Sabtu, 12 November 2011

Plot and Me 2 - Just an accident meet!


Benar saja, aku gak mengerti apa ucapanku berkah atau tidak. Tapi beberapa hari perbincangan dengan sepupuku, kak Rahmi, seorang sepupu yang lain menelpon. Kak Dira yang memang jarang sekali menghubungiku, tiba-tiba hari itu menelpon.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam, Kak Dira apa kabar? Kangen laah…”

“Alhamdulillah sehat cantik. Adik apa kabar? Mamak sehat?”

“Alhamdulillah keluarga sehat, mamak dan ayah juga sehat. Udah lama kali laah gak jumpa…”

“Hehe…baru seminggu gak jumpa, udah kangen gini, makanya main-mainlah ke rumah…”

“Yaah..sama aja, kerumah pun, kakak sibuk banget. Pulang kerja malah nyambung ke butik. Weekend malah pergi ke luar kota… Dasar wanita karir. Syukur suami gak komentar..hehe”

“Haha… nyari rejeki buat anak, Nad. Kan sesekali bisa main-main ke butik, ada barang baru tuch!”

“Iya-iya, insyaAllah. Anyway, tumben ini nelpon? Mau ngajak Dia kemana?”

“Haaalaaah…seumpama ada perlu doank nich kakak nelpon kamu…”

“Emang kenyataannya gitu kan? Terakhir malah minta dibuatkan kue…”

“Hehe, iya juga yaa! Gimana kuliah? Lancar?”

“Alhamdulillah…”

“Kapan berangkat?”

“InsyaAllah masih beberapa bulan kak, ini kan mesti memenuhi syarat mata kuliah di Unsyiah dulu…”

“Memangnya berapa bulan lagi?”

“Sekitar 6 bulanan lagi lah…”

“Hmmm… bagus kalau gitu…”

“Lah, kok bagus?”

“Ehem, begini ni Dik! Kakak mau nanya serius… kamu sudah ada pacar belum?”

“Nadia jomblo kak! Makanya jangan nanya aja, kenalin satu donk! Tapi yang serius, gak mau main-main…hehehe!”

“Waaah, Alhamdulillah! Pas banget yaa! Kebetulan ada ini, temen kakak, lagi nyari calon istri, katanya dia mau serius… kakak teringat kamu, karena kalau dilihat dan disimak, kriterianya cocok banget…”. Appaaa??? Telingaku seperti ditampar. Aku kan hanya bercanda, tapi…

“Dia orangnya ganteng Nad, tinggi, agamanya juga bagus. Tapi agak pendiam. Kalau sudah ngomong wise banget… cocok dech sama kamu, gimana?”, aku masih terpana. Aku masih terus mencerna kata-kata itu. Butuh waktu yang lama.

“Nadia… kamu masih disana gak? Nad…”

“Eh..i..iya kak, masih kok!”

“Jangan terkesima seperti itu, hehe. Jadi gimana? Mau gak dikenalin?”. Adduuu…mau jawab gimana yaa? Jawab iya, seolah aku mau banget, kepingin banget. Mau jawab enggak, tapi ini sudah waktunya. Kenapa orang gak mengerti yaa? Yaa, jangan ada pertanyaan, “mau gak?” seolah gimana gitu jawabnya. Yaa…

“Hmmm…menurut kakak?”

“Lha, malah nanya? Hehe… usia kamu berapa?”

“24”

“Usia segitu seharusnya tak menutup diri lagi. Yaah, dicoba berteman dulu gitu…mudah-mudahan akhirnya baik. Kakak siyh mengharapkan kamu mencoba dulu…”. Aku pun berpikir sejenak. Toh, benar kata Kak Dira, gak ada salahnya mencoba.

“InsyaAllah kak!”

“Oke! Nti kakak hubungi lagi yaa! Kita atur pertemuan kalian…”

Setelah berpamitan, aku jadi kepikiran sendiri. Kita atur pertemuan???? Waalaaah…aku harus gimana ini?? Bertemu biasa saja, sama lelaki biasa saja, mukaku saja bisa merona (ingat yaa, terkadang aku hanya malu atau batuk…hehe). Apalagi dalam konteks diperkenalkan untuk itu… karna sejujurnya aku punya pengalaman yang serupa yang sedikit pahit sebelum ini. Aku pernah dikenalkan dengan seseorang juga dan memang berniatnya menikah. Dulu usiaku masih 21 tahun dengan beban kuliah semester akhir, mamak sedikit mewanti-wanti dan meminta waktu. Akhirnya aku ditinggal kawin, hehe. 
Nah, dulu aku dipertemukan dirumah match-maker. Kami hanya terdiam lama, mengajukan pertanyaan dengan jawaban “Yes or No”, melirik sesekali. Itu karena kami telah tahu konteks pertemuan itu. Yaaah…walaupun akhirnya pahit bagiku, tapi aku ikhlas.

Allah, apa ini jawabanMu? Aku merasa seolah ludahku asin (istilah orang tua kalau kata-kata seseorang mudah sekali terkabul). Perasaanku campur aduk, antara takjub dan bimbang juga gusar. Ada sedikit rasa trauma akan gagal lagi.  Sejujurnya, aku merasa belum siap berumah tangga, tapi disisi lain Allah yang lebih tahu kapan seseorang siap. Aku tersenyum sendiri, merasa ini sangat ironis. Kak Rahmi yang terus menanyakan aku tentang hal itu, tapi malah Kak Dira yang bahkan jarang sekali bertemu yang menawarkan bantuannya. Ini satu pelajaran untukku dan untuk kita semua, talk less do more (iklan rokok itu memang benar).

***

Kiki, sepupuku yang satu-satunya sebaya denganku besok merayakan ulang tahunnya. Kebetulan karena dia adalah anak tunggal dari orang tua yang cukup berpengaruh, syukuran sampai usianya sedikit mewah (bagiku yaa?? Hehe). Ayahnya adalah pimpinan salah satu Bank swasta, namun dia malah bekerja di Bank Daerah. Ibunya itu adik mamak dan punya usaha catering dan lumayan sukses.

Walaupun ibunya pengusaha catering, tetapi tetap dia memesan kue dan minum padaku. Kroket daging, martabak isi buah, dan es pelangi. Ujung-ujungnya aku harus sibuk sehari sebelum acara. Alhamdulillah tugasku tidak begitu banyak, Cuma satu presentasi kelompok dan essai. Aku pun bergegas pergi berbelanja, hari ini juga aku tak mungkin meminta Kiki menemani, dia juga pasti sedang sibuk.

Ketika akan kuparkirkan scoopyku dari balik helm kulihat lelaki Chinese tak bermata sipit itu. Kebetulan dia sedang melayani pelanggannya, dengan celana tanggungnya dan kaos merah bata. Perpaduan yang lumayan menurutku dengan warna kulitnya yang bagus (apalagi kalau dia perempuan, aku terkadang suka mengakhayal, haha). Dia menoleh ketika aku mematikan mesin scoopyku dan sedikit tersenyum (dan aku benar-benar tak tahu apa itu? berkah atau…? Entah lah, yang jelas mukaku agak sedikit merona karena diberi kesempatan menikmati wajah itu dengan perpaduan klop antara bibir, gigi, mata, lesung pipi yang membentuk senyum yang… wow! Subhanallah!! Aku bersyukur karena aku masih menggunakan helm, jadi kemeronaan pipiku masih sedikit tersembunyi. Ketika aku membuka helmku, malah kini gantian para pelanggan yang sedang dilayaninya memandang kearahku. Sedikit fokus. Aku jadi salah tingkah. Memangnya ada apa?

Saat aku datang, dia masih sedikit sibuk dengan ibu-ibu (jadi sedikit aneh, dari tadi perasaan tu ibu-ibu gak siap-siap, ini gak jadi, itu gak jadi. Aku yang bukan penjual aja bisa sedikit kesal, namun si lelaki yang tak kutahu namanya itu masih kelihatan sabar. Jangan-jangan tu ibu-ibu naksir lelaki itu lagi, haduuuu…dunia-dunia). Bersama denganku, datang seorang gadis remaja yang juga akan berbelanja. Bukannya dia merespon ketika Aci menanyakan apa yang bisa dibantu, dia malah menunggu kesempatan bertanya pada lelaki muda itu, aku tertawa sendiri. Kuberikan kertas belanjaanku pada Aci dan dia mulai sibuk membereskan daftar belanjaanku. Aku senang melihatnya begitu sigap, namun sesekali dia bertanya untuk memastikan…

“Ini jagung kalengnya yang Del Monte Quality?”

“Iya Ci, tadi lupa ditulis, hehe..”, jawabku.

Dia selesai.

“Semuanya Rp. 197.000,-“. Kini aku mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Aci bergegas mengambil uang kembalian dan menyerahkannya kepadaku. Aku pun bergegas, namun belanjaanku sedikit berat dan tak ada Kiki yang bisa kuminta bantuan. Aku pun dengan sedikit kesusahan mengangkat belanjaanku sendiri. Sekilas kulihat, si ibu-ibu itu masih belum selesai, eh..malah sudah ada pelanggan lain yang lagi-lagi ogah dilayani Aci. 
Ternyata pesona anda luar biasa tuan Chinese tak sipit mata, hehe. Ku perhatikan Aci tertawa sambil terus bertanya apa yang bisa dibantu. Aku pun melewati ibu-ibu tadi dengan sedikit kesusahan…

“Sini saya bantu?”, tiba-tiba sebuah tangan meraih plastiks belanjaanku dan berjalan cepat kearah parkiran. Aku terpana. Lelaki itu. Aku sedikit menoleh, si ibu-ibu dan satu orang pelanggan lainnya hanya bisa gigit bibir. Aku pun dengan senyuman sedikit tak enak ngeloyor pergi. Maaf ya, tak bermaksud menganggu proses pendekatan anda-anda, tetapi si lelaki Chinese tak sipit mata itu yang berniat membantuku.

“Disini?”, tanyanya menunjuk kearah scoopyku. Aku mengangguk.

“Makasi banyak!”, ucapku ketika dia selesai. Kini aku sudah berani menatap kearah mata itu. Toh, aku gak ada maksud apa-apa.

“Lain kali kalau kesulitan, jangan sungkan minta tolong…”, ucapnya sambil tersenyum dan melangkah pergi. That’s enough! The smile! Alhamdulillah…


***

Naisya, mamak dan ayah sudah duluan ke rumah Kik dengan membawa pesanan Kiki yang baru menjelang tengah malam selesai kukerjakan, sedang aku harus menyelesaikan kelas terlebih dahulu. Selepas ashar aku bergegas ke Mesjid terdekat untuk shalat dan akhirnya melajukan scoopy putihku ke daerah yang tuju.

It’s 5.30 p.m already. Ku parkirkan scoopy mateku dan kulihat beberapa mobil mewah sudah terpakir disana, termasuk beberapa yang kukenal. CR-V putih gading itu punya Kak Dira, Jazz merah punya Kiki dan adiknya, Inova punya Kak Rahmi dan beberapa lainnya yang juga aku tahu milik siapa. Tapi yang paling kukenali dan yang paling menonjol karena paling kelihatan lusuh diantara deretan mobil lainnya adalah sebuah Kijang Kapsul punya ayahku. Aku tersenyum sendiri, namun sedikit bangga akan mobil itu. Mobil yang sejak aku kecil setia mengantarku ke sekolah dan kemanapun.

Aku pun bergegas masuk dan ketika pintu kaca itu terbuka, Kiki langsung nyosor…

“Nadiaaaaa… akhirnya kamu datang!!!”, ucapnya sedikit lebai sambil memelukku erat.

“Udah! Lepasin! Lebai banget dah…”, ucapku sambil dengan sedikit kesusahan melepas rengkuhan tangan itu.

“Hmm..hmm..ini bau apa yaa?? Semacam bau keringat”, Kiki pura-pura mencium sesuatu yang tak enak. Aku pun langsung sadar diri, hehe.

“Hei, aku dari tadi pagi belum pulang. Ini juga aku bela-belain datang demi kamu… padahal capek banget…”

“Pantes bau terasi, hehe…”, aku melotot.

“Hehe, becanda ding! Kamu wangi kok! Dan tetap cantik walaupun dengan wajah yang sudah bisa menggoreng ikan, hoho…”

“Mau kado gak?”, ancamku kemudian sambil mengacungkan sebuah bungkusan kecil.

“Mauuuu… wah, makasi sepupuku yang cantik!”, ucapnya sambil meraih bungkusan itu.

Akhirnya aku pun berbaur. Ada banyak orang yang tak kukenal, yaa…mungkin kawan sekantor Kiki atau kawan sekolahnya dulu. Aku pun sedikit terpana ketika seorang melambai-lambai. Kak Dira. Aku menuju ke mejanya, karena memang kulihat beberapa orang kerabat disana sedang mengobrol. Namun ada beberapa teman Kak Dira yang juga temannya Kiki. Para bankers!!! Hehe… ceweknya tinggi-tinggi, kulitnya semacam ada perawatan. Yang cowok, yaah…standar pekerja bank, mungkin bagi beberapa orang mereka goodlooking tapi yaa…bagiku relative. Aku sadari, memang ada segelintir dari mereka yang sedikit menarik sudut mataku, hehe… contohnya perempuan berkacamata dengan bingkai merah muda itu. Dia cantik dan feminine, yang kutangkap namanya Cut Eka Puspitasari. Dan lelaki berhidung mancung itu, dia lumayan bisa menarik dipandanganku…namanya kalau tak salah Faisal. Sepanjang obrolan dengan Kak Dira dan beberapa temannya perasaanku sedikit aneh dan kurang enak. Apa mungkin karena aku belum mandi ya? Hehe…

Menjelang magrib para tamu sudah pulang, termasuk beberapa kerabat. Aku juga akan bergegas pulang ketika lenganku ditarik seseorang…

“Mau kemana kamu, heh?”. Aku sedikit terkejut. Aku pun menoleh.

“Kikiiii… lepasin! Aku udah gerah banget niyh… Udah pamit pulang sama bunda tadi…”

“Yang ulang tahun siapa? Bukan bunda kan? Malah kamu gak izin pulang sama aku…”

“Ki…”

“Nyuci piring dulu baru pulang, hehe”

“Heh! Biasanya kamu juga melarikan diri kalau berurusan dengan piring kotor… Ki, kalau aku gak gerah, gak perlu kamu suruh pun aku pasti main-main kedapur, tapi serius ini gerah banget…”

“Hehe…becanda ding! Serius amat siyh!”

“Lagian siapa juga yang serius, aku bilang kan main-main kedapur… liat-liat aja, haha”, balasku.

“Wee…dasaaar! Yaudah, hati-hati yaa…”

“Siip, assalamualaikum…”, Kiki menjawab salamku dan melepasku pergi.


***

Tiba-tiba aku teringat Kak Dira dan “rencana”nya. Tapi ketika ketemu dirumah Kiki tadi, seperti tidak ada kejadian atau pembicaraan sebelumnya. Kak Dira malah tidak menyinggung apa-apa. Dia kelihatan biasa aja. Apa tidak jadi yaa?? Haduu, ngapain juga aku susah? Yaa, kalau tak jadi berarti belum saatnya. Tapi yang jelas Kak Dira pasti ngomong, dia kan professional.

Sejujurnya aku penasaran, kenapa Kak Dira seperti biasa-biasa saja. Apa harus aku yang tanya?

Kuraih handphoneku dan mulai kuketikkan sesuatu tapi ketika satu langkah lagi yang menekan tombol “send”, aku urung. Apa-apaan ini? Akhirnya ku hapus pesan singkat itu. Aku pun berlalu ke dapur mengambil air.

Ketika aku kembali, kulihat ada dua panggilan tak terjawab dan satu sms. Kak Dira.

From: Kak Dira
Cantik, kemana aja? Kok kakak telpon gak diangkat? Udah tidur yaa? Ada yang mau kakak omongin ni. Serius.

Wah, kebetulan banget. Ketika aku sedang mengetik balasan, Kak Dira menelpon lagi.

“Assalamualaikum Kak!”

“Waalaikumussalam, udah tidur ya?”

“Belum, hehe. Tadi lagi ngambil air kedapur. Ada apa kak?”, tanyaku sedikit pura-pura tak tahu. Dan memang aku belum tahu apa yang akan diomongkan.

“Hmm…gimana tadi?”

“Apanya?”

“Kan udah ketemu, gimana pendapat kamu tentang dia?”

“Pendapat apa? Dia siapa siyh?”, kini aku benar-benar tak tahu.

“Oia, lupa. Sengaja kakak gak bilang sama kalian berdua, biar semuanya kelihatan natural, hehe. Sebetulnya begini, kakak beberapa hari ini mau ngatur pertemuan kalian, tapi gak dapat ide yang bagus. Kebetulan ada acara Kiki, dan beliau juga diundang jadi pas banget”. Hah?? Berarti tadi ada…

“Jadi kalian berdua sama-sama enggak tahu. Kakak liat sepertinya cocok, ngomongnya juga tadi keliatan nyambung, hehe…”,

“Ya Allah Kak! Siapa siyh?”, Kak Dira sengaja tidak menyebut namanya sama sekali. aku mulai menebak-nebak.

“Dan yang paling mengejutkan dan sekaligus menggembirakan, tanpa kakak tanya pun, beliau yang tanya-tanya duluan tentang kamu. Padahal memang sama kamu, kakak rencana kenalkan. Dia agak terkejut. Ketika ditanya apa mau lanjut, katanya insyaAllah dia mau Nad. Nah, sekarang giliran kamu…”

“Yaa…kak, kalau Nadia gak tahu siapa, mana bisa Dia putuskan?”

“Namanya Faisal. Yang tadi duduk didepan kamu. Tepat didepan kamu”. Aku sedikit terpana? Faisal yang itu, yang hidungnya bagus itu. Apa gak salah?

“Kakak serius?”

“Lha? Serius lah cantik. Emangnya ada apa siyh? Kamu gak suka?”

“Hmm…bukan gitu, tapi apa dia ggak salah liat? Toh, teman-temannya banyak yang lebih cantik, Cut Eka misalnya… Lha, kok dia bisa ngeliat aku?”

“Hei, cantikan kamu lagi. Jangan mengunderestimate diri sendiri gitu ah! Jadi gimana?”

“Harus diputuskan sekarang yaa?”

“Yaa, ini kan masih awal. Setidaknya kamu punya gambaran awal tentang Faisal, cara dia bicara, sikapnya, penampilannya. Itu bisa jadi kunci awal, selanjutnya jika memang mau dilanjutkan kan bisa tahu lebih jauh…”

Aku berpikir sejenak. Iya siyh, benar kata Kak Dira. Ya Allah, dengan menyebut namaMu…

“InsyaAllah kak…”

“Alhamdulillah. Oke, cantik, kakak kabari berita gembira ini ke Faisal yaa? Hmm…satu lagi, kakak kasi nomor hapemu ke Faisal yaa?”

“Iya kak!”

Pembicaraan pun selesai. Kini aku benar-benar terduduk dan terdiam. Lelaki itu menanyakanku dan mau mengenalku lebih… mungkin semua berpikir, aku terlalu merendah, tapi aku hanya tak mau kecewa dan berharap. Terlalu banyak kisah dalam hidupku. Dulu ketika masih remaja, aku naksir seorang cowok. Dia biasa banget, dan bukan tipe cowok yang diidolakan. Aku positif banget dia bakal punya perasaan yang sama, tapi malah dia suka teman sebangkuku. Dulu aku berpikir apa aku kurang cantik? Atau.. dan akhirnya aku mulai membatasi diri dan kepedeanku…

Ah…

Allah, memang tak pernah ada yang tahu soal hati. Mudah-mudahan ini yang terbaik. Aku berniat tak akan mengatakan siapapun tentang proses ini kecuali keluarga sendiri, mamak, ayah dan Naisya. Takut sekali kejadian dulu terulang, ketika semua telah berpikir aku akan menikah segera dan akhirnya aku malah ditinggal nikah. Kalaupun ini tak berhasil juga, berarti memang belum jodoh tapi kalau memang ini berbuah manis, ketika memang sudah jelas baru semuanya boleh tahu.

Ketika aku sedang sibuk dengan pikiranku, sebuah sms masuk. Dari nomor tak dikenal.

Assalamualaikum…

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar