Benar saja, aku gak mengerti
apa ucapanku berkah atau tidak. Tapi beberapa hari perbincangan dengan
sepupuku, kak Rahmi, seorang sepupu yang lain menelpon. Kak Dira yang memang
jarang sekali menghubungiku, tiba-tiba hari itu menelpon.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam, Kak Dira apa
kabar? Kangen laah…”
“Alhamdulillah sehat cantik.
Adik apa kabar? Mamak sehat?”
“Alhamdulillah keluarga sehat,
mamak dan ayah juga sehat. Udah lama kali laah gak jumpa…”
“Hehe…baru seminggu gak jumpa,
udah kangen gini, makanya main-mainlah ke rumah…”
“Yaah..sama aja, kerumah pun,
kakak sibuk banget. Pulang kerja malah nyambung ke butik. Weekend malah pergi
ke luar kota… Dasar wanita karir. Syukur suami gak komentar..hehe”
“Haha… nyari rejeki buat anak,
Nad. Kan sesekali bisa main-main ke butik, ada barang baru tuch!”
“Iya-iya, insyaAllah. Anyway,
tumben ini nelpon? Mau ngajak Dia kemana?”
“Haaalaaah…seumpama ada perlu
doank nich kakak nelpon kamu…”
“Emang kenyataannya gitu kan?
Terakhir malah minta dibuatkan kue…”
“Hehe, iya juga yaa! Gimana
kuliah? Lancar?”
“Alhamdulillah…”
“Kapan berangkat?”
“InsyaAllah masih beberapa
bulan kak, ini kan mesti memenuhi syarat mata kuliah di Unsyiah dulu…”
“Memangnya berapa bulan lagi?”
“Sekitar 6 bulanan lagi lah…”
“Hmmm… bagus kalau gitu…”
“Lah, kok bagus?”
“Ehem, begini ni Dik! Kakak mau
nanya serius… kamu sudah ada pacar belum?”
“Nadia jomblo kak! Makanya
jangan nanya aja, kenalin satu donk! Tapi yang serius, gak mau
main-main…hehehe!”
“Waaah, Alhamdulillah! Pas
banget yaa! Kebetulan ada ini, temen kakak, lagi nyari calon istri, katanya dia
mau serius… kakak teringat kamu, karena kalau dilihat dan disimak, kriterianya
cocok banget…”. Appaaa??? Telingaku seperti ditampar. Aku kan hanya bercanda,
tapi…
“Dia orangnya ganteng Nad,
tinggi, agamanya juga bagus. Tapi agak pendiam. Kalau sudah ngomong wise
banget… cocok dech sama kamu, gimana?”, aku masih terpana. Aku masih terus
mencerna kata-kata itu. Butuh waktu yang lama.
“Nadia… kamu masih disana gak?
Nad…”
“Eh..i..iya kak, masih kok!”
“Jangan terkesima seperti itu,
hehe. Jadi gimana? Mau gak dikenalin?”. Adduuu…mau jawab gimana yaa? Jawab iya,
seolah aku mau banget, kepingin banget. Mau jawab enggak, tapi ini sudah
waktunya. Kenapa orang gak mengerti yaa? Yaa, jangan ada pertanyaan, “mau gak?”
seolah gimana gitu jawabnya. Yaa…
“Hmmm…menurut kakak?”
“Lha, malah nanya? Hehe… usia
kamu berapa?”
“24”
“Usia segitu seharusnya tak
menutup diri lagi. Yaah, dicoba berteman dulu gitu…mudah-mudahan akhirnya baik.
Kakak siyh mengharapkan kamu mencoba dulu…”. Aku pun berpikir sejenak. Toh,
benar kata Kak Dira, gak ada salahnya mencoba.
“InsyaAllah kak!”
“Oke! Nti kakak hubungi lagi
yaa! Kita atur pertemuan kalian…”
Setelah berpamitan, aku jadi
kepikiran sendiri. Kita atur
pertemuan???? Waalaaah…aku harus gimana ini?? Bertemu biasa saja, sama
lelaki biasa saja, mukaku saja bisa merona (ingat yaa, terkadang aku hanya malu
atau batuk…hehe). Apalagi dalam konteks diperkenalkan untuk itu… karna
sejujurnya aku punya pengalaman yang serupa yang sedikit pahit sebelum ini. Aku
pernah dikenalkan dengan seseorang juga dan memang berniatnya menikah. Dulu
usiaku masih 21 tahun dengan beban kuliah semester akhir, mamak sedikit
mewanti-wanti dan meminta waktu. Akhirnya aku ditinggal kawin, hehe.
Nah, dulu
aku dipertemukan dirumah match-maker. Kami hanya terdiam lama, mengajukan
pertanyaan dengan jawaban “Yes or No”, melirik sesekali. Itu karena kami telah
tahu konteks pertemuan itu. Yaaah…walaupun akhirnya pahit bagiku, tapi aku
ikhlas.
Allah, apa ini jawabanMu? Aku
merasa seolah ludahku asin (istilah orang tua kalau kata-kata seseorang mudah
sekali terkabul). Perasaanku campur aduk, antara takjub dan bimbang juga gusar.
Ada sedikit rasa trauma akan gagal lagi. Sejujurnya, aku merasa belum siap berumah
tangga, tapi disisi lain Allah yang lebih tahu kapan seseorang siap. Aku
tersenyum sendiri, merasa ini sangat ironis. Kak Rahmi yang terus menanyakan
aku tentang hal itu, tapi malah Kak Dira yang bahkan jarang sekali bertemu yang
menawarkan bantuannya. Ini satu pelajaran untukku dan untuk kita semua, talk
less do more (iklan rokok itu memang benar).
***
Kiki, sepupuku yang
satu-satunya sebaya denganku besok merayakan ulang tahunnya. Kebetulan karena
dia adalah anak tunggal dari orang tua yang cukup berpengaruh, syukuran sampai
usianya sedikit mewah (bagiku yaa?? Hehe). Ayahnya adalah pimpinan salah satu
Bank swasta, namun dia malah bekerja di Bank Daerah. Ibunya itu adik mamak dan
punya usaha catering dan lumayan sukses.
Walaupun ibunya pengusaha
catering, tetapi tetap dia memesan kue dan minum padaku. Kroket daging,
martabak isi buah, dan es pelangi. Ujung-ujungnya aku harus sibuk sehari
sebelum acara. Alhamdulillah tugasku tidak begitu banyak, Cuma satu presentasi
kelompok dan essai. Aku pun bergegas pergi berbelanja, hari ini juga aku tak
mungkin meminta Kiki menemani, dia juga pasti sedang sibuk.
Ketika akan kuparkirkan
scoopyku dari balik helm kulihat lelaki Chinese tak bermata sipit itu.
Kebetulan dia sedang melayani pelanggannya, dengan celana tanggungnya dan kaos
merah bata. Perpaduan yang lumayan menurutku dengan warna kulitnya yang bagus
(apalagi kalau dia perempuan, aku terkadang suka mengakhayal, haha). Dia
menoleh ketika aku mematikan mesin scoopyku dan sedikit tersenyum (dan aku
benar-benar tak tahu apa itu? berkah atau…? Entah lah, yang jelas mukaku agak
sedikit merona karena diberi kesempatan menikmati wajah itu dengan perpaduan
klop antara bibir, gigi, mata, lesung pipi yang membentuk senyum yang… wow!
Subhanallah!! Aku bersyukur karena aku masih menggunakan helm, jadi kemeronaan
pipiku masih sedikit tersembunyi. Ketika aku membuka helmku, malah kini gantian
para pelanggan yang sedang dilayaninya memandang kearahku. Sedikit fokus. Aku
jadi salah tingkah. Memangnya ada apa?
Saat aku datang, dia masih
sedikit sibuk dengan ibu-ibu (jadi sedikit aneh, dari tadi perasaan tu ibu-ibu
gak siap-siap, ini gak jadi, itu gak jadi. Aku yang bukan penjual aja bisa
sedikit kesal, namun si lelaki yang tak kutahu namanya itu masih kelihatan
sabar. Jangan-jangan tu ibu-ibu naksir lelaki itu lagi, haduuuu…dunia-dunia). Bersama
denganku, datang seorang gadis remaja yang juga akan berbelanja. Bukannya dia
merespon ketika Aci menanyakan apa yang bisa dibantu, dia malah menunggu
kesempatan bertanya pada lelaki muda itu, aku tertawa sendiri. Kuberikan kertas
belanjaanku pada Aci dan dia mulai sibuk membereskan daftar belanjaanku. Aku
senang melihatnya begitu sigap, namun sesekali dia bertanya untuk memastikan…
“Ini jagung kalengnya yang Del Monte Quality?”
“Iya Ci, tadi lupa ditulis,
hehe..”, jawabku.
Dia selesai.
“Semuanya Rp. 197.000,-“. Kini
aku mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Aci bergegas mengambil uang
kembalian dan menyerahkannya kepadaku. Aku pun bergegas, namun belanjaanku
sedikit berat dan tak ada Kiki yang bisa kuminta bantuan. Aku pun dengan
sedikit kesusahan mengangkat belanjaanku sendiri. Sekilas kulihat, si ibu-ibu
itu masih belum selesai, eh..malah sudah ada pelanggan lain yang lagi-lagi ogah
dilayani Aci.
Ternyata pesona anda luar biasa tuan Chinese tak sipit mata,
hehe. Ku perhatikan Aci tertawa sambil terus bertanya apa yang bisa dibantu.
Aku pun melewati ibu-ibu tadi dengan sedikit kesusahan…
“Sini saya bantu?”, tiba-tiba
sebuah tangan meraih plastiks belanjaanku dan berjalan cepat kearah parkiran.
Aku terpana. Lelaki itu. Aku sedikit menoleh, si ibu-ibu dan satu orang
pelanggan lainnya hanya bisa gigit bibir. Aku pun dengan senyuman sedikit tak
enak ngeloyor pergi. Maaf ya, tak bermaksud menganggu proses pendekatan
anda-anda, tetapi si lelaki Chinese tak sipit mata itu yang berniat membantuku.
“Disini?”, tanyanya menunjuk
kearah scoopyku. Aku mengangguk.
“Makasi banyak!”, ucapku ketika
dia selesai. Kini aku sudah berani menatap kearah mata itu. Toh, aku gak ada
maksud apa-apa.
“Lain kali kalau kesulitan,
jangan sungkan minta tolong…”, ucapnya sambil tersenyum dan melangkah pergi.
That’s enough! The smile! Alhamdulillah…
***
Naisya, mamak dan ayah sudah
duluan ke rumah Kik dengan membawa pesanan Kiki yang baru menjelang tengah
malam selesai kukerjakan, sedang aku harus menyelesaikan kelas terlebih dahulu.
Selepas ashar aku bergegas ke Mesjid terdekat untuk shalat dan akhirnya
melajukan scoopy putihku ke daerah yang tuju.
It’s 5.30 p.m already. Ku
parkirkan scoopy mateku dan kulihat beberapa mobil mewah sudah terpakir disana,
termasuk beberapa yang kukenal. CR-V putih gading itu punya Kak Dira, Jazz
merah punya Kiki dan adiknya, Inova punya Kak Rahmi dan beberapa lainnya yang
juga aku tahu milik siapa. Tapi yang paling kukenali dan yang paling menonjol
karena paling kelihatan lusuh diantara deretan mobil lainnya adalah sebuah
Kijang Kapsul punya ayahku. Aku tersenyum sendiri, namun sedikit bangga akan
mobil itu. Mobil yang sejak aku kecil setia mengantarku ke sekolah dan
kemanapun.
Aku pun bergegas masuk dan
ketika pintu kaca itu terbuka, Kiki langsung nyosor…
“Nadiaaaaa… akhirnya kamu
datang!!!”, ucapnya sedikit lebai sambil memelukku erat.
“Udah! Lepasin! Lebai banget
dah…”, ucapku sambil dengan sedikit kesusahan melepas rengkuhan tangan itu.
“Hmm..hmm..ini bau apa yaa??
Semacam bau keringat”, Kiki pura-pura mencium sesuatu yang tak enak. Aku pun
langsung sadar diri, hehe.
“Hei, aku dari tadi pagi belum
pulang. Ini juga aku bela-belain datang demi kamu… padahal capek banget…”
“Pantes bau terasi, hehe…”, aku
melotot.
“Hehe, becanda ding! Kamu wangi
kok! Dan tetap cantik walaupun dengan wajah yang sudah bisa menggoreng ikan,
hoho…”
“Mau kado gak?”, ancamku
kemudian sambil mengacungkan sebuah bungkusan kecil.
“Mauuuu… wah, makasi sepupuku
yang cantik!”, ucapnya sambil meraih bungkusan itu.
Akhirnya aku pun berbaur. Ada
banyak orang yang tak kukenal, yaa…mungkin kawan sekantor Kiki atau kawan
sekolahnya dulu. Aku pun sedikit terpana ketika seorang melambai-lambai. Kak
Dira. Aku menuju ke mejanya, karena memang kulihat beberapa orang kerabat
disana sedang mengobrol. Namun ada beberapa teman Kak Dira yang juga temannya
Kiki. Para bankers!!! Hehe… ceweknya tinggi-tinggi, kulitnya semacam ada
perawatan. Yang cowok, yaah…standar pekerja bank, mungkin bagi beberapa orang
mereka goodlooking tapi yaa…bagiku relative. Aku sadari, memang ada segelintir
dari mereka yang sedikit menarik sudut mataku, hehe… contohnya perempuan
berkacamata dengan bingkai merah muda itu. Dia cantik dan feminine, yang
kutangkap namanya Cut Eka Puspitasari. Dan lelaki berhidung mancung itu, dia
lumayan bisa menarik dipandanganku…namanya kalau tak salah Faisal. Sepanjang
obrolan dengan Kak Dira dan beberapa temannya perasaanku sedikit aneh dan
kurang enak. Apa mungkin karena aku belum mandi ya? Hehe…
Menjelang magrib para tamu
sudah pulang, termasuk beberapa kerabat. Aku juga akan bergegas pulang ketika
lenganku ditarik seseorang…
“Mau kemana kamu, heh?”. Aku
sedikit terkejut. Aku pun menoleh.
“Kikiiii… lepasin! Aku udah
gerah banget niyh… Udah pamit pulang sama bunda tadi…”
“Yang ulang tahun siapa? Bukan
bunda kan? Malah kamu gak izin pulang sama aku…”
“Ki…”
“Nyuci piring dulu baru pulang,
hehe”
“Heh! Biasanya kamu juga
melarikan diri kalau berurusan dengan piring kotor… Ki, kalau aku gak gerah,
gak perlu kamu suruh pun aku pasti main-main kedapur, tapi serius ini gerah
banget…”
“Hehe…becanda ding! Serius amat
siyh!”
“Lagian siapa juga yang serius,
aku bilang kan main-main kedapur… liat-liat aja, haha”, balasku.
“Wee…dasaaar! Yaudah, hati-hati
yaa…”
“Siip, assalamualaikum…”, Kiki
menjawab salamku dan melepasku pergi.
***
Tiba-tiba aku teringat Kak Dira
dan “rencana”nya. Tapi ketika ketemu dirumah Kiki tadi, seperti tidak ada
kejadian atau pembicaraan sebelumnya. Kak Dira malah tidak menyinggung apa-apa.
Dia kelihatan biasa aja. Apa tidak jadi yaa?? Haduu, ngapain juga aku susah?
Yaa, kalau tak jadi berarti belum saatnya. Tapi yang jelas Kak Dira pasti
ngomong, dia kan professional.
Sejujurnya aku penasaran,
kenapa Kak Dira seperti biasa-biasa saja. Apa harus aku yang tanya?
Kuraih handphoneku dan mulai
kuketikkan sesuatu tapi ketika satu langkah lagi yang menekan tombol “send”,
aku urung. Apa-apaan ini? Akhirnya ku hapus pesan singkat itu. Aku pun berlalu
ke dapur mengambil air.
Ketika aku kembali, kulihat ada
dua panggilan tak terjawab dan satu sms. Kak Dira.
From: Kak Dira
Cantik, kemana aja? Kok kakak telpon gak diangkat?
Udah tidur yaa? Ada yang mau kakak omongin ni. Serius.
Wah, kebetulan banget. Ketika
aku sedang mengetik balasan, Kak Dira menelpon lagi.
“Assalamualaikum Kak!”
“Waalaikumussalam, udah tidur
ya?”
“Belum, hehe. Tadi lagi ngambil
air kedapur. Ada apa kak?”, tanyaku sedikit pura-pura tak tahu. Dan memang aku
belum tahu apa yang akan diomongkan.
“Hmm…gimana tadi?”
“Apanya?”
“Kan udah ketemu, gimana
pendapat kamu tentang dia?”
“Pendapat apa? Dia siapa
siyh?”, kini aku benar-benar tak tahu.
“Oia, lupa. Sengaja kakak gak
bilang sama kalian berdua, biar semuanya kelihatan natural, hehe. Sebetulnya
begini, kakak beberapa hari ini mau ngatur pertemuan kalian, tapi gak dapat ide
yang bagus. Kebetulan ada acara Kiki, dan beliau juga diundang jadi pas
banget”. Hah?? Berarti tadi ada…
“Jadi kalian berdua sama-sama
enggak tahu. Kakak liat sepertinya cocok, ngomongnya juga tadi keliatan
nyambung, hehe…”,
“Ya Allah Kak! Siapa siyh?”,
Kak Dira sengaja tidak menyebut namanya sama sekali. aku mulai menebak-nebak.
“Dan yang paling mengejutkan
dan sekaligus menggembirakan, tanpa kakak tanya pun, beliau yang tanya-tanya
duluan tentang kamu. Padahal memang sama kamu, kakak rencana kenalkan. Dia agak
terkejut. Ketika ditanya apa mau lanjut, katanya insyaAllah dia mau Nad. Nah,
sekarang giliran kamu…”
“Yaa…kak, kalau Nadia gak tahu
siapa, mana bisa Dia putuskan?”
“Namanya Faisal. Yang tadi
duduk didepan kamu. Tepat didepan kamu”. Aku sedikit terpana? Faisal yang itu,
yang hidungnya bagus itu. Apa gak salah?
“Kakak serius?”
“Lha? Serius lah cantik.
Emangnya ada apa siyh? Kamu gak suka?”
“Hmm…bukan gitu, tapi apa dia
ggak salah liat? Toh, teman-temannya banyak yang lebih cantik, Cut Eka misalnya…
Lha, kok dia bisa ngeliat aku?”
“Hei, cantikan kamu lagi.
Jangan mengunderestimate diri sendiri gitu ah! Jadi gimana?”
“Harus diputuskan sekarang
yaa?”
“Yaa, ini kan masih awal.
Setidaknya kamu punya gambaran awal tentang Faisal, cara dia bicara, sikapnya,
penampilannya. Itu bisa jadi kunci awal, selanjutnya jika memang mau
dilanjutkan kan bisa tahu lebih jauh…”
Aku berpikir sejenak. Iya siyh,
benar kata Kak Dira. Ya Allah, dengan menyebut namaMu…
“InsyaAllah kak…”
“Alhamdulillah. Oke, cantik,
kakak kabari berita gembira ini ke Faisal yaa? Hmm…satu lagi, kakak kasi nomor
hapemu ke Faisal yaa?”
“Iya kak!”
Pembicaraan pun selesai. Kini
aku benar-benar terduduk dan terdiam. Lelaki itu menanyakanku dan mau
mengenalku lebih… mungkin semua berpikir, aku terlalu merendah, tapi aku hanya
tak mau kecewa dan berharap. Terlalu banyak kisah dalam hidupku. Dulu ketika
masih remaja, aku naksir seorang cowok. Dia biasa banget, dan bukan tipe cowok
yang diidolakan. Aku positif banget dia bakal punya perasaan yang sama, tapi
malah dia suka teman sebangkuku. Dulu aku berpikir apa aku kurang cantik?
Atau.. dan akhirnya aku mulai membatasi diri dan kepedeanku…
Ah…
Allah, memang tak pernah ada
yang tahu soal hati. Mudah-mudahan ini yang terbaik. Aku berniat tak akan mengatakan
siapapun tentang proses ini kecuali keluarga sendiri, mamak, ayah dan Naisya.
Takut sekali kejadian dulu terulang, ketika semua telah berpikir aku akan
menikah segera dan akhirnya aku malah ditinggal nikah. Kalaupun ini tak
berhasil juga, berarti memang belum jodoh tapi kalau memang ini berbuah manis,
ketika memang sudah jelas baru semuanya boleh tahu.
Ketika aku sedang sibuk dengan
pikiranku, sebuah sms masuk. Dari nomor tak dikenal.
Assalamualaikum…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar