Entah kenapa diusia “rawan” ini banyak fenomena yang aku temukan.
Sejak menyelesaikan study Master di LN, aku dan Laila banyak dicecar
pertanyaan-pertanyaan sejuta umat. “Kapan menikah?”, yaa…pertanyaan itu akan
muncul dari sudut manapun. Tante, bunda, sepupu, kakak ipar, keponakan juga
punya pertanyaan yang sama, belum lagi sepupu ipar, calon kakak ipar, teman
seangkatan yang sudah menikah – yang belum juga ikut-ikutan, temannya mamak,
dosen, anak-anak murid, teman kerja, dan masih banyak daftar lainnya. Capek
nyebutinnya satu persatu.
Sejak menginjak usia 23 tahun, aku sudah mulai dikejar
pertanyaan-pertanyaan itu. Ke kondangan ditanya itu, ke acara nikahan juga
pertanyaan yang sama, ditambah lagi ketika ada acara kumpul-kumpul keluarga,
weleeh…keriting bibir kita jawabnya. Ketika akhirnya lebaran pun tiba, aku
sudah bersiap-siap dengan jawaban patenku – senyum semanis mungkin dan itu
berarti aku belum ada rencana dalam waktu dekat. Siapa juga yang tidak mau
melengkapkan setengah ibadah itu, hanya saja… jodohnya belum kelihatan batang
hidungnya – yaah… mungkin masih Allah sembunyikan, sampai waktunya tiba.
InshaAllah.
Sebenarnya ada tiga fenomena kali ini.
Dulu sebelum aku berangkat untuk sekolah Master, tak satu pun dari
yang bertanya percaya kalau aku belum punya calon. Dan hal serupa juga terjadi
pada Laila, Sarah, Dina dan beberapa temanku yang memang tidak mau menjalin
hubungan sebelum menikah alias “pacaran”. Semuanya menganggap kami tak jujur,
dan menyembunyikan “seseorang” ketika akhirnya kami dapat memperkenalkannya
ketika sudah tepat waktunya.
“Masa dikira aku punya pacar, yang bener aja…memang sekonyol itu
yaa kalau kita gak pacaran? Gak gaul maksudnya?”, cerocos Laila, aku cekikikan.
“Hehe… Ih Laila cem gak tau aja, setahun lalu pacaran dianggap
lumrah, malah anak gadis yang tidak punya pacar dianggap tidak laku dan orang
tuanya resah, tahun ini pegangan tangan sesama pasangan “pacaran” dianggap hal
lumrah, boncengan dengan pacar mah itu hal biasa, malah kalau enggak jalan itu
dianggap konyol, setahun kedepan kali aja rangkulan dan pelukan, diikuti
ciuman, dan bisa jadi…”
“Eitss stop! Ngomong apa?”, potong Laila sambil melotot kearahku.
Aku tersenyum geli.
“Beneran La, itu mah fenomena dan seharusnya kamu tulis di blog
kamu itu. Pernah kejadian, salah satu temen semasa SMPku dulu, keluarganya
memang keluarga biasa aja tapi kedua orang tuanya sangat menjaga anak-anak agar
tidak pacaran, nah…salah satu adik perempuan temanku itu sedikit bandel dan
backstreet dengan seniornya. Suatu hari si kakaknya ini tahu, dan meminta
siadik memikirkan lagi perbuatannya, dan meminta cowoknya untuk bicara langsung
dengan keluarganya kalau dia benar-benar serius, tapi… si cowoknya malah
memilih mundur, pengecut gak tuch? Terus pake ngomong kalau keluarga temenku
itu terlalu kaku, masa anaknya pacaran dan keluar dengan cowok aja gak boleh.
I’m so speechless. Really a disease.
“Waah…kacau udah dunia ni…”, aku mengangguk.
“Nah, sekarang giliran kita yang dianggap kuper dan gak gaul, hanya
karena “tidak punya pacar”. Hmm… semuanya pada bilang gini, anak zaman sekarang mana ada cerita
diijodoh-jodohin lagi, nyari aja sendiri. Kawan kuliah kan ada, kawan kerja juga ada, ngapain dicari
lagi?”
“That’s the truth!
Fenomena kedua.
Ada juga beberapa orang yang berinisiatif mengatur perjodohan,
namun terkadang tidak mengerti jalannya proses itu. Itu hanya perjodohan,
dimulai dengan pertemanan, maka kalau berjodoh akan sampai ke pelaminan, kalau
tidak yaa…diikhlaskan saja sebagai teman. Terkadang, karena “ngebet”nya mereka
itu – atau bisa jadi karena lingkungan membuat mereka ngebet agar kita cepat
menikah. Pertama, bisa jadi karena kerabat sebaya, bahkan yang lebih muda sudah
melangkah terlebih dahulu. Kedua, mereka terlalu sering melihat kami hanya
menghabiskan waktu memenuhi undangan ke nikahan atau kawinan, “kaliannya
kapan?”. Memang keinginan itu baik bagi kami, tapi jalan jodoh mana mungkin
dipaksakan.
Ketika perjodohan tidak berjalan lancar, kadang jawaban kita tak
beralasan buat mereka. Contohnya Laila yang gagal dengan seorang dokter,
beberapa pengusaha muda, seorang banker dan seorang ustad muda.
“Gimana enggak? Datang-datang langsung minta jawaban, aku kan
butuh waktu untuk kenal dulu. Apa bisa dengan seenaknya ngasi jawaban pas ketemu
pertama kali, sekaya atau seganteng apapun dia…”, aku mengangkat dua jempolku
untuknya.
Laila memang cantik, lahir dikeluarga yang lumayan berada dan
berpendidikan. Ayahnya dosen disalah satu universitas dan sekaligus pengusaha
pecah belah.
Aku juga pernah punya pengalaman yang sama. Aku dikenal oleh
sepupuku dengan seorang pengusaha muda. Aku suka. Tapi sayang, jawaban
istikaharah berkata lain, begitupun dengan jawaban keluarga intiku saat itu.
Aku diharuskan menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu dan aku juga tahu bahwa
alasan lainnya adalah bahwa Bang Risyad – nama lelaki itu – bukan pegawai
pemerintahan. Tapi, bukan itu permasalahan utamanya, ketika Bang Risyad dengan
bijaksana menerima jawabanku, malah kerabatku yang menjodohkan yang sedikit
berang denganku. Speechless.
Kisah lain juga datangnya dariku. Aku juga pernah dekat seseorang
– adik iparnya sepupuku, namanya Diki – namun komunikasi itu hanya seumur
jagung karena perbedaan prinsip yang sangat dasar. Aqidah dan gaya hidup,
bagiku tak ada kompromi persoalan itu. Namun, lagi-lagi bukan itu
permasalahannya. Ketika seorang sepupu lainnya bertanya,
“Emangnya Aliya lagi enggak dekat dengan siapa-siapa sekarang?”,
aku hanya tersenyum ketika pertanyaan itu muncul tepat saat kami sedang kumpul
keluarga besar dirumahku.
“Belum ada yang cocok kak…”, ucapku seadanya dan langsung melahap
risol, walau dengan selera yang sedikit berkurang.
“Hmm…berarti pernah ada ya?”, aku kembali tersenyum.
Yaa…itu kan masa lalu. Kalau diungkit, aku jadi males banget.
Cerita Angga yang paling menyakitkan, cerita Diki biasa saja namun sangat
membekas.
“Kenapa kalau boleh tau gak cocoknya?”, sambung Kak Intan yang
memang anak dari kakak ibuku.
“Beda prinsip Kak, gak sekufu!”, jawabku mulai serius dan aku
berpikir ketika jawaban itu aku keluarkan, Kak Intan bisa langsung mengerti.
Namun perkiraanku ternyata salah saudara-saudara – jadi ingat Laila, dia
terbahak ketika aku ceritakan hal ini.
“Hah? Gak sekufu? Maksud Aliya apa dengan gak sekufu itu?
Memangnya dia beda agama dengan kita?”
“Enggak Kak…”
“So? Jangan main-main dengan kata Aliya dan jangan menyalahkan
seseorang untuk hal-hal yang Aliya pribadi gak suka. Semuanya kan masih bisa
dibicarakan”, aku diam bukan mengiyakan, namun aku tak mau terjadi perdebatan
dalam suasana kumpul-kumpul itu. Ah… lagi-lagi Laila terbahak ketika mendengar
kisah piluku itu.
Apanya yang harus dibicarakan kalau omongannya hanya tentang
materi? Apanya yang bisa dimengerti kalau shalatnya ditinggal hanya karena
urusan kantor? Apa aku bisa hidup dengan gaya hidupnya yang sudah sangat
modern? Nope, thanks. He’d better find someone else with the same interests
like him, not me!
Kalau fenomena yang ketiga cuma masalah anggapan orang-orang,
namun walau hanya hal sederhana, tapi sangat signifikan. Gini komentarnya…
Aliya kapan?
Belum ada tante, inshaAllah.
Jangan terlalu banyak memilih, ntar
gak dapat-dapat lho!
Atau...
Laila kok belum pernah ngenalin
calonnya?
Calon apa ? Belum ada juga…
Ah, masa?
Beneran belum ada, kalau udah ada, ngapain dilama-lamain lagi…
Hmm…makanya jangan ketinggian
kriteria. Kebanyakan milih siyh, mana ada kriteria yang kita cari itu ada
semua…
Dan bla..bal..bla…
Siapa juga yang milih kalau memang gak ada pilihan?
Okei-okei, kami
memilih. Tapi bagaimana gak dipilih kalau ini mengenai satu hal yang sakral dan berhubungan dengan seumur hidup.
“Memangnya kita mau menikah sehari aja? Gimana gak dipilih atau
dikenali dulu, kalau dia mata keranjang, gimana? Kalau dia tau-taunya suka
berjudi? Tukang korupsi? Belum lagi kalau gak pernah shalat, wah…gak usah
dech!”, ucap Laila berang.
“Iya, memang ketika orang-orang
bertanya, mereka peduli akan nasib “jodoh” kita, tapi hanya sampai pada
titik “kapan dan dengan siapa”, setelah itu siapa peduli? Apa mereka mau
tanggung jawab ketika kita menikah dengan orang yang salah? Gak juga”,
sambungku.
“Bener, pernah ada cerita temanku yang menikah muda tapi ternyata
suaminya masih labil – ada WIL – jadinya mereka bercerai, padahal temenku itu
baru aja melahirkan anak pertamanya, pilu ngedengerinnya padahal itu pacarnya
sendiri lho…”, aku hanya diam.
Sudah menjadi fenomena ketika anak zaman sekarang menikah muda,
namun tingkat perceraian juga meningkat.
Bukan hal itu yang kita inginkan, ya kan?
“Hmm… masalah kriteria, memangnya apanya yang tinggi kalau kita
cuma maunya yang aqidahnya baik…”, sambung Laila.
“Some people just don’t understand La… Mereka hanya melihat
fenomena ketika banyak pasangan memutuskan menikah dalam waktu cepat dan tidak
banyak gagal. Padahal bisa jadi mereka menikah dengan pacarnya atau memang pas
ketemu langsung jodoh. Mungkin kita-kita yang banyak persoalan ini, dianggap
terlalu ketinggian kriteria dan banyak memilih karena sering gagal…”
“Maybe…”
“The thing is menikah itu bukan hanya tentang hari itu saja, bukan
tentang status saja, bukan juga tentang pasangan saja. Tapi hubungan itu lebih
kepada tanggung jawab kita pada Tuhan, pada pasangan masing-masing dan pada
keluarga…”
“That’s for sure”.
Seharusnya kita membaca lagi apa kaidah dari menikah itu sebelum
terlalu sok tahu tentang itu.
Fenomena yang keempat terjadi ketika kami sudah kembali dari study
Master kami. Selain keraguan akan status kami yang jomblo, mereka juga
meragukan “kriteria” kami. Just check these out! Ini hanya beberapa komentar
itu.
Emang apa kriterianya? Bukan yang S3
kan?
Ada niyh teman kerjanya aku, tapi
sayang dia cuma lulusan S1… kaya’a gak cocok buat kamu kan?
Waduch…susah kalau udah S2 mah,
pasti yang mau dikenalin mundur duluan…
Gak harus yang S2 juga kan, Aliya?
Mungkin kriteria kamu yang tinggi
sekali, apa harus S2 dari Amerika? Atau Perancis?
Udah lah Laila, jangan nyari yang
tinggi-tinggi, kan yang biasa aja tapi sudah mapan bisa juga… kenapa mesti yang
lulusan LN?
Kenapa dibolehin S2 dulu bu? Kasihan
ntar susah jodohnya, pasti susah orang datang.
Yang ini keren Aliya, baru pulang
Master di Jepang. Dosen di Arsitektur plus ganteng bukan kepalang, gimana,
berminat?
Dan sebagainya. Masih banyak komentar-komentar lainnya. Aku
urut-urut dada kalau mengingat komentar-komentar tak berdalil itu. Laila
cekikikan, dia mah kadang-kadang suka gak serius. Padahal ini sudah jadi
fenomena yang sangat-sangat serius.
“Memangnya udah hebat
banget ya kita? Mentang-mentang lulusan Master LN?”, tanyaku pada Laila yang
lagi-lagi sibuk menulis diblognya. Kurasa dia sedang mencuri kisah ini.
“Hmm… apanya yang hebat? Pacar aja kagak ade? Calon suami aja
belum nongol-nongol, jangan tanya suami? Kapan-kapan dah…”, aku terkekeh. Si
Laila ngasal jawabnya ah. Tapi ada benernya, hehe.
“Serius La, kenapa orang-orang punya pikiran kita pasti nyari yang
pendidikannya paling tidak sebanding dengan kita, padahal itu kan opini yang
tak beralasan…”
“Siapa bilang gak beralasan? Satu sisi, opini itu benar
adanya…coba lihat sekarang, dari 10 orang dokter, berapa orang yang tidak
menikah dengan sesama dokter? Pasti cuma satu orang, dua orang kalau udah
beruntung banget…”
“Bener juga ya…”
“Nah, masalahnya orang-orang gak menganggap penting jumlah yang
kecil satu or dua orang yang tak memilih sesama mereka. Yang terlihat hanya
jumlah yang cenderung memilih sesama dokter dan akhirnya opini itu berkembang
sampai kearah yang lain, contohnya lulusan master LN…”
“Dan itu yang jadi permasalahnya, kasihan sekali orang-orang
seperti kita yang lebih memilih aqidah sebagai kriteria dasar…”
“Yup, makanya kita harus ubah presepsi itu…”
“Kalau ditawarin Master lulusan Jerman atau Amrik, tanya dulu
S2nya itu “Selalu Shalat (S2) atau Sarjana Level 2” saja?”, ucapku nyeplos
namun serius.
“Nah, pinter kok non Aliya, hehe”, Laila kembali menatap layar
laptopnya. Aku tersenyum.
Bener kan? Ngapain jauh-jauh sekolah ke Amrik, Kanada, Jepang,
atau Jerman dan bahkan ke Kutub Utara sekalipun, kalau shalatnya bolong-bolong.
Itu pun kalau pun dia shalat. Untuk apa ijazah Master LN kalau omongannya
setinggi langit dan sering berdusta? Kami tak butuh laki-laki lulusan LN dengan
predikat cumlaude, tapi sering mengeluh bukannya bersyukur kepada Allah atas
nafasnya hari itu.
Yang penting itu kan seorang lelaki yang bisa menjadi imam yang
baik bagi keluarga kami kelak, siapa dan lulusan apapun dia. Lelaki yang baik
budi pekertinya juga ilmu dunia akhiratnya. Baik harta dan juga rupanya. Yang
terakhir itu bonus dari Allah ^_^
Laila pernah memberiku sebuah kutipan doa Rasulullah SAW,
“Duhai
Tuhan Pemilik Sifat Maha Sempurna, anugerahkan dia lidah yang jujur, yang tiada
berkata kecuali kebenaran, hati yang mampu menikmati kedermawanMu dalam setiap
kejadian, yang tiada berdetak kecuali dengan pujian kepadaMu. Anugerahkanlah
dia cinta kepadaku dan cinta kepada orang-orang yang mencintaiku. Dan jadikanlah
semua persoalan hidupnya menuju kebaikan”
Kalau Rasul saja sudah berdoa sangat baik seperti itu, apalagi
yang kita cari? Bukan ijazah Master lulusan LN.