Jumat, 21 Desember 2012

Fenomena IV by Laila


Sebulan sebelum kepulangan Aliya dari Oz, aku sudah mewanti-wantinya agar menikmati waktu-waktunya disana sebelum akhirnya harus pulang. Serindu-rindunya dia pada kampung halaman, kebiasaan dan suasana yang sudah terbiasa di negeri orang akan dengan mudah dirindukan kelak ketika sudah berada di negeri sendiri. Apalagi dengan keadaan dan system yang berbeda jauh antara kampung halaman kita dengan Negara sekelas Down Under, Australia.

Kami pernah punya pengalaman reverse culture shock sebelumnya. Aku baru saja kembali dari study Masterku di Amerika, sedang Aliya sekitar 4 tahun kembali dari Kanada – program pertukaran pemuda. Aku memang seharusnya tak perlu khawatir berlebihan karena kurasa Aliya sudah bisa mengerti bagaimana rasa mengalami reverse culture shock itu. Tetapi, satu sisi hatiku merasa Aliya belum cukup kuat kelak ketika harus menjalani hari-hari baru dikampung halaman setelah hampir setahun setengah di rantau dengan keadaan yang lebih teratur di Oz.

Sekembalinya aku ke Banda Aceh, hal pertama yang membuatku terkejut adalah cuaca. Kebetulan aku kembali Oktober, yaitu ketika musim peralihan fall ke winter. Cuaca dingin mencekam kentara terasa berubah ketika aku menginjakkan kaki ke Jakarta. Kulitku yang dulunya kering kini sedikit berpeluh dan lembah. That’s a good one. Tapi, aku tak tahan berdiri lama-lama dalam keadaan panas. Rasanya mau pingsan.

Dan banyak hal lainnya mulai dari lalu lintas yang berantakan di nagroe tercinta. Para pengendara seperti asal-asalan dalam mengemudi atau mengendarai sepeda motornya. Lampu lalu lintas terkadang hanya menjadi symbol, tak pun dipatuhi. Padahal, resikonya sangat berbahaya jika melanggar itu. Speechless kalau kata Aliya. Belum lagi kondisi parkir yang tak berarturan, birokrasi pemerintahan yang juga seenak pegawainya. Pussing. Awalnya ibuku sempat resah melihat keadaanku yang malas keluar kemana-kemana saking shocknya.
“Laila, mana boleh begitu? Kamu disekolahkan sampai ke Amerika untuk bisa mengabdi di daerah kita. Kamu disana sudah mandiri selama hampir dua tahun, kalau hanya karena keadaan yang sudah 24 tahun kamu alami ini kamu kalah, untuk apa sekolah jauh-jauh sampai ke LN? mending sekolah disini dan tidak perlu ada masalah ini…”, aku terdiam meresapi kata-kata ibuku.
“Lagi pula, bersyukurlah dengan segala kondisi yang Allah berikan, artinya sudah bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Ini kenyataan, Nak! Anggap saja dua tahun lalu itu hanya mimpi, dan kamu kini sudah kembali bangun dan inilah hidup…”

Dan sejak saat itulah aku mencoba kembali hidup normal seperti sebelum aku berangkat ke LN.

Dan benar saja anggapanku, Aliya sepertinya belum cukup mempersiapkan diri. Sepulangnya dari LN, mulailah kebiasannya melihat fenomena-fenomena ajaib terbentuk.
“That’s not true Laila, emang dari dulu aku suka perhatiin fenomena-fenomena, gak cuma sepulang dari Oz, ayoo…edit statement diatas!”, ucapnya ketika berhasil membaca tulisanku. Aku terkekeh tapi tidak mengedit statement itu karena bukan inti yang ingin kubicarakan.

Fenomena pertama yang diperhatikannya adalah masalah lalu lintas. Ketika kuajak keluar pertama kali, Aliya memegang erat pinggangku.
“La, jangan ngebut donk! Ah… gak sayang nyawa nih anak!”, cerocosnya dan aku hanya cekikikan.
“Apanya ngebut? Ini cuma 60km/jam… biasanya kamu lebih dari itu…”
“Itu kan dulu La, gak liat ni orang bawa kendaraan kok ngasal gini, kita mana boleh juga asal-asalan plus ngebut lagi… Kalau di luar kan walaupun 100km/jam tapi mereka teratur dan hukumnya jelas dan mahal…Please dech La!”, kulambatkan motorku.
“Seeh… cewek ni baru pulang dari LN rupanya…hehe”
“Ah, Laila…”

Kami terkena lampu merah di simpang Surabaya. Tiba-tiba seorang cewek disebelah kami menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi, dan Aliya sadar akan itu.
“Wah…wah, bahaya banget tuch…”
Dan memang nasibnya sedikit kurang beruntung karena tiba-tiba  dari arah jalan Ladiagalaska, sebuah mobil dengan kecepatan tidak kalah cepat – mungkin mengejra lampu hijau yang segera berganti – hampir saja menabraknya. Syukurnya si cewek mengerem dengan cepat hingga dia hampir terjatuh, kulihat lelaki dalam mobil itu berang dan mengeluarkan sepah serapah. Dan yang membuatku mulai tersenyum, adalah kudengar Aliya mengucap istighfar sambil urut-urut dada.
“Sabar ya Ya, this’s the real life we have to be through…”, bisikku.

Tak lama tibalah kami di lampu lalu lintas simpang Lamprit. Kebetulan lalu lintas tidak begitu sibuk, tapi persoalannya karena tidak sibuk kebanyakan orang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedikit diatas rata-rata karena menganggap jalanan sedikit sepi. Kendaraan dari dua arah Lamprit dan jalan didepan stadium Lampineung sedang sangat lempang, padahal lampu hijau sedang menyala. Suara klakson kendaraan dibelakang kami satu persatu berbunyi, dan semakin nyaring ketika aku dan sebuah mobil disamping enggan menerobos lampu lalulintas. Namun, aku tak sanggup mendengarnya jadi ketika aku memutuskan menarik gas motorku…
“Jangan macam-macam ya La! Aku baru pulang dan masih ingin bareng keluargaku…”, ucap Laila sambil memegang pundakku erat. Kuturunkan kembali gasku dan dengan sabar mendengarkan suara klakson.
“Inilah fenomena kita Aliya…”
“I know… tapi kalau bukan kita yang berusaha mengubah, siapa lagi?”
“Apa kita bisa bertahan? Sehari dua hari, that’s ok! Tapi setelah itu…”
“Gak ada salahnya mencoba, kan? Urusan hari ketiga, kita liat saja nanti…”
Aku mengangguk serius. Benar kata Aliya. 

Fenomena III – by Aliya and Laila


Entah kenapa diusia “rawan” ini banyak fenomena yang aku temukan. Sejak menyelesaikan study Master di LN, aku dan Laila banyak dicecar pertanyaan-pertanyaan sejuta umat. “Kapan menikah?”, yaa…pertanyaan itu akan muncul dari sudut manapun. Tante, bunda, sepupu, kakak ipar, keponakan juga punya pertanyaan yang sama, belum lagi sepupu ipar, calon kakak ipar, teman seangkatan yang sudah menikah – yang belum juga ikut-ikutan, temannya mamak, dosen, anak-anak murid, teman kerja, dan masih banyak daftar lainnya. Capek nyebutinnya satu persatu.

Sejak menginjak usia 23 tahun, aku sudah mulai dikejar pertanyaan-pertanyaan itu. Ke kondangan ditanya itu, ke acara nikahan juga pertanyaan yang sama, ditambah lagi ketika ada acara kumpul-kumpul keluarga, weleeh…keriting bibir kita jawabnya. Ketika akhirnya lebaran pun tiba, aku sudah bersiap-siap dengan jawaban patenku – senyum semanis mungkin dan itu berarti aku belum ada rencana dalam waktu dekat. Siapa juga yang tidak mau melengkapkan setengah ibadah itu, hanya saja… jodohnya belum kelihatan batang hidungnya – yaah… mungkin masih Allah sembunyikan, sampai waktunya tiba. InshaAllah.

Sebenarnya ada tiga fenomena kali ini.
Dulu sebelum aku berangkat untuk sekolah Master, tak satu pun dari yang bertanya percaya kalau aku belum punya calon. Dan hal serupa juga terjadi pada Laila, Sarah, Dina dan beberapa temanku yang memang tidak mau menjalin hubungan sebelum menikah alias “pacaran”. Semuanya menganggap kami tak jujur, dan menyembunyikan “seseorang” ketika akhirnya kami dapat memperkenalkannya ketika sudah tepat waktunya.
“Masa dikira aku punya pacar, yang bener aja…memang sekonyol itu yaa kalau kita gak pacaran? Gak gaul maksudnya?”, cerocos Laila, aku cekikikan.
“Hehe… Ih Laila cem gak tau aja, setahun lalu pacaran dianggap lumrah, malah anak gadis yang tidak punya pacar dianggap tidak laku dan orang tuanya resah, tahun ini pegangan tangan sesama pasangan “pacaran” dianggap hal lumrah, boncengan dengan pacar mah itu hal biasa, malah kalau enggak jalan itu dianggap konyol, setahun kedepan kali aja rangkulan dan pelukan, diikuti ciuman, dan bisa jadi…”
“Eitss stop! Ngomong apa?”, potong Laila sambil melotot kearahku. Aku tersenyum geli.
“Beneran La, itu mah fenomena dan seharusnya kamu tulis di blog kamu itu. Pernah kejadian, salah satu temen semasa SMPku dulu, keluarganya memang keluarga biasa aja tapi kedua orang tuanya sangat menjaga anak-anak agar tidak pacaran, nah…salah satu adik perempuan temanku itu sedikit bandel dan backstreet dengan seniornya. Suatu hari si kakaknya ini tahu, dan meminta siadik memikirkan lagi perbuatannya, dan meminta cowoknya untuk bicara langsung dengan keluarganya kalau dia benar-benar serius, tapi… si cowoknya malah memilih mundur, pengecut gak tuch? Terus pake ngomong kalau keluarga temenku itu terlalu kaku, masa anaknya pacaran dan keluar dengan cowok aja gak boleh. I’m so speechless. Really a disease.
“Waah…kacau udah dunia ni…”, aku mengangguk.
“Nah, sekarang giliran kita yang dianggap kuper dan gak gaul, hanya karena “tidak punya pacar”. Hmm… semuanya pada bilang gini, anak zaman sekarang mana ada cerita diijodoh-jodohin lagi, nyari aja sendiri. Kawan kuliah kan  ada, kawan kerja juga ada, ngapain dicari lagi?”
“That’s the truth!

Fenomena kedua.
Ada juga beberapa orang yang berinisiatif mengatur perjodohan, namun terkadang tidak mengerti jalannya proses itu. Itu hanya perjodohan, dimulai dengan pertemanan, maka kalau berjodoh akan sampai ke pelaminan, kalau tidak yaa…diikhlaskan saja sebagai teman. Terkadang, karena “ngebet”nya mereka itu – atau bisa jadi karena lingkungan membuat mereka ngebet agar kita cepat menikah. Pertama, bisa jadi karena kerabat sebaya, bahkan yang lebih muda sudah melangkah terlebih dahulu. Kedua, mereka terlalu sering melihat kami hanya menghabiskan waktu memenuhi undangan ke nikahan atau kawinan, “kaliannya kapan?”. Memang keinginan itu baik bagi kami, tapi jalan jodoh mana mungkin dipaksakan.

Ketika perjodohan tidak berjalan lancar, kadang jawaban kita tak beralasan buat mereka. Contohnya Laila yang gagal dengan seorang dokter, beberapa pengusaha muda, seorang banker dan seorang ustad muda.
“Gimana enggak? Datang-datang langsung minta jawaban, aku kan butuh waktu untuk kenal dulu. Apa bisa dengan seenaknya ngasi jawaban pas ketemu pertama kali, sekaya atau seganteng apapun dia…”, aku mengangkat dua jempolku untuknya.
Laila memang cantik, lahir dikeluarga yang lumayan berada dan berpendidikan. Ayahnya dosen disalah satu universitas dan sekaligus pengusaha pecah belah.
Aku juga pernah punya pengalaman yang sama. Aku dikenal oleh sepupuku dengan seorang pengusaha muda. Aku suka. Tapi sayang, jawaban istikaharah berkata lain, begitupun dengan jawaban keluarga intiku saat itu. Aku diharuskan menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu dan aku juga tahu bahwa alasan lainnya adalah bahwa Bang Risyad – nama lelaki itu – bukan pegawai pemerintahan. Tapi, bukan itu permasalahan utamanya, ketika Bang Risyad dengan bijaksana menerima jawabanku, malah kerabatku yang menjodohkan yang sedikit berang denganku. Speechless.
Kisah lain juga datangnya dariku. Aku juga pernah dekat seseorang – adik iparnya sepupuku, namanya Diki – namun komunikasi itu hanya seumur jagung karena perbedaan prinsip yang sangat dasar. Aqidah dan gaya hidup, bagiku tak ada kompromi persoalan itu. Namun, lagi-lagi bukan itu permasalahannya. Ketika seorang sepupu lainnya bertanya,
“Emangnya Aliya lagi enggak dekat dengan siapa-siapa sekarang?”, aku hanya tersenyum ketika pertanyaan itu muncul tepat saat kami sedang kumpul keluarga besar dirumahku.
“Belum ada yang cocok kak…”, ucapku seadanya dan langsung melahap risol, walau dengan selera yang sedikit berkurang.
“Hmm…berarti pernah ada ya?”, aku kembali tersenyum.
Yaa…itu kan masa lalu. Kalau diungkit, aku jadi males banget. Cerita Angga yang paling menyakitkan, cerita Diki biasa saja namun sangat membekas.
“Kenapa kalau boleh tau gak cocoknya?”, sambung Kak Intan yang memang anak dari kakak ibuku.
“Beda prinsip Kak, gak sekufu!”, jawabku mulai serius dan aku berpikir ketika jawaban itu aku keluarkan, Kak Intan bisa langsung mengerti. Namun perkiraanku ternyata salah saudara-saudara – jadi ingat Laila, dia terbahak ketika aku ceritakan hal ini.
“Hah? Gak sekufu? Maksud Aliya apa dengan gak sekufu itu? Memangnya dia beda agama dengan kita?”
“Enggak Kak…”
“So? Jangan main-main dengan kata Aliya dan jangan menyalahkan seseorang untuk hal-hal yang Aliya pribadi gak suka. Semuanya kan masih bisa dibicarakan”, aku diam bukan mengiyakan, namun aku tak mau terjadi perdebatan dalam suasana kumpul-kumpul itu. Ah… lagi-lagi Laila terbahak ketika mendengar kisah piluku itu.

Apanya yang harus dibicarakan kalau omongannya hanya tentang materi? Apanya yang bisa dimengerti kalau shalatnya ditinggal hanya karena urusan kantor? Apa aku bisa hidup dengan gaya hidupnya yang sudah sangat modern? Nope, thanks. He’d better find someone else with the same interests like him, not me!

Kalau fenomena yang ketiga cuma masalah anggapan orang-orang, namun walau hanya hal sederhana, tapi sangat signifikan. Gini komentarnya…
Aliya kapan?
Belum ada tante, inshaAllah.
Jangan terlalu banyak memilih, ntar gak dapat-dapat lho!
Atau...
Laila kok belum pernah ngenalin calonnya?
Calon apa ? Belum ada juga…
Ah, masa?
Beneran belum ada, kalau udah ada, ngapain dilama-lamain lagi…
Hmm…makanya jangan ketinggian kriteria. Kebanyakan milih siyh, mana ada kriteria yang kita cari itu ada semua…
Dan bla..bal..bla…
Siapa juga yang milih kalau memang gak ada pilihan?
Okei-okei, kami memilih. Tapi bagaimana gak dipilih kalau ini mengenai satu hal yang sakral dan berhubungan dengan seumur hidup.
“Memangnya kita mau menikah sehari aja? Gimana gak dipilih atau dikenali dulu, kalau dia mata keranjang, gimana? Kalau dia tau-taunya suka berjudi? Tukang korupsi? Belum lagi kalau gak pernah shalat, wah…gak usah dech!”, ucap Laila berang.
“Iya, memang ketika orang-orang  bertanya, mereka peduli akan nasib “jodoh” kita, tapi hanya sampai pada titik “kapan dan dengan siapa”, setelah itu siapa peduli? Apa mereka mau tanggung jawab ketika kita menikah dengan orang yang salah? Gak juga”, sambungku.
“Bener, pernah ada cerita temanku yang menikah muda tapi ternyata suaminya masih labil – ada WIL – jadinya mereka bercerai, padahal temenku itu baru aja melahirkan anak pertamanya, pilu ngedengerinnya padahal itu pacarnya sendiri lho…”, aku hanya diam.
Sudah menjadi fenomena ketika anak zaman sekarang menikah muda, namun tingkat perceraian juga meningkat. Bukan hal itu yang kita inginkan, ya kan?

“Hmm… masalah kriteria, memangnya apanya yang tinggi kalau kita cuma maunya yang aqidahnya baik…”, sambung Laila.
“Some people just don’t understand La… Mereka hanya melihat fenomena ketika banyak pasangan memutuskan menikah dalam waktu cepat dan tidak banyak gagal. Padahal bisa jadi mereka menikah dengan pacarnya atau memang pas ketemu langsung jodoh. Mungkin kita-kita yang banyak persoalan ini, dianggap terlalu ketinggian kriteria dan banyak memilih karena sering gagal…”
“Maybe…”
“The thing is menikah itu bukan hanya tentang hari itu saja, bukan tentang status saja, bukan juga tentang pasangan saja. Tapi hubungan itu lebih kepada tanggung jawab kita pada Tuhan, pada pasangan masing-masing dan pada keluarga…”
“That’s for sure”.
Seharusnya kita membaca lagi apa kaidah dari menikah itu sebelum terlalu sok tahu tentang itu.

Fenomena yang keempat terjadi ketika kami sudah kembali dari study Master kami. Selain keraguan akan status kami yang jomblo, mereka juga meragukan “kriteria” kami. Just check these out! Ini hanya beberapa komentar itu.
Emang apa kriterianya? Bukan yang S3 kan?
Ada niyh teman kerjanya aku, tapi sayang dia cuma lulusan S1… kaya’a gak cocok buat kamu kan?
Waduch…susah kalau udah S2 mah, pasti yang mau dikenalin mundur duluan…
Gak harus yang S2 juga kan, Aliya?
Mungkin kriteria kamu yang tinggi sekali, apa harus S2 dari Amerika? Atau Perancis?
Udah lah Laila, jangan nyari yang tinggi-tinggi, kan yang biasa aja tapi sudah mapan bisa juga… kenapa mesti yang lulusan LN?
Kenapa dibolehin S2 dulu bu? Kasihan ntar susah jodohnya, pasti susah orang datang.
Yang ini keren Aliya, baru pulang Master di Jepang. Dosen di Arsitektur plus ganteng bukan kepalang, gimana, berminat?
Dan sebagainya. Masih banyak komentar-komentar lainnya. Aku urut-urut dada kalau mengingat komentar-komentar tak berdalil itu. Laila cekikikan, dia mah kadang-kadang suka gak serius. Padahal ini sudah jadi fenomena yang sangat-sangat serius.
“Memangnya  udah hebat banget ya kita? Mentang-mentang lulusan Master LN?”, tanyaku pada Laila yang lagi-lagi sibuk menulis diblognya. Kurasa dia sedang mencuri kisah ini.
“Hmm… apanya yang hebat? Pacar aja kagak ade? Calon suami aja belum nongol-nongol, jangan tanya suami? Kapan-kapan dah…”, aku terkekeh. Si Laila ngasal jawabnya ah. Tapi ada benernya, hehe.
“Serius La, kenapa orang-orang punya pikiran kita pasti nyari yang pendidikannya paling tidak sebanding dengan kita, padahal itu kan opini yang tak beralasan…”
“Siapa bilang gak beralasan? Satu sisi, opini itu benar adanya…coba lihat sekarang, dari 10 orang dokter, berapa orang yang tidak menikah dengan sesama dokter? Pasti cuma satu orang, dua orang kalau udah beruntung banget…”
“Bener juga ya…”
“Nah, masalahnya orang-orang gak menganggap penting jumlah yang kecil satu or dua orang yang tak memilih sesama mereka. Yang terlihat hanya jumlah yang cenderung memilih sesama dokter dan akhirnya opini itu berkembang sampai kearah yang lain, contohnya lulusan master LN…”
“Dan itu yang jadi permasalahnya, kasihan sekali orang-orang seperti kita yang lebih memilih aqidah sebagai kriteria dasar…”
“Yup, makanya kita harus ubah presepsi itu…”
“Kalau ditawarin Master lulusan Jerman atau Amrik, tanya dulu S2nya itu “Selalu Shalat (S2) atau Sarjana Level 2” saja?”, ucapku nyeplos namun serius.
“Nah, pinter kok non Aliya, hehe”, Laila kembali menatap layar laptopnya. Aku tersenyum.

Bener kan? Ngapain jauh-jauh sekolah ke Amrik, Kanada, Jepang, atau Jerman dan bahkan ke Kutub Utara sekalipun, kalau shalatnya bolong-bolong. Itu pun kalau pun dia shalat. Untuk apa ijazah Master LN kalau omongannya setinggi langit dan sering berdusta? Kami tak butuh laki-laki lulusan LN dengan predikat cumlaude, tapi sering mengeluh bukannya bersyukur kepada Allah atas nafasnya hari itu.

Yang penting itu kan seorang lelaki yang bisa menjadi imam yang baik bagi keluarga kami kelak, siapa dan lulusan apapun dia. Lelaki yang baik budi pekertinya juga ilmu dunia akhiratnya. Baik harta dan juga rupanya. Yang terakhir itu bonus dari Allah ^_^

Laila pernah memberiku sebuah kutipan doa Rasulullah SAW,
Duhai Tuhan Pemilik Sifat Maha Sempurna, anugerahkan dia lidah yang jujur, yang tiada berkata kecuali kebenaran, hati yang mampu menikmati kedermawanMu dalam setiap kejadian, yang tiada berdetak kecuali dengan pujian kepadaMu. Anugerahkanlah dia cinta kepadaku dan cinta kepada orang-orang yang mencintaiku. Dan jadikanlah semua persoalan hidupnya menuju kebaikan”

Kalau Rasul saja sudah berdoa sangat baik seperti itu, apalagi yang kita cari? Bukan ijazah Master lulusan LN.



Fenomena II – by Aliya and Laila

Gak perlu banyak kata kalau mendeskripsikan fenomena dunia baru-baru ini. Terkadang kita tak sadar akan fenomena itu, terkadang kita ternganga, tak jarang kita hanya bisa urut-urut dada. Ada juga yang bikin senyum-senyum. Kalau bicara fenomena, aku dan sahabatku Aliya sering sekali membicarakannya. Awalnya itu memang hobinya Aliya yang suka sekali menyadari hal-hal ajaib itu, ketika kusadari ternyata asik juga mengamati itu. Sekalian saja jadi rangkaian kata yang mengisi blogku.

Seperti hari ini aku baru saja menemani Aliya membingkai daun-daun meaple di salah satu toko bingkai di Peunayong. Si Aliya mah idenya terkadang macam-macam, dia bawa pulang puluhan lembaran daun Meaple berbagai macam jenis dari Australia dan memintaku membantunya mengkreasikannya dalam sebuah karton tebal ditemani fotonya dan fotoku dimusim gugur – kami berdua mendapatkan kesempatan belajar di LN dalam program beasiswa yang berbeda, aku di Amerika, Aliya di Australia.

Kembali ke cerita awal, saat kami ingin melangkah pulang, suara azan menggema. Ya… waktu magrib telah datang.
“La, shalat dulu ya..”
“Oke!”, kataku.
Setelah menstarter motor matiknya, Aliya mengarahkan motornya kearah pasar ikan Peunayong. Aku menurut saja, toh…aku pengikutnya yang paling baik. Tapi, aku seperti mengingat sesuatu.
“Li, kita memangnya mau shalat dimana?”, tanyaku kemudian ketika kami sudah melewati para abang-abang penjual buah. Sebagian kedai kecil itu sudah mulai ditutup, namun sebagian besar masih terbuka – bahkan lampu-lampunya menyala dengan sangat terang, dan para penjualnya masih dengan santai duduk disana.
“Hmm… sekitaran ini kan banyak masjid, di masjid At-Taqwa aja…”, ucap Aliya sambil melambatkan gas motornya.
“Iyaa, that’s a good idea. Tapi bukannya Mesjid At-Taqwa diarah berlawanan ya?”
“Oh iya! Lupa… hehe, maklum aku kan bukan pengingat jalan yang baik Laila, hehe”, ucap Aliya sambil cekikikan.

Aku hafal banget kebiasaan Aliya. Dia memang sedikit banyaknya tahu tempat dan jalan di Banda Aceh, tapi jangan tanya the best way atau shortcut sama Aliya. Dia paling tidak “ngeh”. Aliya bisa menempuh jalan mana saja – panjang atau jalan pintas – asal dia mencapai tujuan.

Jadilah kami memutar kembali melewati jalan didepan Isaura Bakso, sepanjang jalan menuju Mesjid At-Taqwa, mataku seperti mengamati sesuatu. Suara azan masih saja bersahut-sahutan. Jumlah kendaraan juga semakin banyak dijalanan. Yang membuat wajahku berpaling kekanan kekiri adalah karena hanya sebagian kecil toko yang tutup, sedang sebagian besar yang lain terbuka lebar dengan cahaya lampu yang terang. Dan yang semakin membuatku sedikit kecewa adalah ketika banyak sekali pemuda-pemudi masih berkeliaran dijalanan dengan santainya – dan kurasa memang tidak menuju arah pulang – para pemuda yang bukannya menuju arah masjid terdekat tapi dengan santainya duduk di depan toko atau di depan kedai kecilnya sambil terus menghisap rokok atau mengobrol santai. Aku jadi prihatin dengan keadaan serambi mekkah ini. Apa orang-orang ini tak lagi mendengar panggilan shalat? Atau memang sudah tak memperdulikannya lagi?

Aku sibuk dengan lamunanku, hingga tepat di lampu lalulintas di depan Queen Resto, Aliya berkata…
“Kasihan sekali Serambi Mekkah ini kalau hanya tinggal nama, sedangkan para pemuda-pemudinya sibuk dengan hal dunia dan melupakan Allah…”
Aku terpana, ternyata tak hanya aku yang mengamati semuanya.
“Memang bukan urusan kita kan La, tapi apa susahnya meninggalkan semua itu sejenak dan it just takes 5 minutes to meet Him via Shalat…”, sambung Aliya ketika kami terkena lampu merah di simpang Queen Resto itu.
Aku mengangguk.
“Memang bukan urusan kita kok, Li… tapi kewajiban kita saling mengingatkan. Yaa…dalam hal ini kita berdoa saja… gak mungkin juga kan kita jalan dari satu toko ke toko lain untuk sosialisasi itu, sedang waktu magrib singkat gini…”
“That’s true. Sejujurnya sedih melihat fenomena ini, tapi apa iya mereka gak shalat?”, tanya Aliya ketika lampu hijau mulai hidup.
“Wallahu’alam. Berpositif thinking aja. Satu lagi, hanya bisa berdoa… tapi fenomena ini memang sudah dari dulu terjadi dan dimana saja. Coba perhatikan kedai-kedai kopi, dari sekian banyak lelaki disana, berapa jumlah yang bangkit shalat ketika azan mulai dikumandangkan? Belum lagi di tempat-tempat lain, dijalanan seperti ini…”
“Hmm… iyya, mudah-mudahan kita selalu diingatkan Allah untuk selalu istiqamah…”
“Amiin… yaa, walaupun kita bukan orang yang alim-alim banget, tapi mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita yaa…”

Akhirnya kami sampai di Mesjid At-Taqwa dan segelintir orang disana membuat perasaan tenang bukan kepalang. Ya Rabb, setidaknya mala mini rumahMu yang suci ini didatangi oleh beberapa orang yang masih Kau buka hatinya. Dua shaf laki-laki dan satu shaf di bagian perempuan. That’s better than no one. Dan inshaAllah kedepan akan lebih baik. Ketika kami selesai, masih ada beberapa orang yang datang, baik keluarga, para pasangan muda – pacaran atau suami istri, we don’t know, yang penting mereka shalat, anak-anak kecil kampung, para pemuda dan para remaja putri.

Ketika Aliya menarik tanganku, aku tersenyum sambil melihat kearah rombongan remaja putra yang baru keluar masjid dan bersenda gurau menuju sebuah mobil.
“Li, mudah-mudahan lelaki kita kelak yang senantiasa aware akan panggilang shalat dan sebisa mungkin shalat berjamaah yaa…”, kataku sambil melirik kearah remaja putra – kurasa masih sangat belia. Aliya terkekeh.
“Eh, masih daun muda tuch…”
“Yang penting shalat!”, ucapku dan Aliya mengangguk.

Kamis, 20 Desember 2012

Fenomena 1 - by. Aliya


Aku kebingungan. Sebenarnya aku bingung atau memang pengen tahu? Entahlaah, sampai aku heran dengan diriku sendiri. Selama 25 tahun hidupku, sudah berkali-kali kulihat peristiwa ini. Jadi daripada aku menyimpan kebingungan atau panasaran, aku berinisiatif menanyakan ini pada Laila.
"La, lucu dech...", kataku tiba-tiba saat menemaninya menulis di Taman Putroe Phang. Dia menulis, aku sibuk potret sana-sini. Nah, saat itulaah, aku melihat fenomena itu lagi.
"Apanya yang lucu", jawab Laila yang memang sedang sibuk menulis di blognya.
"Anak-anak kecil kesukaannya hampir serupa semua yaa?", Laila yang sedar tadi tak memalingkan wajahnya dari layar laptop, sekarang melihat kearahku.
"Maksud?"
"Hmm...gini, aku sering banget liat anak-anak kecil ngupil..."
"Haha, kalau ngupil kan memang hobi kamu juga...", potong Laila sambil kembali menatap layar laptopnya.
"Ih...Laila, memang kamunya gak hobi? kalau gak dibersihin bisa sampai keluar, bisa hilang kecantikan kita..."
kami cekikikan sedikit membayangkan (jangan diikuti, jorok siyh).
"Trus initinya? Apanya yang membingungkan?", sambung Laila.
"Makanya dengerin dulu... gini, mereka ngupil, terus bukannya merasa jijik dan langsung dibuang tuch upilnya, tapi malah ditatap lama-lama dan tiba-tiba...", aku berhenti sejenak. Sedetik, dua detik, lima detik... Ih, Laila masih sibuk juga dengan layar laptopnya. Aku tetap bertahan. Sampai detik ke sepuluh, dia melihat kearahku dengan ekspresi penasaran.
"Tiba-tiba...", tanyanya dan aku tersenyum menang akan kesabaranku menarik perhatiannya lagi.
"Tiba-tiba dimasukin mulut, dan dinikmati...."
"Iiiih... Aliya, jorok ah!", ucap Laila sambil mencubit lenganku.
"Ih, beneran La, makanya itu yang membuatku bingung. Hmm...penasaran."
"Trus? ngapain juga kamu penasaran? namanya juga anak-anak..."
"Iya...masalahnya udah beberapa kasus yang kulihat contohnya yang ini...", kuperlihatkan foto-foto yang sudah kuambil. Laila tersenyum.
"Masalahnya selesai "mencicipi" that stuff, wajah mereka tanpa ekspresi gitu. Enak apa manis atau rasa coklat kali yaa?", ucapku dengan wajah sangat-sangat penasaran, hingga membuat Laila mencubitku lagi.
"Eh... jangan macam-macam ya! wajahmu itu menyiratkan sesuatu..."
"Menyiratkan apa? aku beneran penasaran..."
"Nah, itu dia... Penasaran kamu itu terkadang bahaya, jangan-jangan kamu pengen nyoba juga..."
"Hhehe..."
"Denger yaa, gak semua hal itu harus dibuktikan. Persoalan ini memang sudah jadi fenomena dalam cerita anak-anak, kalaupun orang tuanya tau, pasti dilarang abis-abisan, masalahnya terkadang itu diluar perhatian orang tua ... Nah, in short! kalau itu aja dilarang didunia anak kecil, jangan berpikir untuk mencobanya. Ok!"
"Hehe..."
"Jangan senyum-senyum misterius gitu... cantik-cantik tapi hobi ngerasa upil, iiiih...cowok mana yang mau sama kamu..."
Aku cekikikan. Laila serius amat siyh, mana mungkin aku seekstrem itu siyh.

Kamis, 13 Desember 2012

“The Right Man is in The Right Woman”



“Lelaki yang baik itu untuk perempuan yang baik”, yaa…itu benar adanya karena nyata sekali Allah ucapkan dan janjikan.
“Right” bermakna sangat luas, kita manusia bahkan terkadang gak bisa mengartikannya. What we expect sometimes does not happen or vise versa. Kenapa seorang ustad bisa menikah dengan seorang pelacur? Ada hal yang baik yang Allah selipkan dalam alur jodohnya mereka. Yang malah sering terjadi adalah ketika banyak ikhwan berjodohnya dengan akhwat atau sesama pasangan yang sudah menjalin hubungan atas nama “pacaran”.
Actually, it is not the point that I wanna share and talk over to you right now. Selama 25 tahun hidupku didunia ini, aku baru menyadari satu hal hari ini. Dan ini mungkin karena usiaku ada ditahap “rawan”, jadi fenomena yang kulihat, kudengar dan kualami persis mengenai hal-hal berbau itu.
Ini hanya sebuah cerita dan mudah-mudahan ini menjadi pelajaran yang berarti buat semuanya…
Tak ada manusia yang sempurna. Pernyataan kedua itu juga benar adanya. Tapi, walaupun emang manusia itu tak sempurna tapi tak berarti manusia punya kebebasan melakukan kesalahan, apalagi kalau kesalahan itu bernilai “dosa” dan “menyakiti” orang lain.
Segelintir kisah yang terjadi belakangan ini memang sedikit memojokkan kaum lelaki, tapi ini fakta yang terjadi. The point is not all men are not “right”, but some do not know how to place themselves as “the future decision-maker to be”. They can’t behave as they are the leader wanna be in the household after. Tapi hanya segelintir “mereka” yang seperti itu, ada dua kemungkinan. Pertama, karena mereka dalam proses belajar dan masih melakukan kesalahan – yang ini bisa dimengerti, atau kemungkinan kedua, mereka memang tak pernah belajar sama sekali dan memang sudah jadi watak. Pada dasarnya, banyak perempuan percaya seorang lelaki yang baik itu yang senantiasa berkata jujur – terlepas dari baik agamanya – dan konsisten dengan segala perkataannya. Namun, how do we call a man who says “this”, but at the same time with another woman says “that”? Pantasnya kita sebut apa lelaki yang berkata ingin serius dengan seseorang, namun diwaktu yang sama juga menjanjikan hal serupa dengan perempuan lain? Lelaki macam apa ketika dia melempar pancingan dimana-mana, ketika dia menjalin komunikasi dengan banyak perempuan, ketika dia menjanjikan masa depan dengan banyak perempuan. Apa yang terlintas dalam pikiran seorang lelaki ketika dia mengiba-iba, memohon-mohon agar seorang perempuan menerima permintaan maafnya dan memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya, namun disaat yang sama dia sedang menunggu mata pancingnya yang lain direspon oleh perempuan lain? Speechless.
Lelaki ada untuk memilih, dan itu hak lelaki. Selama dia hanya melakukannya dalam “masa memilih”nya, itu tak masalah, asal ketika dia sudah menetapkan pilihan, dan hanya itu satu-satunya. Jadi, apa perempuan tak punya hak untuk memilih? Apa kami diciptakan untuk dijadikan cadangan ketika dalam “proses memilih”-nya, si lelaki akhirnya telah menetapkan pilihan? Apa jadinya keadaan perempuan kalau diperlakukan begitu? Apa hati perempuan terbuat dari batu? Apa perasaan perempuan sedingin es, hingga tak merasakan apa-apa ketika diperlakukan begitu? Apa hanya karena alasan perbandingan jumlah lelaki dengan perempuan yang sudah berlipat, hingga itu menghalalkan mereka melempar pancing dimana-mana? What a disease! Ingat, Allah sees that and malaikatNya mencatat semua itu.
QS. An-Nur: 30, “Dan katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.


Apapun alasan mereka, tapi apa ada hal yang membenarkan hal itu? Tentu ada, tapi dengan mengesampingkan perasaan perempuan, tentu saja.
Begitupun juga seorang perempuan harus menjaga marwahnya sebagai perempuan baik-baik. Senantiasa berdoa dan berharap mendapatkan pasangan yang baik, tapi apa dia sudah mengukur dirinya sendiri. Apa jadinya ketika kita mengharap yang baik, tapi kita sendiri masih menjerumuskan diri dalam hal-hal yang tidak baik. Bukankan itu egois namanya. Apakan adil namanya ketika seorang lelaki baik-baik yang senantiasa menjaga pandangan dan kemaluannya mendapatkan seorang perempuan yang masih saja terbuka aurat sana-sini dan bertingkah persisnya tidak seperti seorang perempuan muslim yang baik? Maka Allah telah jelas menyebutkan dalam Al-Qur’an, lelaki atau perempuan yang berzina akan Allah pertemukan dengan yang serupa dengannya atau bahkan yang kafir.
Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 3, “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan lelaki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin”.
Dan lebih jelasnya dalam persoalan diatas tadi, Allah menyebutkan bahwa seorang perempuan yang keji atau laki-laki yang keji akan dipertemuakn dengan pasangannya yang keji (pula). Laki-laki atau perempuan yang melempar pancing dimana-mana, yang senantiasa mengumbar perasaan padahal belum tepat waktunya, maka mereka akan mendapatkan pasangan yang serupa. Wallahu’alam. Namun, Allah juga menjanjikan yang terbaik bagi laki-laki dan perempuan yang baik, mereka akan senantiasa dijaga kesuciannya hingga Allah janjikan pasangan yang suci dan baik pula.
QS. An-Nur:26, “Perempuan-perempuan yang keji untuk lelaki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (syurga)”.

“The Right Man in The Right Woman”, itu janji Allah. We’ve got to believe that.
Yaa…istilah itu yang kini akan selalu jadi pedoman perempuan jika mengalami kejadian diatas. Dan jika saja kejadian yang sama terjadi lagi pada perempuan yang sama, maka bukan dia yang ingin. Allah sedang mempersiapkannya untuk menjadi lebih siap dan bijaksana dalam menghadapi kehidupan kedepan yang mungkin lebih berat bersama keluarga dan “lelaki”nya kelak. Atau bisa saja, ini menjadi pelajaran baginya agar lebih menjaga kesuciannya sebagai seorang perempuan karena mungkin selama ini dia mengharapkan seorang yang baik, tapi dia enggan merubah dirinya menjadi lebih baik. Bisa jadi.
“Kita dipertemukan dengan orang yang salah terlebih dahulu, sebelum akhirnya bertemu dengan orang yang tepat”, yaa…kalimat itu bisa saja benar. Hingga saatnya tiba kelak, seorang perempuan sudah menjadi lebih siap ketika akhirnya “right man”nya datang.

Aku jadi teringat sebuah doa yang Rasulullah SAW panjatkan,
“Duhai Tuhan Pemilik Sifat Maha Sempurna, anugerahkan dia lidah yang jujur, yang tiada berkata kecuali kebenaran, hati yang mampu menikmati kedermawanMu dalam setiap kejadian, yang tiada berdetak kecuali dengan pujian kepadaMu. Anugerahkanlah dia cinta kepadaku dan cinta kepada orang-orang yang mencintaiku. Dan jadikanlah semua persoalan hidupnya menuju kebaikan.”
Amiin.

Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan para lelaki, dan kalau pun sebagian besar tulisannya menjurus kesana, itu karena fenomena yang terjadi belakangan ini. Satu or dua kisah masih biasa, tapi ketika kisah yang sama dimiliki oleh banyak perempuan, tentu pantas disebut fenomena, dan menurutku pantas ditulis agar menjadi pelajaran buat kita semua, laki-laki ataupun perempuan.