Sabtu, 03 Desember 2011

Plot And Me 5 - Apa ini Juga Kebetulan?


Gadis ababil ini kini benar-benar berlebihan. Jadi sedikit menyesal mengatakan padanya tentang Zack. Jadi detik-detik selanjutnya dia habiskan melirik-lirik lelaki yang sedang asik memilah-milih roti di ruang sebelah (bagi yang belum pernah berkunjung ke My Bread, ruangannya di bagi dua, pertama khusus untuk etalase roti dan kue-kue, another is for café).

“Akhirnya bisa ketemu lagi, hihihiii…”, ucapnya kemudian. Aku tak merespon dan terus menyibukkan diri dengan makananku.

“Nad, si Zack tambah ganteng aja yaa? Apalagi…”

“Apalagi dengan Toyota Harrier kan?”, potongku sedikit sinis. Kiki dengan tidak tahu malunya mengangguk pasti, aku geleng-geleng.

Dan detik selanjutnya, Kiki masih melirik-lirik lelaki itu, aku mau berbuat apa?

“Ki, biasa aja kali ngeliatnya. Lebai banget siyh!”, itu saja ucapanku.

“Eh…”, aku mendongak, karena kulihat Kiki langsung mangalihkan pandangannya kearahku dengan sedikit terkejut.

“Kenapa?”

“Dia ngelihat kemari, Nad!”, aku pun dengan refleks menoleh kearah lelaki yang memang sedang berada dikasir itu. Dan… di detik selanjutnya, ketika kami saling berpandangan.

“Nadine!”, panggilnya. Awalnya aku terpana dan ujung-ujungnya aku hanya tersenyum. Kulirik Kiki, dan seperti dugaanku wajahnya sedikit shocked. Waaah, dia masih ingat aku, walau dengan nama yang salah…

“Hei!”, ucapku sangat kaku sambil sedikit melambai.

Ketika Zack menuju ke meja kami, Kiki berbisik…

“Na…dine?? Sejak kapan ??”, ucapnya dengan mata memicing, aku tersenyum kaku.


***

“It’s the second meeting, today!”, ucapnya sambil berdiri disamping meja kami dan aku dengan kepolosanku yang sering sekali mempermalukan diri sendiri menjawab…

“It’s the third actually!”

“Sorry?”

Aku mulai salah tingkah, namun kali ini Kiki benar-benar membantuku. Dia menyenggol kakiku dan itu tandanya dia minta dikenalkan…

“E.. Zack, kenalkan ini sepupuku, Kiki!”, ucapku dan mengalihkan pertanyaannya.

Dan gadis ababil itu dengan tidak tahu malunya menjulurkan tangannya. Zack menerimanya dan tersenyum.

“Zack!”

“Kiki,”

What are you eating?”, tanyanya kemudian.

“Heh?”, aku terpana. Tidak. Tepatnya kami (aku dan Kiki) terpana. Lelaki ini ngomongnya Inggris mulu. Dan yang paling membuat iri adalah ketika cara dia berbicara semacam native speaker. Aku saja yang sudah puluhan tahun belajar bahasa inggris, speakingku masih belepotan (puluhan tahun = dihitung mulai dari SMP, hoho).Lagi pula, ngapain dia tanya-tanya, memangnya dia tak tahu ini apa.

“Lontong sayur”, ucapku masih dengan keadaan terpana.

“Apa itu?” tanyanya lagi.

Dan kini aku benar-benar terkejut. Ternyata ada Chinese yang tidak tahu lontong. Ini orang pura-pura gak tahu atau apa yaa… Akhirnya jadilah aku dan Kiki menjelaskan tentang “Lontong Sayur”, yang memang tidak masuk kurikulum. Zack ternyata sangat tertarik, hingga ikut duduk. Tapi yang memang sedari awal aku mengenalnya, Zack kelihatan kaku berbahasa. Bahasa inggrisnya lancar, bahasanya lancar juga (tapi kaku). Banyak kata yang  dia kadang tidak tahu. Kalau dia berbicara sedikit banyaknya, ada hesitation disana. Aku seperti assessor Ielts aja yaa?? Hehe. Jadi, ketika rasa penasaranku memuncak, kuberanikan diri bertanya padanya.

“Zack…”, panggilku ketika lelaki charming itu sedang melirik jamnya. Dia menoleh.

“Kamu Acehnese bukan?”, Zack sedikit bengong, namun yang membuat kesal, malah Kiki yang terbahak. Kenapa? Apa aku salah?

“Haha… pertanyaan kamu aneh. Masa dia Acehnese, dia kan Chinese…”, celetuk Kiki. Aku dan Zack tertawa kecil. Iya juga ya, hehe.

“Kenapa bertanya itu?”, tanya Zack masih dengan logatnya yang kaku.

“Karena bahasamu agak kaku? Dan rupamu sedikit…”

“Hehe… I am not. My mother is from France…”, ucapnya sambil tersenyum. Manis sekali (seperti rasa air tebu, haha), hingga menyembulkan lesung pipi itu di kedua belah pipinya.

Sudah kuduga. Dengan matanya yang enggak sipit-sipit amat (tapi sipit dikit) dan warna mata yang tak bisa kutebak antara campuran coklat and dark green. Postur tubuh yang memang sangat tinggi dan bahasa yang kaku. Dia Chinese blasteran. Namun ternyata Kiki tak pernah menduga itu, jadi dia terpana dan sangat berlebihan.

“Jadi kamu blasteran?”, tanya Kiki dan Zack hanya menjawab dengan senyuman. Dia lagi-lagi melirik jamnya.

“Nadine, kamu suka memasak? Kamu..hmm…sering belanja kan?”

“Iyya, aku kadang-kadang berjualan kue Zack! Just come and try some!”, ucapku dengan pede berbahasa inggris.

“Really? Dimana?”

“Di dekat rumahku. Hmm… kamu tahu persimpangan Surabaya?”, dia sedikit berpikir dan kemudian mengangguk.

“Nah, kalau kamu lurus aja, nanti disebelah kanan ada sekolah Indo Music School, di depannya lagi ada rumah besar dengan pohon-pohon bambu hiasan disampingnya…”

“That is your house?”, tanyanya dan kini lagi-lagi melirik jamnya.

“Hehe, bukan! Just listen, rumah itu bukan menghadap ke jalan tapi ke sebuah jalan kecil. Nah, rumahku ada di sekitaran jalan kecil itu, rumah ke dua on the right! Hmm…tapi biasanya kami berjualan tepat di depan jalan kecil itu, so don’t worry”.

“Alright! Hmm… I’ve gotta go actually. Nanti, I’ll stop by your house!”

“Zack, kok cepat banget?”, tanya Kiki dengan wajah yang kelihatan memprihatinkan. Dari tadi, dia kelihatan diam bukan karena tak tahu bicara apa, tapi memang karena dia masih terkagum-kagum dengan sosok di depannya itu. Beberapa kali aku menyenggol kakinya, karena dengan sangat sadar Zack juga mengetahui kalau dia sedang dipandangi dengan sangat berlebihan. Zack mau bilang apa? Dia hanya bisa tersenyum (aku tak tahu, apa dia menikmati itu atau tidak).

Zack hanya menjawab pertanyaan Kiki dengan senyuman. Dia bangkit dan melangkah, namun belum beberapa langkah, dia sudah kembali…

“Nadine, may I have your number?”, aku yang akan menikmati suapan terakhir sedikit terkesima. Lelaki charming itu meminta nomorku. Namun, sebuah senggolan kaki menyadarkanku. Kiki.

“Oh, tentu…”

“Maybe, we can hang out together next time, hopefully”, ucapnya.

Zack pergi setelah mencatat nomor hapeku dan Kiki. Si gadis ababil ini masih tak melepas pandangannya sampai Toyota Harrier itu lenyap. Aku hanya bisa geleng-geleng (tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain geleng-geleng, karena kalau aku manggut-manggut itu malah masalah baru). Dan tentunya bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya, Kiki mulai mengoceh sepanjang rel kereta api. Memuji-muji Zack dan mulai beranda-andai gak jelas (aku kadang terkekeh sendiri dan kali ini baru aku manggut-manggut mengiyakan apa yang dia ucapkan dari pada bill lontong sayurku tak dibayar, haha).

“Mimpi apa ya aku semalam bisa tukaran nomor hape sama Zack, hihiii… Mau sms laah”, Hah? Tukaran? Sms? Aku tertawa renyah kali ini.

“Tukaran? Kekagumanmu emang sudah sangat berlebihan Ki. Sejak kapan kita tukaran nomor hape? Yang ada, kita ngasih nomor kita dan kita gak minta nomornya Zack. Jadi gimana kamu mau ber-sms ria dengan Zack… Parah! Haha”

“Oiya ya… Yaah, Nadia siyh… kenapa lu gak minta tadi?”, aku terkekeh.

“Yaah, gatot dah!”

“Lagian ngapain juga kamu kecentilan sms Zack! Yaah, kalau dia memang berinisiatif, pasti hubungi kita…”

“Hehe… centil dikit masih sah donk Nad, nama juga usaha!” What ? Sah? Dia kira hukum apaan ini… hukum yang dia buat sendiri yang sudah pasti.

“Hei, yang udah ada dulu diterima… ngapain sama yang belum jelas. Kita tuch beda sama dia Ki”, ucapku kini dengan mimik serius. Kiki tertawa.

“Serius amat Non! Gak sampai segitunya kali…”


***

Malam itu selesai dengan satu essai-ku, Naisya tiba-tiba mendekat. Ini pasti ada maunya, aku bisa membaca sinyal-sinyal meminta sesuatu dari raut dan mimik wajah itu.

“Ada apa?”, tanyaku spontan.

“Hehe… tau aja. Temenin aku yuk!”

“Kemana malam-malam begini?”

“Ke Sejahtera Galery, perlu untuk SPA ini, baru sadar banyak yang harus dibeli kak… mau yaa? Ayah udah ngasih izin…”

“Kalau kamu belanjanya banyak, emang bisa pakai motor, kenapa gak ajak ayah sekalian?”

“Gak juga, lagian ayah lagi nonton bola”

Dan pergilah aku menemani Naisya. Kebetulan aku juga mau singgah ke Mujur, beli kancing (beberapa bajuku kehilangan anak-anak kancingnya, tak tahu kesasar dimana. Nakal-nakal siyh, hehe). Ku antar Naisya ke SG dan aku beranjak ke Mujur, awalnya Naisya keringanan, eh..maksudnya keberatan, tapi kukatakan ini biar menghemat waktu. Selesai dengan pilihan kancingku, aku bergegas menuju parkiran  karena tanpa kami sadari (Nadia dan Naisya tentunya), dompet Naisya ada dibawah jok motor. Naisya beberapa kali menelponku. Ketika aku sedang sedikit repot memundurkan motorku…

“Priit…priiiit…priiit…” Haha, aku terkekeh. Tukang parkir-tukang parkir, kamu selalu ada dalam hari-hariku. Padahal aku dengan susah payah mengeluarkan motorku sendiri disaat engkau lebih memilih mendampingi Jazz hitam itu, tapi demi tarif parkir 500 perak yang sering kali naik dua kali lipat menjadi 1000 perak itu kau sempat-sempatkan menghampiriku (ungkapan perasaan, hoho). Dan aku merogoh kantong celanaku mencari koin 500an (itu tarif yang sebenarnya dan kita harus membiasakan, kalau tidak, para tukang parkir itu merajalela). Aku serahkan koin itu, dan si abang tukang parkir melenggang pergi (tanpa merasa bersalah, hanya mengambil uang tanpa mengeluarkan jasanya, dasaaar dunia…!). Kuhidupkan scoopyku dan akan meluncur pergi ketika tiba-tiba sebuah mobil yang berhenti tepat disampingku memaksaku menunggu sejenak. Lexus RX atau Toyota Harrier putih. Jangan-jangan ini kebetulan yang baik lagi. Dan memang it’s the fourth for today. I see that charming guy.

“Zack!”, panggilku ketika dia keluar dari mobil itu. Dia menoleh.

“Hei… what are you doing here?”, ujarnya dan kuperlihatkan plastiks berisi kancing-kancing yang warna tak jelas warna apa (aku juga heran kenapa mataku tertarik yaa? Haduuu… faktor usia sepertinya).

“Kamu, ngapain?”

“Cetak foto! Tunggu sebentar yaa! You should see my pictures!”, ucapnya kemudian sambil meninggalkanku yang sukses mengagalkan keburu-buruanku. Dan seperti terhipnotis, aku pun tunduk dengan perintahnya.

Beberapa menit kemudian, Zack keluar dengan senyum yang lebih terlihat seperti ketawa yang ditahan. Aku jadi penasaran. Dia kemudian menyerahkanku segepok (pasti yang mata duitan, kirain segepok duit kan? haha) foto yang sudah dicetak. Karena aku juga sedikit menggemari fotografi, jadi aku sedikit tidaknya bisa menilai. Foto-fotonya paling banyak mengambil objek saja. Sepertinya Zack seorang yang memotret untuk memori bukan karena kemampuan diri. Kebanyakan malah tidak singkron dan pengaturan brighteness dan speednya kurang maksimal.

“Lumayan”, kataku sedikit sombong, Zack tertawa.

“Ini hanya…hmm…sepertiga dari hasil foto sebenarnya karena the rest are broken, haha… ada yang kabur bahkan ada yang terbakar…”

“Oia? Bole liat kameranya?”, Zack mengangguk dan segera menuju Harrier yang memang disamping motorku, kulirik si abang parkir sedang mencuri-curi pandang (kurasa bukan naksir, tapi berpikir kapan aku meluncur pergi, haha).

Zack kembali membawa sebuah DSLR. It is amazing. Aku pun mulai menelusuri jejak proses pengambilan gambar-gambar yang memprihatinkan itu. Memang benar, kebanyakan gambarnya miring, kabur karena yang menjadi fokusnya bukanlah objek itu sendiri.

Overall, Zack seorang pemotret kelas teri. Hasil fotonya biasa sekali untuk sekelas CANON EOS 1D Mark IV seharga hampir 40 jiti (gila kan? Siapa siyh lelaki charming ini? Jangan-jangan keturunan Qarun lagi, haha). Tapi kali ini aku menyadari bahwa tak ada manusia sempurna. Dia boleh charming, dia boleh punya segalanya, tapi Allah juga menyelipkan kekurangan disana, contohnya masalah fotografi ini.

“Zack, kamu sepertinya harus belajar banyak menggunakan ini. Kalau hanya bisa menghasilkan foto seperti ini, lebih baik kameranya untukku saja, hehe…”

“Haha… I know. Iya, aku memang baru belajar otodidak aja, browsing internet, maybe you can teach me how to use it correctly…”, aku terkekeh. Aku memang sok tahu, tapi urusan beginian aku juga bukan ahlinya.

“Aku juga tidak begitu bisa Zack, yang jelas pengaturannya harus disesuaikan dengan objek yang mau kita ambil, hmmm…”, kulihat Zack manggut-manggut. Dan tiba-tiba aku menyadari sesuatu… Oh, tidak! Naisya! Aku pun mengecek hp yang memang tersilent. 6 misscalled dan 2 sms.

Sms pertama berbunyi:

[Kak dimana? aku udah mau selesai ini. Kamu gak niat ninggalin aku tanpa dompet begini kan!] aku terkekeh.

Dan sms kedua:

[Kak aku lihat Bang Faisal. Di SG dengan seorang perempuan, kamu dimana siyh? Cepat kemari]

Smsnya yang terakhir menarik perhatianku dan tiba-tiba membuat perasaanku kacau. Bang Faisal dengan seorang perempuan. Siapa?

“Nadine? What’s up?”, tanya Zack yang mungkin menyadari perubahan ekspresi wajahku dari sebuah senyuman ke ekspresi kacau.

“Hmm… Zack, aku harus pergi. Adikku menunggu. Lain kali kita bahas ini yaaa… See you!”, buru-buru kuserahkan DSLRnya, menghidupkan motorku dan meluncur pergi tanpa memperdulikan respon Zack. Perasaanku benar-benar langsung tidak enak.

Saat aku sampai di SG, kulihat Naisya sudah berdiri mengantri dikasir (berani sekali dia, padahal dompetnya ada padaku). Namun, bukan itu yang jadi fokusku saat ini, kutelusuri ruangan yang memang tak begitu luas itu, namun nihil. Tak ada sosok yang kukenali itu.

“Kemana aja siyh kamu?”, tanya Naisya saat kuserahkan dompetnya. Aku tak merespon karena mataku masih berusaha mencari.

“Gak usah dicari lagi, orangnya baru aja pergi. Siapa suruh kamu telat datang”, ucap Naisya dan kali ini dia lagi-lagi membaca pikiranku. Tak ku perduli, aku pun mulai mengitari ruangan SG itu. Nihil. Tak ada. Apa benar kalau mereka sudah pergi? Atau Naisya hanya sedang mempermainkanku? Tidak, ini bukan hal yang kecil untuk dijadikan lelucon.

Aku membantunya mengangkat beberapa barang belanjaannya.

“Kamu beneran liat Bang Faisal?”

“Bener Kak! Beberapa kali aku pastikan, dan aku tahu pasti itu dia. Apa dia punya adik perempuan?”, aku menggeleng karena dia memang anak lelaki satu-satunya.

“Mungkin kamu salah liat, hhmm…a, atau itu sepupu atau kawannya…”, ucapku masih membela dan sekaligus memperlihatkan kegalauanku. Naisya tahu itu.

“Kamu harus pastikan sendiri Kak.  Jangan sampai kamu tahu belakangan, ini masalah serius. Sya tahu kalian tidak ada hubungan apa-apa, tapi kalian sudah punya komitmen kan? Sebaiknya dikomunikasikan… Kalau sebelah pihak memang tak berminat, lebih baik dihentikan saja”, kata-kata Naisya benar adanya. Dia terkadang memang lebih dewasa dariku.

Sepanjang perjalanan pikiranku kacau. Naisya yang mengendarai motor, aku hanya diam sepanjang perjalanan. Naisya mengerti. Aku bukan takut hubungan ini gagal, tapi yang lebih kutakutkan adalah ketika aku telah mempunyai rasa. Karena itu akan lebih menyakitkan. Disaat seperti ini saja, perasaanku kacau balau. Kata-kata Naisya memang benar, tapi aku belum siap mengkomunikasikan ini sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Seandainya saja aku tadi tak bertemu Zack mungkin aku bisa membuktikannya. Baru dua hari lalu aku begitu bahagia bertemu dengan kedua orang tua Bang Faisal, baru tadi pagi aku begitu bahagia bisa berkomunikasi dengannya. Allah, beri petunjukMu, tunjukkan lah jika memang itu benar.

Sesampainya dirumah, aku lebih banyak diam. Ku pandangi hapeku, namun tak satu deringpun aku dapat. Aku mendesah. Ketika aku beranjak ke toilet, sebuah dering sms mengejutkanku, buru-buru kuraih hapeku. Nomor tak dikenal.

[Hai Nadine, it’s me! Zack. Something happened? Maaf ya kalau tadi mengganggu waktumu. Hope, you’re ok! Because in the last minutes, you looked too worry]


Disaat begini, setiap dering telpon maupun sms, aku berharap nama itu yang muncul dan meyakinkanku bahwa semuanya memang tidak benar. Maafkan aku Zack, perasaanku memang lagi tak nyaman.  Aku memang egois, tapi untuk saat ini aku hanya ingin sendiri.


***

Tiga minggu pun berlalu. Tak ada perubahan. Tak ada telpon atau sms dari Bang Faisal. Kecemasanku memang semakin menjadi-jadi. Aku berinisiatif, menunggu beberapa hari lagi, ketika tak ada komunikasi maka biarlah perjalanan ini berakhir. Namun semua niatku seperti runtuh begitu saja ketika pagi ini aku bersama mamak ke pernikahan teman dekatku, aku bertemu Ummi nya Bang Faisal yang memang merupakan kerabat dari temanku. Dia memelukku penuh kasih, senantiasa menggandeng tanganku.

“Bagaimana kabarnya Bu?”, tanya mamak. Aku tahu mamak hanya sekedar bertanya kabar, tetapi beliau mungkin mengartikan lain.

“Kami sedang menunggu kabar dari sebelah ibu, kapan Nadia siap…”, mamak dan aku saling berpandangan. Memang jawaban yang tidak nyambung, tapi kami mengerti maksudnya.

Tak kupungkiri ada seberkas harapan lagi. Maka ketika Kak Dira menanyakan kabar (bukan kabarku tepatnya, tapi kabar komunikasiku dengan Bang Faisal), maka aku mengatakan baik-baik saja.

Aku akan tetap berdoa semoga apa yang dilihat Naisya hanya sebuah kesilapan. Aku berusaha membangun kepercayaan lagi, walaupun komunikasi kami macet lagi bahkan setelah kejadian itu.


***

Sore sabtu ini aku berencana ingin berjualan saja karena memang beberapa orang sudah menanyakan. Last Thursday, dosenku Mike mencoba salah satu kue yang kubawa sebagai bekal ke kampus, dia suka dan katanya mau mengunjungi kedai kecil yang tak seberapa itu. Ada kebahagian tersendiri (at least, aku bisa sedikit melupakan problema asmaraku, hiks), dan memang ketika aku sedang bergelut dengan hobiku itu, dunia hanya milikku saja, hehe. Maka pagi ini aku bersiap-siap berbelanja. Ketika menginjakkan kakiku ke toko Aci Joan, aku seperti mengingat sesuatu. Zack. Ya Allah, dia apa kabar yaa? Aku juga tersadar bahwa smsnya bahkan tak kubalas saat itu. Aku harus ngomong apa kalau ketemu?

“Nadia”, suara itu membuyarkan lamunanku.


***

“Makasih Ci…”, ucapku ketika Joan mengembalikan kembalian.

“Sudah lama gak belanja, kemana aja?”, tanyanya.

“Hehe, masih banyak persediaan Ci…”, jawabku sekenanya karena memang pikiranku sedang tidak pada pertanyaan itu. Zack kemana yaa? Kok tidak keliatan, aku berusaha dengan sangat hati-hati menelusuri toko itu, dan memang hari ini Zack tidak disana.
Apa dia sudah tidak di Aceh? Sudah kembalikah ke kampung halamannya? Maka ketika aku diperjalanan pulang, pikiranku beralih dari Bang Faisal ke Zack (bukan karena tidak setia, tapi karena aku penasaran sekaligus sedikit merasa bersalah). Beberapa kali aku mencoba menghubunginya tapi nomornya tidak aktif, sms yang ku kirimkan sudah pasti pending. Zack, kamu kemana siyh?

Sore menjelang, selepas ashar aku dan Naisya sudah mulai menjejalkan beberapa macam kue dan minuman segar. Tak lama pelanggan pun datang. Beberapa menit kemudian, aku merasa perutku mulas jadi kutinggalkan Naisya sendiri dengan para pelanggan. Ketika aku kembali, aku sedikit bahagia melihat dagangan sudah akan lenyap (arti:positif).

“Kak, hebat juga yaa? Kue kreasi kita disukai bukan hanya orang lokal, tapi internasional, hehe...”, syukur aku sudah ke toilet, jadi tak perlu mulas lagi mendengar kenarsisannya, walaupun sejujurnya aku senang.

“Maksudnya?”

“Tadi ada cowok, bukan Indonesia yang pastinya, ganteng banget kak! Dia juga beli dagangan kita, terus pas dia coba katanya enak... Oia, kalau tidak salah tadi dia nitip salam buat Nadia, itu kamu bukan? Haha”, aku memaksakan tertawa. Oya? Siapa? Orang asing? Hmmm...

“Mike yaa?”

“Entah, gak sempat nanya, dia langsung pergi Kak karena tadi lumayan rame... memang Mike siapa?”

“Dosenku!”

“Oohh...”, Waaah, Mike beneran datang membeli daganganku. Jadi sedikit bangga.


***

Hari Minggu pun datang lagi. Mendung menyelimuti Banda Aceh. Perutku agak sedikit mulas, jangan-jangan aku mau haidh lagi, mood ku pun agak sedikit berubah lebih sensi (maklum perempuan, hehe).

Sepanjang hari kuhabiskan mengerjakan tugas, selain membantu mamak memasak. Naisya sedang asyik menyetrika. Maka menjelang Ashar, ketika aku sedang menikmati aktifitasku, seseorang yang selama ini selalu hadir ditiap hari-hariku (bukan seseorang yang begitu diharapkan pada dasarnya, hehe) menelpon...

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumussalam, hai...bersua lagi dengan Kiki yang cantik...”

“Ada apa?”

“Haha... judes amat lo! Ngapain Nad? Ada kegiatan gak?”, perasaanku sedikit kurang enak.

“Lagi ngerjain tugas ni...”

“Hehe... gak ngaruh! Nad, bantuin aku yaa? Tadi aku ada acara kondangan teman di Ajun...”

“Terus?”, potongku.

“Haha... dengar dulu. Nah, beberapa teman sekantorku kan bikin arisan, dan kebetulan hari ini pertama. Aku baru tahu, dan mereka ngajak ketemuan di Taman Tepi Pantai Ulee Lheu, kamu bisa datang gak?”

“Lha, kok aku? Gak salah?”

“Maksudku, aku mau pinjam kamera digitalmu, punyaku rusak... bisa antarkan sebentar? Aku nunggu kamu disana sekarang yaa?”

“Sekarang?”


***

Dan dengan sedikit keberatan, aku pun berkemas mengantarkan kamera digital. Perutku semakin tak enak. Perasaanku pun tiba-tiba jadi tidak enak, mungkin karena memang ini jadwal tamuku akan segera datang. Naisya sedang sibuk sekali dengan setrikaannya, jadi aku pun berangkat.

Ketika aku sampai, sebuah benda menarik perhatianku. Sebuah Jazz silver dengan nomor plat BL 414 JO berdiri dipinggir jalan itu. Aku tahu itu milik siapa. Ya Allah, sudah lama sekali tak berjumpa, dia apa kabar ya? Aku sedikit bersyukur menyetujui untuk mengantar kamera digital hingga mungkin bisa bertemu. Ku pinggirkan scoopyku, Kiki sudah menunggu.

“Makasih yaa? I love you dah, Nad, hehe”, ucapnya ketika kuserahkan kamera itu ditangannya, namun mataku masih menelusuri taman itu.

“Kamu cari siapa?”, tanya Kiki yang merasa tak direspon.

“Itu mobilnya bang Faisal kan?”, tanyaku. Aku lupa kalau...

“Iyya, memang kenapa?”, tanya Kiki sedikit curiga, dan aku baru sadar kalau sepupuku ini belum tahu apa-apa.

“Hehe... gak ada, kukira cuma perempuan yang arisanan!”, ucapku seadanya, Kiki masih terlihat curiga.

“Yaah, kurang tahu juga dech Nad, aku juga dipaksa ikut niyh, jadi belum ketemu semua... Lagian kan, kemungkinan Bang Faisal nemenin Vina...”

“Vina?”

“Iya, teman sekantorku. Mereka kan lagi dekat!”, telingaku seperti ditampar. Pernyataan Kiki benar-benar mengejutkan. Perutku kini terasa kian mulas dan aku tahu ini bukan hanya karena nyeri haidhku datang, tapi..

“Oia?”, ucapku dengan suara lemah.

“Iya Nad. Aku juga baru tahu beberapa hari lalu dari Vina, katanya ada yang ngenalin, dan mereka ngerasa cocok, jadi kamu jangan berencana naksir sama Bang Faisal yaa?”, ucapnya sedikit melotot. Aku menunduk. Tak kurespon lagi ucapannya, kini perasaanku benar-benar... sakit.

“Nah, itu kan mereka...”, ujar Kiki sambil menunjuk kearah jam delapan. Aku menoleh dan benar saja, dua orang sedang berjalan kearah kami. Seorang perempuan sedang memegang lengan lelaki itu. Awalnya mereka tertawa, tapi ketika pandanganku beradu dengan mata si lelaki yang kutahu sebagai Bang Faisal, dia terdiam. Kaku. Seketika cuaca yang mendung kian membuat perasaanku perih, suara petir membuyarkan pandanganku.

“Ki, a..aku pulang yaa?”, ucapku sedikit kesusahan karena aku benar-benar sedang berjuang menahan perasaanku. Aku tahu Kiki pasti menyadari sesuatu karena dia terpana melihat kekakuan aku dan lelaki itu.

“Nad, sebenarnya ada apa?”, tak kurespon pertanyaannya karena aku langsung menuju motorku, Kiki mengikuti langkahku.

“Nadia, ini udah mau ujan, kamu jangan pulang dulu!”, aku langsung menghidupkan motorku.

“Nad…”, panggil Kiki sambil memegang lenganku. Aku tak tahu bagaimana rupaku saat itu, yang jelas kupaksakan sebuah senyuman untuk Kiki dan kulajukan motorku. Sekilas kulihat lelaki itu berjalan sedikit tergesa-gesa kearah kami. Dan aku sudah tak mau tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Perasaanku terlanjur perih, ternyata apa yang dilihat Naisya memang benar adanya dan doaku terkabul ketika semuanya kulihat dengan mataku sendiri.

Petir pun seperti tahu gemuruh perasaanku, kemurungan dan kesenduan mendung membuat hatiku semakin sendu dan aku tak mengerti seolah semesta bersamaku dan mengerti apa yang kurasakan. Aku marah. Aku kecewa. Aku merasa dikhianati. Tubuhku bergetar, perutku mual, dan kini tangis yang kutahan jatuh tak tertahan bersama dengan turunnya hujan. Deras seperti isakku yang sudah tak bisa kutahan. Sentuhan air hujan yang luar biasa deras tak lagi menyakiti wajahku, rasa sakit itu Cuma disatu titik tubuhku. Hati.

Jalan kian tak tampak, yang kuketahui saat itu bahwa kubelokkan motorku kearah Lampaseh. Hujan semakin menjadi-jadi, tubuhku bergetar dan kusadari itu bukan hanya karena aku kedinginan tapi karena perasaan perih yang kurasakan. Tuhan, inikah rasanya sakit hati, kenapa aku harus begitu cepat jatuh hati kalau perasaan sakit ini yang akhirnya aku dapatkan. Aku menyesal.

Jalan begitu sepi, yang terdengar hanya suara jantungku yang berdetak cepat. Suara gemuruh petir dan hujan yang bersahut-sahutan. Tak ada seorang pun disana. Dan ketika hatiku hancur, masih tersisa pengharapan disana. Aku berusaha melihat kearah spion yang memang sudah tak kelihatan karena air ujan yang deras. Mataku masih mengharap Jazz silver itu mengejarku. Tak ada. Dia bahkan tak mengkhawatirkanku sama sekali dikala hujan begini.

Sesaat kemudian aku tersadar ketika melihat sebuah bangunan kecil nan cantik. Ya Allah, aku belum shalat Ashar. Seketika perasaanku mulai sedikit demi sedikit tenang. Tak ada seorang pun disana, mungkin karena waktu Ashar telah berlalu dan hujan pun sangat deras.


***

Bangunan kecil nan cantik itu bernama Mesjid Ayudhia terletak di Desa Alue Dayah Geulumpang. Mesjid mungil dengan suasana yang asri, rapi dan cantik. Disanalah aku bersujud untukNya, menumpahkan segala perasaanku. Kini isakanku lebih teratur di atas sajadah itu. Rabb, kenapa Kau limpahkan perasaan jatuh hati jikalau itu salah sasaran? Aku hanya manusia biasa yang tak bisa memilih. Kini disaat semuanya kurasa sangat berat, kepadaMu jua lah aku memohon bimbingan, karena hati, jiwa dan raga ini milikMu. Limpahkan keyakinan dihati bahwa segala keterpurukan ini akan menemui solusi yang baik, amiin.

Hampir satu jam aku terduduk di dalam masjid mungil ini. Hujan tak kunjung reda sedang hari semakin gelap. Kulirik jamku, dan it’s nearly 6. Aku tak bisa pulang dalam keadaan hujan deras yang semakin menjadi-jadi. Suara petir semakin membuat perasaanku resah. Lagi-lagi aku melirik benda yang terletak lunglai tak lagi bernyawa disampingku. Handphone. Dia mati setelah tersiram hujan yang sangat deras. Bagaimana menghubungi keluarga? Kesendirian tiba-tiba membuat hatiku perih lagi, aku mulai meratapi lagi keadaanku hari ini. Aku salah apa Tuhan?

Aku harus pulang. Kuraih kunci motorku dan dalam hujan yang semakin deras, aku meninggalkan Mesjid Ayudhia yang mungil itu. Aku pasti kembali kesini, batinku. Tak ada satu manusia pun terlihat. Bahkan ketika biasanya aku melewati jalan ini, aku bisa melihat deretan bukit-bukit, kini semua tertutup gelapnya kabut. Inilah cerminan perasaanku, ketika pertama kali menaruh hati malah berbuah luka. Aku pun melewati rawa-rawa yang airnya kini semakin meninggi. Pandanganku semakin kabur karena derasnya hujan, aku mulai beristighfar dalam hati. Satu kecemasan datang menghampiri dan…

“Brak…”

“Laailahaillallah…!”


***

Aku terduduk lemas disamping jalan itu. Apa aku harus menyerah Allah? Apa salahku?
Aku menabrak pinggiran jalan hingga aku terjatuh. Aku terseret dengan Scoopyku yang kini masih terbaring tak berdaya diatas jalan itu. Ada rasa nyeri yang luar biasa ketika aku bangkit ingin membangunkan motorku. Dan kulihat darah mulai mengucur dari tangan, bukan itu saja bahkan aku merasa tak kuat berdiri. Tangan dan kakiku berdarah. Hujan mengalirkan warna merah itu, hingga aku tak perlu mengusapnya.

Aku mulai terisak lagi. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada siapapun disini, hanya bangunan ruko-ruko yang belum berpenghuni disamping kanan dan kiriku, sedang disampingnya masih rawa-rawa. Aku sudah pasrah jika saja ada hewan liar keluar dari sana. Kulepas helm ku dan menangis sesenggukan.

“Ayah, mamak… tolong Nadia”, ucapku lirih dengan isakan.

Begitu lengkap cobaan yang Allah berikan hari ini disaat tak seorang pun melewati jalan itu di hari yang semakin gelap. Aku menutup wajah dengan kedua belah tanganku dan sesenggukan.

Betapa hatiku tak mau kompromi, disaat mulut menolak, dengan teganya hatiku mengucap nama itu. Hatiku masih sangat berharap lelaki itu datang. Maka ketika dari kejauhan kulihat sebuah mobil, aku dengan susah payah bangun karena dimataku, mobil itu seperti Jazz berwarna silver. Namun, anggapanku salah, sebuah Avanza silver melaju dengan kencang.

Aku pun terduduk lemah disamping jalan sambil menunduk. Perih yang kurasakan dari luka di kaki dan lenganku masih tak seberapa dari luka batinku. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti beberapa meter di depanku, aku mendongak.

“Ya Allah, akhirnya Kau jawab doaku…”

Itu Jazz silver. Aku tersenyum dalam tangis. Bang Faisal. Sesosok lelaki yang kuyakini sebagai Bang Faisal turun dari mobil itu, aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena hujan yang kian deras. Dengan payung merahnya dia kian mendekat, kini wajahnya semakin jelas…

“Nadine…???”, ucapnya dengan ekspresi terkejut.

Wajah itu, suara itu, panggilan itu. Aku kenal. Satu sisi hatiku kecewa karena dia bukan seseorang yang kuharapkan datang, tapi sisi hatiku yang lain bahagia karena… Lelaki yang kuacuhkan beberapa waktu lalu berdiri disana, Yaa...that charming guy is there for me.

“Zack…!”

***