Gadis ababil ini
kini benar-benar berlebihan. Jadi sedikit menyesal mengatakan padanya tentang
Zack. Jadi detik-detik selanjutnya dia habiskan melirik-lirik lelaki yang
sedang asik memilah-milih roti di ruang sebelah (bagi yang belum pernah
berkunjung ke My Bread, ruangannya di bagi dua, pertama khusus untuk etalase
roti dan kue-kue, another is for café).
“Akhirnya bisa
ketemu lagi, hihihiii…”, ucapnya kemudian. Aku tak merespon dan terus
menyibukkan diri dengan makananku.
“Nad, si Zack
tambah ganteng aja yaa? Apalagi…”
“Apalagi dengan
Toyota Harrier kan?”, potongku sedikit sinis. Kiki dengan tidak tahu malunya
mengangguk pasti, aku geleng-geleng.
Dan detik
selanjutnya, Kiki masih melirik-lirik lelaki itu, aku mau berbuat apa?
“Ki, biasa aja kali
ngeliatnya. Lebai banget siyh!”, itu saja ucapanku.
“Eh…”, aku
mendongak, karena kulihat Kiki langsung mangalihkan pandangannya kearahku
dengan sedikit terkejut.
“Kenapa?”
“Dia ngelihat kemari,
Nad!”, aku pun dengan refleks menoleh kearah lelaki yang memang sedang berada
dikasir itu. Dan… di detik selanjutnya, ketika kami saling berpandangan.
“Nadine!”,
panggilnya. Awalnya aku terpana dan ujung-ujungnya aku hanya tersenyum. Kulirik
Kiki, dan seperti dugaanku wajahnya sedikit shocked. Waaah, dia masih ingat
aku, walau dengan nama yang salah…
“Hei!”, ucapku
sangat kaku sambil sedikit
melambai.
Ketika Zack menuju
ke meja kami, Kiki berbisik…
“Na…dine??
Sejak kapan ??”, ucapnya dengan
mata memicing, aku tersenyum kaku.
***
“It’s the second
meeting, today!”, ucapnya sambil berdiri disamping meja kami dan aku dengan
kepolosanku yang sering sekali mempermalukan diri sendiri menjawab…
“It’s the third
actually!”
“Sorry?”
Aku mulai salah
tingkah, namun kali ini Kiki benar-benar membantuku. Dia menyenggol kakiku dan
itu tandanya dia minta dikenalkan…
“E.. Zack, kenalkan
ini sepupuku, Kiki!”, ucapku dan mengalihkan pertanyaannya.
Dan gadis ababil
itu dengan tidak tahu malunya menjulurkan tangannya. Zack menerimanya dan
tersenyum.
“Zack!”
“Kiki,”
“What
are you eating?”, tanyanya
kemudian.
“Heh?”, aku
terpana. Tidak. Tepatnya kami (aku dan Kiki) terpana. Lelaki ini ngomongnya
Inggris mulu. Dan yang paling membuat iri adalah ketika cara dia berbicara
semacam native speaker. Aku saja yang sudah puluhan tahun belajar bahasa
inggris, speakingku masih belepotan (puluhan tahun = dihitung mulai dari SMP,
hoho).Lagi pula, ngapain dia tanya-tanya, memangnya dia tak tahu ini apa.
“Lontong sayur”,
ucapku masih dengan keadaan terpana.
“Apa itu?” tanyanya
lagi.
Dan kini aku
benar-benar terkejut. Ternyata ada Chinese yang tidak tahu lontong. Ini orang
pura-pura gak tahu atau apa yaa… Akhirnya jadilah aku dan Kiki menjelaskan
tentang “Lontong Sayur”, yang memang tidak masuk kurikulum. Zack ternyata
sangat tertarik, hingga ikut duduk. Tapi yang memang sedari awal aku
mengenalnya, Zack kelihatan kaku berbahasa. Bahasa inggrisnya lancar, bahasanya
lancar juga (tapi kaku). Banyak kata yang
dia kadang tidak tahu. Kalau dia berbicara sedikit banyaknya, ada
hesitation disana. Aku seperti assessor Ielts aja yaa?? Hehe. Jadi, ketika rasa
penasaranku memuncak, kuberanikan diri bertanya padanya.
“Zack…”, panggilku
ketika lelaki charming itu sedang melirik jamnya. Dia menoleh.
“Kamu Acehnese
bukan?”, Zack sedikit bengong, namun yang membuat kesal, malah Kiki yang
terbahak. Kenapa? Apa aku salah?
“Haha… pertanyaan
kamu aneh. Masa dia Acehnese, dia kan Chinese…”, celetuk Kiki. Aku dan Zack
tertawa kecil. Iya juga ya, hehe.
“Kenapa bertanya
itu?”, tanya Zack masih dengan logatnya yang kaku.
“Karena bahasamu
agak kaku? Dan rupamu sedikit…”
“Hehe… I am not. My
mother is from France…”, ucapnya sambil tersenyum. Manis sekali (seperti rasa
air tebu, haha), hingga menyembulkan lesung pipi itu di kedua belah pipinya.
Sudah kuduga.
Dengan matanya yang enggak sipit-sipit amat (tapi sipit dikit) dan warna mata
yang tak bisa kutebak antara
campuran coklat and dark green. Postur tubuh yang memang sangat tinggi dan
bahasa yang kaku. Dia Chinese blasteran. Namun ternyata Kiki tak pernah menduga
itu, jadi dia terpana dan sangat berlebihan.
“Jadi kamu
blasteran?”, tanya Kiki dan Zack hanya menjawab dengan senyuman. Dia lagi-lagi
melirik jamnya.
“Nadine, kamu suka
memasak? Kamu..hmm…sering belanja kan?”
“Iyya, aku
kadang-kadang berjualan kue Zack! Just come and try some!”, ucapku dengan pede
berbahasa inggris.
“Really? Dimana?”
“Di dekat rumahku.
Hmm… kamu tahu persimpangan Surabaya?”, dia sedikit berpikir dan kemudian
mengangguk.
“Nah, kalau kamu
lurus aja, nanti disebelah kanan ada sekolah Indo Music School, di depannya
lagi ada rumah besar dengan pohon-pohon bambu hiasan disampingnya…”
“That is your
house?”, tanyanya dan kini lagi-lagi melirik jamnya.
“Hehe, bukan! Just
listen, rumah itu bukan menghadap ke jalan tapi ke sebuah jalan kecil. Nah,
rumahku ada di sekitaran jalan kecil itu, rumah ke dua on the right! Hmm…tapi
biasanya kami berjualan tepat di depan jalan kecil itu, so don’t worry”.
“Alright! Hmm… I’ve
gotta go actually. Nanti, I’ll stop by your house!”
“Zack, kok cepat
banget?”, tanya Kiki dengan wajah yang kelihatan memprihatinkan. Dari tadi, dia
kelihatan diam bukan karena tak tahu bicara apa, tapi memang karena dia masih terkagum-kagum dengan sosok di depannya itu. Beberapa
kali aku menyenggol kakinya, karena dengan sangat sadar Zack juga mengetahui
kalau dia sedang dipandangi dengan sangat berlebihan. Zack mau bilang apa? Dia
hanya bisa tersenyum (aku tak tahu, apa dia menikmati itu atau tidak).
Zack hanya menjawab
pertanyaan Kiki dengan senyuman. Dia bangkit dan melangkah, namun belum
beberapa langkah, dia sudah kembali…
“Nadine, may I have
your number?”, aku yang akan menikmati suapan terakhir sedikit terkesima.
Lelaki charming itu meminta nomorku. Namun, sebuah senggolan kaki
menyadarkanku. Kiki.
“Oh, tentu…”
“Maybe, we can hang
out together next time, hopefully”, ucapnya.
Zack pergi setelah
mencatat nomor hapeku dan Kiki. Si gadis ababil ini masih tak melepas
pandangannya sampai Toyota Harrier itu lenyap. Aku hanya bisa geleng-geleng
(tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain geleng-geleng, karena kalau aku
manggut-manggut itu malah masalah baru). Dan tentunya bisa ditebak apa yang
terjadi selanjutnya, Kiki mulai mengoceh sepanjang rel kereta api. Memuji-muji
Zack dan mulai beranda-andai gak jelas (aku kadang terkekeh sendiri dan kali
ini baru aku manggut-manggut mengiyakan apa yang dia ucapkan dari pada bill
lontong sayurku tak dibayar, haha).
“Mimpi apa ya aku
semalam bisa tukaran nomor hape sama Zack, hihiii… Mau sms laah”, Hah? Tukaran?
Sms? Aku tertawa renyah kali ini.
“Tukaran?
Kekagumanmu emang sudah sangat berlebihan Ki. Sejak kapan kita tukaran nomor
hape? Yang ada, kita ngasih nomor kita dan kita gak minta nomornya Zack. Jadi
gimana kamu mau ber-sms ria dengan Zack… Parah! Haha”
“Oiya ya… Yaah,
Nadia siyh… kenapa lu gak minta tadi?”, aku terkekeh.
“Yaah, gatot dah!”
“Lagian ngapain
juga kamu kecentilan sms Zack! Yaah, kalau dia memang berinisiatif, pasti
hubungi kita…”
“Hehe… centil dikit
masih sah donk Nad, nama juga usaha!” What ? Sah? Dia kira hukum apaan ini… hukum
yang dia buat sendiri yang sudah pasti.
“Hei, yang udah ada
dulu diterima… ngapain sama yang belum jelas. Kita tuch beda sama dia Ki”,
ucapku kini dengan mimik serius. Kiki tertawa.
“Serius amat Non!
Gak sampai segitunya kali…”
***
Malam itu selesai
dengan satu essai-ku, Naisya tiba-tiba mendekat. Ini pasti ada maunya, aku bisa
membaca sinyal-sinyal meminta sesuatu dari raut dan mimik wajah itu.
“Ada apa?”, tanyaku
spontan.
“Hehe… tau aja.
Temenin aku yuk!”
“Kemana malam-malam
begini?”
“Ke Sejahtera Galery,
perlu untuk SPA ini, baru sadar banyak yang harus dibeli kak… mau yaa? Ayah
udah ngasih izin…”
“Kalau kamu
belanjanya banyak, emang bisa pakai motor, kenapa gak ajak ayah sekalian?”
“Gak juga, lagian
ayah lagi nonton bola”
Dan pergilah aku
menemani Naisya. Kebetulan aku juga mau singgah ke Mujur, beli kancing
(beberapa bajuku kehilangan anak-anak kancingnya, tak tahu kesasar dimana.
Nakal-nakal siyh, hehe). Ku antar Naisya ke SG dan aku beranjak ke Mujur,
awalnya Naisya keringanan, eh..maksudnya keberatan, tapi kukatakan ini biar
menghemat waktu. Selesai dengan pilihan kancingku, aku bergegas menuju
parkiran karena tanpa kami sadari (Nadia
dan Naisya tentunya), dompet Naisya ada dibawah jok motor. Naisya beberapa kali
menelponku. Ketika aku sedang sedikit repot memundurkan motorku…
“Priit…priiiit…priiit…”
Haha, aku terkekeh. Tukang parkir-tukang parkir, kamu selalu ada dalam
hari-hariku. Padahal aku dengan susah payah mengeluarkan motorku sendiri disaat
engkau lebih memilih mendampingi Jazz hitam itu, tapi demi tarif parkir 500 perak yang sering
kali naik dua kali lipat menjadi 1000 perak itu kau sempat-sempatkan menghampiriku
(ungkapan perasaan, hoho). Dan aku merogoh kantong celanaku mencari koin 500an
(itu tarif yang sebenarnya dan kita harus membiasakan, kalau tidak, para tukang
parkir itu merajalela). Aku serahkan koin itu, dan si abang tukang parkir
melenggang pergi (tanpa merasa bersalah, hanya mengambil uang tanpa
mengeluarkan jasanya, dasaaar dunia…!). Kuhidupkan scoopyku dan akan meluncur
pergi ketika tiba-tiba sebuah mobil yang berhenti tepat disampingku memaksaku
menunggu sejenak. Lexus RX atau Toyota Harrier putih. Jangan-jangan ini
kebetulan yang baik lagi. Dan memang it’s the fourth for today. I see that
charming guy.
“Zack!”, panggilku
ketika dia keluar dari mobil itu. Dia menoleh.
“Hei… what are you
doing here?”, ujarnya dan kuperlihatkan plastiks berisi kancing-kancing yang
warna tak jelas warna apa (aku juga heran kenapa mataku tertarik yaa? Haduuu…
faktor usia sepertinya).
“Kamu, ngapain?”
“Cetak foto! Tunggu
sebentar yaa! You should see my pictures!”, ucapnya kemudian sambil
meninggalkanku yang sukses mengagalkan keburu-buruanku. Dan seperti
terhipnotis, aku pun tunduk dengan perintahnya.
Beberapa menit
kemudian, Zack keluar dengan senyum yang lebih terlihat seperti ketawa yang
ditahan. Aku jadi penasaran. Dia kemudian menyerahkanku segepok (pasti yang
mata duitan, kirain segepok duit kan? haha) foto yang sudah dicetak. Karena aku
juga sedikit menggemari fotografi, jadi aku sedikit tidaknya bisa menilai. Foto-fotonya
paling banyak mengambil objek saja. Sepertinya Zack seorang yang memotret untuk
memori bukan karena kemampuan diri. Kebanyakan malah tidak singkron dan
pengaturan brighteness dan speednya kurang maksimal.
“Lumayan”, kataku
sedikit sombong, Zack tertawa.
“Ini
hanya…hmm…sepertiga dari hasil foto sebenarnya karena the rest are broken,
haha… ada yang kabur bahkan ada yang terbakar…”
“Oia? Bole liat
kameranya?”, Zack mengangguk dan segera menuju Harrier yang memang disamping
motorku, kulirik si abang parkir sedang mencuri-curi pandang (kurasa bukan
naksir, tapi berpikir kapan aku meluncur pergi, haha).
Zack kembali
membawa sebuah DSLR. It is amazing. Aku pun mulai menelusuri jejak proses pengambilan
gambar-gambar yang memprihatinkan itu. Memang benar, kebanyakan gambarnya
miring, kabur karena yang menjadi fokusnya bukanlah objek itu sendiri.
Overall, Zack
seorang pemotret kelas teri. Hasil fotonya biasa sekali untuk sekelas CANON EOS
1D Mark IV seharga hampir 40 jiti (gila kan? Siapa siyh lelaki charming ini?
Jangan-jangan keturunan Qarun lagi, haha). Tapi kali ini aku menyadari bahwa
tak ada manusia sempurna. Dia boleh charming, dia boleh punya segalanya, tapi
Allah juga menyelipkan kekurangan disana, contohnya masalah fotografi ini.
“Zack, kamu
sepertinya harus belajar banyak menggunakan ini. Kalau hanya bisa menghasilkan
foto seperti ini, lebih baik kameranya untukku saja, hehe…”
“Haha… I know. Iya,
aku memang baru belajar otodidak aja, browsing internet, maybe you can teach me
how to use it correctly…”, aku terkekeh. Aku memang sok tahu, tapi urusan
beginian aku juga bukan ahlinya.
“Aku juga tidak
begitu bisa Zack, yang jelas pengaturannya harus disesuaikan dengan objek yang
mau kita ambil, hmmm…”, kulihat Zack manggut-manggut. Dan tiba-tiba aku
menyadari sesuatu… Oh, tidak! Naisya! Aku pun mengecek hp yang memang tersilent.
6 misscalled dan 2 sms.
Sms pertama
berbunyi:
[Kak dimana? aku udah mau selesai ini. Kamu gak niat
ninggalin aku tanpa dompet begini kan!] aku terkekeh.
Dan sms kedua:
[Kak aku lihat Bang Faisal. Di SG dengan seorang
perempuan, kamu dimana siyh? Cepat kemari]
Smsnya yang
terakhir menarik perhatianku dan tiba-tiba membuat perasaanku kacau. Bang
Faisal dengan seorang perempuan. Siapa?
“Nadine? What’s
up?”, tanya Zack yang mungkin menyadari perubahan ekspresi wajahku dari sebuah
senyuman ke ekspresi kacau.
“Hmm… Zack, aku
harus pergi. Adikku menunggu. Lain kali kita bahas ini yaaa… See you!”, buru-buru
kuserahkan DSLRnya, menghidupkan motorku dan meluncur pergi tanpa memperdulikan
respon Zack. Perasaanku benar-benar langsung tidak enak.
Saat aku sampai di
SG, kulihat Naisya sudah berdiri mengantri dikasir (berani sekali dia, padahal
dompetnya ada padaku). Namun, bukan itu yang jadi fokusku saat ini, kutelusuri
ruangan yang memang tak begitu luas itu, namun nihil. Tak ada sosok yang
kukenali itu.
“Kemana aja siyh
kamu?”, tanya Naisya saat kuserahkan dompetnya. Aku tak merespon karena mataku
masih berusaha mencari.
“Gak usah dicari
lagi, orangnya baru aja pergi. Siapa suruh kamu telat datang”, ucap Naisya dan
kali ini dia lagi-lagi membaca pikiranku. Tak ku perduli, aku pun mulai
mengitari ruangan SG itu. Nihil. Tak ada. Apa benar kalau mereka sudah pergi?
Atau Naisya hanya sedang mempermainkanku? Tidak, ini bukan hal yang kecil untuk
dijadikan lelucon.
Aku membantunya
mengangkat beberapa barang belanjaannya.
“Kamu beneran liat
Bang Faisal?”
“Bener Kak!
Beberapa kali aku pastikan, dan aku tahu pasti itu dia. Apa dia punya adik
perempuan?”, aku menggeleng karena dia memang anak lelaki satu-satunya.
“Mungkin kamu salah
liat, hhmm…a, atau itu sepupu atau kawannya…”, ucapku masih membela dan
sekaligus memperlihatkan kegalauanku. Naisya tahu itu.
“Kamu harus
pastikan sendiri Kak. Jangan sampai kamu
tahu belakangan, ini masalah serius. Sya tahu kalian tidak ada hubungan
apa-apa, tapi kalian sudah punya komitmen kan? Sebaiknya dikomunikasikan… Kalau
sebelah pihak memang tak berminat, lebih baik dihentikan saja”, kata-kata Naisya benar adanya. Dia terkadang
memang lebih dewasa dariku.
Sepanjang
perjalanan pikiranku kacau. Naisya yang mengendarai motor, aku hanya diam
sepanjang perjalanan. Naisya mengerti. Aku bukan takut hubungan ini gagal, tapi
yang lebih kutakutkan adalah ketika aku telah mempunyai rasa. Karena itu akan
lebih menyakitkan. Disaat seperti ini saja, perasaanku kacau balau. Kata-kata
Naisya memang benar, tapi aku belum siap mengkomunikasikan ini sebelum aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri. Seandainya saja aku tadi tak bertemu Zack
mungkin aku bisa membuktikannya. Baru dua hari lalu aku begitu bahagia bertemu
dengan kedua orang tua Bang Faisal, baru tadi pagi aku begitu bahagia bisa
berkomunikasi dengannya. Allah, beri petunjukMu, tunjukkan lah jika memang itu
benar.
Sesampainya
dirumah, aku lebih banyak diam. Ku pandangi hapeku, namun tak satu deringpun
aku dapat. Aku mendesah. Ketika aku beranjak ke toilet, sebuah dering sms
mengejutkanku, buru-buru kuraih hapeku. Nomor tak dikenal.
[Hai Nadine, it’s me! Zack. Something happened? Maaf
ya kalau tadi mengganggu waktumu. Hope, you’re ok! Because in the last minutes,
you looked too worry]
Disaat begini,
setiap dering telpon maupun sms, aku berharap nama itu yang muncul dan
meyakinkanku bahwa semuanya memang tidak benar. Maafkan aku Zack, perasaanku
memang lagi tak nyaman. Aku memang
egois, tapi untuk saat ini aku hanya ingin sendiri.
***
Tiga minggu pun
berlalu. Tak ada perubahan. Tak ada telpon atau sms dari Bang Faisal.
Kecemasanku memang semakin menjadi-jadi. Aku berinisiatif, menunggu beberapa
hari lagi, ketika tak ada komunikasi maka biarlah perjalanan ini berakhir.
Namun semua niatku seperti runtuh begitu saja ketika pagi ini aku bersama mamak
ke pernikahan teman dekatku, aku bertemu Ummi nya Bang Faisal yang memang
merupakan kerabat dari temanku. Dia memelukku penuh kasih, senantiasa menggandeng
tanganku.
“Bagaimana kabarnya
Bu?”, tanya mamak. Aku tahu mamak hanya sekedar bertanya kabar, tetapi beliau
mungkin mengartikan lain.
“Kami sedang
menunggu kabar dari sebelah ibu, kapan Nadia siap…”, mamak dan aku saling
berpandangan. Memang jawaban yang tidak
nyambung, tapi kami mengerti maksudnya.
Tak kupungkiri ada
seberkas harapan lagi. Maka ketika Kak Dira menanyakan kabar (bukan kabarku
tepatnya, tapi kabar komunikasiku dengan Bang Faisal), maka aku mengatakan
baik-baik saja.
Aku akan tetap
berdoa semoga apa yang dilihat Naisya hanya sebuah kesilapan. Aku berusaha
membangun kepercayaan lagi, walaupun komunikasi kami macet lagi bahkan setelah
kejadian itu.
***
Sore sabtu ini aku
berencana ingin berjualan saja karena memang beberapa orang sudah menanyakan. Last
Thursday, dosenku Mike mencoba salah satu kue yang kubawa sebagai bekal ke
kampus, dia suka dan katanya mau mengunjungi kedai kecil yang tak seberapa itu.
Ada kebahagian tersendiri (at least, aku bisa sedikit melupakan problema
asmaraku, hiks), dan memang ketika aku sedang bergelut dengan hobiku itu, dunia
hanya milikku saja, hehe. Maka pagi ini aku bersiap-siap berbelanja. Ketika
menginjakkan kakiku ke toko Aci Joan, aku seperti mengingat sesuatu. Zack. Ya
Allah, dia apa kabar yaa? Aku juga tersadar bahwa smsnya bahkan tak kubalas saat itu. Aku harus ngomong apa kalau ketemu?
“Nadia”, suara itu
membuyarkan lamunanku.
***
“Makasih Ci…”,
ucapku ketika Joan mengembalikan kembalian.
“Sudah lama gak
belanja, kemana aja?”, tanyanya.
“Hehe, masih banyak
persediaan Ci…”, jawabku sekenanya karena memang pikiranku sedang tidak pada
pertanyaan itu. Zack kemana yaa? Kok tidak keliatan, aku berusaha dengan sangat
hati-hati menelusuri toko itu, dan memang hari ini Zack tidak disana.
Apa dia sudah tidak
di Aceh? Sudah kembalikah ke kampung halamannya? Maka ketika aku diperjalanan
pulang, pikiranku beralih dari Bang Faisal ke Zack (bukan karena tidak setia,
tapi karena aku penasaran sekaligus sedikit merasa bersalah). Beberapa
kali aku mencoba menghubunginya tapi nomornya tidak aktif, sms yang ku kirimkan
sudah pasti pending. Zack, kamu kemana siyh?
Sore menjelang,
selepas ashar aku dan Naisya sudah mulai menjejalkan beberapa macam kue dan
minuman segar. Tak lama pelanggan pun datang. Beberapa menit kemudian, aku
merasa perutku mulas jadi kutinggalkan Naisya sendiri
dengan para pelanggan. Ketika aku kembali, aku sedikit bahagia melihat dagangan
sudah akan lenyap (arti:positif).
“Kak, hebat juga yaa? Kue kreasi kita disukai bukan
hanya orang lokal, tapi internasional, hehe...”, syukur aku sudah ke toilet,
jadi tak perlu mulas lagi mendengar kenarsisannya, walaupun sejujurnya aku
senang.
“Maksudnya?”
“Tadi ada cowok, bukan Indonesia yang pastinya, ganteng
banget kak! Dia juga beli dagangan kita, terus pas dia coba katanya enak...
Oia, kalau tidak salah tadi dia nitip salam buat Nadia, itu kamu bukan? Haha”,
aku memaksakan tertawa. Oya? Siapa? Orang asing? Hmmm...
“Mike yaa?”
“Entah, gak sempat nanya, dia langsung pergi Kak karena
tadi lumayan rame... memang Mike siapa?”
“Dosenku!”
“Oohh...”, Waaah, Mike beneran datang membeli
daganganku. Jadi sedikit bangga.
***
Hari Minggu pun datang lagi. Mendung menyelimuti Banda
Aceh. Perutku agak sedikit mulas, jangan-jangan aku mau haidh lagi, mood ku pun
agak sedikit berubah lebih sensi (maklum perempuan, hehe).
Sepanjang hari kuhabiskan mengerjakan tugas, selain
membantu mamak memasak. Naisya sedang asyik menyetrika. Maka menjelang Ashar,
ketika aku sedang menikmati aktifitasku, seseorang yang selama ini selalu hadir
ditiap hari-hariku (bukan seseorang yang begitu diharapkan pada dasarnya, hehe)
menelpon...
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumussalam, hai...bersua lagi dengan Kiki yang
cantik...”
“Ada apa?”
“Haha... judes amat lo! Ngapain Nad? Ada kegiatan
gak?”, perasaanku sedikit kurang enak.
“Lagi ngerjain tugas ni...”
“Hehe... gak ngaruh! Nad, bantuin aku yaa? Tadi aku ada
acara kondangan teman di Ajun...”
“Terus?”, potongku.
“Haha... dengar dulu. Nah, beberapa teman sekantorku
kan bikin arisan, dan kebetulan hari ini pertama. Aku baru tahu, dan mereka
ngajak ketemuan di Taman Tepi Pantai Ulee Lheu, kamu bisa datang gak?”
“Lha, kok aku? Gak salah?”
“Maksudku, aku mau pinjam kamera digitalmu, punyaku
rusak... bisa antarkan sebentar? Aku nunggu kamu disana sekarang yaa?”
“Sekarang?”
***
Dan dengan sedikit keberatan, aku pun berkemas mengantarkan
kamera digital. Perutku semakin tak enak. Perasaanku pun tiba-tiba jadi tidak
enak, mungkin karena memang ini jadwal tamuku akan segera datang. Naisya sedang
sibuk sekali dengan setrikaannya, jadi aku pun berangkat.
Ketika aku sampai, sebuah benda menarik perhatianku.
Sebuah Jazz silver dengan nomor plat BL 414 JO berdiri dipinggir jalan itu. Aku
tahu itu milik siapa. Ya Allah, sudah lama sekali tak berjumpa, dia apa kabar
ya? Aku sedikit bersyukur menyetujui untuk mengantar kamera digital hingga mungkin
bisa bertemu. Ku pinggirkan scoopyku, Kiki sudah menunggu.
“Makasih yaa? I love you dah, Nad, hehe”, ucapnya
ketika kuserahkan kamera itu ditangannya, namun mataku masih menelusuri taman
itu.
“Kamu cari siapa?”, tanya Kiki yang merasa tak
direspon.
“Itu mobilnya bang Faisal kan?”, tanyaku. Aku lupa
kalau...
“Iyya, memang kenapa?”, tanya Kiki sedikit curiga, dan
aku baru sadar kalau sepupuku ini belum tahu apa-apa.
“Hehe... gak ada, kukira cuma perempuan yang
arisanan!”, ucapku seadanya, Kiki masih terlihat curiga.
“Yaah, kurang tahu juga dech Nad, aku juga dipaksa ikut
niyh, jadi belum ketemu semua... Lagian kan, kemungkinan Bang Faisal nemenin
Vina...”
“Vina?”
“Iya, teman sekantorku. Mereka kan lagi dekat!”,
telingaku seperti ditampar. Pernyataan Kiki benar-benar mengejutkan. Perutku
kini terasa kian mulas dan aku tahu ini bukan hanya karena nyeri haidhku
datang, tapi..
“Oia?”, ucapku dengan suara lemah.
“Iya Nad. Aku juga baru tahu beberapa hari lalu dari
Vina, katanya ada yang ngenalin, dan mereka ngerasa cocok, jadi kamu jangan
berencana naksir sama Bang Faisal yaa?”, ucapnya sedikit melotot. Aku menunduk.
Tak kurespon lagi ucapannya, kini perasaanku benar-benar... sakit.
“Nah, itu kan mereka...”, ujar Kiki sambil menunjuk
kearah jam delapan. Aku menoleh dan benar saja, dua orang sedang berjalan
kearah kami. Seorang perempuan sedang memegang lengan lelaki itu. Awalnya
mereka tertawa, tapi ketika pandanganku beradu dengan mata si lelaki yang kutahu sebagai Bang
Faisal, dia terdiam. Kaku.
Seketika cuaca yang mendung kian membuat perasaanku perih, suara petir
membuyarkan pandanganku.
“Ki, a..aku pulang
yaa?”, ucapku sedikit kesusahan karena aku benar-benar sedang berjuang menahan
perasaanku. Aku tahu Kiki pasti menyadari sesuatu karena dia terpana melihat
kekakuan aku dan lelaki itu.
“Nad, sebenarnya
ada apa?”, tak kurespon pertanyaannya karena aku langsung menuju motorku, Kiki
mengikuti langkahku.
“Nadia, ini udah
mau ujan, kamu jangan pulang dulu!”, aku langsung menghidupkan motorku.
“Nad…”, panggil
Kiki sambil memegang lenganku. Aku tak tahu bagaimana rupaku saat itu, yang
jelas kupaksakan sebuah senyuman untuk Kiki dan kulajukan motorku. Sekilas
kulihat lelaki itu berjalan sedikit tergesa-gesa kearah kami. Dan aku sudah tak
mau tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Perasaanku terlanjur perih, ternyata
apa yang dilihat Naisya memang benar adanya dan doaku terkabul ketika semuanya
kulihat dengan mataku sendiri.
Petir pun seperti
tahu gemuruh perasaanku, kemurungan dan kesenduan mendung membuat hatiku semakin
sendu dan aku tak mengerti seolah semesta bersamaku dan mengerti apa yang
kurasakan. Aku marah. Aku kecewa. Aku merasa dikhianati. Tubuhku bergetar,
perutku mual, dan kini tangis yang kutahan jatuh tak tertahan bersama dengan
turunnya hujan. Deras seperti isakku yang sudah tak bisa kutahan. Sentuhan air
hujan yang luar biasa deras tak lagi menyakiti wajahku, rasa sakit itu Cuma
disatu titik tubuhku. Hati.
Jalan kian tak
tampak, yang kuketahui saat itu bahwa kubelokkan motorku kearah Lampaseh. Hujan
semakin menjadi-jadi, tubuhku bergetar dan kusadari itu bukan hanya karena aku
kedinginan tapi karena perasaan perih yang kurasakan. Tuhan, inikah rasanya
sakit hati, kenapa aku harus begitu cepat jatuh hati kalau perasaan sakit ini
yang akhirnya aku dapatkan. Aku menyesal.
Jalan begitu sepi,
yang terdengar hanya suara jantungku yang berdetak cepat. Suara gemuruh petir
dan hujan yang bersahut-sahutan. Tak ada seorang pun disana. Dan ketika hatiku
hancur, masih tersisa pengharapan disana. Aku berusaha melihat kearah spion
yang memang sudah tak kelihatan karena air ujan yang deras. Mataku masih
mengharap Jazz silver itu mengejarku. Tak ada. Dia bahkan tak mengkhawatirkanku
sama sekali dikala hujan begini.
Sesaat kemudian aku
tersadar ketika melihat sebuah bangunan kecil nan cantik. Ya Allah, aku belum
shalat Ashar. Seketika perasaanku mulai sedikit demi sedikit tenang. Tak ada
seorang pun disana, mungkin karena waktu Ashar telah berlalu dan hujan pun
sangat deras.
***
Bangunan kecil nan
cantik itu bernama Mesjid Ayudhia terletak di Desa Alue Dayah Geulumpang. Mesjid
mungil dengan suasana yang asri, rapi dan cantik. Disanalah aku bersujud
untukNya, menumpahkan segala perasaanku. Kini isakanku lebih teratur di atas sajadah
itu. Rabb, kenapa Kau limpahkan perasaan jatuh hati jikalau itu salah sasaran?
Aku hanya manusia biasa yang tak bisa memilih. Kini disaat semuanya kurasa
sangat berat, kepadaMu jua lah aku memohon bimbingan, karena hati, jiwa dan
raga ini milikMu. Limpahkan keyakinan dihati bahwa segala keterpurukan ini akan
menemui solusi yang baik, amiin.
Hampir satu jam aku
terduduk di dalam masjid mungil ini. Hujan tak kunjung reda sedang hari semakin
gelap. Kulirik jamku, dan it’s nearly 6. Aku tak bisa pulang dalam keadaan
hujan deras yang semakin menjadi-jadi. Suara petir semakin membuat perasaanku
resah. Lagi-lagi aku melirik benda yang terletak lunglai tak lagi bernyawa
disampingku. Handphone. Dia mati setelah tersiram hujan yang sangat deras.
Bagaimana menghubungi keluarga? Kesendirian tiba-tiba membuat hatiku perih
lagi, aku mulai meratapi lagi keadaanku hari ini. Aku salah apa Tuhan?
Aku harus pulang.
Kuraih kunci motorku dan dalam hujan yang semakin deras, aku meninggalkan
Mesjid Ayudhia yang mungil itu. Aku pasti kembali kesini, batinku. Tak ada satu
manusia pun terlihat. Bahkan ketika biasanya aku melewati jalan ini, aku bisa
melihat deretan bukit-bukit, kini semua tertutup gelapnya kabut. Inilah
cerminan perasaanku, ketika pertama kali menaruh hati malah berbuah luka. Aku
pun melewati rawa-rawa yang airnya kini semakin meninggi. Pandanganku semakin
kabur karena derasnya hujan, aku mulai beristighfar dalam hati. Satu kecemasan
datang menghampiri dan…
“Brak…”
“Laailahaillallah…!”
***
Aku terduduk lemas
disamping jalan itu. Apa aku harus menyerah Allah? Apa salahku?
Aku menabrak
pinggiran jalan hingga aku terjatuh. Aku terseret dengan Scoopyku yang kini
masih terbaring tak berdaya diatas jalan itu. Ada rasa nyeri yang luar biasa
ketika aku bangkit ingin membangunkan motorku. Dan kulihat darah mulai mengucur
dari tangan, bukan itu saja bahkan aku merasa tak kuat berdiri. Tangan dan
kakiku berdarah. Hujan mengalirkan warna merah itu, hingga aku tak perlu
mengusapnya.
Aku mulai terisak
lagi. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada siapapun disini, hanya bangunan
ruko-ruko yang belum berpenghuni disamping kanan dan kiriku, sedang
disampingnya masih rawa-rawa. Aku sudah pasrah jika saja ada hewan liar keluar
dari sana. Kulepas helm ku dan menangis sesenggukan.
“Ayah, mamak…
tolong Nadia”, ucapku lirih dengan isakan.
Begitu lengkap
cobaan yang Allah berikan hari ini disaat tak seorang pun melewati jalan itu di
hari yang semakin gelap. Aku menutup wajah dengan kedua belah tanganku dan
sesenggukan.
Betapa hatiku tak
mau kompromi, disaat mulut menolak, dengan teganya hatiku mengucap nama itu.
Hatiku masih sangat berharap lelaki itu datang. Maka ketika dari kejauhan
kulihat sebuah mobil, aku dengan susah payah bangun karena dimataku, mobil itu
seperti Jazz berwarna silver. Namun, anggapanku salah, sebuah Avanza silver
melaju dengan kencang.
Aku pun terduduk
lemah disamping jalan sambil menunduk. Perih yang kurasakan dari luka di kaki
dan lenganku masih tak seberapa dari luka batinku. Tiba-tiba, sebuah mobil
berhenti beberapa meter di depanku, aku mendongak.
“Ya Allah, akhirnya
Kau jawab doaku…”
Itu Jazz silver.
Aku tersenyum dalam tangis. Bang Faisal. Sesosok lelaki yang kuyakini sebagai
Bang Faisal turun dari mobil itu, aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena
hujan yang kian deras. Dengan payung merahnya dia kian mendekat, kini wajahnya
semakin jelas…
“Nadine…???”,
ucapnya dengan ekspresi terkejut.
Wajah itu, suara
itu, panggilan itu. Aku kenal. Satu sisi hatiku kecewa karena dia bukan
seseorang yang kuharapkan datang, tapi sisi hatiku yang lain bahagia karena… Lelaki
yang kuacuhkan beberapa waktu lalu berdiri disana, Yaa...that charming guy is there for me.
“Zack…!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar