“You Oke?”, aku mengangguk walaupun luka di kakiku
terasa semakin perih. Namun lagi-lagi, tanpa pikir panjang, pertanyaan yang
seharusnya tak kutanyakan itu keluar begitu saja.
'Harriernya mana?”, tanyaku polos dan kini wajah Zack
sedikit bengong dan detiknya dia tersenyum. Hanya tersenyum tanpa merespon
pertanyaanku. Kini aku sadari satu hal lagi darinya, lelaki charming itu sering
sekali menjawab pertanyaan hanya dengan senyuman (mungkin dia sadar, senyumnya
maut).
Zack memberikan payungnya padaku dan bergegas
membangunkan motor matikku. Kupandangi tubuh itu dari belakang, kenapa dia, Ya
Allah? Zack, sebenarnya kamu itu siapa? Kenapa disaat aku bahkan tak
memikirkanmu kamu ada, sedang disaat aku ingin bertemu, kamu lenyap entah
kemana. Lelaki itu terlihat begitu kesulitan menghidupkan matikku. Dia rela
tubuhnya di guyur hujan, disaat seseorang yang aku harapkan, mungkin tak
memikirkan keadaanku sama sekali. Dia rela menggigil, ketika sebenarnya dia
begitu nyaman didalam mobilnya.
“Ahh..”, nyeri perutku seakan tak mau kalah. Kini
bahkan nyeri itu semakin menjadi-jadi. Ada rasa cemas jika haidh malah datang
disaat begini.
Aku tak tega melihat Zack diguyur hujan, sementara aku
hanya bisa terduduk lemah dipinggir jalanan ini. Kukumpulkan seluruh kekuatanku
hanya untuk bisa melangkah menuju Zack. Aku berhasil bangkit dan dengan sisa
kekuatan, kulangkahkan kakiku. Ku payungkan dia, dan kini aku sadar betapa
tingginya Zack ketika aku telah berdiri disampingnya. Dia menoleh ketika sadar
hujan tak lagi mengenai tubuhnya.
“Kamu gak apa-apa?”
“Seharusnya aku yang tanya, kamu gak apa-apa diguyur
hujan deras?”, tanyaku. Zack lagi-lagi tersenyum dan mengacuhkan pertanyaanku.
Mungkin inilah hikmah yang Allah berikan, ketika aku meratapi kesakitan
perasaanku karena merasa dikhianati, Allah mengirim senyuman dari wajah indah
milik Zack. Senyumnya benar-benar membawa aura positif saat itu. Aku bersyukur
dalam hati. Dan…
Satu hal lagi yang kini aku sadari tentang dia ketika
aku benar-benar berada dekatnya. Zack harum. Sejak awal bertemu dengannya, aku
memang merasakan sesuatu aroma yang berbeda darinya. Fakta pertama, tubuhnya
tak berbau dupa (yang selama ini ku claim sebagai aroma tubuh Chinese, padahal
tidak semua mereka berbau itu). Fakta yang menarik, aku seperti kenal aroma yang
datang dari Zack, tapi aku tak bisa memikirkan aroma apa itu. Dan yang paling
membuatku nyaman ketika aroma itu tak sekeras parfum khas lelaki. Kupalingkan
muka, karena aku sadar ini tidak baik ketika aku menikmati ini semua…
Zack masih terus saja menghidupkan motorku. Kakiku
sudah mulai keram, kulirik sekilas dan darah masih saja keluar dari luka itu.
Apa aku harus memberitahu Zack? Dia sudah cukup terbebani dengan membantuku.
Aku pun kembali membisu, namun aku benar-benar kesakitan. Dan akhirnya kekuatanku
lenyap, aku terjatuh bersadar di motorku. Zack menoleh.
“Nadine, kenapa?”, tanyanya dan aku meringis kesakitan
memegang kakiku.
“Kakimu berdarah! Kita kedalam mobil ya? I’ll drive you
to hospital…”, ucapnya.
“Zack, aku gak mungkin meninggalkan motorku…”
“I know…! Yang penting sekarang kita ke mobil dulu dan
kita pikirkan disana. It’s pouring! Very heavy!”, aku pun menyetujui dan
berbalik membelakanginya dan menuju mobil.
“Wait!”, aku lagi-lagi menoleh.
“Tunggu disini sebentar!”, Zack pergi menuju mobilnya
dan semenit kemudian kembali dengan sebuah kain seperti kain Bali.
“Put this on you!”, ucapnya memberikan kain itu padaku.
Aku bengong. Aku memang sudah basah, untuk apa lagi…?
“Kenapa?”, tanyaku dan untuk kesekian kalinya dia hanya
menjawab dengan senyuman.
Aku dengan agak
kesulitan memasangkan kain itu. Kakiku benar-benar keram dan akhirnya
kuberanikan diri...
“Zack, boleh kah?”, tanyaku ketika aku benar-benar
kesulitan berjalan. Aku perlu memegang lengannya untuk menyangga tubuhku. Aku
tahu, Allah pasti memaklumi jika keadaan darurat.
“Sure!”
***
Entah apa yang terjadi, lagi-lagi perasaan kecewa itu
datang ketika aku sudah berada didalam mobil. Jazz silver ini benar-benar
mengingatkan aku lagi pada lelaki itu. Sebuah holy cross yang tergantung di
spion depan mobil tak begitu mampu membuatku bergidik, aku benar-benar tangah
sibuk dengan perasaan kecewaku. Apalagi ketika dari spion samping aku melihat
motor yang sangat kusayangi itu berdiri gagah namun tak lagi bergerak. Ada rasa
sedih luar biasa. Zack masuk dan mulai sibuk dengan handphonenya. Berbicara
dengan seseorang. Aku tak begitu perduli.
“Nadine, aku akan mengantarkamu ke rumah sakit yaa?”
“Enggak Zack, aku hanya mau pulang”, ucapku tanpa
mengalihkan pandanganku dari spion itu. Aku hanya tak ingin meninggalkan
motorku itu. Dia lah yang menjadi saksi bisu betapa terlukanya aku.
“Tapi, nasib scoopyku gimana?”, tanyaku dan kini aku
baru melihat kearahnya yang memang sedang memandang iba kearahku.
“Kita tunggu sebentar yaa, someone I know will take
care of it…”
Aku mengangguk lemah. Jeda kemudian melanda. Mungkin
dalam keadaan biasa aku akan sangat salah tingkah berada diposisi ini ketika
harus berdua saja dalam satu mobil dengan lelaki. Tapi tidak kali ini, aku
bahkan sangat tidak memperdulikan apa-apa, bahkan ketika dari sudut mataku
kulihat Zack memandangku. Aku tak perduli. Aku memang hanya manusia biasa, tapi
ada rasa kecewa yang sangat besar dalam hati ini dan aku menahan rasa sakit
yang luar biasa.
“Nadine, what happened?”, tanya Zack dan aku pun
menoleh.
Kini pandangan kami bertemu. Jeda. Tuhan, apa aku harus
membuka luka ini lagi, bahkan di depan lelaki yang bahkan aku baru mengenalnya.
Aku menunduk dan mendesah.
“Zack, maaf…” Aku belum siap. Aku masih terlalu
pengecut untuk dikasihani.
“That’s oke!”
Beberapa menit kemudian ketika aku masih terdiam,
seseorang yang memang telah dihubungi Zack datang dan membawa pergi motorku.
Zack pun kemudian mengantarku pulang.
***
Didalam mobil aku banyak diam. Hujan masih sangat tega
turun dengan derasnya. Jalanan begitu sepi, hanya beberapa mobil yang lewat.
“Zack…”
“Iya…”
“Kenapa menghilang? Nomormu kenapa tidak aktif? Maafkan
aku Zack…”, tanyaku tanpa menoleh kearahnya. Aku bisa mendengar Zack tersenyum
lirih. Dan ketika aku begitu mengharapkan jawabannya kali ini, lelaki charming
itu hanya meresponnya dengan senyuman. Aku menoleh, ketika kami telah berada di
lampu lalulintas persimpangan Taman sari.
“Zack…”, dia pun melihat kearahku.
“Kenapa kamu suka sekali menjawab pertanyaan dengan
senyuman? Kamu tak suka ditanya yaa?”
“Heh?”, kulihat wajah itu bengong namun di detik
selanjutnya dia kembali tersenyum. Dan kini aku kembali menatap keluar karena
perkiraanku, pertanyaanku telah dijawab hanya oleh sebuah senyuman.
“You know…”, suara itu kemudian memaksaku kembali
menoleh.
“Tidak semua pertanyaan itu..hmm..terkadang harus
dijawab. Sometimes, I prefer to keep the answer for myself, karena
terkadang…hmm…jawaban akan datang dengan sendirinya. Yang paling aku hindari
adalah ketika jawaban itu...hmm...malah menjatuhkan diri sendiri atau bahkan...hmm...membuat
seseorang malu…”, jelasnya panjang lebar dan lagi-lagi tersenyum.
Aku sedikit terpana. Lelaki ini… entah kata apa yang
bisa mendeskripsikannya. Zack, ada sesuatu padamu… yang… entahlah. Dan satu hal
lagi yang aku sadari hari ini, Zack adalah seorang yang sangat suka tersenyum.
Entah berapa pahala yang telah dia punya karena sedekah itu (apa ibadah
terkecil itu bisa Engkau terima Ya Rabb ketika dia berbeda). Dia punya trik
memuaskan setiap mata bahkan sebuah pertanyaan hanya dengan senyumannya yang
semanis air tebu itu.
“Gimana perkembangan fotografimu?”
“Hmm… much better”
“Oia??”, kini mata kami bertemu lagi. Entah berapa juta
rasa syukur ku panjatkan saat Allah memberi aku banyak kesempatan melihat
senyuman itu. Dan tanpa kusadari perasaan sedihku sedikit demi sedikit
teralihkan, karena sepanjang sisa perjalanan percakapan itu berlanjut sampai
aku tidak sadar kalau kami telah tiba dirumah milik ayah dan mamak. Mungkin
karena hujan yang deras hingga membuat pandanganku sedikit kabur.
“We’re home”
“Heh?” aku terkejut dan mulai membiasakan pandanganku.
Dan benar saja, kini kami sudah berada di depan pagar rumahku. Seseorang dengan
sedikit kesulitan membuka pintu pagar. Naisya.
“Zack, how do you know my address?”, dan bisa ditebak,
Zack lagi-lagi hanya menjawab dengan sebuah senyuman.
***
Suara ngaji menghiasi deru hujan sore itu. Zack
langsung pergi setelah mengantarku pulang. Zack menyita handphoneku dan
menjanjikan motorku segera berada dirumah. Dan dia lenyap bersama dengan Jazz
silvernya yang sempat mengelabuiku.
Naisya membantuku masuk. Kebetulan ayah dan mamak
sedang pergi. Naisya beberapa kali menelpon setelah beberapa jam aku
menghilang, namun belum ada kecemasan yang luar biasa (faktanya aku benar-benar
dalam celaka).
“Kak, itu dosenmu? Ganteng banget, jadi dia yang
bernama Mike?”, tanya Naisya ketika membopongku masuk.
“Heh? Itu Zack, dosenku Mike. Kenapa kamu bisa…”
“Lha… dia kan yang beli kue kita sore itu kak!”, aku
terpana. Ya Allah, begitu banyak kebetulan. Pantas saja dia tahu alamat
rumahku.
Terlalu banyak kejutan bersama lelaki charming itu. Aku
tersenyum penuh arti.
“Kak!!”, panggil Naisya ketika aku membuka kain yang
menutupi tubuhku.
“Kenapa siyh?”
“Kamu haidh?”
Aku refleks menoleh kebelakang. Dan benar saja. Oh
Allah, apa ini maksud Zack memintaku memakai kain ini? Pantas saja dia tak
menjawab pertanyaanku, ternyata… dia tak ingin membuatku malu. Tapi, tetap
saja… Aku malu, Allah. Aku harus menyembunyikan kemana wajahku ketika bertemu
Zack nanti? Tidak, aku tak mau bertemu dia dalam waktu dekat. Aku malu.
***
Aku istirahat beberapa hari dirumah mengobati lukaku
(tentunya luka hatiku). Dan hari itu, motor matikku benar-benar datang. Aku
begitu merindukannya. Sekarang dia sudah bisa digunakan kembali. Zack
benar-benar memenuhi janjinya, tapi yang anehnya dia yang menghilang tanpa
jejak.
Beberapa hari dalam masa recoveryku, banyak telpon
berdering untukku (telpon rumah jadi sasaran karena handphone telah
innalillah…). Tapi yang membuatku sedikit sedih, ketika tak satu pun telpon
berasal dari lelaki bernama Faisal. Tapi aku sudah ikhlas, mungkin ini lah
jawaban Allah atas segala doaku. Tapi, umminya beberapa kali menelpon
menanyakan kabarku. Aku benar-benar tak mengerti.
Maka disaat aku menikmati masa-masa istirahatku,
seseorang datang sore itu…
“Ikut aku yuk!”, ajaknya ketika aku sedang asik didepan
TV.
“Kemana?”
“Temenin aku sebentar aja…!”, Ihh…dasar ni sepupu, gak
ada pengertiannya sama sekali. Apa dia amnesia kalau aku lagi sakit?
“Ki, aku kan lagi sakit, jalan aja masih perlu
bantuan…”
“Aku bantu dech! Aku janji kamu gak akan menyesal kalau
ikut aku…”
Akhirnya aku pun terpaksa ikut Kiki, dia dengan sangat
konsistennya menyimpan rapat kemana tujuan kami, bahkan ketika mamak mengancam
tak mengizinkan aku pergi jika tak jelas tujuan, Kiki hanya bisa merayu hingga
mamak ku termakan rayuan buayanya.
Awalnya aku curiga dia ingin mengajakku kemana, namun
ketika dia mengarah ke kiri dari Neusu, aku sudah ada bayangan akan diajak
kemana. Dan memang ternyata dia mengajakku ke rumah ini. Aku sangat mengenal
rumah in beserta orang-orang didalamnya. Namun, satu yang membuatku enggan
masuk, yaitu ketika aku melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah itu. Aku
sangat yakin, itu bukan milik empunya rumah, karena itu Jazz Silver dengan plat
BL 414 JO.
“Ki, kita pulang aja…”, ucapku saat Kiki memarkir
mobilnya tepat disamping si Silver.
“Kamu mau ini selesaikan gak?”, wajah yang biasanya
jarang sekali serius itu kini terlihat sungguh-sungguh dengan perkataannya. Aku
mendesah. Aku mau ngomong apa? Memang pertanyaan Kiki benar adanya.
“Makanya aku ajak kamu kesini, biar semua jelas…”
Kami masuk. Di ruang tengah itu, aku lihat Kak Dira
sedang berbicara sangat serius dengan lelaki itu.
***
“Kakak benar-benar gak tahu permasalahan kalian berdua
apa. Kalau memang ada kendala, yaa…dibicarakan, kenapa mesti diam-diaman? Yang
lebih parah kalau malah membuka hubungan dengan yang lain…”, ucap Kak Dira
sambil melirik tajam kearah Bang Faisal. Aku hanya bisa menunduk. Kiki sudah
dari tadi meninggalkanku, dia sedang asik bersama anak-anaknya Kak Dira.
“Bukan seperti itu Kak! Sebenarnya aku juga tak ada
hubungan apa-apa dengan Vina, mungkin Nadia salah paham saja…”, jawab lelaki
itu dan kontan membuatku mendongak. Apa? Dia bilang aku salah paham? Seorang
perempuan menggandeng tangannya dibilang tak ada hubungan apa-apa? Namun
kutahan semua pertanyaan emosi itu, dan aku hanya mendesah dan beristighfar.
“Nadia, say something! Kakak tahu kamu tidak mungkin salah paham kalau kamu tidak melihat
sesuatu yang…”,
“Oke Kak! Memang ketika bertemu Nadia, Vina sedang
menggandeng tanganku… sebenarnya, kami juga diperkenalkan oleh teman. Aku tak
enak hati ketika harus menolak berkenalan dengannya, jadi…”, potong Bang Faisal
ketika Kak Dira memintaku bicara. Dan akhirnya pengakuan itu keluar dari
mulutnya. Kak Dira terlihat terkejut, aku merasakan sakit dihatiku. Aku
teringat ketika beberapa kali teman ingin menjodohkanku, tapi aku merasa harus
menghargai proses dengan lelaki di depanku ini, terlepas dari perasaan yang
memang tak kusadari telah tumbuh perlahan untuknya. Sekarang malah, aku adalah
korban dari ketidakmengertiannya akan proses ini. Tapi, lagi-lagi kusimpan
semua argument emosi itu dalam hatiku. Aku lebih memilih diam. Aku benar-benar
berusaha menjaga perasaanku, kugigit bibirku dan kutelan segala perih yang
sudah terlanjur menusuk-nusuk hatiku.
“Faisal, seharusnya kamu menghargai prosesmu dengan
Nadia… hmm, Kakak memang bukan seorang ahli agama. Tetapi ketika kamu sedang
menjalani sebuah proses dengan seseorang, apa pantas kamu membuka hubungan
dengan yang lain. Yaa..hmm, walaupun kita sama-sama tahu, ini hanya sebuah
proses pengenalan, tapi…”
“Aku mengerti, Kak! Nadia, saya minta maaf…”, dan
lagi-lagi aku hanya diam. Aku tahu kedua wajah itu sedang menunggu responku.
Then what?
“Nadia…”, panggil Kak Dira lembut. Aku masih diam.
Sebuah telpon membuyarkan keheningan. Kak Dira bangkit. Dan tinggallah kami
berdua disini. Detik-detik selanjutnya hanya keheningan diantara kami,
sayup-sayup terdengar suara Kak Dira sedang berbicara di telpon.
“Nadia… saya benar-benar minta maaf. Saya
sungguh-sungguh minta maaf, mungkin kita masih bisa memperbaiki ini semua, kamu
mau kan? Hmm… I don’t know it’d hurt you too deeply!”, aku mendongak mendengar kata-kata
terakhirnya. Tuhan, apakah sebegitu terlukanya aku hingga begitu terlihat dari
raut wajah atau tingkahku?
Kini pandangan kami bertemu. Lama kutatap mata itu,
berusaha mencari kesungguhan disana. Tapi, detakan itu… Ah… Apa perasaan itu
memang sudah terlanjur ada? Entah siapa yang salah, yang jelas kini dia jengah
dan menunduk. Apa ini artinya?
Kiki masuk bersamaan dengan datangnya Kak Dira.
“Ki, antar aku pulang yaa??”, ucapku untuk pertama
kalinya. Aku berusaha bangkit. Kulirik sekilas lelaki itu, dia masih menunduk.
Aku juga tak mengerti, tapi yang jelas aku telah salah tentangnya dan yang
paling menyakitkan ketika menyadari bahwa kini aku benar-benar telah jatuh
hati. Aku bahkan tak sanggup mengungkapkan kekecewaanku dan menelannya sendiri.
Apa aku memaafkannya?
***
Maka seminggu setelahnya, keluarga Bang Faisal datang.
Menanyakan kesediaanku juga kesiapanku. Can you imagine? Disaat aku begitu
terluka, dan tanpa kusadari aku telah jatuh hati dan disaat itu juga aku
dilamar.
“Nadia butuh waktu untuk istikharah…”, ucapku lirih.
Ironis sekali nasibku. Seharusnya disaat begini,
seorang perempuan begitu berbahagia, karena seseorang yang memang dia harapkan
datang menjemputnya, benar-benar datang. Namun, I am not. Aku gundah. Hatiku
sudah pasti ingin menjawab iya disaat itu juga, tetapi tidak logikaku.
Naisya juga Kiki mungkin yang paling mengerti
perasaanku sekarang. Bahkan kedua keluarga tak ada yang tahu. Kupinta mereka
juga Kak Dira untuk merahasiakan ini. Entah apa alasanku. Yang jelas, aku hanya
tak ingin lukaku membesar dengan kesedihan yang juga dirasakan orangtuaku.
Aku jatuh cinta Allah. Namun, logika tak menginginkan
rasa ini untuk lelaki itu.
Beberapa kali aku melakukan shalat istikharah, namun
belum ada tanda yang meyakinkan apakah jawabannya iya atau bukan.
***
Hujan begitu derasnya diluar. Petir seperti
bersahut-sahutan. Lukaku sudah sembuh total. Aku pun melangkah menuju jendela,
melihat hujan seperti tumpah gak karuan dari langit yang memang terlihat begitu
gelap. Ah… it’s been three weeks setelah kejadian itu, dan suasananya tepat
seperti hari ini. Tiba-tiba aku seperti mengingat sesuatu…
“Zack!”, ucapku lirih pada diri sendiri. Kemana lelaki
charming itu. Dia benar-benar seperti menghilang tanpa jejak. Aku menyesal dulu
pernah berucap tak ingin bertemu, kini aku ingin bertemu. Dia apa kabar yaa?
Aku tak berjualan jadi aku pun tak berbelanja karena kecelakaan kecil itu.
Ternyata memang benar, Zack seperti hantu. Dia muncul tepat ketika aku tak
memikirkannya, namun ketika begini dia seperti menghilang.
***
Ruang itu asing. Aku tak kenal sama sekali. Ketika aku
akan melangkah keluar, tanganku seperti ada yang menarik. Wajah itu membuatku
terpana. Ummi.
“Nadia mau kemana?”
“Ummi, kita dimana? Nadia mau pulang…”
Wajah sendu nan cantik itu tersenyum dan kini telah
merangkulku.
“Kenapa pulang? Ini kan sebentar lagi akan jadi rumah
Nadia juga…”, ucapnya sambil menyentuh kedua pipiku. Tatapannya penuh kasih
sayang.
“Maksudnya Ummi? Ini rumah siapa?”
“Setelah kamu menikah dengan Faisal, kamu akan jadi
keluarga kami juga, dan rumah ini adalah rumahmu juga…”, jawabnya dan kemudian
ditutup dengan memelukku. Aku terpana. Menikah? Aku masih kebingungan ketika
dikejauhan kulihat tubuh seorang lelaki membelakangi kami. Tiba-tiba wajah itu
berbalik… Bang Faisal. Dia tersenyum dan kemudian lagi-lagi berpaling dan
menunduk. Tapi, kenapa dia tidak kemari? Kenapa dia berdiri jauh disana?
Aku pun terbangun. Hanya mimpi. Hah? Bukan…bukan, it is
not just an ordinary dream. It’s the answer. Ini lah jawaban yang selama ini
aku tunggu-tunggu setelah beberapa minggu istikharah. Rabb, begitu jelas! Apa
ini jawabanMu?
***
Kedua orang tua beberapa kali menanyakan keputusanku.
Sudah hampir sebulan aku belum juga memberi jawaban, sedang keluarga Bang
Faisal menunggu keputusanku. Apa aku harus bercerita tentang mimpiku?
Mimpi itu sangat jelas, tetapi aku merasa ingin
memastikannya sekali lagi. Dan aku pun meminta waktu lagi. Dan lagi-lagi, mimpi
yang sama datang berulang-ulang, bahkan menjadi langganan tidurku beberapa hari
selepas aku istikharah.
Aku mengutarakan apa yang aku alami kepada kedua orang
tua. Keduanya mengucap hamdalah. Ada perasaan tenang dihatiku, namun ada
sedikit keresahan disana. Allah, apa aku belum bisa melupakan kejadian itu?
Seharusnya jika memang ini jawabanMu atas kebimbanganku, semuanya akan
baik-baik saja. Maka aku mulai menenangkan hati dan senantiasa berpikiran
positif, toh selama ini komunikasi yang ditawarkan Bang Faisal sangat luar
biasa baik.
Keluarganya datang lagi untuk melamarku secara resmi.
Kulihat wajah Ummi sangat bahagia, ada kesejukan yang luarbiasa di sudut
hatiku. Aku patut bersyukur, ketika calon ibu mertuaku itu dengan sangat baik
menerimaku. Diputuskan bahwa tepat dua bulan sebelum aku berangkat, kami akan
menikah. Yaa… aku bahkan tak menyangka, aku akan segera menikah.
***
Sebuah telpon membangunkanku malam itu. It’s 2 a.m.
Siapa siyh? Nomor asing. Aku ogah-ogahan menjawab telpon itu.
“Halo…”
“Hei… Nadine?”
Mendengar panggilan itu, aku yang sedari tadi
ogah-ogahan, bangkit.
“Zack!!”
“Hei, kenapa? Your voice is too loud…”
Lelaki charming ini benar-benar misterius. Ketika aku
sedang mengingatnya, jangan harap dia akan nongol, tetapi ketika aku bahkan tak
ingat dia sama sekali, dia datang seperti hantu.
“Kemana aja? It’s been so long!”, kudengar suaranya
seperti terkekeh.
“Sedikit menyibukkan diri… apa kabar?”
“Alhamdulillah sehat. Zack… kamu dimana? gak lagi di
Aceh yaa?”, saking excited akan dirinya, aku bahkan lupa menanyakan kembali
kabarnya.
“You’re impolite. You even don’t ask my condition!
Dasar Nadine!”, biasanya aku tertawa dengan ucapan bercandanya itu, tapi kali
itu aku benar-benar serius. Aku merindukan lelaki ini Tuhan! No, no… kamu sudah
dalam lamaran seseorang, Nadia! Aku mengingatkan diri sendiri dan langsung
beristighfar dalam hati.
“Zack, seriously! Where are you?”
“Hmmm… do I need to answer that?”
“Zack, it’s 2 in the middle of the night, don’t ask me
to debate you…”
“Hahaa… I’m fine here, don’t be too worried!”
“Zack…”, lagi-lagi dia mempermainkanku.
“Haha… I am in somewhere on the globe, Nadine! We’ll
see each other soon!”
Dan kalau sudah begini, Zack memang tak ingin dipaksa.
Lagian apa urusanku tentang keberadaannya. Jeda.
“Is it midnight there?”
“Iyaa… ganggu orang tidur aja,” lagi-lagi dia terkekeh.
“Kenapa bisa tiba-tiba nelpon?”, tanyaku selanjutnya
karena aku merasa kalau tidak aku yang bertanya, maka jeda akan melanda lagi.
Dan itu yang paling aku hindari.
“Hmm… I have no idea, why!!”, aku terpana.
Jangan-jangan dia juga… Zack, bilang aja kalau kamu lagi kangen aku kan?
(Hoho…pe de ku sedikit keterlaluan, maklum tengah malam, lha…apa hubungannya??
hehe)
“Sepertinya karena aku melihat seorang gadis lagi
mengendarai vespanya tadi, jadi aku ingat kamu, ketika kamu melaju dengan motor
matikmu itu, hehe… Yaa…hmm…mungkin karena itu…”
Aku tertawa sendiri. Seharusnya aku sadar diri, mana
mungkin “bulan” merindukan “pungguk”, haha.
“Zack, gimana kabar fotografimu?”
“Well, beberapa waktu ini, aku jarang pegang kamera…
kelihatannya belum berkembang banyak…”
“Biasakan dengannya Zack. Menurutku, walaupun kameramu
hanya benda mati, tapi ketika kita membiasakan diri, pasti ke depan lebih baik.
Just take some pictures! Stone, birds, children, anything you see on your walk!
Pasti diantara seribu, ada yang luar biasa dan bisa belajar banyak dari
pengalaman foto-foto itu…”, ucapku sambil menguap.
“Alright expert!”
“Hehe… Zack, it’s midnight. I am sleepy!”
“Just have another sleep, Nadine. Bye!”
Dan berakhirlah obrolanku dengan lelaki charming yang
memang sudah aku rindukan beberapa waktu ini. Dan ketika terbangun dipagi hari,
aku merasa itu hanya mimpi dan buru-buru mengecek panggilan masuk. Ternyata
benar! Ada nomor asing disana! Yes, Zack menelponku. Lho??
***
“Akhirnya kamu akan segera menikah yaa?? Kamu yakin,
Nad?”, tanya Kiki di sela-sela istirahat kami selepas jogging pagi itu.
Biasanya aku cuek dan menganggap pertanyaannya itu konyol, tapi tidak kali itu.
Aku menatapnya sekilas dan detik selanjutnya diam. Aku sangat mengerti arah
pembicaraannya. Dari sudut mataku kulihat Naisya menyikut lengan Kiki.
“Haha, becanda Nad! Maksudku, aku gak yakin karena kamu
kan masih malas bangun pagi. Tadi pagi aja, susah banget dibangunin…”, sambung
Kiki dengan nada yang sangat kaku. Aku tertawa sedikit dipaksa. Dia berusaha
mengarang, sudah jelas tadi pagi aku dan Naisya yang duluan kerumahnya, jadi…
Ah, sudahlah.
“Eh..eh, jangan pada serius amat ah! Eh, beberapa
minggu ini, Sya gak dengar kalian berdua nyebutin nama Zack…”
“Oia… aku lupa cerita. Ini tentang Zack, minggu lalu
aku nemenin bunda belanja, dan seperti biasa Nad, karena niatku memang mau
bertemu si Zack, tapi selalu saja dia tak nongol, haha. Dan ternyata kata Joan,
Zack lagi pulang kampung…”, aku sedikit terpana. Ternyata aku memang tak
bermimpi, nomor asing itu memang punya Zack. Aku tersenyum sendiri.
“Pulang kampung? Ke Cina?”, tanya Naisya.
“Nope… ke Perancis!”, jawaban Kiki sontak membuat
Naisya ternganga. Aku tersenyum.
“Waah… blasteran yaa? Bagus tuh buat perbaiki keturunan
Ki, hidungmu kan kurang mancung, hehe…”, aku dan Naisya terkekeh.
“Haha, ngaco! Senang di aku, kasihan si Zack!”
“Walaah, tumben banget kamu mikirin orang…”, ucapku.
Kiki tersipu.
“Itu baru namanya cinta yang tulus, Nad”
“Haha... seperti judul lagu, cinta yang tulus…”,
sambung Naisya.
***
Dua minggu pun berlalu.
Semuanya baik-baik saja. Ya… everything is much better
now. Kuliahku Alhmadulillah lancar, daganganku juga baik dan yang detik ini
paling kuanggap penting adalah ketika hubungan dan komunikasiku dengan calon
suamiku berjalan baik dan lancar. Dia benar-benar membuktikan bahwa dia kini
telah sungguh-sungguh serius. Kiki juga memastikan bahwa dia sudah tak
berhubungan lagi dengan Vina. Aku mulai menikmati perasaanku padanya (Yaa…aku
sadari, sebenarnya belum pantas aku menikmati rasa itu, tapi… you know, I am not
an angel yet I am just a human being with uncountable mistake and unreasonable
wishes).
Maka ketika di sore minggu itu, aku diajak menemani
Bang Faisal mencari beberapa kemeja di Mall (tanpa kusebutkan pun, tentu kalian
tahu Mall apa itu karena Cuma satu-satunya di Banda Aceh, hehe), aku girang
bukan main. Namun, karena aku tak biasa berduaan dengan lelaki, konon ini bakal
suamiku maka aku mengajak Kiki dan Naisya bersamaku.
Kiki dan Naisya berada dilantai dasar ketika aku dengan
Bang Faisal sedang memilah milih kemeja untuknya. Mereka berdua memang sengaja memberi
kesempatan kami berkomunikasi (tidak berdua-duaan kok, kan ditempat umum).
“That’s good on you, take it!”, ucapnya ketika kami
iseng-iseng mencoba sunglasses. Beberapa kali kita saling potret dengan kamera
handphone seadanya dan dengan gaya yang tidak jelas (kampungan kan? Tapi aku
bahagia, karena kini aku menikmati saat-saat bersamanya).
“No, I don’t need this!”, ucapku sambil meletakkan
kembali kacamata coklat bermerek D&G itu.
“Nadia… just take it!”, ucapnya dengan wajah seperti
memohon dan aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng.
“Hei… try this! It must be good on you!”, ucapku sambil
memasangkannya sebuah kacamata yang kuanggap akan bagus diwajahnya. Dan aku
benar-benar terpana dan detik selanjutnya aku hanya mengucap syukur didalam
hati. Lelaki itu terlihat sempurna dan dia yang akan menjadi pendampingku
nanti. Hatiku bingung antara senang atau minder.
“Hmm… how? Bagus?”, tanyanya mengejutkanku.
“Perfect!”, ucapku singkat. Dan selanjutnya waktu
seperti berhenti ketika mata itu juga membalas tatapanku. Namun cepat-cepat aku
sadari kesilapanku itu…
“Yaa…pilihan Nadia kan memang best, hehe!”, candaku
karena faktanya aku sedang menyembunyikan kegugupanku. Lelaki itu hanya
terkekeh.
***
Bang Faisal benar-benar membelikanku. Padahal aku sudah berulang kali menolak. Aku
mulai mengitari etalase aksesoris dan memikirkan alasan apa yang akan kuberikan
pada mamak dan ayah nanti. Tiba-tiba…
“Hei… calon pengantin dilarang melamun, ntar dirayu
setan lho! Hehe…”, ucap suara yang sangat kukenal itu.
“Hadist riwayat siapa itu?”, tanyaku sewot sambil terus
melihat-lihat pin jilbab. Kiki terkekeh. Dia dan Naisya memang telah berdiri
disampingku dengan masing-masing memegang sebuah kantong belanjaan kecil.
“Mbak Nadia, calon suaminya mana? Kamu gak ditinggal
bayar kan? Haha”, ucap Naisya yang kini mulai ikut-ikutan membuatku sewot. Aku
hanya menjulurkan lidah (siapa juga yang ditinggal bayar, malah aku dibayarin),
namun ku simpan kalimat itu didalam hati mencoba menjaga imej sebagai gadis
baik-baik, haha.
“Oh iya, lupa. Nad, kamu ketemu Zack gak?”, dan
mendengar nama yang memang sudah lama tak terjamah itu aku menoleh.
“Zack?”
“Iya Kak, tadi kita ketemu dia dicounter kamera.
Sepertinya lagi nanya tentang lensa kamera. Nih, si Kiki keliatan banget
terpesonanya, risih amat…”, ucap Naisya dan Kiki hanya terkekeh sambil menyikut
lengan Naisya. Aku tersenyum maklum (sudah kuduga).
“Dia sudah kembali?”, sudah beberapa waktu berlalu
ketika terakhir kali dia menelponku. Dan sudah hampir sebulan ketika lelaki
charming itu menjadi pahlawanku dihari naas itu. Zack...
“Terus kak, dia nanyain kamu mulu…”, sambung Naisya
dengan mengedip-ngedipkan matanya seolah-olah menggodaku.
“He-eh! Dasar si Zack, udah jelas-jelas aku yang jomblo
ada didepannya, eh…malah nanya yang udah mau merit…”, aku tertawa.
“Oia?? Padahal aku gak berutang lho sama dia, hehe…”,
candaku dan faktanya aku sedikit bangga Zack masih mengingatku.
“Iyaa, malah tadi waktu kami bilang kamu lagi shopping
baju disini, dia katanya mau nyusul karena mau ketemu kamu… Ketemu gak?”
“What? Zack kemari?”
“Ho-oh… gak ketemu?”, tanya Kiki dan aku menggeleng.
Zack kemari? Kok bisa gak ketemu yaa?
“Yaah…berarti terbukti gak jodoh Nad, hehe. Mall segini
sepi, masa dia gak bisa ngeliat kamu… Hore, hari ini aku beruntung…”, ucap Kiki
girang. Aku geleng-geleng. Tapi salah satu sudut hatiku penasaran. Kenapa bisa
tak bertemu yaa? Apa Zack tak jadi kemari? Atau…
“Oke, udah selesai belanjanya?”, suara Bang Faisal
membuyarkan lamunanku. Kami bertiga mengangguk.
***
Dua minggu pun berlalu lagi…
Again, everything is much better.
Dua hari lalu semuanya malah sangat baik bagiku ketika
Bang Faisal tiba-tiba datang mengejutkanku dan Naisya disaat kami sedang berjualan
sore itu. Dia bahkan dengan semangat membantu kami melayani pelanggan. Ada hawa
sejuk yang tiba-tiba merasuk ketika melihat wajah itu tersenyum. Yaah…that’s
me! Ketika semuanya berjalan begitu mulus, aku malah membuatnya sedikit kacau.
Ketika aku dengan sangat nyamannya memandang wajah itu, seseorang menyikut
lenganku…
“Ehem… siapanya siyh Nadia? Ganteng yaa…”, ujar Icut,
salah satu pelangganku yang memang sepertinya sudah sedari tadi memanggilku dan
tak ku perduli karena terlalu sibuk dengan wajah lelaki itu. Aku tersipu malu
dan langsung mengambil pesanannya.
“Siapa siyh?”, tanyanya lagi.
“Heh?”
Wajah itu kemudian tersenyum menggoda.
“Calon suaminya Kak…”, jawab Naisya tiba-tiba dari
sampingku.
“Ooh… pantes!”, ucap Icut dan aku tersenyum kaku.
Lelaki itu memang sangat berubah drastis. Aku bisa
melihat dia berusaha sangat baik membuatku nyaman dan yang paling jelas
membuatku semakin berbunga-bunga (yang terakhir ini sedikit membuatku was-was,
maklum aku tipe yang sangat sulit jatuh hati). Dia memang bukan tipe lelaki
yang senantiasa memberikan perhatian dengan sepanjang hari menanyakan kabar,
tetapi dia lebih dari itu. Walaupun dia bukan seorang lelaki yang imannya
sangat sempurna tapi pengetahuan agamanya bagus, poin pertama yang dia dapat.
Dia berusaha sekali menempatkan keluargaku diposisi yang sangat baik baginya
dan itu sangat penting buatku dan itu poin kedua. Sikap yang sopan dan pintar
menempatkan diri dimana pun berada membuat dia mendapatkan poin ketiga. Dan
banyak hal-hal kecil, namun penting bagiku membuatnya berhak mendapatkan poin
selanjutnya. Kurasa itu sudah sangat cukup membuat kuncup bunga hatiku
bermekaran.
***
“Kita langsung pulang kan Ka?”, tanyaku ketika sore itu
Rika (teman sekampusku) mengajakku menemaninya membeli roti di Sativa Bread and
Bakery.
“Yohaa... tapi kita singgah sebentar di pasar yaa, aku
mau beli bahan makanan untuk nanti malam...”
Maka aku pun dengan patuhnya duduk di bangku belakang
motornya Rika. Dia berbelok ke arah Purnama dan Kojex 88, dan aku mulai
mengingat sesuatu. Ya Allah... sudah hampir dua bulan ketika terakhir kali aku
melihat lelaki charming baik hati dan misterius itu. Aku ingin sekali melihat
dia, Tuhan. Kupasang mataku hingga akhirnya kami melewati tokonya Joan. Dan
seperti menjawab doaku, seorang lelaki muda sedang berjongkok dan terlihat
sangat asik namun serius dengan DSLRnya memotret-motret semua benda-benda kecil
di sekelilingnya. Beberapa kali dia terlihat kurang puas dan mengulang
memotret. Meskipun dengan balutan pakaian yang casual dan ekspresi tanpa
senyuman, lelaki itu tetap menjadi aktor utama sore itu (SubhanAllah... Kamu
benar-benar terpahat dengan baik Zack!). Aku merasa aneh dengan diri sendiri,
apa saking terpananya aku sampai tak menyapanya? Hmm... Tidak! Semuanya pasti
ada waktu yang baik, aku percaya hari ini memang bukan sceneku dengannya. Jadi,
kutinggalkan Zack dengan aktifitasnya.
***
Aku merasa hari ini juga milikku. Aku terus saja tersenyum
setelah menerima telpon itu. Hari ini jadwal kuliahku sangat padat, jadi aku
berencana tak pulang. Dan yang membuatku riang adalah ketika Bang Faisal
menyempatkan diri ingin mengantarkanku bekal makan siang. Aku sudah berusaha
menolak karena mengingat jarak kantornya dan kampusku. Namun dia memaksa, dan
dengan sedikit merasa tidak enak aku pun mengiyakan.
Aku bahagia karena secara tidak langsung ini
memperlihatkan keseriusannya. Dan detik-detik menunggu jam istirahat kuhabiskan
tersenyum sendiri didalam kelas. Presentasi yang awalnya terasa sangat
membosankan menjadi begitu asik dan bernyawa.
***
“Dimana?”, tanyaku via telpon pada Bang Faisal yang
memang segera akan datang mengantarkanku bekal makan siang.
“In five minutes yaa?”
Aku pun keluar dari kelas dan menuju tempat parkir. Aku
berencana menunggunya di gerbang kampusku yang memang tidak seberapa luas itu.
Suasana hari itu memang sedikit sibuk dan ramai, karena kebetulan ada acara
pelantikan di Pasca Sarjana dan aku tak tahu siapa yang akan dilantik dan
jabatan apa. Sepanjang pagar dan jalan,
papan bunga ucapan selamat berjejer, mobil-mobil harus diparkir dijalanan
karena area parkir Pasca itu tak cukup luas menampung mobil-mobil (ini bukan
dikarenakan luas area parkir tapi karena rata-rata orang di Banda Aceh sudah
sangat hobi menaiki mesin berkaki empat itu, bahkan tak kusangka dan kuduga,
ketika sebuah merek baru dilaunching beberapa hari, dalam waktu dekat mobil itu
sudah ada yang memiliki disini).
Aku pun berjalan menuju gerbang, hingga sebuah mobil
yang sangat kukenal itu melewatiku. That’s Toyota Harrier putih. Apa itu juga
Zack? Aku tidak hafal plat mobilnya. Mobil itu berjalan begitu lambat menuju
gerbang Pasca dan gerakan itu memberiku kesempatan melihat seksama. Kaca
mobilnya yang 25% gelap itu membantuku mengenali bentuk wajah itu. Ngapain dia
di Pasca ? Iya, itu dia...
“Zack!!!”, panggilku. Dengan kesadaran penuh, bahwa
sangat tidak mungkin lelaki didalam itu mendengarku karena kulihat mobil itu
terus berjalan lambat hingga keluar dari gerbang kampusku, namun aku terus saja
memanggilnya. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya.
“Zack!”, panggilku sambil berjalan tergesa-gesa seolah
mengejar mobil yang memang berjarak tak seberapa jauh itu. Dan lagi-lagi doaku
terkabul, mobil itu berjalan kepinggir dan berhenti. Aku tersenyum bangga
menyadari panggilanku tak sia-sia. Sedikit demi sedikit kaca pengemudi itu
terbuka dan wajah itu pun berpaling. Dia membuka kacamatanya (ini kedua kalinya
aku melihat lelaki itu memakai kacamata dan dengan berbalut kemeja ala eksekutif).
Dan itu...
“Nadia!!!”
Aku menoleh kearah berlawanan. Seorang lelaki sedang
tersenyum sambil menenteng sebuah plastik kecil berisi sebuah kotak makanan.
“Bang Faisal!”, ujarku.
Kupalingkan kembali wajahku kearah Harrier. Kaca mobil
itu kembali tertutup dan sekilas kulihat lelaki didalamnya memasang kembali
kacamatanya dan detik selanjutnya menjauh. Yap! Aku tak mungkin salah, itu
Zack! Tapi dia pergi, kenapa? Zack tidak biasanya begitu, dia pasti menyapa
bahkan disaat dia sibuk sekalipun. Tak tahu kenapa kakiku seperti lemas dan
suaraku menjadi sangat lirih...
“Zack.."