Jumat, 30 September 2011

Love is you colour - Leona Lewis

Oooh.. Ooohh.

Just when you think that it's over, you hit with a brand new star.
And you find, find that within in you but you never lost a spark.
Love is your color, it makes you shine, i know i know so show your colors it comes from inside everything else is black and white.

But love is your color (be that color) love is your color (show your color) love is your color.

Some say it's just an emotion that goes and comes with time but love is your color it makes you shine sometimes it's hard to cope no there is you always know so show your color it comes from inside everthing else is black and white.

Love is your color and it's a voice that we can't hold back it was all like a thief in the night.

Love is your friend that will hold your hand always right there by your side.

Love is your color it makes you shine i know i know, so show your color it comes from inside.

Everything else is black and white. Ooooh noo noo.
Love is your color (be that color) love is your color (show your color) Love is your color.Love is your color (be that color) love is your color (show your color) love is your color.
Ooooooh, Whoooooo.

It makes you shine, i know i know i know i know i know, it comes from inside everything else is black and white.

Love is your color, love is your colour...
Oooooooh it's yourrrr..

Love is your color be that color, love is your color show your color love is your color.

Better In Time 13 - Christmas in the Mesjid??


Adam terduduk manis di sofa empuk di ruang ibadah ibunya. Tapi Dia masih bimbang dan sangat dilema dengan segala hal yang menimpanya selama ini. Tapi kenapa ruangan itu yang jadi pilihannya? Secara logika semuanya mungkin akan terjawab, tapi tidak baginya. Dia masih sangat menghargai keyakinannya, dia begitu inginnya mempertahankannya, dia belum sadar bahwa hatinya telah berpaling. Adam seolah terus berontak, tapi tetap saja dia akan kembali.
Mimpi bertubi-tubi datang. Kejadian-kejadian aneh pun seolah mendukung keraguannya. Sejak bermimpi menikahi Annisa yang saat itu dengan bagusnya dia membaca Al-Quran (kitab yang selama ini membuatnya resah), mimpi-mimpi lain seolah berlangganan datang pada malam-malamnya. Annisa tak jarang hadir dalam mimpinya ketika itu.

Pernah dia tersesat diruang yang sangat gelap, tiba-tiba sebuah cahaya temaram datang di depan matanya. Dia refleks mendekat karena matanya memang sangat membutuhkan cahaya. Sebuah cahaya dari sebuah benda berbentuk salib, betapa hatinya begitu bahagia karena Tuhannya membantunya. Namun ketika dia mencoba memegang benda itu, tangannya seperti terbakar. Dia merintih kesakitan. Sangat perih sampai menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan tiba-tiba cahaya temaram itu menghilang dan seketika gelap pun menyergap lagi. Tubuhnya mulai menggigil, dia merasa rasa sakit dari tangannya lah yang membuat satu  persatu anggota tubuhnya seperti ingin jatuh satu persatu. Dia tersungkur.


Saat semua harapan telah hilang, sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Dia seperti tahu sayup-sayup suara itu. Dia merangkak ke arah suara itu. Hanya menggunakan perasaan didalam kegelapan, dia terus merangkak ke sumber bunyi sampai dia melihat sebuah cahaya putih terang. Matanya mulai membiasakan diri. Cahaya itu semakin didekati semakin terang. Namun, tidak siapapun disana. Yang ada hanyalah sebuah benda berbentuk sebuah buku. Dia mendekat. Tulisannya dia kenal. Tulisan arab. Dia menyentuh buku itu, dan seolah bertentangan dengan kejadian sebelumnya, seluruh tubuhnya terasa sejuk. Sakit ditangannya hilang dan luka itu lenyap. Semenit kemudian, seperti mimpi seluruh ruang itu bercahaya. Dan kini dia berada diruang yang sangat sejuk dan berbau harum. Tidak, ini tidak mungkin. Seketika dia melihat ketangannya masih dengan perasaan terkejut. Dan di genggaman tangan itu kini telah ada buku tadi yang ternyata adalah sebuah Al-Qur’an. Dia tengah berdiri ditengah sebuah Masjid dengan mengenggam Al-Qur’an. Dan Adam terjaga setelahnya tepat ditengah malam.

Di malam lainnya, dia begitu resah. Perasaannya tidak enak. Dan dia tahu apa yang dia rasakan, dia rindu. Tapi tak tahu siapa atau apa yang sedang dia rindukan. Tidak, dia sedang tidak rindu Annisa. Karena tiba-tiba dengan santainya wanita itu melangkah mendekatinya. Tapi tak ada perasaan rindu yang lenyap saat melihatnya. Adam mulai bertanya-tanya, ketika 
seorang wanita yang mengaku bernama Annisa tiba-tiba bertanya...

“Adam, aku pengen banget liat syurga. Kamu mau gak sama-sama denganku ke syurga?”

Tiba-tiba perasaan resah Adam menghilang seketika. Dia merindukan syurga.

“Tentu aja aku mau, tapi aku tak tahu letak syurga itu dimana Annisa...”

“Aku tahu...”, ucap Annisa. Adam terpana.

“Ikut aku, yuk!”, ajak Annisa sambil menarik tangannya.

Setelah itu Adam pun terjaga.

Dan tadi malam, dia benar-benar tak habis pikir. Mimpi semacam itu datang lagi. Dia mendengarkan sebuah syair. Indah sekali. Menyejukkan hatinya. Dia mencari sumber suara yang menyerukan syair itu. Dan dia melihat sekelompok orang disana. tepatnya, sekelompok anak-anak yang sedang duduk melingkar, dengan seorang lelaki dewasa. Lelaki itu memimpin anak-anak menyairkan beberapa kalimat yang sangat merdu dan indah kedengarannya. 
Seorang anak bertanya...

“Ustad, yang tadi kita baca tadi itu apa namanya?”

“Yang pertama kita lafazkan adalah dua kalimat syahadat dan yang baru saja kita syairkan itu adalah shalawat Nabi...”

Dia terpana. Bukan hanya karena penjelasan si ustad tapi juga karena wajah yang dilihatnya itu adalah wajahnya sendiri. Lelaki dewasa itu adalah dirinya. Dan dia pun kembali terjaga. 
Tidak ada keringat dingin saat dia terjaga. Ini bukan mimpi buruk.

Kini Adam hanya duduk melamun di sofa itu. Pikirannya kosong. Dia masih tetap bersikeras tidak ingin memikirkan itu lagi. Dia masih sangat takut mengkhianati Tuhannya. Hidayah Allah memang telah menyergapinya. Tapi dia benar-benar membentengi diri hingga tak ingin menyadarinya.

Ammara Aleesya, ibunya iba melihat anak lelakinya begitu. Melamun. Dan terkadang tidak fokus. Adam lebih sering menghabiskan waktu dirumahnya terutama diruang ibadahnya. Menungguinya shalat dan suka mendengarkan bacaan Al-Qur’annya. Beberapa kali terlihat membaca buku-buka tentang Islam dan Al-Qur’an dan ketika ditanya Adam hanya menjawab, Lagi pengen baca aja Ummi, hehe. Mereka memang tinggal terpisah. Yang juga membuatnya heran, anaknya itu terkesan menjauh dari kebiasaan religinya. Ada keresahan diwajah itu. Dan kini yang paling membuatnya heran, menjelang hitungan hari perayaan hari besar agamanya, 
Adam masih santai-santai saja. Padahal, hari itu adalah hari yang paling ditunggunya selama setahun. Cristmas Eve adalah waktu yang paling dipuja Adam. Dia benar-benar mempersiapkannya, membeli pernak-pernik Natal, mempersiapkan makanan yang banyak, kado-kado dan sebagainya. Tapi tidak kali ini. Anak lelakinya itu seperti kehilangan semangatnya dan benar-benar tidak memperdulikan hari itu. Aleesya mendekat dan membelai kepala itu seakan ingin mentransfer ribuan cinta kepada Adam.

“Adam, kamu gak siap-siap?”, Adam mendongak. Ibunya duduk didepannya dan kini sudah membelai pipinya.

“Sebentar lagi kan Natal, apa kamu tak mempersiapkan apa-apa?”, Adam mendesah. 
Perasaannya semakin kurang enak. Sebegitu teganya sudah dirinya akan Tuhannya.

“Kenapa Nak? Kok diam? Ada yang salah? Kamu sakit?”, tanya ibunya dengan wajah cemas.

“Enggak ko Ummi, Adam cuma...”, dan kini Adam hanya terdiam. Ibunya menunggu. Wajah Adam pun terlihat begitu memprihatinkan.

“Kita belanja yaa?? Ummi bantu masak makanan seadanya...”, Adam hanya bisa diam. Dia tak tahu harus berkata apa-apa.

“We don’t need, Ummi! Adam lagi enggak ingin merayakan Natal, biarlah berjalan biasa saja...”, dan kata-kata ini benar-benar membuat Aleesya terpana. Ada apa dengan anaknya.

Kini Aleesya menarik wajah itu dan menatapnya lekat.

“Adam, what’s happening?”

“Meaning?”

“I know something happens to you, what’s that dear?”, Adam sedikit terpana namun dia langsung berpura-pura. Dia benar-benar tak ingin membahas ini.

Adam tersenyum dan menyentuh kedua tangan ibunya yang berapa di pipinya.

“Ummi, nothing happens. I am fine. Cuma saat ini Adam lagi ingin suasana yang damai, gak pengen keramaian. Hmm..anyway, Adam boleh gak Cristmas Eve nya disini aja?”, Aleesya makin bingung tapi dia tak ingin terlalu bertanya lagi.


***

Hitungan jam menjelang Hari Natal.

Adam menikmati masa-masa liburnya. Kantornya memang libur menjelang Natal. Annisa juga sedang sangat sibuk dengan kegiatannya di Mesjid bersama para remaja, anak-anak dan orang dewasa. Beberapa kali dia melewati bangunan itu, betapa dia ingin memasukinya tapi dilain sisi dirinya menolak. Dia masih terlalu takut, padahal secara tak sadar Adam telah meyakini itu. Melihat Annisa dan beberapa orang dewasa lainnya mendidik anak-anak sambil mengajak mereka bermain dalam koridor agama mereka. Dia mulai menyadari bahwa Islam menawarkan kedamaian bukan sebaliknya. Wanita itu memang secara tak sengaja telah banyak membuka hal-hal yang dulunya dia tak tahu dan tak mau tahu tentang Islam. Dan kini dia rindu wanita itu. Terlalu banyak hal yang telah dilewati bersama, dan terlalu banyak hal yang mereka saling berbagi satu sama lain terutama masalah pekerjaan dan khususnya bagi Adam masalah keyakinan.

Salju makin berani menampakkan wajahnya yang putih dan auranya yang dingin. Hari ini seperti biasa Adam masih duduk santai di ruang ibadah ibunya menikmati butiran salju yang turun. Ketika sebuah telpon benar-benar membuat harinya berubah. Rencana awalnya melewati Cristmas Eve dengan tenang akan pasti gagal. Dia mendesah. Ibunya masuk dengan ceria membawa  dua gelas coklat panas dan beberapa kudapan, ketika tiba-tiba wajahnya berubah iba melihat wajah anak lelakinya tak bersemangat lagi. Dia letakkan nampannya di meja dan beralih membelai rambut itu...

“Ada apa lagi sayang?”, Adam mendongak.

“Ummi, sepertinya Cristmas Eve kali ini gak bakalan tenang”, ucapnya sambil tersenyum pahit. Ibunya diam menunggu penjelasan selanjutnya.

“Daddy dan keluarga besar akan liburan kesini...”, Ibunya tersenyum tipis. David, apa kita akan bertemu lagi?

“Memangnya kapan mereka berangkat?”

“Ini mereka semua sedang dibandara. It’s great, isn’t it? Aku baru diberitahu sekarang!”

“Sudahlah Adam, mereka mungkin memang merindukanmu makanya mereka ingin merayakan 
Natal bersama-sama disini. Well, kita pergi belanja yaa? We’re gonna be so busy these coming days, honey!”, ucap ibunya semangat dan seolah ingin putra sulungnya itu juga ikut bersemangat. Adam hanya bisa tersenyum.

Mereka kemudian menikmati coklat panas itu.


***

Melihat perkembangan anak-anak adalah sesuatu yang membahagiakan. Tak dipungkirinya, terkadang lelah menghadapi mereka tapi ada kebahagian tersendiri jika sedang bersama mereka. Selama liburan kantornya, Annisa menyibukkan diri dengan komunitas Muslim di York yang juga kebanyakan orang Indonesia sendiri. Ada beberapa dari Timur tengah dan Asia. Dan juga beberapa dari penduduk lokal. Selama musim dingin ketika salju begitu asik menyebar cuaca dinginnya, mereka mengadakan acara dan bermain bersama anak-anak di Mesjid. Gedung itu memang tak begitu mirip dengan Mesjid tapi cukup luas dan nyaman untuk tempat ibadah dan tempat belajar. Ketika dia sedang asik berkisah tentang Nabi Sulaiman a.s kepada anak-anak, sebuah panggilan masuk.

“Halo...!”

“Assalamualaikum Annisa...”, dia kurang mengenal suara itu. Tapi itu sebuah salam. Dia lihat lagi kelayar hpnya, nomor lokal.

“Annisa, apa kabar?”

“Alhamdulillah sehat, ini...”

“Ini Aleesya, masih ingat? Ibunya Adam...”

Annisa sedikit terkejut. Setelah pertemuan pertama dengan ibunya Adam, dia tidak bertemu lagi. Setelah sedikit berbasa-basi...

“Annisa, pagi ini sibuk enggak?”

“Annisa sedang ada kegiatan di Mesjid, Ummi. Mungkin menjelang siang baru selesai, ada yang bisa Nisa bantu, Ummi?”

“Ooh... begini Nisa...”


***


“Lu, ikut aku yuk!”, ajak Nisa di telpon setelah selesai berbicara dengan ibunya Adam.

“Kemana?”

“Lu masih ingat wanita cantik berjilbab ditaman beberapa waktu lalu?”

“Hmm... gak ingat!”

“Ah, payah ingatan lu! Itu lho yang cantiknya luar biasa, yang sedang baca Al-Quran!”

“Ooh..iya-iya, yang mesra-mesra sama Pak Bos kan?”, Annisa mendesah. Seharusnya kita tak 
berpikiran macam-macam dulu Lu, andai kamu tahu siapa wanita itu.

“Iya... lu masih penasaran siapa kan?”

“Penasaran dikit, kenapa emangnya?”

“Makanya ikut aku yuk! Nanti lu bakal tahu siapa wanita itu...”

“Penting banget yaa?”

“Lulu...”

“Oke-oke...”

Dan mereka pun bertemu di bus stop dekat dengan apartement Lulu. Dengan mengendarai sepeda, mereka menuju rumah Adam.


***

Betapa indah merayakan Natal kalau kamu ada disisi. Annisa, kamu lagi apa? Hmm... aku tahu, pasti kamu sedang asik bersama anak-anak di tempat yang sangat kau banggakan itu. Tapi ini sudah menjelang dua hari kita tak bertemu, apa kamu tak merindukanku sedikit pun. Sepertinya kali ini aku bertepuk sebelah tangan, hehe. 

Adam terkekeh. Dia meraih hpnya dan mulai mengetikkan sebuah pesan singkat ketika tiba-tiba bunyi bel sedikit mengejutkannya. Adam bergegas menuju pintu depan. Dia sedikit cemas, para keluarganya telah sampai sedang dia baru saja memulai menghias pohon Natal. Ibunya sedang sibuk memasak di dapur.

“Adam, someone’s knockin’...”

“Yep Ummi, biar Adam aja...”

Dia pun membuka pintu dan seseorang dengan senyum khas dan mata indahnya sudah berdiri di depan pintu rumahnya... Adam terpana. Bidadari! Dasar kau kekasih, aku memang tak bisa mengungkapkan perasaanku, selalu saja kamu seenaknya datang ingin membuktikannya. Tapi, thanks God!  Batinnya sambil membalas senyum itu. Mereka larut dalam tatapan masing-masing...

“Pak Bos! Apa kabar?” Kejut Lulu yang merasa diacuhkan dan akan menghambur memeluk Adam tapi Annisa langsung menarik lengannya. Lulu sewot.

“Ah Sa, setidaknya aku gak dapat cinta Pak Adam, aku sesekali boleh donk meluk dia...”, bisiknya. Annisa hanya menjulurkan lidah.

“Assalamualaikum...”, tiba-tiba sebuah salam mengejutkan mereka. Ibu Adam sudah berdiri dibelakang Adam.

“Datang-datang kok gak beri salam siyh, malah ngobrol?”, ucapnya sambil tersenyum. Lulu dan Annisa terpana. Walaupun dengan celemek dan dengan noda tepung dan coklat di pipinya, wanita itu tetap sempurna.

“Waalaikumussalam”, jawab Annisa dan Lulu hampir sekalian.

“Masuk...masuk!”

Annisa meraih tangan itu dan menciuminya. Lulu yang bengong mengikuti saja. Dia berganti menatap Annisa yang keliatan sangat akrab dengan si wanita. Lewat pandangannya dia bertanya, siapa sebenarnya wanita ini Sa? Lu gak jadi cemburu?

Annisa tersenyum dan menunjuk kearah satu foto besar yang terpajang diruang tamu ketika mereka melaluinya menuju ruang santai. Sebuah foto keluarga, Adam saat masih kecil berdiri mengenggam tangan seorang perempuan. Ayahnya terlihat tampan berdiri gagah dibelakang Adam. Seorang gadis kecil nan cantik kira-kira masih berusia 4 tahun duduk di pangkuan wanita yang mengenggam tangan Adam tadi. Dan wanita itu jelas adalah ibunya Adam. Lulu terpana, jadi ibunya Adam yang ada di foto itu adalah wanita yang kami liat di taman beberapa waktu lalu.

“Kenapa baru bilang sekarang, Non?”, bisik Lulu. Annisa terkekeh. Lulu akan mencubit lengan Annisa ketika...

“Ini Lulu yaa??”, tanya wanita itu yang sedang menyajikan coklat panas untuk mereka. Lulu mengangguk malu.

Beberapa jam berlalu...

Sementara Annisa sibuk membantu ibu Adam didapur, Lulu memilih membantu Adam mendekor pohon Natal.

“Alhamdulillah selesai, Ummi!”, ucap Annisa ketika selesai menyelesaikan Opor Ayam dan Kroket Isi Kentangnya.

“Iyya, Alhamdulillah...makasih banyak ya Nisa. Kalau kamu tak bisa datang, Ummi gak tahu harus gimana. Mudah-mudahan kamu tak keberatan membantu Adam menyiapkan makanan untuk Cristmas Eve...”, ucap Aleesya.

“Don’t mention it, Ummi! Annisa niatnya bantuin Ummi kok! Tak ada dalam bayangan Nisa, ini semua untuk Natal...”

“Iyya, sebenarnya kalau keluarga Adam dari Indonesia tak datang, Adam memilih tak merayakan Natal...”, Annisa sedikit terkejut. Adam tidak merayakan Natal? Inikan hari besar, memangnya ada apa?

Pertanyaan itu kemudian dengan segera menguap setelah Aleesya mengajak Annisa melihat masakan yang sudah selesai dia masak sebelum Annisa datang. Maple Roast Turkey dalam ukuran besar, Banana Split Cake dan Marbled Pumpkin Cheese Cake sebagai dessert. Annisa berdecak kagum, ternyata ibu Adam selain cantik tapi pintar memasak. Tak terasa sore menjelang, ketika Annisa dan Lulu akan pamit pulang sebuah bel mengejutkan mereka...

Keluarga Adam datang. Seorang lelaki paruh baya namun begitu gagah sudah jelas kakeknya Adam, dia menggandeng seorang wanita dengan busana yang terlihat begitu bermerk. Neneknya Adam. Kemudian seorang pria gagah begitu mirip dengan Adam dan sudah jelas itu ayahnya. Beberapa orang sepupu, Diana salah satunya dengan keluarga kecilnya dan beberapa keluarga Adam lainnya. Dan Annisa dan Lulu terjebak disana...

“Hei, Annisa, Lulu apa kabar? Ada gerangan apa kalian bisa disini?”, sapa Diana.
Keduanya hanya tersenyum bodoh dan malu.


***

Terpaksa mereka juga ikut makan malam di Cristmas Eve itu. Sangat tidak nyaman. Mereka berdua beserta ibu Adam menyingkir ke dapur saat keluarga Katolik itu sedang menikmati Cristmas dishes. Lulu menyesali keikutsertaannya. Annisa hanya bisa terkekeh.
Setelah dinner, Annisa sedikit terpana melihat tatapan keluarga Adam terhadap wanita cantik itu. Mereka bahkan tak menganggapnya sama sekali. Tapi Aleesya tetap tersenyum lembut dan mencoba bersikap ramah. Yang paling terlihat adalah kakek dan neneknya Adam yang seperti tak suka Aleesya berada disana. Annisa merasa teriris dan sedikit sedih. Mungkin keberadaannya dan Lulu sedikit membuat Ibu Adam merasa nyaman. Annisa juga menyadari bahwa tatapan aneh itu bukan hanya untuk Aleesya tapi untuknya yang juga berkerudung dan tentu saja Lulu walaupun dia tak berkerudung. Tiga orang wanita muslim sedang terjebak dikeluarga Katolik yang sedang merayakan Cristmas Eve. Sungguh luar biasa.


Yang membuatnya sedikit tenang, ketika melihat tatapan hangat pria itu. Seperti sarat cinta. Penuh kerinduan. Bahkan ketika pandangan mereka tak bertemu, tatapan itu seperti tak ingin lepas. Ayah Adam seperti menyimpan sejuta rindu untuk wanita itu. Apalagi ketika mereka akhirnya dipersatukan dalam satu scene obrolan. Lelaki itu keliatan sangat kikuk dan sang wanita juga merona pipinya. Mungkin ini sangat tidak biasa bagi pasangan seusia mereka, namun ini yang terjadi. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa aku merasakan bahwa mereka masih saling mencintai?

Annisa masih sangat sibuk dengan pikiran dan penglihatannya ketika sebuah bisikan mampir di dekat telinganya...

“Kekasih...”

Tak ada yang lain yang sangat tega mengacaukan perasaanku selain kamu, Adam.

Annisa menoleh sambil sedikit melotot.

“Hari ini hari Natal, tega sekali kamu melotot begini!”

“Emangnya kenapa kalau hari Natal, toh, aku tetap bukan kekasihmu, kan?”, ucap Nisa sedikit judes.

“Alright, Nona Annisa yang sedikit jual mahal. Mau kiamat pun, kamu pasti tak akan mengakui aku sebagai kekasihmu, makanya menikah yuk!”, ucap Adam dengan senyum jail dan lagi-lagi Annisa melotot. Adam tertawa.

“Kamu serius amat, lagi perhatiin apa siyh?”, tanya Adam kemudian mendinginkan suasana. Annisa diam dan kembali menikmati scene di depannya. Adam mengikuti pandangannya. Dia tersenyum pahit.

“Kamu pasti bisa melihat kalau mereka masih saling mencintai kan?”, tanya Adam tiba-tiba hingga membuat Annisa menoleh dengan wajah terkejut.

“Yep, Annisa! They did, they do and I believe they will...”, pandangan Annisa kini tak beralih dari Adam menunggu kisah itu mengalir.

“Ummi menikah diusia muda dengan Ayahku dalam keadaan berbeda keyakinan. Keluarga Ayah menentang habis-habisan juga keluarga Ummi, tapi toh keduanya tetap menikah. Mereka tinggal di Inggris setelah menikah dan kembali ke Indonesia setelah aku lahir. Keluarga Ayah mulai menerima tapi tetap kurang baik dengan Ummi. Dia wanita yang sangat sabar. Sampai ketika Nina lahir, Ummi seperti mendapat hidayah dan mulai memakai kerudung, dan itu lebih memperparah keadaan. Kesabaran ada batasnya, dan ketika usiaku 7 tahun mereka bercerai karena keluarga ayah memaksanya. Ummi kembali ke Turki membawa Nina. Awalnya aku sangat terpukul karena merasa Ummi lebih memilih Nina, tapi akhirnya aku sadar Ummi lebih sakit karena harus meninggalkan aku dan suaminya yang masih sangat dicintainya. Kamu tahu tidak, ini pertemuan pertama mereka setelah berpisah...”, ucap Adam. Annisa kembali memandang pasangan itu yang kini sedang tersenyum. Adam, itu lah salah satu alasan mengapa kita tak bisa bersama jika masih ada perbedaan itu selain karena perintah agama. Pernikahan seperti itu tidak sehat.

“Adam, pinjam kameramu ya?”, ucap Annisa sambil mengambil kamera yang sedang digenggam Adam.

Annisa mulai mengambil gambar-gambar mereka.


***

Annisa dan Lulu pamit. Adam mengantar mereka satu-persatu dengan mobilnya. Ketika sampai di apartement Annisa, Adam ikut turun. Annisa bengong.

“Gak perlu diantar sampai pintu kok!”, ucapnya dan Adam tertawa.

“Kamu besok ada acara? Ikut aku yuk!”

“Adam ! keluargamu jauh-jauh kemari ingin merayakan hari besar kalian bersamamu disini, kamu malah ajak aku keluar. Lagian kan besok aku ada kegiatan dengan teman-teman di Mesjid!”, ucapnya panjang lebar.

“Hmm... kan ada Mba Di. Dia kan sudah lama disini, dia bisa ajak yang lain jalan-jalan. Anyway, see you tomorrow, ke-ka-sih!”, ucapnya sambil berlalu dan sengaja mengeja kata-kata terakhir.

Annisa hanya bisa bengong.


***

Selesai misa digereja, Adam buru-buru pergi. Dia menghilang dengan mobilnya. Hpnya sengaja dimatikan. Keluarganya sibuk mencari sosoknya. Tapi dia tak peduli, dia mengendarai mobilnya menuju gedung sederhana itu.


Di samping bangunan itu ada taman kecil dengan pohon-pohon yang yang tinggal ranting. Salju pun masih menutupi sebagian permukaan taman itu. Tampak anak-anak sedang bermain disana. Melempar bola salju, membuat snow man dan ada juga yang bermain hide and seek. Sedang para orang dewasa hanya mengamati dari teras Mesjid. Beberapa orang lelaki dan wanita sedang sibuk disebuah sudut taman mempersiapkan meja besar. Hidangan pun seketika datang. Oh, sarapan pagi bersama. Ironis, ketika seharusnya dia sedang menikmati sarapan dihari Natal bersama keluarganya kini dia malah tersesat disini. Namun, Adam tetap menikmati suasana itu.

Wanita muslim dengan kerudungnya ternyata cantik-cantik, pikirnya. Seorang yang dipanggil Aisyah, matanya sipit, wanita muslim dari korea. Cantik. Tak habis disitu, ada wanita dari Yordania yang sangat menarik perhatiannya. Anak-anak kecil pun tampak cantik dengan kerudung mereka. Namun, kini malah matanya beralih lagi dan ini mungkin akan lama, belum ada yang bisa mengalahkan wanita berkerudung merah hati itu, wanita yang selama ini sukses mengalihkan pandangannya dari hal lain, wanita yang senantiasa menimbulkan banyak pertanyaan di hatinya tapi sekaligus memberi banyak penjelasan yang senantiasa lengket di pikirannya, wanita yang kini sedang tersenyum sangat manis hingga memunculkan lesung pipi di kedua pipinya yang sedang merona itu dan melambai dengan semangat ke arahnya...

“Adam!”

Kekasih! Kamu selalu berhasil membuat hatiku penuh bunga-bunga. Apalagi dengan senyummu yang merekah itu, kamu pasti tak tahu kan, berapa ratus ion cinta yang kurasa sekarang... Dasar kamu yaa?? Kamu memang tak pernah ingin tahu...

Senin, 26 September 2011

Surat Untuk Allah - Aku Prihatin...


Apa begitu out of date nya kami yang tak mau menjalin hubungan itu,
Apa begitu tertinggalnya pergaulan kami jika tak punya kekasih,
Sekuat apa siyh garansi orang-orang akan sosok kekasih itu agar bisa menjadi pasangan masa depan...

Dear Allah,
Mungkin suratku kali ini terlalu kejam dan asal-asalan... tapi inilah ungkapan hatiku dan beberapa orang diluar sana yang memiliki pemikiran sama...
Apa berdosa kalau kami masih lajang diusia begini…
Apa kami juga salah jika kami tak punya kekasih di zaman modern ini…
Apa kami keliru jika kami memilih yang terbaik untuk masa depan kami…

Tuhan,
Mungkin mereka hanya ingin melihat kebahagian untuk kami…
Tapi terkadang caranya bagi kami sedikit berlebihan…
Hanya Engkau kan yang paling tau yang terbaik bagi kami…
Apa itu, dimana kah, dengan siapakah kelak dan kapan waktunya…
Tak ada yang tahu, hanya Engkau…
Maka kami hanya memohon diberi keyakinan yang kuat akan itu, jangan terpengaruh dengan pikiran-pikiran yang sudah terlanjur terpengaruh dengan moderenisasi… Yang menilai pasangan masa depan hanya dari hubungan yang faktanya Engkau tak halalkan...

Rabb,
Terkadang kami juga heran, sangat heran dengan pemikiran orang sekarang…
Pasangan penting, sulit menikah jika tak punya kekasih…
Apa mereka sadar, jika Engkau tak berkehendak, segala hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun pun akan kandas begitu saja…

Hubungan pernikahan saja bisa diujung tanduk dan benar-benar jatuh dari tanduknya jika Engkau mengatakan “iya”, apalagi hanya sekedar hubungan yang tak diikat secara sah…
Dan kenapa juga seseorang harus memaksa seseorang yang dianggap kekasihnya untuk pergi bersamanya, dikenalkan dengan teman-temannya sebagai kekasih, keluar malam minggu, dan melakukan hal lainnya yang biasa dilakukan pasangan-pasangan itu. Namun aku hanya bisa heran dan ternganga jika semua itu ditolak hanya karena alasan prinsip keluarga, seseorang itu mengatakan bahwa keluarga itu terlalu kaku… What??
Dan berakhirlah hubungan asmara itu hanya karena si lelaki tak tahan dengan prinsip keluarga si gadis yang menurutku baik tapi menurutnya KAKU...

Ini juga pengaruh moderenisasi…kami prihatin.

Kami bukannya tak menganggap penting hubungan pra-nikah… akan sangat penting mengenal pribadi masing-masing ketika memang sudah berkomitmen kearah yang lebih baik, tapi apa mesti harus dengan pacaran? Is it a must? I don’t think so…

Allah,
Diluar sana juga banyak mereka-mereka yang mempunyai hubungan itu, mengenal lebih dalam…tapi terkadang ketika Engkau mengatakan, “Tidak, bukan dia!”, semuanya juga harus berakhir. Dan itu terkadang bukannya tidak meninggalkan bekas… kadang begitu berbekas bagi kami perempuan...

Surat ini aku layangkan karena aku benar-benar jenuh dengan komentar sekeliling yang terkadang orang-orang terdekat tentang betapa pentingnya punya pasangan agar ke depan mudah berjodoh (Hah?? Aku masih tak habis pikir...).

Malah ketika jawaban yang diberikan seperti, “Belum ada lagi...” atau “Enggak ada pacar!”, semuanya tak percaya. Seolah-olah dizaman modern ini semua harus berpasangan.

God, Apa salah jika kami ingin indah pada waktunya dengan seseorang yang memang bisa mendesirkan hati diperjumpaan pertama dan tak perlu banyak waktu dan kata mengenalnya? Terlalu muluk ^_^

Allah, intinya diriMu yang paling tahu segalanya... mohon bimbingan dan kesabaran...



I love You, Allah

Me ^_^

Arif Dan Laila...


"Waaah..gambar kamu bagus banget...!"
"Oai?? Makasih...Hmm, kamu siapa??", tanya gadis kecil itu sambil menoleh ke wajah yang dia maksud.
"Arif, panggil kak arif aja... Kamu pinter menggambar, pasti bisa jadi arsitek yang pinter and keren..",
"Gak ah, Una gak pengen jadi Arsitek.."
"Trus mau jadi apa??"
"Pengen jadi dokter gigi ajah, heheheee", ucapnya lugu dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.
"Pantes, giginya bagus gitu"
"Iyyya, Una males liat gigi jelek kaya' giginya bang Raja and Kak Nanda, mereka males gosok gigi, suka makan coklat, makanya sering sakit giginya... Coba liat gigi b arif! aaaaa...", ucapnya sambil membuka mulut tanda meminta Arif membuka mulutnya dan yang bersangkutan pun menuruti dengan polos.
"Tuch kan ada gigi yang mau jelek, pasti juga males sikat gigi..."
"Hehee,, janji gak lagi setelah ini buk dokter..",
"Itu apa??", tanya gadis kecil itu menunjuk ke arah gulungan kertas yang di bawa Arif.
"Ini gambarku, aku kan hoby menggambar dan cita-citaku pengen jadi arsitek," ucapnya bangga sambil menunjukkan gambar-gambarnya, namun gadis kecil yang belum mengerti apa-apa itu hanya mengangguk kurang mengerti.
"Ohh.."
"Ya sudah, aku pergi dulu yaaa...daah gadis kecil",
"Daah kak Arif.."
Arif pun berjalan meninggalkan gadis kecil itu yang sudah mulai sibuk mewarnai gambarnya lagi. Namun tiba-tiba anak lelaki itu berbalik dan berjalan menuju Una..
"Gadis kecil, namamu siapa tadi?", tanyanya mengejutkan si gadis itu..
"Lailatul Husna, panggil aja Una...kenapa ?"
"Laila, matamu cantik.. Aku pergi dulu..", ucap Arif sambil tersenyum dan pergi. Pertama kali dalam hidupnya di usia yang masih sangat kecil, gadis bernama Lailatul Husna itu tersipu.
"Hei bang Arif, panggil aku Una jangan Laila..,"teriaknya setelah tersadar.
"Sampai ketemu, hmm U..Laila", ucap Arif dari kejauhan.




Mungkin sudah menjadi pilihan banyak penulis (apalagi di komik-komik remaja atau novel remaja) memilih karakter yang ganteng, tinggi, atlit di sekolah, cantik dan yang lain-lain. Begitu juga dengan pilihan karakterku kali ini. Yaah..mudan-mudahan tidak ada yang bosan dengan karakter yang begitu (hahahaa..sangsi banget).
Namanya Arif Akbar, seorang anak lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara. Ayah ganteng dan pintar, Ibu cantik serta pintar juga dan inilah hasilnya seorang anak laki-laki yang secara fisik tak perlu diceritakan. Keluarga yang sempurna, akademik yang memuaskan dan wajah tampan sejak lahir merupakan berkah yang selalu disyukuri oleh orang tuanya. Sebagai anak lelaki satu-satunya, Arif punya kelakuan yang baik. Dia menyadari segala kelebihannya tapi menempatkan diri sama dengan yang lain. Di sekolahnya, dia menjadi salah satu perhatian di sekolahnya bahkan di kompleks sekolahnya. Junior-junior di Sekolah Menengah Pertama pun tak mau kalah dengan kakak-kakaknya di SMU tempat Arif bersekolah. Termasuk si gadis kecil dulu yang sekarang tumbuh remaja yang duduk di kelas 2 SMP, Una.


Masih terekam jelas di ingatannya percakapan singkat di taman kota 8 tahun yang lalu. Dia menyimpan kekaguman yang luar biasa kepada Arif seiring dia mengenalnya. Lailatul Husna tumbuh jadi gadis pemalu, dia merahasiakan kekagumannya bahkan dari orang-orang terdekat tapi tidak kepada orang tuanya. Disaat gadis remaja lain mencari perhatian para senior idola (termasuk Arif disana), Una hanya memandang dari kejauhan. Yang paling dia rindukan adalah tatapan lelaki itu. Sejak pertemuan itu, Una tahu dia lelaki punya tatapan yang intens dan tulus. Dia boleh punya mata yang indah, tapi lelaki itu mengalahkannya dengan tatapan yang indah yang belum tentu seseorang bermata indah dapat melakukannya. Tapi yang membuatnya merasa terluka ketika dia tahu sang lelaki telah punya pilihan hati. Mungkin belum tentu benar ketika orang berkata, mencintai tak mesti memiliki tapi dengan melihat seseorang yang kita cintai bahagia, kita turut berbahagia. Gadis itu bahagia melihat senyuman di wajah lelaki itu, tapi di satu sudut hatinya, Una merasa terluka, menangis.


Arif memang telah memilih gadis itu. Nadia Rizky. Seorang gadis pintar nan cantik yang telah dekat dengannya sejak mereka sama-sama di tahun akhir SMP. Setelah 3 tahun masa pendekatan , malah mereka terlihat begitu serasi. Nadia, seorang gadis lembut dan taat beragama. Mereka menamakan hubungan mereka persahabatan, tapi ada tujuan disana. Ketika di tahun akhirnya di sekolah, Arif telah mantap akan memilih jurusan Teknik Arsitek sebagai jurusan profesi yang akan digelutinya. Dengan sekuta tenaga dia berusaha mendapatkan undangan masuk ke salah satu Universitas ternama di kota itu dan usahanya tidak sia-sia. Yang patut jadi pikirannya sekarang adalah kelulusan akhir di SMU.


Ketika suatu saat di kamarnya, Arif sedang belajar untuk menempuh Ujian akhir. Tiba-tiba dadanya sakit, dia sulit bernafas. Sebenarnya sakit ini sudah sejak lama dirasakannya. Orang tua pun sudah membawa ke dokter ahli dan memvonis bahwa dia terkena serangan asma biasa. Tapi malam itu, sakit itu semakin menjadi-jadi. Dia terkulai lemah, berteriak lemah memanggil ibunya..
"Bund..Bundaaa..!", dan akhirnya dia jatuh pingsan di lantai kamarnya.

Hari itu sepulang latihan badminton, Arif merasa lebih lelah dari biasanya. Bagaimana tidak, dia baru saja keluar dari Rumah Sakit kemarin pagi karena serangan sesak nafas dan nyeri dada mendadak. Dia mengarahkan sepedanya dan bergegas pulang, karena rumahnya begitu dekat dengan lapangan dia berolahraga. Saat dia sampai di gerbang rumah besar itu, dia melihat sebuah mobil terpakir di dalam perkarangan rumahnya. Makcik Zahara dan Om Usman, mau ketemu bunda mungkin. Dia bergegas masuk, namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara isak tangis itu... semakin lama semakin terisak sambil terus bercerita...Bunda menangis.
"Istighfar Ran, yang sabar...",  
"Dia mulai lemah kak, Arifku lemah. Anak lelakiku satu-satunya lemah. Kebanggaanku..huu..huu.. Aku tak sanggup ji..ji..ka tahu..hm,huu..kalau dia tahu dia sakit..huuuhuu..", Aku sakit?? Aku sakit apa, hingga bunda terisak seperti itu.
"Jadi Arif belum tahu keadaannya??"
"Belum makcik, Arif masih belum kami beritahu. Dia sebentar lagi akan Ujian Akhir di sekolahnya. Kami berpikir, akan sulit baginya menerima ini semua," ucap suara lainnya yang Arif tahu sebagai kakak pertamanya.
"Seberapa parah sejauh ini?", tanya Om Usman
"Selama dia tak berpikiran berat, dan sering berolah raga ringan dan makan sehat, InsyAllah keadaan jantungnya stabil. Kami terus mengusahakan dia agar tidur teratur dan tidak berpikiran berat".Jantung??? ada apa dengan jantungku. Dia memegang dadanya secara spontan, jantungnya mulai berdetak cepat, dia mulai resah...Namun saat itu yang terpikir olehnya hanya satu. Bunda tidak bole menagis lagi. Astaghfirullah. Dia ucapkan kata-kata itu sampai dia mulai merasa jantungnya mulai stabil. Dia hanya ingin tahu apa yang terjadi dengannya. Dengan jantungnya.
"Rani, mungkin ini catatan keturunan. Kamu ingatkan, ayah meninggal karena penyakit jantung," ucapan itu membuat Arif tertegun. Penyakit jantung?? Aku sakit, jantungku tidak sehat. Ya Allah... Dia mundur selangkah, tangannya tetap di dadanya. Ada satu bulir jatuh di sudut mata Arif. Bunda, aku bukan kebanggaanmu lagi.. aku tak berguna. Dia masih mendengar suara isak ibunya.
“Huu..huu, aku terluka kak. Ba..bagaimana, hmm..hu, hu.. kalau Arif tahu dia akan sulit mencapai cita-citanya?? Dia jarang komplain. Itu yang membuatku sangat sedih. Pa..pada..hal, dia baru saja lulus Usmu di jurusan pilihannya..hu.hu”,
Arif pergi. Dia terluka. Ke mesjid, dia harus bersujud. Menumpahkan segala kesedihan. Dia tahan nyeri di dadanya, dia kesusahan bernapas, tapi dia terus mengayuh sepedanya. Allah, aku membutuhkan kekuatan.


Tujuh tahun setelahnya Arif menjalani kehidupannya seperti biasa. Dia hidup di bawah bayang-bayang penyakitnya. Segala yang dilakukannya sekarang harus mempertimbangkan kekuatan jantungnya. Semuanya seakan terbatas tapi baginya melihat ketenangan di wajah ibunya adalah kekuatan baginya. Dia tidak memilih arsitek sebagai jurusan profesinya karena pertimbangan kesehatan. Tapi dia ingin hobi menggambarnya tersalurkan dan jika pun tidak dapat direalisasikan dalan sebuah bangunan konkrit, dia ingin ilmunya berguna. Pendidikan Seni Rupa menjadi pilihannya. Dan kini, dia menjadi salah satu tenaga pengajar di sekolah kejuruan. Nadia menerima lelaki itu apa adanya, walaupun Arif bersikeras agar Nadia pergi menjauh. Hubungan mereka pun berjalan lancar sampai di hari menjelang pertunangannya. Arif mengira, Nadia telah mengatakan tentang keadaan Arif kepada kedua orangnya. Tapi ternyata, Nadia masih sangat takut berkata kenyataan. Di satu sisi, dia anak satu-satunya. Nadia yakin, orangtua menginginkan seorang laki-laki yang sempurna. Arif boleh jadi sangat sempurna di matanya tapi tidak bagi orangtuanya. Tapi ketidakjujuran Nadia ini membuat hubungan mereka gagal dengan tidak baik. Orang tua Nadia menuding Arif memaksa anaknya mempertahan hubungan itu. Saat itu kesehatan fisik Arif menurun lagi. Dia harus menjalani parawatan intensif, tapi satu hal yang dia tak inginkan, operasi jantung. Dia ingin bertahan dengan jantungnya. Dia yakin dia akan sembuh.


Beberapa tahun terakhir, selain mengajar dia mulai menyibukkan diri di usaha desain grafisnya. Usianya sudah hampir mencapai kepala tiga. Dia lelaki tampan yang sudah mapan dengan usaha yang lancar. Keinginan menikah memang ada, tapi mengingat berapa kegagalan di masa lalu, membuatnya mengurungkan niat. Setelah kisahnya dengan Nadia berakhir, ada beberapa kisah menyusul setelahnya. Sebagai manusia biasa, ada terbesit anggapan bahwa penyakit jantungnya yang menyebabkan ini semua. Tapi di akhir setiap kisah, di saat dia berserah diri, dia sadar penyakitnya hanya sebagai instrumen Allah agar membuatnya lebih sabar dalam memaknai hidup. Arif terbentuk menjadi sosok yang kuat dan sabar. Dia selalu percaya Allah bersama orang-orang yang sabar. Hanya keluarga yang mulai meresahkannya, apalagi di saat dia sudah pasrah.

“Bunda...airmata bunda  membuat Arif lemah. Terseyum ya Bunda, karena senyuman bunda adalah kekuatan. Kita harus yakin akan janji Allah. Mungkin kita bukan orang yang terlalu alim, tapi kita orang beragama bun, kita libatkan Allah dalam segalanya.”, Arif menenangkan ibunya ketika beliau terisak di sela-sela percakapan pagi hari itu. Dan ketika itu, suara mungil itu memecah keheningan pagi itu...
“Accalamualaikum...”


Di satu sudut lain di kota yang sama.

Hmm...Ya Allah, setelah bertahun-tahun,  akhirnya bisa juga menghirup udara negeri tercinta. Masih ingat Laila?? Itu..Lailatul Husna. Gadis yang dulunya bercita-cita menjadi seorang dokter gigi itu sekarang menjelma menjadi seorang dosen berkejuruan Arsitektur yang secara langsung dia adalah seorang Arsitektur. Kita melupakannya diakhir kisah di SMP.

“Aku akan melihat keindahan dan keunikan suatu bentuk dan dimensi bangunan dari mataku sendiri kak... Tapi kamu tetap jadi inspirasiku. Aku akan mencari tahu kenapa Arsitektur menjadi pilihanmu. Tak disini. Aku perlu waktu menata hati,” ucapnya di akhir pertemuannya dengan Arif, dan dia mengucapkannya dengan jarak lebih dari 100 m dari Arif. Una pergi. Dia benar pergi menuntut ilmu. Dia menemukan keindahan menjadi seorang penata bangunan saat dia memperkuat ilmunya pada landscape architecture and planning di Universitas Wageningen, Belanda beberapa saat yang lalu.

Dan disinilah dia sekarang. Berdiri tegak menuju hari-hari barunya di negeri tercinta. Lailatul Husna merasa sangat siap untuk itu. Dia seorang perempuan mungil dan cantik. Gaya berbusana yang modern  membuatnya semakin menarik.
Di taman ini hampir 20 tahun lalu semuanya terjadi. Perempuan itu tak tersadar telah berjalan menapaki taman itu. Banyak perubahan disana. Tapi satu yang tidak pernah berubah, kenangan itu. Una terseyum dalam hati, mengutuk diri sendiri yang merasa bodoh, tidak pernah bisa melupakan kenangan itu. Tidak! Itu cuma kenangan masa kecil. Perjuanganku udah hampir10 tahun untuk mengubah rasa ini dan aku yakin ini sudah berhasil. Pasti. Saat dia berbalik pulang, tiba-tiba ada seorang bocah lelaki kecil menarik perhatiannya. Bocah itu mengingatkannya pada Arif (Nah lho, Arif lagi kan??), anak kecil yang berusia sekitar 5 tahun itu berlari lincah mengejar bola. Dia pasti setampan ayahnya,ucapnya Una dalam hati.

"Syauqi, ayo tendang kemari", tiba-tiba suara itu mengalihkan pandangan perempuan itu. Ya Allah, Dia kan... Ternyata benar, dia memang setampan ayahnya, Arif Akbar. Perempuan itu tak sadar, matanya terus memandang sepasang lelaki dewasa dan lelaki kecil itu, sampai sebuah sentuhan lembut menyentuh kakinya. Sebuah bola.

"Aunty, bole Syoqi minta bola na?", ucapan mungil itu membuyarkan lamunannya.
"Hmm...iya-iya, bole..ini sayang..", dengan buru-buru dia menyerahkan bola itu dan langsung membalikkan badan dan melangkah. Dia tak ingin melihat tatapan itu, dia takut belum siap. Dia mulai ragu akan kata-katanya tadi. Tapi..

"Syauqi, bilang apa sama Auntynya?", Ya, Allah. Suara itu.
"Tapi auntynya pelgi itu..Aunty, tunggu!", bocah kecil itu berlari kecil mengejar Una.
"Aunty...", tak tega mendengar suara itu, Una pun berhenti. Sebelum berbalik, dia mempersiapkan senyumnya.
"Iyya sayang..", ucapnya sambil menunduk sedikit.
"Telima kasiii aunty",
"Sama-sama, aunty pergi dulu yaaa..", ucapnya setelah membelai rambut bocah kecil itu.
"Syukran yaa..", ucap Arif yang sedari tadi mengejar Syauqi.
"Sama-sama, Assalamualaikum," jawab Una yang memandang sekilas ke arah Arif dan langsung pergi.Ya Allah, tatapan itu. Ternyata perjuanganku selama 10 tahun sia-sia hanya oleh satu tatapan itu. Ini salah Una. Ini haram. Kau lihat bocah kecil itu, dia anaknya. Allahku, ampuni dosaku. Una terisak di tengah perjalanannya, dia mengutuk dirinya sendiri yang tidak kuat sama sekali.

"Waalaikumussalam...", jawab Arif di tengah keterkejutannya. Bukannya dia... mata itu kan...
“Acut..acut..Acut Arif!!,” panggil Syauqi sambil menarik-narik kemejanya.
“Iy..iyya..”, jawabnya tersadar dari lamunannya yang memandang ke arah perempuan yang menghilang.
“Syauqi auusss...”, Arif tersenyum.
“Hmmm..ayuuk kita beli minum, trus kita pulang yaa, ummi pasti udah nungguin sama nenek dirumah”, Arif menggenggam tangan mungil keponakannya itu dan melangkah meninggalkan taman itu.


Takdir Allah selalu tak pernah bisa di tebak. Alurnya berjalan mulus dan terkadang kita yang menjalani tidak pernah menyadarinya.
Setelah pertemuan mendadaknya dengan Arif sebulan yang lalu, hari ini secara mengejutkan sepupu jauhnya memperkenalkan istri dan anak-anaknya. Nadia Rizky adalah perempuan itu. Berarti anak lelaki itu??? Terjalin lah percakapan yang tak disangka menyinggung si lelaki itu, Arif Akbar.
“Una dulu sekolah di kompleks itu juga?”
“Iyya kak, aku sering lho liat kakak,” wajah itu tersenyum. Cantik. Betapa serasinya dirimu kak kalau kau bersanding dengan kak Arif.
“Pasti kenal Arif juga donks!”, Una mengangguk. Tak dipungkiri olehnya, mendengar nama itu saja, hatinya berdesir.
“Dan mungkin kamu juga tahu hubunganku dengan Arif dan terkejut melihat aku disini sekarang”, tiba-tiba wajah itu merunduk. Ada gurat kesedihan disana. Satu persatu kata-kata terangkai dari mulut mungilnya. Sesekali matanya berkaca-kaca. Una tahu sekuat tenaga dia menahan bening-bening air mata jatuh dari kelopak matanya. Ya Allah, aku menangisi kisah mereka yang dulu ku lihat begitu bahagia. Ternyata lelaki yang sempurna di mata setiap perempuan itu, dia sakit...
Di akhir kisahnya dia tersenyum.
“Yaah, jalan kisah kami mungkin harus begini, Na. Hmm...jangan-jangan kamu salah satu penggemar Arif dulu yaa??”, tanyanya mulai menggoda. Dan dengan polos Una hanya tersenyum dengan wajah bersemu merah. Iyya kak, bahkan aku sudah mempunyai rasa itu jauh sebelum kamu bertemu dengannya. Perempuan di depannya yang tidak mengharapkan respon itu sedikit terkejut, namun akhirnya dia tersenyum.
“Arif belum menikah sampai sekarang, jadi kamu masih punya kesempatan”, ucapnya sambil menyentuh pipi Una.
“Terlalu banyak kegagalan yang dia hadapi. Arif adalah seorang yang patut di perjuangkan Una. Betapa bahagia seorang yang mendampinginya kelak. Kekurangannya itu adalah kelebihannya yang paling utama. Dia menjadi lelaki yang sabar dan kuat. Lelaki baik yang dibutuhkan seorang perempuan. Mungkin saat ini, dia akan sulit memenangkan hati para orang tua. Kalau kamu memang masih punya sedikit rasa itu, utarakan keinginan kepada orang tua, buat mereka ikhlas dan...” Dia diam sesaat sambil menatap Una yang mulai berkaca-kaca.
“Temui Arif, ajak dia menikah’.


Suasana hening saat Una memberanikan diri mengutarakan keinginannya kepada orang tuanya. Perempuan itu memang sudah sangat terbuka masalah perasaannya sejak dulu kepada kedua orang tuanya. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, dia sangat di sayang oleh orang tuanya. Ada kekhawatiran di hatinya, akan ada penolakan yang sama dari orang tuanya. Namun, Allah punya sesuatu yang lain. Orang tuanya meridhai segala keputusannya. Perempuan itu terisak dalam sujudnya. Mensyukuri segala yang terjadi. Allah, aku mohon keridhaanMu dalam keputusanku ini.


Selepas shalat magrib, lelaki tak bergegas pulang. Dia merengkuh mushaf itu dan membacanya. Ada tangis di saat dia mengaji. Karena begitu terisak, dadanya merasa sesak. Dia pun berhenti dan menarik napas panjang. Dia berjalan pulang dan melihat sebuah mobil terparkir di dalam perkarangan rumahnya.

“Assalamualaikum..”, jawaban salam pun terdengar dari orang-orang di ruang tamu rumahnya.
“Ini anak kami yang terakhir, Arif Akbar”, ucap ayahnya.
Tak seorang pun yang dia kenali kecuali keluarga besarnya. Ada apa ini, kenapa pada kumpul semua??Dia masuk sambil tersenyum dan menyalami satu persatu tamu itu. Dia menjulurkan tangannya terakhir kali ke tamu yang paling akhir dan mencari tempat duduk. Seorang perempuan. Tunggu-tunggu, dia kan... Sebelum menuju sofa yang kosong, dia berpikir keras dan berbalik. Dia gadis bermata cantik itu...
“Laila..”, ucapnya membuat semua mata tertuju kepadanya. Yang bersangkutan tersenyum dan mengangguk.

Tanpa dikomandokan, Lailatul Husna bangun dan...
“Iyya Kak Arif akbar. Saya Lailatul Husna. Mohon maaf jika bertindak kurang sopan dan melenceng dari budaya kita, to the point saja. Saya memang belum menjadi seorang muslimah yang baik, saya belum berpakaian layaknya seorang wanita muslim yang baik, saya bukan seorang yang pintar berkata-kata. Saya mungkin tidak secantik cleopatra. Saya mungkin dilihat belum pantas berdiri berdampingan dengan anda. Tapi saya disini denag mengahrapkan keridhaan Allah, berdiri mengajukan sebuah proposal. Proposal pernikahan dengan anda.”

Seluruh ruangan terpana. Arif terkejut. Dia masih berusaha mengumpulkan jiwanya yang mulai gamang. Kenyataannya kata-kata itu tidak sulit dimengerti, tapi kalau kata-kata itu keluar dari mulut seorang hawa..


“Kita menikah, kak Arif???”






Kisah Wanita itu..."Dulu, begitu kuat niat menghidarinya... sekarang, berpisah pun aku tak sanggup.."


Ku lihat wanita itu duduk sendiri, menikmati makan siangnya... Wajahnya lelah setelah setengah hari bekerja mencari nafkah, bergelut dengan anak-anak kecil yang lucu namun terkadang butuh kesabaran yang luar biasa itu...

Ku dekati dia... hari ini mau mengobrol apa yaaa??? Hmmm... seru juga kalau mengetahui kisah kasihnya dulu...



Namaku Murni. Aku anak paling bontot dari lebih 10 orang bersaudara. Keluarga besar menjadi hal yang biasa di tahun-tahun 50an. Yang membingungkanku adalah namaku sendiri yang sedikit membelot dari nama-nama saudaraku. Ibu dan Ayah memberi nama islami kepada mereka seperti Asiah, Nuraini, Bukhari, Ainal Mardhiah dan lain-lain tapi di saat anak bontot ini lahir tercetus lah nama Murni. Sampai sekarang kau juga belum tau alasan kenapa.Seperti kataku tadi, keluarga yang besar adalah hal yang biasa dimasa kecilku dulu (jadi iklan KB yang cukup 2 anak saja versi Teuku Wisnu and Shireen tak berlaku saat itu, hehehheee). Karena keluarga besar, tentunya perbedaan usia pun terkadang tidak begitu jauh antara saudara. Yang penting di ingat, dulu anak gadis pasti menikah begitu cepat, terkadang tamat SD sudah disodorkan calon suami. Jadi tak heran kalau kakak-kakakku sudah menikah saat aku bahkan belum dicetak (hmm..maksudnya di rencanakan untuk di lahirkan oleh ibu..). Dan ketika aku sedang dalam kandungan, bukan hal lucu jika aku sudah punya keponakan dari kakak-kakakku. Aku lahir berdekatan dengan keponakanku, dan itu berarti keponakan-keponakanku akan jadi teman bermainku nanti (dalam bahasa kami disebut "Tuha Bijeh"). Entah kenapa aku jadi anak paling tomboi di antara saudara-saudaraku. Aku paling jago main kelereng, aku yang paling diandalkan memanjat pohon  kalau teman bermainku ingin ngerujak, aku juga pintar berenang. Banyak cerita-cerita konyol tentang ketomboianku itu. Aku pernah jatuh dari pohon Sawo karena memaksa memetik Sawo yang paling besar di ujung pohon, kepalaku sampai harus dijahit karena bocor. Aku juga pernah hampir mati karena nyaris tenggelam di sungai saat berenang habis mencuci pakaian. Masa kecilku menyenangkan hingga sampai sekarang sepupu-sepupuku, keponakan-keponakan serta teman-temanku masih mengingat sejarah ketomboianku itu.Disaat gadis seusiaku sudah mulai di nikahkan (keponakanku rata-rata sudah bertunangan, bahkan sudah ada yang menikah dan become a mother), aku masih sibuk dengan sekolah (walaupun cuma alasanku saja). Padahal aku bukan anak yang pintar, nilai pas-pasan (ck..ck..ck, tapi tetap belum mau menikah). Kenapa aku masih santai?? Karena dua kakak di atasku yang menurut pendanganku lebih segalanya dariku belum menikah juga (yang satu pinter dan sudah selesai sekolah, yang satu lagi wajahnya cantik luar biasa seperti Arab, hidungnya mancung banyak lelaki yang tertarik). Tapi...tenyata orangtuaku punya rencana lain...Remaja identik dengan suka-sukaan, asmara, sakit hati dan lainnya. Begitu pun aku. Di sekolah keguruan (Sekolah Pendidikan Guru disingkat SPG) dulu aku melanjutkan study ku. Di masa-masa itu, aku juga pernah dekat dengan makluk bernama lelaki. Tapi aku tak pernah menyebutnya pacaran, karena bagiku dekat yaa berteman dekat, sebatas itu (faktor karena aku tomboi juga kali yaaa tapi yang jelas aku juga penyuka lelaki lho, hihiiihi). Kalau diajak jalan, yaa..jalan bareng sama teman-teman lainnya. If not, I won't come. Jadi begitulah, saat itu ketika aku sedang dekat dengan seseorang, tapi nyak dan ayah tak tahu itu.

"Kenapa harus saya, nyak?? kan kakak juga belum, kenapa gak mereka duluan?? Saya mau sekolah dulu"
"Kan setelah menikah bisa tetap sekolah. Dan mereka yang datang itu menginginkan kamu. Bertemu dulu yaa."
"Tapi kan.."
"Besok malam mereka akan datang melihat kamu, jangan kemana-mana"
"Nyak..", aku merengek.
"Murni, kamu ketemu dulu yaa."

Dan malam itu pun datang. Biasanya anak gadis yang mau dikenalkan tak akan duduk dengan mereka, tapi orang tua akan menyuruh mengantar air. Dari situ lah, mereka akan menilai. Aku pun hanya sekilas melihat "lelaki" itu. Naluri remajaku langsung membandingkan "lelaki" itu dengan "teman dekatku".

"Oke, murni setuju. Tapi ada dua syarat."
"Apa syaratnya?"
"Saya tetap bole sekolah dan setelah menikah tunggu dua tahun baru boleh pulang"
"Syarat pertama tidak masalah sama sekali, tapi syarat kedua itu konyol. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat murni, untuk apa menikah kalau menunggu sampai 2 tahun"
"Kalau beliau tidak mau, ya sudah..biar beliau cari yang lain saja."
"Kamu keras kepala, dia lelaki baik. Hmm..Setahun kita tunggu untuk resepsi. Tidak ada bantahan".

Aku hanya diam seribu bahasa mendengar ucapan ayah. Tidak ada bantahan jika beliau sudah memutuskan.

Tak sulit bagiku untuk mengungkapkan perihal pernikahanku pada "teman dekatku" karena status kami pun cuma berteman tapi hatiku lumayan sakit. Aku tahu dia terluka, tapi nothing I can do.

"Lelaki" itu setuju dengan perjanjian itu dan akhirnya pernikahan pun terlaksana. Sesuai perjanjian, linto baroe tidak bole pulang (means tidak serumah dengan dara baroe) selama waktu yang telah ditentukan. Dan itu betul-betul dilakukannya dengan sabar. Saat di foto pun, aku harus memaksa senyum yang manis.Aku tidak bisa memaksakan rasa itu. Aku belum bisa merasa indah saat melihatnya. Bahkan disaat weekend (di malam minggu) dia berkunjung melihat istrinya (biasanya malam minggu malamnya pacar mengunjungi pasangannya tapi malah ini malah aku dikunjungi suamiku sendiri), aku berusaha agar tidak ada dirumah. Diam-diam pergi dari pintu belakang, tapi terkadang perjuanganku gagal. Tak jarang aku berkilah ingin menginap di rumah kakak pada malam minggu, tapi nyak dan ayah tidak mengizinkan karena cuma hari itu suamiku akan datang selalu. Terkadang aku merengek dan aku bersorak dalam hati setelah diizinkan ke rumah kakakku, tapi malam minggunya tetap suamiku datang dengan mengendarai vespanya ke rumah kakakku dan mengajakku keluar. Di masa-masa awal itu, tak ada kebahagian. Tapi tiap kali bersamanya, aku merasa terlindungi. Ternyata aku tahu "lelaki" itu bukan seorang yang banyak bicara. Dia jarang berkomentar tentang sekililingnya. Saat aku mengoceh, dia hanya tersenyum. Sebagai seorang suami, dia juga senantiasa memberiku nafkah. Semua kewajiban dan janji-janjinya semuanya dipenuhi dengan tulus. Aku tahu itu. "Lelaki" itu begitu sabar memenuhi janjinya.
Biasanya jarang sekali ada pasangan lelaki yang bertahan dengan keadaan ini. Tapi "lelaki" itu bahkan tidak pernah menanyakan kepadaku, membujukku pun tidak. Dia menjaga janjinya walau sekuat tenaga aku menghindari bertemu dengannya saat itu. Mungkin dengan sikapnya ini lah, Allah membuka hatiku yang beku. Bahkan senyuman yang manis dan gayanya yang rapi tidak menjadi pengaruh apa-apa bagiku. Tibalah Allah mengirimkan satu paket cinta di hatiku. Hatiku penuh cinta pada suamiku bahkan jauh sebelum resepsi akan diselenggarakan.

Keadaannya begitu berbeda, dulu ketika dia datang aku selalu dalam keadaan tidak enak dilihat. Nyak selalu memarahiku. Tapi sekarang aku menghitung detik, kapan "lelaki"itu akan datang. Aku memilih baju yang paling bagus saat akan bertemu dengannya. Hatiku yang dulunya menolak kehadirannya, sekarang malah merasa dag-dig-dug saat suara vespanya yang nyaring berbunyi. Aku jatuh cinta pada suamiku sendiri.

Dua bulan sebelum jatuh tempo perjanjian kami, resepsi pun diselenggarakan. Aku mulai bisa tersenyum bahagia. Aku bangga bergandengan dengan "lelaki"itu.


Sudah lebih 10 tahun kami menikah. Allah menganugerahi 3 orang anak yang lucu. Tidak pernah ada kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulutnya untukku. Aku tidak pernah merasa disakiti, malah setiap detiknya "lelaki" itu makin membuatku bangga akan hadirnya di hidupku. Di saat aku mengomel ketika dia selalu meminjamkan uang ke orang dan tidak ada niat dari orang tersebut mengembalikannya, dia menenangkanku.

"Kan uang yang kita punya itu, walaupun kerja keras kita sendiri tapi itu punya Allah. Biarlah Allah yang memutuskan kemana arahnya."
"Tapi kita kan sedang membangun rumah, kapan jadinya kalau uangnya selalu gak dikembalikan", aku mulai menangis mengingat betapa susannya kami membangun rumah dengan uang dari hasil gaji kecil pegawai saat itu.
"Allah kan ada, pasti akan ada rejeki yang lain. InsyAllah rumah kta akan segera jadi. Jangan menagis lagi."

Suamiku memang bukan seorang pujangga. Dia tak pandai merayu, tapi setiap kata dari mulutnya adalah kekuatan bagiku. Aku begitu mencintainya. Dan akhirnya dengan perjuangan sedikit demi sedikit rumah kami pun terbagun. Aku bersama dengannya berusaha melakukan apapun yang kami bisa jika itu bisa membantu menghemat biaya pembangunan. Aku membantunya mengecat rumah. Aku kuat dan mulai rajin karenanya.
Tangannya begitu dingin, dia menyulap perkarangan rumah kami menjadi kebun. Dan sekarang kami menikmatinya.

Setelah beberapa saat kami menikmati kehidupan baru di rumah kami, pertanda itu pun datang.
Suamiku sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak boleh terluka sedikit pun. Dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata keras di depan anak-anak apalagi memukul. Dia punya cara lain mengajari mereka. Tapi pagi itu, seuatu aneh terjadi. Anak ketigaku masih bayi, dia mulai merangkak kesana kemari dengan lincahnya. Abang dan kakak (anak pertama dan kedua) masih terlelap. Ketika subuh, suamiku membangunkan Abang. Namun beberapa kali dipanggil baru dia mulai bangun. Namanya anak kecil, dia harus mengumpulkan nyawa terlebih dahulu namun caranya mungkin salah. Dia langsung melangkah bangun dengan terhoyong-hoyong dan tanpa sengaja menyenggol si adik. Menangislah adik dan tiba-tiba "Plak!", suah tamparan keras mendarat di muka abang.
"Itulah gak dengar ayah bilang dari tadi bangun".
Aku menangis melihat kejadian itu, anakku ditampar. Aku lebih sedih lagi karena suamiku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Yang paling membuat miris adalah melihat abang yang hanya diam (dia mewarisi sifat ayahnya yang tidak akan komplaini apalagi jika salah), dia tidak menangis. Tapi sekilas kulihat air mata di jatuh di pipi putihnya selain bekas merah karena tamparan suamiku.
"Kenapa??", aku menanyakannya sambil menangis. Tapi seperti biasa, suamiku hanya diam. Ada segurat penyesalan diwajahnya. Lalu dia melihatku, dan wajah itu berbeda. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku belum sadar saat itu bahwa Allah sudah memberinya tanda.
Dan ketika siang di hari minggu, aku menyuruh abang membeli cabe di kedai dekat rumah dia tidak mau. Anakku yang pertama ini memang kurang berani saat kecil. Mungkin dia sering sakit semasa kecil jadi sering bersama aku dan ayahnya membuatnya agak sedikit kurang berani. Biasanya ayahnya akan marah jika aku memaksanya pergi yang ujung-ujungnya aku yang akan pergi sendiri. Tapi hari ini berbeda...

"Ayok abang, kamu itu cowok harus berani. Kedainya pun dekat itu. Kamu itu anak lelaki, punya adik-adik perempuan. Gimana kalau ayah gak ada, sapa yang akan membela dan menjaga ibu dan adik-adik kalau bukan kamu?"
"Tapi yah..", abang masih merengek.
"Pergi gak?",
Aku terkejut mendengar suamiku bersuara keras, abang mengambil uang dan pergi sambil menangis.

Beberapa saat setelah kejadian itu, suamiku jatuh sakit. Dan tak lama meninggal di usianya yang masih muda. Dan meninggalkan seorang istri yang semakin hari semakin mencintainya beserta anak-anak yang masih kecil-kecil. Aku rapuh saat itu, aku belum siap jika harus kehilangan dia.  Aku menyesal dulu pernah menolaknya, seandainya lebih banyak waktu kuhabiskan bersamanya..

Dan sampai kini pun rasa cinta itu tak bisa tergantikan oleh apapun. Cinta yang ditawarkan ole lelaki manapun tak sanggup menghapus kenangannya karena aku punya mereka, anak-anakku.



Kisah cinta mereka mungkin tak semiris kisah cinta Romeo dan Juliet atau Jack dan Rose, tak seindah kisah cinta Cinderella dan Pangerannya. Tapi kisah cinta itu terukir indah dan kekal dihati perempuan itu. Ibuku.

Mommy and her girls..

Anak-anaknya yang menjadi kekuatannya...