Kamis, 24 November 2011

Plot and Me 4 - Kebetulan yang Baik...


Hampir sebulan perjalanan ta’arufku dengan Bang Faisal. Dua minggu pertama, komunikasi berjalan lancar, tetapi ketika memasuki minggu keempat dia seperti menghindar. Diawalnya intensitas sms kami seimbang, tak ada yang terlalu agresif dan tidak ada yang terlalu pasif. Semuanya sangat lancar. Tapi kini suasana sedikit dingin. Aku tak masalah, tetapi dari awal aku sudah mengatakan padanya kalau pun salah satu ada yang tidak berkenan, komunikasikan. Aku paling tidak suka digantung (siapa juga yang suka digantung).

Bulan Mei pun datang.

Oia, ada cerita seru memasuki awal bulan ini. Ketika banyak fans yang menelpon (cieeeleee..fans??), maksudnya pelanggan menanyakan kabar pesanan atau daganganku, akhirnya kuputuskan untuk berbelanja. Kali ini tak bisa terelakkan, gadis ababil (Kiki, sepupuku) itu menawarkan diri menemaniku. Dia gregetan banget ketika kuceritakan kisah kasihku di lampu merah sekitar sebulan yang lalu. Dia gak percaya dengan apa yang kuceritakan.

“Ah… ngayal kamu kali Nad! Masa penjual bahan kue bisa berubah sedrastis itu…”

“Hei..hei, mereka itu pengusaha, neng! Apapun bisa terjadi…”

“Don’t build a castle in the air ah!”

“Apaan tuch?”

“Yaaah, masa anak Bahasa Inggris gak tahu… jangan berkhayal! Itu karena kamu terlalu terpesona sama lelaki Chinese itu aja…”

“Suer kewer-kewer dah Ki…”

“Oke-oke, aku pengen buktikan sendiri dah. Kapan kamu belanja, aku ikut!”

“Oke!”

Nah, itulah sekilas potongan percakapanku dengan Kiki. Dan akhirnya dia menemaniku berbelanja. Namun, memang dia selalu dalam keadaan kurang beruntung kali yaa?? Lelaki Chinese itu juga tak nongol hari itu. Kebetulan aku sudah sedikit kenal dengan Ko Edwin and Aci Joan, jadi aku bisa sedikit mencari informasi.

“Berapa Ko?”

“Hari ini lumayan banyak belanjanya Nadia… semuanya Rp. 256.000,-“

“Iya ni Ko, banyak pesanan juga… ngomong-ngomong, sendiri aja ni Ko? Aci Joan mana?”

“Iya, seminggu ini sendiri aja karena Joan lagi gak di Banda Aceh. Ada acara kerabat di luar,”

“Luar negeri maksudnya?”, aku memang suka nanya dan lucky me hari itu pelanggan Cuma aku, jadi Aki bisa kuajak ngobrol (yang jelas untung di aku, tidak di dia, hehe). Kiki hanya ngangguk-ngangguk.

“Iya, hehe…”

“Kemana Ko?”

“Perancis”

“Walaaah, jauuuh amat… sendirian aja?”

“Enggak, kebetulan berangkat sama Vanessa dan ada Zack juga…”

“Anak ya Ko?”

“Iyaa… anak kandung satu, ponakan satu… ada lagi Nadia?”, dan kurasa ini pertanyaan terakhir. Si Ako sedikit merasa kurang nyaman sepertinya (siapa juga yang nyaman, nanyanya macam interograsi gitu, hehe)

“Enggak Ko, ini aja dulu. Salam buat Aci Joan Ko”, kami pun pamit. Sekilas kulihat seorang remaja keluar dari dalam. Lelaki. Aku jadi teringat, Joan pernah bilang anaknya hanya dua, lelaki dan perempuan. Dan remaja lelaki tadi sepertinya sangat mirip dengan Joan.

“Yaaah, gatot lagi Nad! Tapi logika dech Nad, memang toko si Ako itu besar and bagus. Tapi jarang-jarang banget kan Chinese di Banda Aceh ini punya barang semewah Harrier, apalagi kalau kamu bilang gayanya macam eksekutif gitu…”, celoteh Kiki panjang lebar. Aku sedikit acuh karena sedang sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Oke-oke kita lupakan itu sejenak. Ki, kamu liat lelaki tadi? Itu kemungkinan anaknya mereka bersama Vanessa yang ikut Joan ke Perancis, jadi…”

“Zack itu…”

“Iya, yang berangkat bersama Joan bernama Zack itu, keponakannya”

“Bener! Terus? Apa hubungannya dengan masalah Toyota Harrier en gaya eksekutif?”

“Hehe..gak da hubungannya siyh. Tapi gini dech, kali aja si Zack itu ayahnya konglomerat gitu, pengusaha sukses… siapa tahu juga udah go international…”

“Gak menutup kemungkinan siyh, tapi ngapain dia bantu-bantu di toko segala kalau gitu? Gak ada kerjaan aja…”

“Iya juga yaa, hehe… Ya udahlaah, ngapain juga kita sibuk mikirin dia… Pulang yuks, bantuin donk!”

Kiki sedikit merengut. Usahanya selalu gagal bertemu sang idola. Aku terkekeh. Yaah, walaupun kuakui, masih banyak pertanyaan yang ada dibenakku tentang lelaki “Sipit mata itu”


***

Dua minggu pun berlalu…

“Gimana komunikasinya? Masih lancar?”, Tanya Kak Dira ketika aku mengunjungi butiknya sore itu.

“Sedikit macet kak, hehe… Tapi tak apa laah, kan baru kenalan juga…”

“Maksud kamu? Memang kamu mau kenalan berapa lama? Nad, kakak memang bukan ahli agama, kakak juga gak alim-alim banget, tapi kalau kamu menamakan ini ta’aruf, berarti kalian punya target waktu…”

“Iya siyh!”

“Sekarang jujur sama kakak, sejauh mana komunikasi kalian berjalan?”

“Entahlaah kak. Dua minggu terakhir, memang seperti hilang komunikasi. Nadia sudah berusaha menjadi silaturrahmi, tapi Nadia perempuan kak, gak mungkin kan Nadia yang terlalu agresif…”

“Oia? Jadi permasalahannya ada di Faisal?”, aku tak menjawab pertanyaan itu, karena memang aku tak bisa menjawabnya. Mungkin aku juga salah.
Kiki datang. Pembicaraan tentang itu pun berakhir karena aku masih meminta Kak Dira menyimpan ini semua…


***

Apa kabar Nadia? Lagi ngapain?

Akhirnya sms yang memang sejujurnya aku tunggu-tunggu itu masuk. Bang Faisal. Malam itu banyak yang kami bicarakan, kami berdiskusi banyak walau hanya by sms. Aku merasa tenang. Mungkin selama ini hanya kesibukan yang membuatnya kurang respon. Mamak dan Ayah sudah kenal karena Bang Faisal pernah kerumah bersama dengan Kak Dira. Kedua orang tuaku nyaman dan merasa senag padanya, itu adalah salah satu syaratku dan Alhamdulillah dia lulus. Satu hal yang masih meragukanku adalah ketika dia tidak pernah menyebutkan tentang pernikahan. Bukannya ngebet, tapi aku teringat perkataan Kak Dira kemarin malam, dan aku masih sangat pengecut untuk bertanya, padahal Kak Dira sudah mengajariku beberapa kali.

Nadia, hari jum’at ini ada kegiatan?

Kuliah, emang ada apa?

Di rumah ada acara syukuran kecil-kecilan, bisa datang?

Aku mulai kebingungan membalas apa ketika satu pesan masuk lagi. Kak Dira.

Cantik, hari jum’at siang kakak jemput yaa? Kita ada undangan ke rumah Faisal, sekalian kita kenalan sama calon mertuamu ^_^

Alhamdulillah. Akhirnya aku menyetujui.


***

Perasaanku kocar-kacir hari ini. Semua baju kelihatan tidak pas, ketika baju sudah oke, kini jilbab yang terlihat bermasalah (padahal hari biasa, semuanya fine-fineaja). Mau dipasang gimana jilbabnya, atau pakai pasmina aja yaa? Hadduuu, aku jadi kacau gini. Ternyata begini rasanya mau ketemu calon mertua, kata Naisya pertemuan pertama itu, apapun ceritanya pasti ada penilaian tertentu. Akhirnya, aku hanya percaya Allah, apapun yang terjadi aku hanya bisa tawakkal. Inilah aku apa adanya dengan penampilan biasa saja (sudah kuliah S2 tapi lipgloss saja aku malas pakai, hehe).

Naisya mengantarku ke kampus karena Kak Dira janji akan menjemputku. Belajar pun aku tak nyaman. Belajar sama Mike (dosen Current issues on Lanuange Teaching ku) yang biasanya seru, menjadi sangat datar. Aku sudah berusaha tenang, tapi pikiran dan pertanyaan-pertanyaan seperti : Nanti ngomong apa yaa? Harus gimana ya? Dan sebagainya mulai mengacaukan konsentrasiku.

Akhirnya Kak Dira datang. Di dalam perjalanan, perasaanku semakin kocar-kacir. Menanti-nanti rumah mana yang akan dituju. Kebetulan rumah Bang Faisal ada di Prada, lumayan dekat dengan kampusku.

“Udah, rileks aja! Kok jadi aneh gitu?”, ucap Kak Dira sambil tersenyum. Aku balas tersenyum tanpa merespon pertanyaannya.

“InsyaAllah orang tuanya Faisal pasti senang sama kamu. Asal jadi diri sendiri aja, jaga sikap…”

“Iya Kak!”

Dan kami pun sampai.

“Kak, ini acara apa? Kawinan?”

“Haha, syukuran kan?”

“Rame banget!”

“Biasalaah orang berada…”

Waduu…kali ini aku benar-benar salah kostum sepertinya. Acaranya besar. Kukira hanya acara kecil-kecilan, rupanya sykuran orang berada berbeda dengan kami yang biasa-biasa saja.

Rumahnya tertata rapi. Perkarangannya terlihat indah. Rumahnya bergaya minimalis. Ketika kami memasuki gerbang, seorang lelaki yang sedang berbicara dengan sepasang lelaki dan perempuan tiba-tiba menoleh. Bang Faisal. Lelaki tampan itu melambai, kami pun menghampirinya. Tiba-tiba…

“Mi, Bi, ini Kak Dira…”, dan ternyata itu ibu dan ayahnya. Aku sedikit terpana.
Kak Dira dengan sopan menyalami kedua orang tua Bang Faisal.

“Ini Nadia…”
Mendengar namaku diperkenalkan, aku menciumi tangan sang ibu dengan takjub.

“Oh, ini Nadia yaa? Apa kabar Nak?”, ucapnya menerima tanganku dan sebelum aku sempat menjawab, dia sudah memelukku dan selanjutya menciumi keningku. Aku jadi terharu.

“Sehat Ahamdulillah Bu!”, ucapku kaku.

“Panggil Ummi aja yaa…”, ucapnya kemudian dengan tangan masih memegang pipiku.

Kini aku beralih menyalami sang ayah. Kedua orangtuanya begitu baik dan ramah. Kami diperlakukan  sangat mulia. Tapi sesuatu yang membuatku kurang nyaman adalah ketika sang bunda mengenalkanku hampir ke seluruh kerabatnya. Aku melirik Kak Dira, dan sepupuku itu hanya senyam-senyum. Akhirnya  ketika dia menyadari bahwa sepupunya ini sudah merasa tidak nyaman, dia mengajakku pulang dan kami pun pamit.

“Kok buru-buru? Nanti aja Nadia pulang, kan bisa diantar Faisal…”, ucap ibunya. Dan tentu aku menolak.

“Nadia pulang sama Kak Dira aja, Ummi. Tadi juga bilangnya sebentar sama mamak…”
Ketika kami mencari Faisal untuk pamit, seseorang seperti mengenaliku. Oh, tidak. Seharusnya aku memprediksikan ini.

“Hei, ngapain kamu disini?”, tanyanya. Aku salah tingkah.

“Memang kenapa kalau Nadia disini? Dia nemenin kakak, hei!”, jawab Kak Dira. Tapi gadis ababil itu kelihatan sedikit curiga.

“Iyya Ki, aku nemenin Kak Dira kok. Tapi kebetulan dapat undangan juga dari Bang Faisal, kan kita udah temenan waktu ketemuan dirumahmu…”, kini wajah curiganya yang berlebihan itu sedikit berubah tenang.

“Mudah-mudahan kamu gak bohong, biar gak kualat!”

“Hehe…”, aku kan memang enggak bohong.

Akhirnya kami pamit setelah menemukan Bang Faisal.

“Sepertinya Nadia Humaira disenengi sama camernya niyh, Alhamdulillah yaa…”, ucap Kak Dira dan aku tersenyum.

“Alhamdulillah kak..”

“Sepertinya gak lama lagi kita makan enak lagi niyh, hehe”, dia kini menggodaku. Aku mengaminkan dalam hati.


***

Pagi-pagi sekali, sebuah telpon mengejutkanku. Kiki.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam, bangun-bangun! Ada apa?”

“Aku jemput kamu ini, kita jogging yuks!”

“Maleess ah! Aku lagi haidh niyh”

“Cepetan bangun! Aku jemput sekarang! Ajak Naisya sekalian.”

“Ki…”, aku tak sempat menjawab tapi dia terlanjur mematikan telponnya.

Dasar Kiki. Hanya weekend dan ketika libur shalat begini aku bisa santai bangun pagi. Dia malah menginjak-nginjak hakku. Tak ku peduli, aku pun molor lagi. Namun, suara itu terlanjur menghancurkan pagiku. Kikiiii… kapan dia sampainya? Kudengar salam dan suara langkah kaki menuju kamarku.

“Bangun!!!”, ucap suara-suara bising itu sambil menarik kakiku. Bersama dengan Naisya yang memang sudah bangun dari tadi mengahancurkan jam istirahatku. Dan mereka berhasil.



***


Dan benar-benar keironisan terjadi begitu sering selama ini (tanda-tanda kiamat kali yaa, hehe). Kini di lapangan yang sudah dari subuh tadi dikunjungi orang-orang sebagai ajang olah raga (tapi jangan salah, ada juga sebagai ajang memadu kasih dan berdagang, hoho. Sepertinya banyak peluang juga disini, hehe), aku dengan semangat 45 berjogging ria setelah sebelumnya melakukan pemanasan. Dan, kemanakah dua orang gadis yang dengan tidak ada perasaannya merusak pagiku itu? Jangan tanya, mereka selesai berlari dan melakukan beberapa kali sit up langsung mencari asupan makanan. Can you imagine? Selesai olah raga, malah makan besar. Rugi amat. Tapi, ya sudahlaah, kubiarkan saja mereka. Sebuah sms menggetarkan hatiku (lebai banget, maksudnya bergetar). Bang Faisal.

Pagi Nadia. Udah sarapan? Makasih banyak kemarin udh datang. Ummi dan Abi kelihatan senang.

Ahamdulillah. Mudah-mudahan ini pertanda baik, Rabb.

Ini lagi di Blang Padang, tadi dipaksa Kiki jogging ^_^. Alhamdulillah, Nadia juga senang bisa ketemu Ummi dan Abi. Salam dari Nadia.

Oia? Kebetulan ab juga di Blang Padang ini. Kamu dimana? Mungkin kita bisa ketemu. insyaAllah disampaikan salamnya.

Ku sedikit terpana. Dan selanjutnya mulai mencari-cari sambil terus berlari kecil. Namun, Blang Padang itu bukannya kecil, tanah seluas itu dan dengan padatnya orang yang sedang berolahraga, rasanya sedikit susah mencari.

Hpku low bat ini. Mudah-mudahan masih sempat balas. Ketika aku sedang sibuk mengetik sms balasan, Bang Faisal menelpon…

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam, Nadia posisi dimana?”

“Di…”, dan hp ku mati. Habis batere.

Aku sedikit mendesah. Sejujurnya, ada keinginan bertemu juga, namun dalam hati terbersit, mungkin memang Allah tak bolehkan ketemu sering-sering. Akhirnya kumasukkan kembali hp ku ke dalam kantong dan kembali berlari kecil. Ketika berlari di sayap kanan tepat disamping orang berjualan dengan kelompok anak-anak muda duduk berselonjor kaki, aku sedikit merasa tidak nyaman. Mata-mata itu terkadang begitu nakal, memandang gadis-gadis yang sedang berlari. Mereka berceloteh dan berkomentar kemudian cekikikan, dan kuputuskan untuk berjalan kecil saja. Naisya dan Kiki makan dimana siyh? Batang hidung mereka yang memang kurang mancung itu tak kelihatan sama sekali…

Aku terus mencari sosok-sosok itu, hingga sudah mencapai gerbang masuk sayap kanan. Namun nihil. Aku berhenti sejenak dan duduk di pinggir jalan tengah lapangan tepat di depan gerbang masuk. Ini memudahkanku melihat Naisya dan Kiki juga sebaliknya, hp ku sudah tak bisa diharapkan (salah sendiri juga siyh, keenakan dengerin music melulu, hehe). Ku selonjorkan kakiku. Telingaku kini sedikit menangkap suara cekikikan yang lain. Cekikikan malu-malu. Aku pun mendongak, dua gadis remaja sedang berceloteh sambil terus cekikikan dan sesekali melihat kearah belakang…

“Kulitnya putih banget, bibirnya pink gitu…”

“Bule atau Cina yaa?”

“Blasteran kali ya? Matanya gak sipit-sipit amat…”

“Yang jelas ganteng banget! Dengan keringat gitu, jadi tambah seksi…”

Haha, aku terkekeh sendiri. Berkeringat kok seksi? Bau kali? Risih amat. Kalau berkeringat dikate seksi, bakalan gak hobi mandi dah semua orang. Dan siap-siap saja bau keringat dimana-dimana. Bah, aku sampai bergidik ngebayanginnya, hiiiii...Eh…aku jadi teringat seseorang! Ku mundurkan sedikit tubuhku dan berusaha melihat ke belakang tubuh dua gadis itu. Nah kan? Lagi-lagi…

Seorang lelaki sedang sangat sibuk mengikat tali sepatunya. Sebuah helm imut terpasang di kepalanya. Dia selesai dengan sepatunya dan kini bangkit dan mulai menaiki sepedanya. Haha, pertemuan kita selalu tak terduga yaa… That’s Zack. Kamu sudah kembali rupanya. Dia kemudian mengayuh sepedanya kearah berlawanan denganku. Aku tersenyum. Kalau yang ini, aku setuju dibilang charming.

“Hei… kelaperan yaa? Kasihan banget siyh!”, suara itu tiba-tiba mengalihkan pandanganku.

“Lama banget, kemana aja kalian? Haus niyh…”
Naisya menyerahkan sebuah bungkusan dan seplastik teh hangat. Aku minum sejadi-jadinya.

“Kasihan banget sepupuku ini…”, ucap Kiki memasang wajah iba dan duduk disampingku. Aku melihat kearahnya dan tersenyum sedikit misterius.

“Kenapa?”, tanyanya.

“Siapa juga yang kasihan, toh aku ketemu Zack tadi… kamu berencana pun, gak ketemu-ketemu lagi kan?”, muka disampingku itu langsung berubah semangat.

“Zack disini? Dimana? Kenapa gak bilang-bilang?”

“Siapa suruh gak balik-balik? Salah sendiri… ayok ah pulang, gerah niyh!”, aku berusaha bangkit namun lenganku terlanjur ditarik Kiki.

“Tega! Kamu pasti bohong! Zack kan di Perancis!”

“Siapa siyh Zack? Kalian ngomongin siapa, namanya aneh gitu…”, Tanya Naisya yang sudah bangkit dari duduknya.

“Hyun Bin-nya Kiki, hehe…”


***

Sepulang ke rumah, aku berpikir no more Kiki today and it’s enough for today, walaupun ku akui ada beberapa hikmah dari pemaksaannya tadi pagi. Namun, perkiraanku salah saudara-saudara. Belum semenit aku menapaki baitii jannatii, dering telpon rumah berbunyi.

“Kak, tolong angkat! Mamak lagi di sumur ini…”

“Oke-oke…”

Aku pun meraih gagang telpon itu.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam, hei…hei…bersua lagi bersama Kiki disini..”

“Ada apa lagi?”

“Wuiih, judes amat! Hp mu gak aktif mulu…”

“Low bat, ada apa siyh?”

“Nad, tiba-tiba pengen lontong sayur di My Bread! Temenin aku yuk!”

“Ya Allah Ki, kan tadi barusan makan sama Naisya… belum cukup?”

“Hehe, gak sekarang lah sayangku. Nanti siang yaaa? Aku traktir dah, pasti kamu gak akan nolak dech, hehe…”, Dasar Kiki, tahu aja keadaan mahasiswa. Boleh juga siyh, lagian aku juga kangen sama jus apel hijau di My Bread.

“Hehe… okelah kalau kamu memaksa!”

“Yeee… memaksa? Faktanya memang pengen kan? Ajak Naisya sekalian…”

“Kaya’a dia gak bisa, mau keluar sekitar jam 10 ini katanya ada kerja kelompok…”

“Okelaah, c u then yaa…Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam”


***

Naisya mengantarku ke rumah Kiki yang memang tak seberapa jauh dengan rumahku. It’s just 10.30 a.m, namun aku sudah bertengger manis di rumah Kiki. Sedikit kecepetan siyh dan itu sedikit menunjukkan kemupenganku, hehe. Tapi yang jelas, pekerjaan rumahku semua telah selesai. Kiki masih dengan sangat santai duduk di depan Televisi ketika aku menyapanya.

“Cepet banget, Non! Tahu aja kalau gratisan, hehe!”, aku nyengir kuda, namun tak kurespon ucapannya. Kuraih toples berisi keripik kentang yang ada ditangannya.

“Kamu dari tadi makan mulu, gendut ntar!”, ucapku.

“Ah, bilang aja pengen”, lagi-lagi aku nyengir kuda (syukur gak jadi kuda beneran).

Tiba-tiba bunda (ibunya Kiki) keluar dari kamarnya yang memang dekat dengan ruang santai.

“Mau kemana bunda?”, tanyaku.

“Waah, pas bener! Temenin bunda belanja yaa Nadia! Ada pesanan untuk nanti malam”, dan tentu saja aku tak bisa menolak dan memang tak ada niat menolak sama sekali. Aku pun mengangguk, namun…

“Eh, mau kemana kamu? Katanya mau nemenin aku makan?”, ucap Kiki. Ihh…dasar ni gadis ababil. Udah mau 25 tapi gak dewasa banget. Seharusnya malah dia yang temenin bundanya tapi aku tahu pasti bunda udah males ngajak dia.

“Lha, nemenin kamu gimana? Kamu masih belum mandi juga, mending aku temenin bunda…”

“Nad, sebentar aku juga kelar…”

“Eh, kamu ini, udah males nemenin bunda, sekarang malah cegah-cegah Nadia. Mandi sono, gih!”, ucap bundaku sambil menarik tangan putri sulungnya itu.

“Bunda, gak lama kan belanjanya?”, Tanya Kiki.

“Enggak, kami pulang juga kamu belum selesai, kamu kan lelet!”, aku terkekeh.


***

Ternyata bunda hanya berbelanja bahan kue, karena kata bunda pesanannya tidak begitu banyak dan hanya kue (kenapa gak pesan padaku aja, hehe). Dan sudah pasti, bunda belanja di toko langganannya. Tokonya Joan. Ada sedikit perasaan penasaran ketika akhirnya kami sampai disana. Ketika bunda sedang memarkir mobilnya, aku celingak celinguk mencari dua benda itu. Iya, si Harrier yang gagah itu dan sebuah sepeda lucu. Namun, sejauh dan seluas (emang ada seluas, hehe) mata memandang, tak kutemui benda itu.

Bunda menyerahkan list belanjaannya kepada Joan. Aku mulai mengitari toko bahan kue yang memang sangat rapi itu, mencari sesuatu yang baru yang bisa jadi inspirasi. By the way, Zack tidak kelihatan (lho katanya mau nyari inspirasi, kok malah Zack? Hehe). Beberapa menit berlalu, aku masih terkesima dengan kelincahan pasangan suami istri Chinese ditambah satu anak lelakinya itu.

Bunda sudah selesai membayar,

“Nadia tidak belanja?”, Tanya Joan.

“Enggak hari ini Ci, segera!”, ucapku sambil tersenyum.

Belanjaannya lumayan banyak. Pelanggan Aci pun memang lumayan rame hari ini dan aku sedikit kaget beberapa detik setelahnya jumpah pelanggan bertambah ramai. Ada apa ini? Bunda mulai mengangkat belanjaannya, aku pun berinisiatif membantunya, jadi tak kuperhatikan lagi apa yang terjadi. Ketika aku berbalik menuju mobil, ada sesuatu yang sedikit menarik perhatianku. Lihat tuch Ki, ini hikmah membantu orang tua. That’s Zack. Dan ini kedua kalinya aku melihanya hari ini. Masih memperbaiki letak sepedanya. Pantas saja, jumlah pelanggan bertambah drastic, weleeeh…weleeh… aku pun langsung menuju mobil. Masih ada beberapa kantong belanjaan.

“Zack, bantuin angkat… banyak pembeli ini”, panggil Joan ketika dia masih sedikit sibuk dengan sepedanya. Aku lihat para pelanggan yang kebetulan ibu-ibu dan tante-tante juga remaja itu sangat berharap Zack melayani mereka. Namun, ketika dia berbalik, dia memilih mengangkat belanjaan kami. Ketika aku akan mengambil kantong selanjutnya, mata kami saling bertemu. Aku tersenyum padanya (kurasa dia sudah tak mengenaliku lagi…), namun…

“Hei…ketemu lagi”, sapanya tiba-tiba. Semua mata termasuk Joan dan bundaku mengarah kepada kami. Aku hanya mengangguk (sedikit bangga, ternyata ada lelaki charming yang masih ingat wajah Nadia Humaira, haha)

“Sudah saling kenal?”, tanya Joan.

“Sudah, tapi tidak tahu nama… what’s your name?”, jawabnya dan sekaligus menanyakan namaku pakai bahasa inggris. Ku perjelas, dia pakai bahasa inggris (penting amat pakai perjelas segala, haha).

“Nadia…”, ucapku dan dia meletakkan kantong-kantong itu demi menjulurkan tangannya. Coba tebak apa yang kulakukan? Aku memang terkadang suka mempermalukan diri sendiri.

“Zack kan?”, tanyaku dan selanjutnya langsung kusesali karena itu memperlihatkan betapa aku ingin tahu amat tentang dia dan aku memang tahu namanya. Itu saja kok. Dia tersenyum dan menarik kembali tangannya.

“Nadine…”, ucapnya lagi. Nadine? Maksud lo?

“Nadia…”, ucapku lagi. Masih dengan suara yang sangat normal.


***

Bisa dibayangkan betapa kekinya si Kiki (Keki dan Kiki jadinya dah, cocok juga, haha) ketika kuceritakan pertemuanku dengan Zack (tapi tak kuceritakan perkenalan kami yang singkat namun padat itu, bisa berabe... bisa gagal makan gratisku). Dia terus-terusan menginterogasi aku yang tidak bersalah ini. Terkadang pertanyaannya konyol dan tidak penting (contohnya: berapa kali dia berkedip? Nah lho!!).

Tetapi aku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sangat bijaksana (tujuannya satu, agar jatah makan lontong sayur gratisku di My Bread aman).

Kami duduk didekat dinding kaca itu. Aku menghadap ke pintu kaca My Bread. Lontong sayurnya datang juga, beserta jus apel hijau yang memang benar-benar kurindukan.

“Eh, Nad... kok bisa kebetulan gitu yaa? Kamu yang gak niat ketemu, tapi malah terus-terusan ketemu si Zack...”, aku tersenyum dan terus mengunyah makananku, baru kemudian menjawab pertanyaan gadis ababil itu.

“Itu jodoh namanya...”

“Beeuh... enak banget kalo gitu aja berjodoh, aku juga mau”

“Haha... makanya kalau temenin bunda jangan diniatin macam-macam. Kamu niatnya jadi gak baik gitu, jadinya gak pernah ada kesempatan”, Kiki terkekeh.

Ketika aku akan menyuapkan sendok selanjutnya, mataku menangkap sesosok body gagah memasuki arena parkir My Bread. Toyota Harrier. Perasaanku langsung mengatakan... What a surprised!!! Benar-benar alurMu tak bisa terkira.

“Ki, kamu patut bersyukur telah menyedekahkanku sepiring lontong sayur dengan ikhlas, Allah mengabulkan sesuatu yang mungkin tidak masuk doamu, hehe...”, ucapku sambil menunjuk kearah luar. Kiki yang tampak bengong, menoleh ke belakang...

Dan lekaki chinese itu sedang berdiri disamping Harriernya, sibuk dengan handphonenya.
Kuanggap saja ini kebetulan yang baik ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar