adik perempuan temanku itu sedikit bandel dan backstreet dengan seniornya. Suatu hari si kakaknya ini tahu, dan meminta siadik memikirkan lagi perbuatannya, dan meminta cowoknya untuk bicara langsung dengan keluarganya kalau dia benar-benar serius, tapi… si cowoknya malah memilih mundur, pengecut gak tuch? Terus pake ngomong kalau keluarga temenku itu terlalu kaku, masa anaknya pacaran dan keluar dengan cowok aja gak boleh. I’m so speechless. Really a disease.
“Waah…kacau udah dunia ni…”, aku mengangguk.
“Nah, sekarang giliran kita yang dianggap kuper dan gak gaul, hanya karena “tidak punya pacar”. Hmm… semuanya pada bilang gini, anak zaman sekarang mana ada cerita diijodoh-jodohin lagi, nyari aja sendiri. Kawan kuliah kan  ada, kawan kerja juga ada, ngapain dicari lagi?”
“That’s the truth!

Fenomena kedua.
Ada juga beberapa orang yang berinisiatif mengatur perjodohan, namun terkadang tidak mengerti jalannya proses itu. Itu hanya perjodohan, dimulai dengan pertemanan, maka kalau berjodoh akan sampai ke pelaminan, kalau tidak yaa…diikhlaskan saja sebagai teman. Terkadang, karena “ngebet”nya mereka itu – atau bisa jadi karena lingkungan membuat mereka ngebet agar kita cepat menikah. Pertama, bisa jadi karena kerabat sebaya, bahkan yang lebih muda sudah melangkah terlebih dahulu. Kedua, mereka terlalu sering melihat kami hanya menghabiskan waktu memenuhi undangan ke nikahan atau kawinan, “kaliannya kapan?”. Memang keinginan itu baik bagi kami, tapi jalan jodoh mana mungkin dipaksakan.

Ketika perjodohan tidak berjalan lancar, kadang jawaban kita tak beralasan buat mereka. Contohnya Laila yang gagal dengan seorang dokter, beberapa pengusaha muda, seorang banker dan seorang ustad muda.
“Gimana enggak? Datang-datang langsung minta jawaban, aku kan butuh waktu untuk kenal dulu. Apa bisa dengan seenaknya ngasi jawaban pas ketemu pertama kali, sekaya atau seganteng apapun dia…”, aku mengangkat dua jempolku untuknya.
Laila memang cantik, lahir dikeluarga yang lumayan berada dan berpendidikan. Ayahnya dosen disalah satu universitas dan sekaligus pengusaha pecah belah.
Aku juga pernah punya pengalaman yang sama. Aku dikenal oleh sepupuku dengan seorang pengusaha muda. Aku suka. Tapi sayang, jawaban istikaharah berkata lain, begitupun dengan jawaban keluarga intiku saat itu. Aku diharuskan menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu dan aku juga tahu bahwa alasan lainnya adalah bahwa Bang Risyad – nama lelaki itu – bukan pegawai pemerintahan. Tapi, bukan itu permasalahan utamanya, ketika Bang Risyad dengan bijaksana menerima jawabanku, malah kerabatku yang menjodohkan yang sedikit berang denganku. Speechless.
Kisah lain juga datangnya dariku. Aku juga pernah dekat seseorang – adik iparnya sepupuku, namanya Diki – namun komunikasi itu hanya seumur jagung karena perbedaan prinsip yang sangat dasar. Aqidah dan gaya hidup, bagiku tak ada kompromi persoalan itu. Namun, lagi-lagi bukan itu permasalahannya. Ketika seorang sepupu lainnya bertanya,
“Emangnya Aliya lagi enggak dekat dengan siapa-siapa sekarang?”, aku hanya tersenyum ketika pertanyaan itu muncul tepat saat kami sedang kumpul keluarga besar dirumahku.
“Belum ada yang cocok kak…”, ucapku seadanya dan langsung melahap risol, walau dengan selera yang sedikit berkurang.
“Hmm…berarti pernah ada ya?”, aku kembali tersenyum.
Yaa…itu kan masa lalu. Kalau diungkit, aku jadi males banget. Cerita Angga yang paling menyakitkan, cerita Diki biasa saja namun sangat membekas.
“Kenapa kalau boleh tau gak cocoknya?”, sambung Kak Intan yang memang anak dari kakak ibuku.
“Beda prinsip Kak, gak sekufu!”, jawabku mulai serius dan aku berpikir ketika jawaban itu aku keluarkan, Kak Intan bisa langsung mengerti. Namun perkiraanku ternyata salah saudara-saudara – jadi ingat Laila, dia terbahak ketika aku ceritakan hal ini.
“Hah? Gak sekufu? Maksud Aliya apa dengan gak sekufu itu? Memangnya dia beda agama dengan kita?”
“Enggak Kak…”
“So? Jangan main-main dengan kata Aliya dan jangan menyalahkan seseorang untuk hal-hal yang Aliya pribadi gak suka. Semuanya kan masih bisa dibicarakan”, aku diam bukan mengiyakan, namun aku tak mau terjadi perdebatan dalam suasana kumpul-kumpul itu. Ah… lagi-lagi Laila terbahak ketika mendengar kisah piluku itu.

Apanya yang harus dibicarakan kalau omongannya hanya tentang materi? Apanya yang bisa dimengerti kalau shalatnya ditinggal hanya karena urusan kantor? Apa aku bisa hidup dengan gaya hidupnya yang sudah sangat modern? Nope, thanks. He’d better find someone else with the same interests like him, not me!

Kalau fenomena yang ketiga cuma masalah anggapan orang-orang, namun walau hanya hal sederhana, tapi sangat signifikan. Gini komentarnya…
Aliya kapan?
Belum ada tante, inshaAllah.
Jangan terlalu banyak memilih, ntar gak dapat-dapat lho!
Atau...
Laila kok belum pernah ngenalin calonnya?
Calon apa ? Belum ada juga…
Ah, masa?
Beneran belum ada, kalau udah ada, ngapain dilama-lamain lagi…
Hmm…makanya jangan ketinggian kriteria. Kebanyakan milih siyh, mana ada kriteria yang kita cari itu ada semua…
Dan bla..bal..bla…
Siapa juga yang milih kalau memang gak ada pilihan?
Okei-okei, kami memilih. Tapi bagaimana gak dipilih kalau ini mengenai satu hal yang sakral dan berhubungan dengan seumur hidup.
“Memangnya kita mau menikah sehari aja? Gimana gak dipilih atau dikenali dulu, kalau dia mata keranjang, gimana? Kalau dia tau-taunya suka berjudi? Tukang korupsi? Belum lagi kalau gak pernah shalat, wah…gak usah dech!”, ucap Laila berang.
“Iya, memang ketika orang-orang  bertanya, mereka peduli akan nasib “jodoh” kita, tapi hanya sampai pada titik “kapan dan dengan siapa”, setelah itu siapa peduli? Apa mereka mau tanggung jawab ketika kita menikah dengan orang yang salah? Gak juga”, sambungku.
“Bener, pernah ada cerita temanku yang menikah muda tapi ternyata suaminya masih labil – ada WIL – jadinya mereka bercerai, padahal temenku itu baru aja melahirkan anak pertamanya, pilu ngedengerinnya padahal itu pacarnya sendiri lho…”, aku hanya diam.
Sudah menjadi fenomena ketika anak zaman sekarang menikah muda, namun tingkat perceraian juga meningkat. Bukan hal itu yang kita inginkan, ya kan?

“Hmm… masalah kriteria, memangnya apanya yang tinggi kalau kita cuma maunya yang aqidahnya baik…”, sambung Laila.
“Some people just don’t understand La… Mereka hanya melihat fenomena ketika banyak pasangan memutuskan menikah dalam waktu cepat dan tidak banyak gagal. Padahal bisa jadi mereka menikah dengan pacarnya atau memang pas ketemu langsung jodoh. Mungkin kita-kita yang banyak persoalan ini, dianggap terlalu ketinggian kriteria dan banyak memilih karena sering gagal…”
“Maybe…”
“The thing is menikah itu bukan hanya tentang hari itu saja, bukan tentang status saja, bukan juga tentang pasangan saja. Tapi hubungan itu lebih kepada tanggung jawab kita pada Tuhan, pada pasangan masing-masing dan pada keluarga…”
“That’s for sure”.
Seharusnya kita membaca lagi apa kaidah dari menikah itu sebelum terlalu sok tahu tentang itu.

Fenomena yang keempat terjadi ketika kami sudah kembali dari study Master kami. Selain keraguan akan status kami yang jomblo, mereka juga meragukan “kriteria” kami. Just check these out! Ini hanya beberapa komentar itu.
Emang apa kriterianya? Bukan yang S3 kan?
Ada niyh teman kerjanya aku, tapi sayang dia cuma lulusan S1… kaya’a gak cocok buat kamu kan?
Waduch…susah kalau udah S2 mah, pasti yang mau dikenalin mundur duluan…
Gak harus yang S2 juga kan, Aliya?
Mungkin kriteria kamu yang tinggi sekali, apa harus S2 dari Amerika? Atau Perancis?
Udah lah Laila, jangan nyari yang tinggi-tinggi, kan yang biasa aja tapi sudah mapan bisa juga… kenapa mesti yang lulusan LN?
Kenapa dibolehin S2 dulu bu? Kasihan ntar susah jodohnya, pasti susah orang datang.
Yang ini keren Aliya, baru pulang Master di Jepang. Dosen di Arsitektur plus ganteng bukan kepalang, gimana, berminat?
Dan sebagainya. Masih banyak komentar-komentar lainnya. Aku urut-urut dada kalau mengingat komentar-komentar tak berdalil itu. Laila cekikikan, dia mah kadang-kadang suka gak serius. Padahal ini sudah jadi fenomena yang sangat-sangat serius.
“Memangnya  udah hebat banget ya kita? Mentang-mentang lulusan Master LN?”, tanyaku pada Laila yang lagi-lagi sibuk menulis diblognya. Kurasa dia sedang mencuri kisah ini.
“Hmm… apanya yang hebat? Pacar aja kagak ade? Calon suami aja belum nongol-nongol, jangan tanya suami? Kapan-kapan dah…”, aku terkekeh. Si Laila ngasal jawabnya ah. Tapi ada benernya, hehe.
“Serius La, kenapa orang-orang punya pikiran kita pasti nyari yang pendidikannya paling tidak sebanding dengan kita, padahal itu kan opini yang tak beralasan…”
“Siapa bilang gak beralasan? Satu sisi, opini itu benar adanya…coba lihat sekarang, dari 10 orang dokter, berapa orang yang tidak menikah dengan sesama dokter? Pasti cuma satu orang, dua orang kalau udah beruntung banget…”
“Bener juga ya…”
“Nah, masalahnya orang-orang gak menganggap penting jumlah yang kecil satu or dua orang yang tak memilih sesama mereka. Yang terlihat hanya jumlah yang cenderung memilih sesama dokter dan akhirnya opini itu berkembang sampai kearah yang lain, contohnya lulusan master LN…”
“Dan itu yang jadi permasalahnya, kasihan sekali orang-orang seperti kita yang lebih memilih aqidah sebagai kriteria dasar…”
“Yup, makanya kita harus ubah presepsi itu…”
“Kalau ditawarin Master lulusan Jerman atau Amrik, tanya dulu S2nya itu “Selalu Shalat (S2) atau Sarjana Level 2” saja?”, ucapku nyeplos namun serius.
“Nah, pinter kok non Aliya, hehe”, Laila kembali menatap layar laptopnya. Aku tersenyum.

Bener kan? Ngapain jauh-jauh sekolah ke Amrik, Kanada, Jepang, atau Jerman dan bahkan ke Kutub Utara sekalipun, kalau shalatnya bolong-bolong. Itu pun kalau pun dia shalat. Untuk apa ijazah Master LN kalau omongannya setinggi langit dan sering berdusta? Kami tak butuh laki-laki lulusan LN dengan predikat cumlaude, tapi sering mengeluh bukannya bersyukur kepada Allah atas nafasnya hari itu.

Yang penting itu kan seorang lelaki yang bisa menjadi imam yang baik bagi keluarga kami kelak, siapa dan lulusan apapun dia. Lelaki yang baik budi pekertinya juga ilmu dunia akhiratnya. Baik harta dan juga rupanya. Yang terakhir itu bonus dari Allah ^_^

Laila pernah memberiku sebuah kutipan doa Rasulullah SAW,
Duhai Tuhan Pemilik Sifat Maha Sempurna, anugerahkan dia lidah yang jujur, yang tiada berkata kecuali kebenaran, hati yang mampu menikmati kedermawanMu dalam setiap kejadian, yang tiada berdetak kecuali dengan pujian kepadaMu. Anugerahkanlah dia cinta kepadaku dan cinta kepada orang-orang yang mencintaiku. Dan jadikanlah semua persoalan hidupnya menuju kebaikan”

Kalau Rasul saja sudah berdoa sangat baik seperti itu, apalagi yang kita cari? Bukan ijazah Master lulusan LN.