Hampir sebulan perjalanan
ta’arufku dengan Bang Faisal. Dua minggu pertama, komunikasi berjalan lancar,
tetapi ketika memasuki minggu keempat dia seperti menghindar. Diawalnya
intensitas sms kami seimbang, tak ada yang terlalu agresif dan tidak ada yang
terlalu pasif. Semuanya sangat lancar. Tapi kini suasana sedikit dingin. Aku
tak masalah, tetapi dari awal aku sudah mengatakan padanya kalau pun salah satu
ada yang tidak berkenan, komunikasikan. Aku paling tidak suka digantung (siapa
juga yang suka digantung).
Bulan Mei pun
datang.
Oia, ada cerita
seru memasuki awal bulan ini. Ketika banyak fans yang menelpon
(cieeeleee..fans??), maksudnya pelanggan menanyakan kabar pesanan atau
daganganku, akhirnya kuputuskan untuk berbelanja. Kali ini tak bisa terelakkan,
gadis ababil (Kiki, sepupuku) itu menawarkan diri menemaniku. Dia gregetan
banget ketika kuceritakan kisah kasihku di lampu merah sekitar sebulan yang
lalu. Dia gak percaya dengan apa yang kuceritakan.
“Ah… ngayal kamu kali Nad! Masa penjual bahan kue bisa
berubah sedrastis itu…”
“Hei..hei, mereka itu pengusaha, neng! Apapun bisa
terjadi…”
“Don’t build a
castle in the air ah!”
“Apaan tuch?”
“Yaaah, masa anak
Bahasa Inggris gak tahu… jangan berkhayal! Itu karena kamu terlalu
terpesona sama lelaki Chinese itu aja…”
“Suer kewer-kewer dah Ki…”
“Oke-oke, aku pengen buktikan sendiri dah. Kapan kamu
belanja, aku ikut!”
“Oke!”
Nah, itulah sekilas
potongan percakapanku dengan Kiki. Dan akhirnya dia menemaniku berbelanja.
Namun, memang dia selalu dalam keadaan kurang beruntung kali yaa?? Lelaki
Chinese itu juga tak nongol hari itu. Kebetulan aku sudah sedikit kenal dengan
Ko Edwin and Aci Joan, jadi aku bisa sedikit mencari informasi.
“Berapa Ko?”
“Hari ini lumayan
banyak belanjanya Nadia… semuanya Rp. 256.000,-“
“Iya ni Ko, banyak
pesanan juga… ngomong-ngomong, sendiri aja ni Ko? Aci Joan mana?”
“Iya, seminggu ini
sendiri aja karena Joan lagi gak di Banda Aceh. Ada acara kerabat di luar,”
“Luar negeri
maksudnya?”, aku memang suka nanya dan lucky me hari itu pelanggan Cuma aku,
jadi Aki bisa kuajak ngobrol (yang jelas untung di aku, tidak di dia, hehe).
Kiki hanya ngangguk-ngangguk.
“Iya, hehe…”
“Kemana Ko?”
“Perancis”
“Walaaah, jauuuh
amat… sendirian aja?”
“Enggak, kebetulan
berangkat sama Vanessa dan ada Zack juga…”
“Anak ya Ko?”
“Iyaa… anak kandung
satu, ponakan satu… ada lagi Nadia?”, dan kurasa ini pertanyaan terakhir. Si
Ako sedikit merasa kurang nyaman sepertinya (siapa juga yang nyaman, nanyanya
macam interograsi gitu, hehe)
“Enggak Ko, ini aja
dulu. Salam buat Aci Joan Ko”, kami pun pamit. Sekilas kulihat seorang remaja
keluar dari dalam. Lelaki. Aku jadi teringat, Joan pernah bilang anaknya hanya
dua, lelaki dan perempuan. Dan remaja lelaki tadi sepertinya sangat mirip
dengan Joan.
“Yaaah, gatot lagi
Nad! Tapi logika dech Nad, memang toko si Ako itu besar and bagus. Tapi
jarang-jarang banget kan Chinese di Banda Aceh ini punya barang semewah
Harrier, apalagi kalau kamu bilang gayanya macam eksekutif gitu…”, celoteh Kiki
panjang lebar. Aku sedikit acuh karena sedang sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Oke-oke kita
lupakan itu sejenak. Ki, kamu liat lelaki tadi? Itu kemungkinan anaknya mereka
bersama Vanessa yang ikut Joan ke Perancis, jadi…”
“Zack itu…”
“Iya, yang
berangkat bersama Joan bernama Zack itu, keponakannya”
“Bener! Terus? Apa
hubungannya dengan masalah Toyota Harrier en gaya eksekutif?”
“Hehe..gak da
hubungannya siyh. Tapi gini dech, kali aja si Zack itu ayahnya konglomerat
gitu, pengusaha sukses… siapa tahu juga udah go international…”
“Gak menutup kemungkinan
siyh, tapi ngapain dia bantu-bantu di toko segala kalau gitu? Gak ada kerjaan
aja…”
“Iya juga yaa,
hehe… Ya udahlaah, ngapain juga kita sibuk mikirin dia… Pulang yuks, bantuin
donk!”
Kiki sedikit
merengut. Usahanya selalu gagal bertemu sang idola. Aku terkekeh. Yaah,
walaupun kuakui, masih banyak pertanyaan yang ada dibenakku tentang lelaki
“Sipit mata itu”
***
Dua minggu pun
berlalu…
“Gimana
komunikasinya? Masih lancar?”, Tanya Kak Dira ketika aku mengunjungi butiknya
sore itu.
“Sedikit macet kak,
hehe… Tapi tak apa laah, kan baru kenalan juga…”
“Maksud kamu?
Memang kamu mau kenalan berapa lama? Nad, kakak memang bukan ahli agama, kakak
juga gak alim-alim banget, tapi kalau kamu menamakan ini ta’aruf, berarti
kalian punya target waktu…”
“Iya siyh!”
“Sekarang jujur
sama kakak, sejauh mana komunikasi kalian berjalan?”
“Entahlaah kak. Dua
minggu terakhir, memang seperti hilang komunikasi. Nadia sudah berusaha menjadi
silaturrahmi, tapi Nadia perempuan kak, gak mungkin kan Nadia yang terlalu
agresif…”
“Oia? Jadi
permasalahannya ada di Faisal?”, aku tak menjawab pertanyaan itu, karena memang
aku tak bisa menjawabnya. Mungkin aku juga salah.
Kiki datang.
Pembicaraan tentang itu pun berakhir karena aku masih meminta Kak Dira
menyimpan ini semua…
***
Apa kabar Nadia? Lagi ngapain?
Akhirnya sms yang
memang sejujurnya aku tunggu-tunggu itu masuk. Bang Faisal. Malam itu banyak
yang kami bicarakan, kami berdiskusi banyak walau hanya by sms. Aku merasa
tenang. Mungkin selama ini hanya kesibukan yang membuatnya kurang respon. Mamak
dan Ayah sudah kenal karena Bang Faisal pernah kerumah bersama
dengan Kak Dira. Kedua orang
tuaku nyaman dan merasa senag padanya, itu adalah salah satu syaratku dan
Alhamdulillah dia lulus. Satu hal yang masih meragukanku adalah ketika dia
tidak pernah menyebutkan tentang pernikahan. Bukannya ngebet, tapi aku teringat
perkataan Kak Dira kemarin malam, dan aku masih sangat pengecut untuk bertanya,
padahal Kak Dira sudah mengajariku beberapa kali.
Nadia, hari jum’at ini ada kegiatan?
Kuliah, emang ada apa?
Di rumah ada acara syukuran kecil-kecilan, bisa
datang?
Aku mulai
kebingungan membalas apa ketika satu pesan masuk lagi. Kak Dira.
Cantik, hari jum’at siang kakak jemput yaa? Kita ada
undangan ke rumah Faisal, sekalian kita kenalan sama calon mertuamu ^_^
Alhamdulillah.
Akhirnya aku menyetujui.
***
Perasaanku
kocar-kacir hari ini. Semua baju kelihatan tidak pas, ketika baju sudah oke,
kini jilbab yang terlihat bermasalah (padahal hari biasa, semuanya fine-fineaja). Mau dipasang gimana jilbabnya, atau pakai
pasmina aja yaa? Hadduuu, aku jadi kacau gini. Ternyata begini rasanya mau
ketemu calon mertua, kata Naisya pertemuan pertama itu, apapun ceritanya pasti
ada penilaian tertentu. Akhirnya, aku hanya percaya Allah, apapun yang terjadi aku
hanya bisa tawakkal. Inilah aku apa adanya dengan penampilan biasa saja (sudah
kuliah S2 tapi lipgloss saja aku malas pakai, hehe).
Naisya mengantarku
ke kampus karena Kak Dira janji akan menjemputku. Belajar pun aku tak nyaman.
Belajar sama Mike (dosen Current issues on Lanuange Teaching ku) yang biasanya
seru, menjadi sangat datar. Aku
sudah berusaha tenang, tapi pikiran dan pertanyaan-pertanyaan seperti : Nanti
ngomong apa yaa? Harus gimana ya? Dan sebagainya mulai mengacaukan
konsentrasiku.
Akhirnya Kak Dira
datang. Di dalam perjalanan, perasaanku semakin kocar-kacir. Menanti-nanti
rumah mana yang akan dituju. Kebetulan rumah Bang Faisal ada di Prada, lumayan
dekat dengan kampusku.
“Udah, rileks aja!
Kok jadi aneh gitu?”, ucap Kak Dira sambil tersenyum. Aku balas tersenyum tanpa
merespon
pertanyaannya.
“InsyaAllah orang
tuanya Faisal pasti senang sama kamu. Asal jadi diri sendiri aja, jaga sikap…”
“Iya Kak!”
Dan kami pun
sampai.
“Kak, ini acara
apa? Kawinan?”
“Haha, syukuran
kan?”
“Rame banget!”
“Biasalaah orang
berada…”
Waduu…kali ini aku
benar-benar salah kostum sepertinya. Acaranya besar. Kukira hanya acara
kecil-kecilan, rupanya sykuran orang berada berbeda dengan kami yang
biasa-biasa saja.
Rumahnya tertata
rapi. Perkarangannya terlihat indah. Rumahnya bergaya minimalis. Ketika kami
memasuki gerbang, seorang lelaki yang sedang berbicara dengan sepasang lelaki
dan perempuan tiba-tiba menoleh. Bang Faisal. Lelaki tampan itu melambai, kami
pun menghampirinya. Tiba-tiba…
“Mi, Bi, ini Kak
Dira…”, dan ternyata itu ibu dan ayahnya. Aku sedikit terpana.
Kak Dira dengan
sopan menyalami kedua orang tua Bang Faisal.
“Ini Nadia…”
Mendengar namaku
diperkenalkan, aku menciumi tangan sang ibu dengan takjub.
“Oh, ini Nadia yaa?
Apa kabar Nak?”, ucapnya menerima tanganku dan sebelum aku sempat menjawab, dia
sudah memelukku dan selanjutya menciumi keningku. Aku jadi terharu.
“Sehat Ahamdulillah
Bu!”, ucapku kaku.
“Panggil Ummi aja
yaa…”, ucapnya kemudian dengan tangan masih memegang pipiku.
Kini aku beralih
menyalami sang ayah. Kedua orangtuanya begitu baik dan ramah. Kami
diperlakukan sangat mulia. Tapi sesuatu
yang membuatku kurang nyaman adalah ketika sang bunda mengenalkanku hampir ke
seluruh kerabatnya. Aku melirik Kak Dira, dan sepupuku itu hanya senyam-senyum.
Akhirnya ketika dia menyadari bahwa
sepupunya ini sudah merasa tidak nyaman, dia mengajakku pulang dan kami pun
pamit.
“Kok buru-buru?
Nanti aja Nadia pulang, kan bisa diantar Faisal…”, ucap ibunya. Dan tentu aku
menolak.
“Nadia pulang sama
Kak Dira aja, Ummi. Tadi juga bilangnya sebentar sama mamak…”
Ketika kami mencari
Faisal untuk pamit, seseorang seperti mengenaliku. Oh, tidak. Seharusnya aku
memprediksikan ini.
“Hei, ngapain kamu
disini?”, tanyanya. Aku salah tingkah.
“Memang kenapa
kalau Nadia disini? Dia nemenin kakak, hei!”, jawab Kak Dira. Tapi gadis ababil
itu kelihatan sedikit curiga.
“Iyya Ki, aku
nemenin Kak Dira kok. Tapi kebetulan dapat undangan juga dari Bang Faisal, kan
kita udah temenan waktu ketemuan dirumahmu…”, kini wajah curiganya yang
berlebihan itu sedikit berubah tenang.
“Mudah-mudahan kamu
gak bohong, biar gak kualat!”
“Hehe…”, aku kan
memang enggak bohong.
Akhirnya kami pamit
setelah menemukan Bang Faisal.
“Sepertinya Nadia
Humaira disenengi sama camernya niyh, Alhamdulillah yaa…”, ucap Kak Dira dan
aku tersenyum.
“Alhamdulillah
kak..”
“Sepertinya gak
lama lagi kita makan enak lagi niyh, hehe”, dia kini menggodaku. Aku mengaminkan dalam
hati.
***
Pagi-pagi sekali,
sebuah telpon mengejutkanku. Kiki.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam,
bangun-bangun! Ada apa?”
“Aku jemput kamu
ini, kita jogging yuks!”
“Maleess ah! Aku
lagi haidh niyh”
“Cepetan bangun!
Aku jemput sekarang! Ajak Naisya sekalian.”
“Ki…”, aku tak
sempat menjawab tapi dia terlanjur mematikan telponnya.
Dasar Kiki. Hanya
weekend dan ketika libur shalat begini aku bisa santai bangun pagi. Dia malah
menginjak-nginjak hakku. Tak ku peduli, aku pun molor lagi. Namun, suara itu
terlanjur menghancurkan pagiku. Kikiiii… kapan dia sampainya? Kudengar salam
dan suara langkah kaki menuju kamarku.
“Bangun!!!”, ucap
suara-suara bising itu sambil menarik kakiku. Bersama dengan Naisya yang memang
sudah bangun dari tadi mengahancurkan jam istirahatku. Dan mereka berhasil.
***
Dan benar-benar
keironisan terjadi begitu sering selama ini (tanda-tanda kiamat kali yaa,
hehe). Kini di lapangan yang sudah dari subuh tadi dikunjungi orang-orang
sebagai ajang olah raga (tapi jangan salah, ada juga sebagai ajang memadu kasih
dan berdagang, hoho. Sepertinya banyak peluang juga disini, hehe), aku dengan
semangat 45 berjogging ria setelah sebelumnya melakukan pemanasan. Dan,
kemanakah dua orang gadis yang dengan tidak ada perasaannya merusak pagiku itu?
Jangan tanya, mereka selesai berlari dan melakukan beberapa kali sit up
langsung mencari asupan makanan. Can you imagine? Selesai olah raga, malah
makan besar. Rugi amat. Tapi, ya sudahlaah, kubiarkan saja mereka. Sebuah sms
menggetarkan hatiku (lebai banget, maksudnya bergetar). Bang Faisal.
Pagi Nadia. Udah sarapan? Makasih banyak kemarin udh
datang. Ummi dan Abi kelihatan senang.
Ahamdulillah.
Mudah-mudahan ini pertanda baik, Rabb.
Ini lagi di Blang Padang, tadi dipaksa Kiki jogging
^_^. Alhamdulillah, Nadia juga senang bisa ketemu Ummi dan Abi. Salam dari
Nadia.
Oia? Kebetulan ab juga di Blang Padang ini. Kamu
dimana? Mungkin kita bisa ketemu. insyaAllah disampaikan salamnya.
Ku sedikit terpana.
Dan selanjutnya mulai mencari-cari sambil terus berlari kecil. Namun, Blang
Padang itu bukannya kecil, tanah seluas itu dan dengan padatnya orang yang
sedang berolahraga, rasanya sedikit susah mencari.
Hpku low bat ini.
Mudah-mudahan masih sempat balas. Ketika aku sedang sibuk mengetik sms balasan,
Bang Faisal menelpon…
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam,
Nadia posisi dimana?”
“Di…”, dan hp ku
mati. Habis batere.
Aku sedikit
mendesah. Sejujurnya, ada keinginan bertemu juga, namun dalam hati terbersit,
mungkin memang Allah tak bolehkan ketemu sering-sering. Akhirnya kumasukkan
kembali hp ku ke dalam kantong dan kembali berlari kecil. Ketika berlari di
sayap kanan tepat disamping orang berjualan dengan kelompok anak-anak muda
duduk berselonjor kaki, aku sedikit merasa tidak nyaman. Mata-mata itu
terkadang begitu nakal, memandang gadis-gadis yang sedang berlari. Mereka
berceloteh dan berkomentar kemudian cekikikan, dan kuputuskan untuk berjalan
kecil saja. Naisya dan Kiki makan dimana siyh? Batang hidung mereka yang memang
kurang mancung itu tak kelihatan sama sekali…
Aku terus mencari
sosok-sosok itu, hingga sudah mencapai gerbang masuk sayap kanan. Namun nihil.
Aku berhenti sejenak dan duduk di pinggir jalan tengah lapangan tepat di depan
gerbang masuk. Ini memudahkanku melihat Naisya dan Kiki juga sebaliknya, hp ku
sudah tak bisa diharapkan (salah sendiri juga siyh, keenakan dengerin music melulu, hehe). Ku selonjorkan
kakiku. Telingaku kini sedikit menangkap suara cekikikan yang lain. Cekikikan
malu-malu. Aku pun mendongak, dua gadis remaja sedang berceloteh sambil terus
cekikikan dan sesekali melihat kearah belakang…
“Kulitnya putih
banget, bibirnya pink gitu…”
“Bule atau Cina
yaa?”
“Blasteran kali ya?
Matanya gak sipit-sipit amat…”
“Yang jelas ganteng
banget! Dengan keringat gitu, jadi tambah seksi…”
Haha, aku terkekeh
sendiri. Berkeringat kok seksi? Bau kali? Risih amat. Kalau berkeringat dikate
seksi, bakalan gak hobi mandi dah semua orang. Dan siap-siap saja bau keringat
dimana-dimana. Bah, aku sampai bergidik ngebayanginnya,
hiiiii...Eh…aku jadi
teringat seseorang! Ku mundurkan sedikit tubuhku dan berusaha melihat ke
belakang tubuh dua gadis itu. Nah kan? Lagi-lagi…
Seorang lelaki
sedang sangat sibuk mengikat tali sepatunya. Sebuah helm imut terpasang di
kepalanya. Dia selesai dengan sepatunya dan kini bangkit dan mulai menaiki
sepedanya. Haha, pertemuan kita selalu tak terduga yaa… That’s Zack. Kamu sudah kembali rupanya. Dia kemudian mengayuh
sepedanya kearah berlawanan denganku. Aku tersenyum. Kalau yang ini, aku setuju
dibilang charming.
“Hei… kelaperan
yaa? Kasihan banget siyh!”, suara itu tiba-tiba mengalihkan pandanganku.
“Lama banget,
kemana aja kalian? Haus niyh…”
Naisya menyerahkan
sebuah bungkusan dan seplastik teh hangat. Aku minum sejadi-jadinya.
“Kasihan banget
sepupuku ini…”, ucap Kiki memasang wajah iba dan duduk disampingku. Aku melihat
kearahnya dan tersenyum sedikit misterius.
“Kenapa?”,
tanyanya.
“Siapa juga yang
kasihan, toh aku ketemu Zack tadi… kamu berencana pun, gak ketemu-ketemu lagi kan?”, muka disampingku itu langsung
berubah semangat.
“Zack disini?
Dimana? Kenapa gak bilang-bilang?”
“Siapa suruh gak
balik-balik? Salah sendiri… ayok ah pulang, gerah niyh!”, aku berusaha bangkit
namun lenganku terlanjur ditarik Kiki.
“Tega! Kamu pasti
bohong! Zack kan di Perancis!”
“Siapa siyh Zack?
Kalian ngomongin siapa, namanya aneh gitu…”, Tanya Naisya yang sudah bangkit
dari duduknya.
“Hyun Bin-nya Kiki,
hehe…”
***
Sepulang ke rumah,
aku berpikir no more Kiki today and it’s enough for today, walaupun ku akui ada
beberapa hikmah dari pemaksaannya tadi pagi. Namun, perkiraanku salah
saudara-saudara. Belum semenit aku menapaki baitii jannatii, dering telpon
rumah berbunyi.
“Kak, tolong
angkat! Mamak lagi di sumur ini…”
“Oke-oke…”
Aku pun meraih
gagang telpon itu.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam,
hei…hei…bersua lagi bersama Kiki disini..”
“Ada apa lagi?”
“Wuiih, judes amat!
Hp mu gak aktif mulu…”
“Low bat, ada apa
siyh?”
“Nad, tiba-tiba
pengen lontong sayur di My Bread! Temenin aku yuk!”
“Ya Allah Ki, kan
tadi barusan makan sama Naisya… belum cukup?”
“Hehe, gak sekarang
lah sayangku. Nanti siang yaaa? Aku traktir dah, pasti kamu gak akan nolak
dech, hehe…”, Dasar Kiki, tahu aja keadaan mahasiswa. Boleh juga siyh, lagian
aku juga kangen sama jus apel hijau di My Bread.
“Hehe… okelah kalau
kamu memaksa!”
“Yeee… memaksa?
Faktanya memang pengen kan? Ajak Naisya sekalian…”
“Kaya’a dia gak
bisa, mau keluar sekitar jam 10 ini katanya ada kerja kelompok…”
“Okelaah, c u then
yaa…Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam”
***
Naisya mengantarku
ke rumah Kiki yang memang tak seberapa jauh dengan rumahku. It’s just 10.30
a.m, namun aku sudah bertengger manis di rumah Kiki. Sedikit kecepetan siyh dan
itu sedikit menunjukkan kemupenganku, hehe. Tapi yang jelas, pekerjaan rumahku
semua telah selesai. Kiki masih dengan sangat santai duduk di depan Televisi
ketika aku menyapanya.
“Cepet banget, Non!
Tahu aja kalau gratisan, hehe!”, aku nyengir kuda, namun tak kurespon
ucapannya. Kuraih toples berisi keripik kentang yang ada ditangannya.
“Kamu dari tadi
makan mulu, gendut ntar!”, ucapku.
“Ah, bilang aja
pengen”, lagi-lagi aku nyengir kuda (syukur gak jadi kuda beneran).
Tiba-tiba bunda
(ibunya Kiki) keluar dari kamarnya yang memang dekat dengan ruang santai.
“Mau kemana
bunda?”, tanyaku.
“Waah, pas bener!
Temenin bunda belanja yaa Nadia! Ada pesanan untuk nanti malam”, dan tentu saja
aku tak bisa menolak dan memang tak ada niat menolak sama sekali. Aku pun
mengangguk, namun…
“Eh, mau kemana
kamu? Katanya mau nemenin aku makan?”, ucap Kiki. Ihh…dasar ni gadis ababil.
Udah mau 25 tapi gak dewasa banget. Seharusnya malah dia yang temenin bundanya
tapi aku tahu pasti bunda udah males ngajak dia.
“Lha, nemenin kamu
gimana? Kamu masih belum mandi juga, mending aku temenin bunda…”
“Nad, sebentar aku
juga kelar…”
“Eh, kamu ini, udah
males nemenin bunda, sekarang malah cegah-cegah Nadia. Mandi sono, gih!”, ucap
bundaku sambil menarik tangan putri sulungnya itu.
“Bunda, gak lama
kan belanjanya?”, Tanya Kiki.
“Enggak, kami
pulang juga kamu belum selesai, kamu kan lelet!”, aku terkekeh.
***
Ternyata bunda
hanya berbelanja bahan kue, karena kata bunda pesanannya tidak begitu banyak
dan hanya kue (kenapa gak pesan padaku aja, hehe). Dan sudah pasti, bunda
belanja di toko langganannya. Tokonya Joan. Ada sedikit perasaan penasaran
ketika akhirnya kami sampai disana. Ketika bunda sedang memarkir mobilnya, aku
celingak celinguk mencari dua benda itu. Iya, si Harrier yang gagah itu dan
sebuah sepeda lucu. Namun, sejauh dan seluas (emang ada seluas, hehe) mata
memandang, tak kutemui benda itu.
Bunda menyerahkan
list belanjaannya kepada Joan. Aku mulai mengitari toko bahan kue yang memang
sangat rapi itu, mencari sesuatu yang baru yang bisa jadi inspirasi. By the
way, Zack tidak kelihatan (lho katanya mau nyari inspirasi, kok malah Zack?
Hehe). Beberapa menit berlalu, aku masih terkesima dengan kelincahan pasangan
suami istri Chinese ditambah satu anak lelakinya itu.
Bunda sudah selesai
membayar,
“Nadia tidak
belanja?”, Tanya Joan.
“Enggak hari ini
Ci, segera!”, ucapku sambil tersenyum.
Belanjaannya
lumayan banyak. Pelanggan Aci pun memang lumayan rame hari ini dan aku sedikit
kaget beberapa detik setelahnya jumpah pelanggan bertambah ramai. Ada apa ini?
Bunda mulai mengangkat belanjaannya, aku pun berinisiatif membantunya, jadi tak
kuperhatikan lagi apa yang terjadi. Ketika aku berbalik menuju mobil, ada
sesuatu yang sedikit menarik perhatianku. Lihat tuch Ki, ini hikmah membantu
orang tua. That’s Zack. Dan ini kedua kalinya aku melihanya hari ini. Masih memperbaiki
letak sepedanya. Pantas saja, jumlah pelanggan bertambah drastic,
weleeeh…weleeh… aku pun langsung menuju mobil. Masih ada beberapa kantong
belanjaan.
“Zack, bantuin
angkat… banyak pembeli ini”, panggil Joan ketika dia masih sedikit sibuk dengan
sepedanya. Aku lihat para pelanggan yang kebetulan ibu-ibu dan tante-tante juga
remaja itu sangat berharap Zack melayani mereka. Namun, ketika dia berbalik,
dia memilih mengangkat belanjaan kami. Ketika aku akan mengambil kantong
selanjutnya, mata kami saling bertemu. Aku tersenyum padanya (kurasa dia sudah
tak mengenaliku lagi…), namun…
“Hei…ketemu lagi”,
sapanya tiba-tiba. Semua mata termasuk Joan dan bundaku mengarah kepada kami.
Aku hanya mengangguk (sedikit bangga, ternyata ada lelaki charming yang masih
ingat wajah Nadia Humaira, haha)
“Sudah saling
kenal?”, tanya Joan.
“Sudah, tapi tidak
tahu nama… what’s your name?”, jawabnya dan sekaligus menanyakan namaku pakai
bahasa inggris. Ku perjelas, dia pakai bahasa inggris (penting amat pakai
perjelas segala, haha).
“Nadia…”, ucapku
dan dia meletakkan kantong-kantong itu demi menjulurkan tangannya. Coba tebak
apa yang kulakukan? Aku memang terkadang suka mempermalukan diri sendiri.
“Zack kan?”,
tanyaku dan selanjutnya langsung kusesali karena itu memperlihatkan betapa aku
ingin tahu amat tentang dia dan aku memang tahu namanya. Itu saja kok. Dia tersenyum dan
menarik kembali tangannya.
“Nadine…”, ucapnya
lagi. Nadine? Maksud lo?
“Nadia…”, ucapku
lagi. Masih dengan suara yang
sangat normal.
***
Bisa dibayangkan betapa kekinya si Kiki (Keki dan Kiki
jadinya dah, cocok juga, haha) ketika kuceritakan pertemuanku dengan Zack (tapi
tak kuceritakan perkenalan kami yang singkat namun padat itu, bisa berabe...
bisa gagal makan gratisku). Dia terus-terusan menginterogasi aku yang tidak
bersalah ini. Terkadang pertanyaannya konyol dan tidak penting (contohnya:
berapa kali dia berkedip? Nah lho!!).
Tetapi aku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu
dengan sangat bijaksana (tujuannya satu, agar jatah makan lontong sayur gratisku
di My Bread aman).
Kami duduk didekat dinding kaca itu. Aku menghadap ke
pintu kaca My Bread. Lontong sayurnya datang juga, beserta jus apel hijau yang
memang benar-benar kurindukan.
“Eh, Nad... kok bisa kebetulan gitu yaa? Kamu yang gak
niat ketemu, tapi malah terus-terusan ketemu si Zack...”, aku tersenyum dan
terus mengunyah makananku, baru kemudian menjawab pertanyaan gadis ababil itu.
“Itu jodoh namanya...”
“Beeuh... enak banget kalo gitu aja berjodoh, aku juga
mau”
“Haha... makanya kalau temenin bunda jangan diniatin
macam-macam. Kamu niatnya jadi gak baik gitu, jadinya gak pernah ada kesempatan”,
Kiki terkekeh.
Ketika aku akan menyuapkan sendok selanjutnya, mataku
menangkap sesosok body gagah memasuki arena parkir My Bread. Toyota Harrier. Perasaanku
langsung mengatakan... What a surprised!!! Benar-benar alurMu tak bisa terkira.
“Ki, kamu patut bersyukur telah menyedekahkanku
sepiring lontong sayur dengan ikhlas, Allah mengabulkan sesuatu yang mungkin
tidak masuk doamu, hehe...”, ucapku sambil menunjuk kearah luar. Kiki yang
tampak bengong, menoleh ke belakang...
Dan lekaki chinese itu sedang berdiri disamping
Harriernya, sibuk dengan handphonenya.
Kuanggap saja ini kebetulan yang baik ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar