Kamis, 05 Januari 2012

Plot and Me 6 - The Answer...


“You Oke?”, aku mengangguk walaupun luka di kakiku terasa semakin perih. Namun lagi-lagi, tanpa pikir panjang, pertanyaan yang seharusnya tak kutanyakan itu keluar begitu saja.

'Harriernya mana?”, tanyaku polos dan kini wajah Zack sedikit bengong dan detiknya dia tersenyum. Hanya tersenyum tanpa merespon pertanyaanku. Kini aku sadari satu hal lagi darinya, lelaki charming itu sering sekali menjawab pertanyaan hanya dengan senyuman (mungkin dia sadar, senyumnya maut).

Zack memberikan payungnya padaku dan bergegas membangunkan motor matikku. Kupandangi tubuh itu dari belakang, kenapa dia, Ya Allah? Zack, sebenarnya kamu itu siapa? Kenapa disaat aku bahkan tak memikirkanmu kamu ada, sedang disaat aku ingin bertemu, kamu lenyap entah kemana. Lelaki itu terlihat begitu kesulitan menghidupkan matikku. Dia rela tubuhnya di guyur hujan, disaat seseorang yang aku harapkan, mungkin tak memikirkan keadaanku sama sekali. Dia rela menggigil, ketika sebenarnya dia begitu nyaman didalam mobilnya.

“Ahh..”, nyeri perutku seakan tak mau kalah. Kini bahkan nyeri itu semakin menjadi-jadi. Ada rasa cemas jika haidh malah datang disaat begini.
Aku tak tega melihat Zack diguyur hujan, sementara aku hanya bisa terduduk lemah dipinggir jalanan ini. Kukumpulkan seluruh kekuatanku hanya untuk bisa melangkah menuju Zack. Aku berhasil bangkit dan dengan sisa kekuatan, kulangkahkan kakiku. Ku payungkan dia, dan kini aku sadar betapa tingginya Zack ketika aku telah berdiri disampingnya. Dia menoleh ketika sadar hujan tak lagi mengenai tubuhnya.

“Kamu gak apa-apa?”

“Seharusnya aku yang tanya, kamu gak apa-apa diguyur hujan deras?”, tanyaku. Zack lagi-lagi tersenyum dan mengacuhkan pertanyaanku. Mungkin inilah hikmah yang Allah berikan, ketika aku meratapi kesakitan perasaanku karena merasa dikhianati, Allah mengirim senyuman dari wajah indah milik Zack. Senyumnya benar-benar membawa aura positif saat itu. Aku bersyukur dalam hati. Dan…

Satu hal lagi yang kini aku sadari tentang dia ketika aku benar-benar berada dekatnya. Zack harum. Sejak awal bertemu dengannya, aku memang merasakan sesuatu aroma yang berbeda darinya. Fakta pertama, tubuhnya tak berbau dupa (yang selama ini ku claim sebagai aroma tubuh Chinese, padahal tidak semua mereka berbau itu). Fakta yang menarik, aku seperti kenal aroma yang datang dari Zack, tapi aku tak bisa memikirkan aroma apa itu. Dan yang paling membuatku nyaman ketika aroma itu tak sekeras parfum khas lelaki. Kupalingkan muka, karena aku sadar ini tidak baik ketika aku menikmati ini semua…

Zack masih terus saja menghidupkan motorku. Kakiku sudah mulai keram, kulirik sekilas dan darah masih saja keluar dari luka itu. Apa aku harus memberitahu Zack? Dia sudah cukup terbebani dengan membantuku. Aku pun kembali membisu, namun aku benar-benar kesakitan. Dan akhirnya kekuatanku lenyap, aku terjatuh bersadar di motorku. Zack menoleh.

“Nadine, kenapa?”, tanyanya dan aku meringis kesakitan memegang kakiku.

“Kakimu berdarah! Kita kedalam mobil ya? I’ll drive you to hospital…”, ucapnya.

“Zack, aku gak mungkin meninggalkan motorku…”

“I know…! Yang penting sekarang kita ke mobil dulu dan kita pikirkan disana. It’s pouring! Very heavy!”, aku pun menyetujui dan berbalik membelakanginya dan menuju mobil.

“Wait!”, aku lagi-lagi menoleh.

“Tunggu disini sebentar!”, Zack pergi menuju mobilnya dan semenit kemudian kembali dengan sebuah kain seperti kain Bali.

“Put this on you!”, ucapnya memberikan kain itu padaku. Aku bengong. Aku memang sudah basah, untuk apa lagi…?

“Kenapa?”, tanyaku dan untuk kesekian kalinya dia hanya menjawab dengan senyuman.
 Aku dengan agak kesulitan memasangkan kain itu. Kakiku benar-benar keram dan akhirnya kuberanikan diri...

“Zack, boleh kah?”, tanyaku ketika aku benar-benar kesulitan berjalan. Aku perlu memegang lengannya untuk menyangga tubuhku. Aku tahu, Allah pasti memaklumi jika keadaan darurat.

“Sure!”

***

Entah apa yang terjadi, lagi-lagi perasaan kecewa itu datang ketika aku sudah berada didalam mobil. Jazz silver ini benar-benar mengingatkan aku lagi pada lelaki itu. Sebuah holy cross yang tergantung di spion depan mobil tak begitu mampu membuatku bergidik, aku benar-benar tangah sibuk dengan perasaan kecewaku. Apalagi ketika dari spion samping aku melihat motor yang sangat kusayangi itu berdiri gagah namun tak lagi bergerak. Ada rasa sedih luar biasa. Zack masuk dan mulai sibuk dengan handphonenya. Berbicara dengan seseorang. Aku tak begitu perduli.

“Nadine, aku akan mengantarkamu ke rumah sakit yaa?”

“Enggak Zack, aku hanya mau pulang”, ucapku tanpa mengalihkan pandanganku dari spion itu. Aku hanya tak ingin meninggalkan motorku itu. Dia lah yang menjadi saksi bisu betapa terlukanya aku.

“Tapi, nasib scoopyku gimana?”, tanyaku dan kini aku baru melihat kearahnya yang memang sedang memandang iba kearahku.

“Kita tunggu sebentar yaa, someone I know will take care of it…”
Aku mengangguk lemah. Jeda kemudian melanda. Mungkin dalam keadaan biasa aku akan sangat salah tingkah berada diposisi ini ketika harus berdua saja dalam satu mobil dengan lelaki. Tapi tidak kali ini, aku bahkan sangat tidak memperdulikan apa-apa, bahkan ketika dari sudut mataku kulihat Zack memandangku. Aku tak perduli. Aku memang hanya manusia biasa, tapi ada rasa kecewa yang sangat besar dalam hati ini dan aku menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Nadine, what happened?”, tanya Zack dan aku pun menoleh.

Kini pandangan kami bertemu. Jeda. Tuhan, apa aku harus membuka luka ini lagi, bahkan di depan lelaki yang bahkan aku baru mengenalnya. Aku menunduk dan mendesah.

“Zack, maaf…” Aku belum siap. Aku masih terlalu pengecut untuk dikasihani.

“That’s oke!”

Beberapa menit kemudian ketika aku masih terdiam, seseorang yang memang telah dihubungi Zack datang dan membawa pergi motorku. Zack pun kemudian mengantarku pulang.


***

Didalam mobil aku banyak diam. Hujan masih sangat tega turun dengan derasnya. Jalanan begitu sepi, hanya beberapa mobil yang lewat.

“Zack…”

“Iya…”

“Kenapa menghilang? Nomormu kenapa tidak aktif? Maafkan aku Zack…”, tanyaku tanpa menoleh kearahnya. Aku bisa mendengar Zack tersenyum lirih. Dan ketika aku begitu mengharapkan jawabannya kali ini, lelaki charming itu hanya meresponnya dengan senyuman. Aku menoleh, ketika kami telah berada di lampu lalulintas persimpangan Taman sari.

“Zack…”, dia pun melihat kearahku.

“Kenapa kamu suka sekali menjawab pertanyaan dengan senyuman? Kamu tak suka ditanya yaa?”

“Heh?”, kulihat wajah itu bengong namun di detik selanjutnya dia kembali tersenyum. Dan kini aku kembali menatap keluar karena perkiraanku, pertanyaanku telah dijawab hanya oleh sebuah senyuman.

“You know…”, suara itu kemudian memaksaku kembali menoleh.

“Tidak semua pertanyaan itu..hmm..terkadang harus dijawab. Sometimes, I prefer to keep the answer for myself, karena terkadang…hmm…jawaban akan datang dengan sendirinya. Yang paling aku hindari adalah ketika jawaban itu...hmm...malah menjatuhkan diri sendiri atau bahkan...hmm...membuat seseorang malu…”, jelasnya panjang lebar dan lagi-lagi tersenyum.

Aku sedikit terpana. Lelaki ini… entah kata apa yang bisa mendeskripsikannya. Zack, ada sesuatu padamu… yang… entahlah. Dan satu hal lagi yang aku sadari hari ini, Zack adalah seorang yang sangat suka tersenyum. Entah berapa pahala yang telah dia punya karena sedekah itu (apa ibadah terkecil itu bisa Engkau terima Ya Rabb ketika dia berbeda). Dia punya trik memuaskan setiap mata bahkan sebuah pertanyaan hanya dengan senyumannya yang semanis air tebu itu.

“Gimana perkembangan fotografimu?”

“Hmm… much better”

“Oia??”, kini mata kami bertemu lagi. Entah berapa juta rasa syukur ku panjatkan saat Allah memberi aku banyak kesempatan melihat senyuman itu. Dan tanpa kusadari perasaan sedihku sedikit demi sedikit teralihkan, karena sepanjang sisa perjalanan percakapan itu berlanjut sampai aku tidak sadar kalau kami telah tiba dirumah milik ayah dan mamak. Mungkin karena hujan yang deras hingga membuat pandanganku sedikit kabur.

“We’re home”

“Heh?” aku terkejut dan mulai membiasakan pandanganku. Dan benar saja, kini kami sudah berada di depan pagar rumahku. Seseorang dengan sedikit kesulitan membuka pintu pagar. Naisya.

“Zack, how do you know my address?”, dan bisa ditebak, Zack lagi-lagi hanya menjawab dengan sebuah senyuman.

***

Suara ngaji menghiasi deru hujan sore itu. Zack langsung pergi setelah mengantarku pulang. Zack menyita handphoneku dan menjanjikan motorku segera berada dirumah. Dan dia lenyap bersama dengan Jazz silvernya yang sempat mengelabuiku.
Naisya membantuku masuk. Kebetulan ayah dan mamak sedang pergi. Naisya beberapa kali menelpon setelah beberapa jam aku menghilang, namun belum ada kecemasan yang luar biasa (faktanya aku benar-benar dalam celaka).

“Kak, itu dosenmu? Ganteng banget, jadi dia yang bernama Mike?”, tanya Naisya ketika membopongku masuk.

“Heh? Itu Zack, dosenku Mike. Kenapa kamu bisa…”

“Lha… dia kan yang beli kue kita sore itu kak!”, aku terpana. Ya Allah, begitu banyak kebetulan. Pantas saja dia tahu alamat rumahku.
Terlalu banyak kejutan bersama lelaki charming itu. Aku tersenyum penuh arti.

“Kak!!”, panggil Naisya ketika aku membuka kain yang menutupi tubuhku.

“Kenapa siyh?”

“Kamu haidh?”

Aku refleks menoleh kebelakang. Dan benar saja. Oh Allah, apa ini maksud Zack memintaku memakai kain ini? Pantas saja dia tak menjawab pertanyaanku, ternyata… dia tak ingin membuatku malu. Tapi, tetap saja… Aku malu, Allah. Aku harus menyembunyikan kemana wajahku ketika bertemu Zack nanti? Tidak, aku tak mau bertemu dia dalam waktu dekat. Aku malu.

***

Aku istirahat beberapa hari dirumah mengobati lukaku (tentunya luka hatiku). Dan hari itu, motor matikku benar-benar datang. Aku begitu merindukannya. Sekarang dia sudah bisa digunakan kembali. Zack benar-benar memenuhi janjinya, tapi yang anehnya dia yang menghilang tanpa jejak.

Beberapa hari dalam masa recoveryku, banyak telpon berdering untukku (telpon rumah jadi sasaran karena handphone telah innalillah…). Tapi yang membuatku sedikit sedih, ketika tak satu pun telpon berasal dari lelaki bernama Faisal. Tapi aku sudah ikhlas, mungkin ini lah jawaban Allah atas segala doaku. Tapi, umminya beberapa kali menelpon menanyakan kabarku. Aku benar-benar tak mengerti.

Maka disaat aku menikmati masa-masa istirahatku, seseorang datang sore itu…

“Ikut aku yuk!”, ajaknya ketika aku sedang asik didepan TV.

“Kemana?”

“Temenin aku sebentar aja…!”, Ihh…dasar ni sepupu, gak ada pengertiannya sama sekali. Apa dia amnesia kalau aku lagi sakit?

“Ki, aku kan lagi sakit, jalan aja masih perlu bantuan…”

“Aku bantu dech! Aku janji kamu gak akan menyesal kalau ikut aku…”

Akhirnya aku pun terpaksa ikut Kiki, dia dengan sangat konsistennya menyimpan rapat kemana tujuan kami, bahkan ketika mamak mengancam tak mengizinkan aku pergi jika tak jelas tujuan, Kiki hanya bisa merayu hingga mamak ku termakan rayuan buayanya.

Awalnya aku curiga dia ingin mengajakku kemana, namun ketika dia mengarah ke kiri dari Neusu, aku sudah ada bayangan akan diajak kemana. Dan memang ternyata dia mengajakku ke rumah ini. Aku sangat mengenal rumah in beserta orang-orang didalamnya. Namun, satu yang membuatku enggan masuk, yaitu ketika aku melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah itu. Aku sangat yakin, itu bukan milik empunya rumah, karena itu Jazz Silver dengan plat BL 414 JO.

“Ki, kita pulang aja…”, ucapku saat Kiki memarkir mobilnya tepat disamping si Silver.

“Kamu mau ini selesaikan gak?”, wajah yang biasanya jarang sekali serius itu kini terlihat sungguh-sungguh dengan perkataannya. Aku mendesah. Aku mau ngomong apa? Memang pertanyaan Kiki benar adanya.

“Makanya aku ajak kamu kesini, biar semua jelas…”
Kami masuk. Di ruang tengah itu, aku lihat Kak Dira sedang berbicara sangat serius dengan lelaki itu.

***

“Kakak benar-benar gak tahu permasalahan kalian berdua apa. Kalau memang ada kendala, yaa…dibicarakan, kenapa mesti diam-diaman? Yang lebih parah kalau malah membuka hubungan dengan yang lain…”, ucap Kak Dira sambil melirik tajam kearah Bang Faisal. Aku hanya bisa menunduk. Kiki sudah dari tadi meninggalkanku, dia sedang asik bersama anak-anaknya Kak Dira.

“Bukan seperti itu Kak! Sebenarnya aku juga tak ada hubungan apa-apa dengan Vina, mungkin Nadia salah paham saja…”, jawab lelaki itu dan kontan membuatku mendongak. Apa? Dia bilang aku salah paham? Seorang perempuan menggandeng tangannya dibilang tak ada hubungan apa-apa? Namun kutahan semua pertanyaan emosi itu, dan aku hanya mendesah dan beristighfar.

“Nadia, say something! Kakak tahu kamu tidak  mungkin salah paham kalau kamu tidak melihat sesuatu yang…”,

“Oke Kak! Memang ketika bertemu Nadia, Vina sedang menggandeng tanganku… sebenarnya, kami juga diperkenalkan oleh teman. Aku tak enak hati ketika harus menolak berkenalan dengannya, jadi…”, potong Bang Faisal ketika Kak Dira memintaku bicara. Dan akhirnya pengakuan itu keluar dari mulutnya. Kak Dira terlihat terkejut, aku merasakan sakit dihatiku. Aku teringat ketika beberapa kali teman ingin menjodohkanku, tapi aku merasa harus menghargai proses dengan lelaki di depanku ini, terlepas dari perasaan yang memang tak kusadari telah tumbuh perlahan untuknya. Sekarang malah, aku adalah korban dari ketidakmengertiannya akan proses ini. Tapi, lagi-lagi kusimpan semua argument emosi itu dalam hatiku. Aku lebih memilih diam. Aku benar-benar berusaha menjaga perasaanku, kugigit bibirku dan kutelan segala perih yang sudah terlanjur menusuk-nusuk hatiku.

“Faisal, seharusnya kamu menghargai prosesmu dengan Nadia… hmm, Kakak memang bukan seorang ahli agama. Tetapi ketika kamu sedang menjalani sebuah proses dengan seseorang, apa pantas kamu membuka hubungan dengan yang lain. Yaa..hmm, walaupun kita sama-sama tahu, ini hanya sebuah proses pengenalan, tapi…”

“Aku mengerti, Kak! Nadia, saya minta maaf…”, dan lagi-lagi aku hanya diam. Aku tahu kedua wajah itu sedang menunggu responku. Then what?

“Nadia…”, panggil Kak Dira lembut. Aku masih diam. Sebuah telpon membuyarkan keheningan. Kak Dira bangkit. Dan tinggallah kami berdua disini. Detik-detik selanjutnya hanya keheningan diantara kami, sayup-sayup terdengar suara Kak Dira sedang berbicara di telpon.

“Nadia… saya benar-benar minta maaf. Saya sungguh-sungguh minta maaf, mungkin kita masih bisa memperbaiki ini semua, kamu mau kan? Hmm… I don’t know it’d hurt you too deeply!”, aku mendongak mendengar kata-kata terakhirnya. Tuhan, apakah sebegitu terlukanya aku hingga begitu terlihat dari raut wajah atau tingkahku?

Kini pandangan kami bertemu. Lama kutatap mata itu, berusaha mencari kesungguhan disana. Tapi, detakan itu… Ah… Apa perasaan itu memang sudah terlanjur ada? Entah siapa yang salah, yang jelas kini dia jengah dan menunduk. Apa ini artinya?

Kiki masuk bersamaan dengan datangnya Kak Dira.

“Ki, antar aku pulang yaa??”, ucapku untuk pertama kalinya. Aku berusaha bangkit. Kulirik sekilas lelaki itu, dia masih menunduk. Aku juga tak mengerti, tapi yang jelas aku telah salah tentangnya dan yang paling menyakitkan ketika menyadari bahwa kini aku benar-benar telah jatuh hati. Aku bahkan tak sanggup mengungkapkan kekecewaanku dan menelannya sendiri. Apa aku memaafkannya?

***

Maka seminggu setelahnya, keluarga Bang Faisal datang. Menanyakan kesediaanku juga kesiapanku. Can you imagine? Disaat aku begitu terluka, dan tanpa kusadari aku telah jatuh hati dan disaat itu juga aku dilamar.

“Nadia butuh waktu untuk istikharah…”, ucapku lirih.

Ironis sekali nasibku. Seharusnya disaat begini, seorang perempuan begitu berbahagia, karena seseorang yang memang dia harapkan datang menjemputnya, benar-benar datang. Namun, I am not. Aku gundah. Hatiku sudah pasti ingin menjawab iya disaat itu juga, tetapi tidak logikaku.

Naisya juga Kiki mungkin yang paling mengerti perasaanku sekarang. Bahkan kedua keluarga tak ada yang tahu. Kupinta mereka juga Kak Dira untuk merahasiakan ini. Entah apa alasanku. Yang jelas, aku hanya tak ingin lukaku membesar dengan kesedihan yang juga dirasakan orangtuaku.

Aku jatuh cinta Allah. Namun, logika tak menginginkan rasa ini untuk lelaki itu.
Beberapa kali aku melakukan shalat istikharah, namun belum ada tanda yang meyakinkan apakah jawabannya iya atau bukan.

***

Hujan begitu derasnya diluar. Petir seperti bersahut-sahutan. Lukaku sudah sembuh total. Aku pun melangkah menuju jendela, melihat hujan seperti tumpah gak karuan dari langit yang memang terlihat begitu gelap. Ah… it’s been three weeks setelah kejadian itu, dan suasananya tepat seperti hari ini. Tiba-tiba aku seperti mengingat sesuatu…

“Zack!”, ucapku lirih pada diri sendiri. Kemana lelaki charming itu. Dia benar-benar seperti menghilang tanpa jejak. Aku menyesal dulu pernah berucap tak ingin bertemu, kini aku ingin bertemu. Dia apa kabar yaa? Aku tak berjualan jadi aku pun tak berbelanja karena kecelakaan kecil itu. Ternyata memang benar, Zack seperti hantu. Dia muncul tepat ketika aku tak memikirkannya, namun ketika begini dia seperti menghilang.

***

Ruang itu asing. Aku tak kenal sama sekali. Ketika aku akan melangkah keluar, tanganku seperti ada yang menarik. Wajah itu membuatku terpana. Ummi.

“Nadia mau kemana?”

“Ummi, kita dimana? Nadia mau pulang…”

Wajah sendu nan cantik itu tersenyum dan kini telah merangkulku.

“Kenapa pulang? Ini kan sebentar lagi akan jadi rumah Nadia juga…”, ucapnya sambil menyentuh kedua pipiku. Tatapannya penuh kasih sayang.

“Maksudnya Ummi? Ini rumah siapa?”

“Setelah kamu menikah dengan Faisal, kamu akan jadi keluarga kami juga, dan rumah ini adalah rumahmu juga…”, jawabnya dan kemudian ditutup dengan memelukku. Aku terpana. Menikah? Aku masih kebingungan ketika dikejauhan kulihat tubuh seorang lelaki membelakangi kami. Tiba-tiba wajah itu berbalik… Bang Faisal. Dia tersenyum dan kemudian lagi-lagi berpaling dan menunduk. Tapi, kenapa dia tidak kemari? Kenapa dia berdiri jauh disana?

Aku pun terbangun. Hanya mimpi. Hah? Bukan…bukan, it is not just an ordinary dream. It’s the answer. Ini lah jawaban yang selama ini aku tunggu-tunggu setelah beberapa minggu istikharah. Rabb, begitu jelas! Apa ini jawabanMu?

***

Kedua orang tua beberapa kali menanyakan keputusanku. Sudah hampir sebulan aku belum juga memberi jawaban, sedang keluarga Bang Faisal menunggu keputusanku. Apa aku harus bercerita tentang mimpiku?

Mimpi itu sangat jelas, tetapi aku merasa ingin memastikannya sekali lagi. Dan aku pun meminta waktu lagi. Dan lagi-lagi, mimpi yang sama datang berulang-ulang, bahkan menjadi langganan tidurku beberapa hari selepas aku istikharah.

Aku mengutarakan apa yang aku alami kepada kedua orang tua. Keduanya mengucap hamdalah. Ada perasaan tenang dihatiku, namun ada sedikit keresahan disana. Allah, apa aku belum bisa melupakan kejadian itu? Seharusnya jika memang ini jawabanMu atas kebimbanganku, semuanya akan baik-baik saja. Maka aku mulai menenangkan hati dan senantiasa berpikiran positif, toh selama ini komunikasi yang ditawarkan Bang Faisal sangat luar biasa baik.

Keluarganya datang lagi untuk melamarku secara resmi. Kulihat wajah Ummi sangat bahagia, ada kesejukan yang luarbiasa di sudut hatiku. Aku patut bersyukur, ketika calon ibu mertuaku itu dengan sangat baik menerimaku. Diputuskan bahwa tepat dua bulan sebelum aku berangkat, kami akan menikah. Yaa… aku bahkan tak menyangka, aku akan segera menikah.

***

Sebuah telpon membangunkanku malam itu. It’s 2 a.m. Siapa siyh? Nomor asing. Aku ogah-ogahan menjawab telpon itu.

“Halo…”

“Hei… Nadine?”

Mendengar panggilan itu, aku yang sedari tadi ogah-ogahan, bangkit.

“Zack!!”

“Hei, kenapa? Your voice is too loud…”

Lelaki charming ini benar-benar misterius. Ketika aku sedang mengingatnya, jangan harap dia akan nongol, tetapi ketika aku bahkan tak ingat dia sama sekali, dia datang seperti hantu.

“Kemana aja? It’s been so long!”, kudengar suaranya seperti terkekeh.

“Sedikit menyibukkan diri… apa kabar?”

“Alhamdulillah sehat. Zack… kamu dimana? gak lagi di Aceh yaa?”, saking excited akan dirinya, aku bahkan lupa menanyakan kembali kabarnya.

“You’re impolite. You even don’t ask my condition! Dasar Nadine!”, biasanya aku tertawa dengan ucapan bercandanya itu, tapi kali itu aku benar-benar serius. Aku merindukan lelaki ini Tuhan! No, no… kamu sudah dalam lamaran seseorang, Nadia! Aku mengingatkan diri sendiri dan langsung beristighfar dalam hati.

“Zack, seriously! Where are you?”

“Hmmm… do I need to answer that?”

“Zack, it’s 2 in the middle of the night, don’t ask me to debate you…”

“Hahaa… I’m fine here, don’t be too worried!”

“Zack…”, lagi-lagi dia mempermainkanku.

“Haha… I am in somewhere on the globe, Nadine! We’ll see each other soon!”
Dan kalau sudah begini, Zack memang tak ingin dipaksa. Lagian apa urusanku tentang keberadaannya. Jeda.

“Is it midnight there?”

“Iyaa… ganggu orang tidur aja,” lagi-lagi dia terkekeh.

“Kenapa bisa tiba-tiba nelpon?”, tanyaku selanjutnya karena aku merasa kalau tidak aku yang bertanya, maka jeda akan melanda lagi. Dan itu yang paling aku hindari.

“Hmm… I have no idea, why!!”, aku terpana. Jangan-jangan dia juga… Zack, bilang aja kalau kamu lagi kangen aku kan? (Hoho…pe de ku sedikit keterlaluan, maklum tengah malam, lha…apa hubungannya?? hehe)

“Sepertinya karena aku melihat seorang gadis lagi mengendarai vespanya tadi, jadi aku ingat kamu, ketika kamu melaju dengan motor matikmu itu, hehe… Yaa…hmm…mungkin karena itu…”

Aku tertawa sendiri. Seharusnya aku sadar diri, mana mungkin “bulan” merindukan “pungguk”, haha.

“Zack, gimana kabar fotografimu?”

“Well, beberapa waktu ini, aku jarang pegang kamera… kelihatannya belum berkembang banyak…”

“Biasakan dengannya Zack. Menurutku, walaupun kameramu hanya benda mati, tapi ketika kita membiasakan diri, pasti ke depan lebih baik. Just take some pictures! Stone, birds, children, anything you see on your walk! Pasti diantara seribu, ada yang luar biasa dan bisa belajar banyak dari pengalaman foto-foto itu…”, ucapku sambil menguap.

“Alright expert!”

“Hehe… Zack, it’s midnight. I am sleepy!”

“Just have another sleep, Nadine. Bye!”

Dan berakhirlah obrolanku dengan lelaki charming yang memang sudah aku rindukan beberapa waktu ini. Dan ketika terbangun dipagi hari, aku merasa itu hanya mimpi dan buru-buru mengecek panggilan masuk. Ternyata benar! Ada nomor asing disana! Yes, Zack menelponku. Lho??

***

“Akhirnya kamu akan segera menikah yaa?? Kamu yakin, Nad?”, tanya Kiki di sela-sela istirahat kami selepas jogging pagi itu. Biasanya aku cuek dan menganggap pertanyaannya itu konyol, tapi tidak kali itu. Aku menatapnya sekilas dan detik selanjutnya diam. Aku sangat mengerti arah pembicaraannya. Dari sudut mataku kulihat Naisya menyikut lengan Kiki.

“Haha, becanda Nad! Maksudku, aku gak yakin karena kamu kan masih malas bangun pagi. Tadi pagi aja, susah banget dibangunin…”, sambung Kiki dengan nada yang sangat kaku. Aku tertawa sedikit dipaksa. Dia berusaha mengarang, sudah jelas tadi pagi aku dan Naisya yang duluan kerumahnya, jadi… Ah, sudahlah.

“Eh..eh, jangan pada serius amat ah! Eh, beberapa minggu ini, Sya gak dengar kalian berdua nyebutin nama Zack…”

“Oia… aku lupa cerita. Ini tentang Zack, minggu lalu aku nemenin bunda belanja, dan seperti biasa Nad, karena niatku memang mau bertemu si Zack, tapi selalu saja dia tak nongol, haha. Dan ternyata kata Joan, Zack lagi pulang kampung…”, aku sedikit terpana. Ternyata aku memang tak bermimpi, nomor asing itu memang punya Zack. Aku tersenyum sendiri.

“Pulang kampung? Ke Cina?”, tanya Naisya.

“Nope… ke Perancis!”, jawaban Kiki sontak membuat Naisya ternganga. Aku tersenyum.

“Waah… blasteran yaa? Bagus tuh buat perbaiki keturunan Ki, hidungmu kan kurang mancung, hehe…”, aku dan Naisya terkekeh.

“Haha, ngaco! Senang di aku, kasihan si Zack!”

“Walaah, tumben banget kamu mikirin orang…”, ucapku. Kiki tersipu.

“Itu baru namanya cinta yang tulus, Nad”

“Haha... seperti judul lagu, cinta yang tulus…”, sambung Naisya.

***

Dua minggu pun berlalu.

Semuanya baik-baik saja. Ya… everything is much better now. Kuliahku Alhmadulillah lancar, daganganku juga baik dan yang detik ini paling kuanggap penting adalah ketika hubungan dan komunikasiku dengan calon suamiku berjalan baik dan lancar. Dia benar-benar membuktikan bahwa dia kini telah sungguh-sungguh serius. Kiki juga memastikan bahwa dia sudah tak berhubungan lagi dengan Vina. Aku mulai menikmati perasaanku padanya (Yaa…aku sadari, sebenarnya belum pantas aku menikmati rasa itu, tapi… you know, I am not an angel yet I am just a human being with uncountable mistake and unreasonable wishes).

Maka ketika di sore minggu itu, aku diajak menemani Bang Faisal mencari beberapa kemeja di Mall (tanpa kusebutkan pun, tentu kalian tahu Mall apa itu karena Cuma satu-satunya di Banda Aceh, hehe), aku girang bukan main. Namun, karena aku tak biasa berduaan dengan lelaki, konon ini bakal suamiku maka aku mengajak Kiki dan Naisya bersamaku.

Kiki dan Naisya berada dilantai dasar ketika aku dengan Bang Faisal sedang memilah milih kemeja untuknya. Mereka berdua memang sengaja memberi kesempatan kami berkomunikasi (tidak berdua-duaan kok, kan ditempat umum).

“That’s good on you, take it!”, ucapnya ketika kami iseng-iseng mencoba sunglasses. Beberapa kali kita saling potret dengan kamera handphone seadanya dan dengan gaya yang tidak jelas (kampungan kan? Tapi aku bahagia, karena kini aku menikmati saat-saat bersamanya).

“No, I don’t need this!”, ucapku sambil meletakkan kembali kacamata coklat bermerek D&G itu.

“Nadia… just take it!”, ucapnya dengan wajah seperti memohon dan aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng.

“Hei… try this! It must be good on you!”, ucapku sambil memasangkannya sebuah kacamata yang kuanggap akan bagus diwajahnya. Dan aku benar-benar terpana dan detik selanjutnya aku hanya mengucap syukur didalam hati. Lelaki itu terlihat sempurna dan dia yang akan menjadi pendampingku nanti. Hatiku bingung antara senang atau minder.

“Hmm… how? Bagus?”, tanyanya mengejutkanku.

“Perfect!”, ucapku singkat. Dan selanjutnya waktu seperti berhenti ketika mata itu juga membalas tatapanku. Namun cepat-cepat aku sadari kesilapanku itu…

“Yaa…pilihan Nadia kan memang best, hehe!”, candaku karena faktanya aku sedang menyembunyikan kegugupanku. Lelaki itu hanya terkekeh.

***

Bang Faisal benar-benar membelikanku. Padahal aku sudah berulang kali menolak. Aku mulai mengitari etalase aksesoris dan memikirkan alasan apa yang akan kuberikan pada mamak dan ayah nanti. Tiba-tiba…

“Hei… calon pengantin dilarang melamun, ntar dirayu setan lho! Hehe…”, ucap suara yang sangat kukenal itu.

“Hadist riwayat siapa itu?”, tanyaku sewot sambil terus melihat-lihat pin jilbab. Kiki terkekeh. Dia dan Naisya memang telah berdiri disampingku dengan masing-masing memegang sebuah kantong belanjaan kecil.

“Mbak Nadia, calon suaminya mana? Kamu gak ditinggal bayar kan? Haha”, ucap Naisya yang kini mulai ikut-ikutan membuatku sewot. Aku hanya menjulurkan lidah (siapa juga yang ditinggal bayar, malah aku dibayarin), namun ku simpan kalimat itu didalam hati mencoba menjaga imej sebagai gadis baik-baik, haha.

“Oh iya, lupa. Nad, kamu ketemu Zack gak?”, dan mendengar nama yang memang sudah lama tak terjamah itu aku menoleh.

“Zack?”

“Iya Kak, tadi kita ketemu dia dicounter kamera. Sepertinya lagi nanya tentang lensa kamera. Nih, si Kiki keliatan banget terpesonanya, risih amat…”, ucap Naisya dan Kiki hanya terkekeh sambil menyikut lengan Naisya. Aku tersenyum maklum (sudah kuduga).

“Dia sudah kembali?”, sudah beberapa waktu berlalu ketika terakhir kali dia menelponku. Dan sudah hampir sebulan ketika lelaki charming itu menjadi pahlawanku dihari naas itu. Zack...

“Terus kak, dia nanyain kamu mulu…”, sambung Naisya dengan mengedip-ngedipkan matanya seolah-olah menggodaku.

“He-eh! Dasar si Zack, udah jelas-jelas aku yang jomblo ada didepannya, eh…malah nanya yang udah mau merit…”, aku tertawa.

“Oia?? Padahal aku gak berutang lho sama dia, hehe…”, candaku dan faktanya aku sedikit bangga Zack masih mengingatku.

“Iyaa, malah tadi waktu kami bilang kamu lagi shopping baju disini, dia katanya mau nyusul karena mau ketemu kamu… Ketemu gak?”

“What? Zack kemari?”

“Ho-oh… gak ketemu?”, tanya Kiki dan aku menggeleng. Zack kemari? Kok bisa gak ketemu yaa?

“Yaah…berarti terbukti gak jodoh Nad, hehe. Mall segini sepi, masa dia gak bisa ngeliat kamu… Hore, hari ini aku beruntung…”, ucap Kiki girang. Aku geleng-geleng. Tapi salah satu sudut hatiku penasaran. Kenapa bisa tak bertemu yaa? Apa Zack tak jadi kemari? Atau…

“Oke, udah selesai belanjanya?”, suara Bang Faisal membuyarkan lamunanku. Kami bertiga mengangguk.

***

Dua minggu pun berlalu lagi…

Again, everything is much better.

Dua hari lalu semuanya malah sangat baik bagiku ketika Bang Faisal tiba-tiba datang mengejutkanku dan Naisya disaat kami sedang berjualan sore itu. Dia bahkan dengan semangat membantu kami melayani pelanggan. Ada hawa sejuk yang tiba-tiba merasuk ketika melihat wajah itu tersenyum. Yaah…that’s me! Ketika semuanya berjalan begitu mulus, aku malah membuatnya sedikit kacau. Ketika aku dengan sangat nyamannya memandang wajah itu, seseorang menyikut lenganku…

“Ehem… siapanya siyh Nadia? Ganteng yaa…”, ujar Icut, salah satu pelangganku yang memang sepertinya sudah sedari tadi memanggilku dan tak ku perduli karena terlalu sibuk dengan wajah lelaki itu. Aku tersipu malu dan langsung mengambil pesanannya.

“Siapa siyh?”, tanyanya lagi.

“Heh?”

Wajah itu kemudian tersenyum menggoda.

“Calon suaminya Kak…”, jawab Naisya tiba-tiba dari sampingku.

“Ooh… pantes!”, ucap Icut dan aku tersenyum kaku.

Lelaki itu memang sangat berubah drastis. Aku bisa melihat dia berusaha sangat baik membuatku nyaman dan yang paling jelas membuatku semakin berbunga-bunga (yang terakhir ini sedikit membuatku was-was, maklum aku tipe yang sangat sulit jatuh hati). Dia memang bukan tipe lelaki yang senantiasa memberikan perhatian dengan sepanjang hari menanyakan kabar, tetapi dia lebih dari itu. Walaupun dia bukan seorang lelaki yang imannya sangat sempurna tapi pengetahuan agamanya bagus, poin pertama yang dia dapat. Dia berusaha sekali menempatkan keluargaku diposisi yang sangat baik baginya dan itu sangat penting buatku dan itu poin kedua. Sikap yang sopan dan pintar menempatkan diri dimana pun berada membuat dia mendapatkan poin ketiga. Dan banyak hal-hal kecil, namun penting bagiku membuatnya berhak mendapatkan poin selanjutnya. Kurasa itu sudah sangat cukup membuat kuncup bunga hatiku bermekaran.

***

“Kita langsung pulang kan Ka?”, tanyaku ketika sore itu Rika (teman sekampusku) mengajakku menemaninya membeli roti di Sativa Bread and Bakery.

“Yohaa... tapi kita singgah sebentar di pasar yaa, aku mau beli bahan makanan untuk nanti malam...”

Maka aku pun dengan patuhnya duduk di bangku belakang motornya Rika. Dia berbelok ke arah Purnama dan Kojex 88, dan aku mulai mengingat sesuatu. Ya Allah... sudah hampir dua bulan ketika terakhir kali aku melihat lelaki charming baik hati dan misterius itu. Aku ingin sekali melihat dia, Tuhan. Kupasang mataku hingga akhirnya kami melewati tokonya Joan. Dan seperti menjawab doaku, seorang lelaki muda sedang berjongkok dan terlihat sangat asik namun serius dengan DSLRnya memotret-motret semua benda-benda kecil di sekelilingnya. Beberapa kali dia terlihat kurang puas dan mengulang memotret. Meskipun dengan balutan pakaian yang casual dan ekspresi tanpa senyuman, lelaki itu tetap menjadi aktor utama sore itu (SubhanAllah... Kamu benar-benar terpahat dengan baik Zack!). Aku merasa aneh dengan diri sendiri, apa saking terpananya aku sampai tak menyapanya? Hmm... Tidak! Semuanya pasti ada waktu yang baik, aku percaya hari ini memang bukan sceneku dengannya. Jadi, kutinggalkan Zack dengan aktifitasnya.

***

Aku merasa hari ini juga milikku. Aku terus saja tersenyum setelah menerima telpon itu. Hari ini jadwal kuliahku sangat padat, jadi aku berencana tak pulang. Dan yang membuatku riang adalah ketika Bang Faisal menyempatkan diri ingin mengantarkanku bekal makan siang. Aku sudah berusaha menolak karena mengingat jarak kantornya dan kampusku. Namun dia memaksa, dan dengan sedikit merasa tidak enak aku pun mengiyakan.

Aku bahagia karena secara tidak langsung ini memperlihatkan keseriusannya. Dan detik-detik menunggu jam istirahat kuhabiskan tersenyum sendiri didalam kelas. Presentasi yang awalnya terasa sangat membosankan menjadi begitu asik dan bernyawa.

***

“Dimana?”, tanyaku via telpon pada Bang Faisal yang memang segera akan datang mengantarkanku bekal makan siang.

“In five minutes yaa?”

Aku pun keluar dari kelas dan menuju tempat parkir. Aku berencana menunggunya di gerbang kampusku yang memang tidak seberapa luas itu. Suasana hari itu memang sedikit sibuk dan ramai, karena kebetulan ada acara pelantikan di Pasca Sarjana dan aku tak tahu siapa yang akan dilantik dan jabatan apa. Sepanjang pagar  dan jalan, papan bunga ucapan selamat berjejer, mobil-mobil harus diparkir dijalanan karena area parkir Pasca itu tak cukup luas menampung mobil-mobil (ini bukan dikarenakan luas area parkir tapi karena rata-rata orang di Banda Aceh sudah sangat hobi menaiki mesin berkaki empat itu, bahkan tak kusangka dan kuduga, ketika sebuah merek baru dilaunching beberapa hari, dalam waktu dekat mobil itu sudah ada yang memiliki disini).

Aku pun berjalan menuju gerbang, hingga sebuah mobil yang sangat kukenal itu melewatiku. That’s Toyota Harrier putih. Apa itu juga Zack? Aku tidak hafal plat mobilnya. Mobil itu berjalan begitu lambat menuju gerbang Pasca dan gerakan itu memberiku kesempatan melihat seksama. Kaca mobilnya yang 25% gelap itu membantuku mengenali bentuk wajah itu. Ngapain dia di Pasca ? Iya, itu dia...

“Zack!!!”, panggilku. Dengan kesadaran penuh, bahwa sangat tidak mungkin lelaki didalam itu mendengarku karena kulihat mobil itu terus berjalan lambat hingga keluar dari gerbang kampusku, namun aku terus saja memanggilnya. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya.

“Zack!”, panggilku sambil berjalan tergesa-gesa seolah mengejar mobil yang memang berjarak tak seberapa jauh itu. Dan lagi-lagi doaku terkabul, mobil itu berjalan kepinggir dan berhenti. Aku tersenyum bangga menyadari panggilanku tak sia-sia. Sedikit demi sedikit kaca pengemudi itu terbuka dan wajah itu pun berpaling. Dia membuka kacamatanya (ini kedua kalinya aku melihat lelaki itu memakai kacamata dan dengan berbalut kemeja ala eksekutif). Dan itu...

“Nadia!!!”

Aku menoleh kearah berlawanan. Seorang lelaki sedang tersenyum sambil menenteng sebuah plastik kecil berisi sebuah kotak makanan.

“Bang Faisal!”, ujarku.

Kupalingkan kembali wajahku kearah Harrier. Kaca mobil itu kembali tertutup dan sekilas kulihat lelaki didalamnya memasang kembali kacamatanya dan detik selanjutnya menjauh. Yap! Aku tak mungkin salah, itu Zack! Tapi dia pergi, kenapa? Zack tidak biasanya begitu, dia pasti menyapa bahkan disaat dia sibuk sekalipun. Tak tahu kenapa kakiku seperti lemas dan suaraku menjadi sangat lirih...

“Zack.."