Senin, 11 Juni 2012

Plot and Me 15 - Mr. Vanilla Mari and Me




“Bunda, kenapa harus orang luar?”, tanya kak Rahmi ketika kami rapat keluarga malam itu, sehari setelah aku bertemu Zack di Mesjid Raya Baiturrahman.
Setelah aku mengatakan semuanya kepada orangtuaku dan Zack juga datang mengutarakan niatnya tepat dimalam itu, ayah dan mamak langsung menelpon seluruh keluarga dan berdiskusi. Aku berpikir, apa mesti harus melibatkan semuanya? Ah, Nadia…kamu tau apa? Ini lah keluarga.
“Iyyaa kak, apalagi keturunan Chinese? Agamanya apa?”, sambung salah satu bundaku.
“Hmm…kalau pun dia mau merubah agamanya, jangan karena Nadia”, ucap adik ayahku.
Berbagai komentar baik juga meragukan keluar silih berganti.
“Namanya Dzaki Ar-Rafa, keturunan Chinese dan Perancis. Saya dan Azizah sudah kenal dekat dengannya. Dia pemuda santun dan berilmu. InsyaAllah bertanggung jawab, dan Nadia juga kelihatan nyaman. Satu hal yang paling penting adalah ketika dia sejak lahir adalah seorang muslim dan sejauh ini agamanya baik”, jelas ayahku.
Percakapan berjalan panjang lebar. Aku menghindar dan masuk kekamarku. I need to share to Allah. Di sujud istikharahku, aku masih senantiasa memohon petunjuk dariNya, walaupun sejauh ini, I am into him. Tetapi, semuanya bisa saja terjadi.
Kak Dira masuk.
“Kenapa Nadia?”
“Heh? Kenapa apa kak?”
“Kenapa terkesan menghindar? Kamu benar-benar berharap pada lelaki itu ya?”, aku hanya tersenyum.
“Lelaki itu namanya Dzaki Ar-Rafa, kak..”, jawabku singkat.
“Iya..Zaki. Hmm..Nadia, apa sebaiknya…”
“Kak Dira, kenapa memangnya kalau dia Chinese? Zaky juga seorang manusia, makhluk ciptaan Allah juga kan? Satu hal yang ayah juga sudah sebutkan, dia juga seorang muslim, dan perlu Nadia tegaskan… dia lebih dulu mendengarkan azan dari pada Nadia, karena dia dilahirkan dalam keluarga Muslim. Persoalan ras, Nadia tak pernah mempermasalahkan, belum tentu yang sama ras dan suku dengan kita, punya akhlak yang lebih baik kan…”, jelasku panjang lebar, Kak Dira diam sejenak dan kemudian tersenyum.
“Nadia, kamu memang sudah pantas menikah. Kamu sudah sangat dewasa. InsyaAllah kakak dukung!”, ucapnya sambil mengusap pipiku. Aku mengenggam tangannya seolah mengucap terima kasih.
Alhamdulillah ya Allah. Mudah-mudah ini juga tanda dariMu.
He's Chinese and I'm Acehnese... Then what?? We’re human and the most important point, we love the same One, Allah...


***

Keluarga Zack benar-benar datang dari Perancis. Malam itu, dua hari setelah Zack dengan, ehem…bagiku sangat romantic, melamarku di Mesjid Raya, kedua orangtuanya datang bersama Zack untuk berkunjung kerumah. Aku terpana. Ayahnya memang seorang Chinese, namun bisa berbahasa Indonesia sangat lancar. Ibunya, SubhanAllah. Cantik dan mempesona dengan balutan abaya batik dan hijab yang baik. Kalau Zack? Ah… apa mesti aku selalu mendescribsikannya? Kurasa kalian sudah bisa menebak apa kata-kataku. Ya… he keeps monopolizing the scene as the leading actor.
Ayah dan mamak menyambut ketiganya. Naisya duduk bersama dengan mereka. Orang tuanya sampai salah mengira kalau dia adalah aku. Awas saja dia kalau berani mengaku sebagai aku, hehe.
Ketika aku masuk membawa minuman, Zack dengan refleks bangun dari duduknya dan membuat yang lainnya terpana. Ah…aku kan jadi grogi.
“Ini Nadia Humaira?”, tanya ayah Zack. Dan ayah dan mamak mengiyakan. Kuletakkan nampan berisi air dan menyalami keduanya. Ibunya memelukku takjub, sambil membisikkan sesuatu hingga membuatku malu.
“Nadia, you’re so lovely!”, aku hanya tersenyum.
Zack masih berdiri dalam diamnya mengikuti segala gerakanku. Apa-apaan siyh dia? Bikin aku grogi saja. Ketika selesai dengan ibunya, aku kembali sibuk dengan gelas-gelas, sampai…
“You don’t say anything to me?”, suara itu membuat yang lainnya tersenyum. Aku mendelik. Zack apa-apaan siyh?
“Hai…”, ucapku kaku. Dan ini malah membuat yang lainnya kembali tersenyum.
Awas kamu Dzaki Ar-Rafa. Mempermalukanku.

***

Setelah bersilaturrahmi dua malam yang lalu, maka diputuskan acara lamaran ada malam ini, karena ayah Zack dan ibunya harus segera kembali ke Perancis karena pekerjaan sehari setelahnya. Pernikahan dan resepsi akan dibicarakan malam iini, dan kemungkinan besar tidak dalam waktu dekat, menunggu ayah dan ibu Zack bisa hadir. Malam ini yang  berkunjung kerumah adalah ayah, ibu dan beberapa orang saudara mereka juga beberapa orang yang berperawakan sama seperti ayahku, artinya orang Aceh, dan… Aku dilamar! Hihi… Alhamdulillah.
Seluruh saudaraku dan terutama sepupu-sepupuku begitu penasaran akan bentuk seorang Dzaki Ar-Rafa. Mereka mengira lelaki itu bermata sipit. Aku hanya tersenyum.
“Yang mana orangnya, Nad?”, tanya Kak Dira, ketika kami sedang berada di ruang tengah memberesi meja makan, sementara para tamu sudah mulai masuk. Kak Dira dan beberapa lainnya sudah celingak celinguk, aku hanya tersenyum tipis.
“Hah? Orang apa?”, tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Ah…Nadia payah. Kiki sama Naisya mana yaa?”, tanya Kak Dira dan aku yakin dia akan menginterograsi keduanya. Dan kedua gadis itu sedang sibuk didapur. Mereka memang ratu makanan. Haduu…
Bisik-bisik yang lain pun tak kalah ketinggalan, mulai menebak-nebak. Semuanya menunjukkan beberapa pemuda kadang lelaki yang sudah om-om sebagai Zack, dan tentu semuanya bermata sipit. Mungkin karena Ayahnya Zack memang bermata sangat sipit. Aku cekikikan. Tak ada yang tepat sasaran. For sure! Zack tidak ada diantara lelaki-lelaki itu. Toh, dari awal dia memang sebenarnya tidak bisa hadir karena ada pekerjaan di Ambon. Awalnya dia ingin sekali datang dan menunda pekerjaannya, namun kata orangtuaku persoalan lamaran, calon suami tidak harus datang.
Kiki mendekati Kak Dira, dan membisikinya…
“Kak, sini aku kasi tau yang mana Zack…”, Kak Dira mendekat. Aku dan Naisya cekikikan.
“Yang mana-yang mana?”, tanyanya semangat.
“Yang tidak ada disini, hehe…”, ucap Kiki sambil tersenyum jail.
“Maksudnya?”, tanya Kak Dira dengan suara sedikit membesar.
“Hehe… Zack lagi ada kerjaan diluar kak, jadi gak bisa hadir malam ini. Sabar yaa…”, sambungku dan diikuti cubitan ke lengannya Kiki.

***

Zack, besok ada acara kecil-kecilan dirumah. Datang ya!
Acara apa?
Maulid Nabi Muhammad SAW. Kamu bisa datang kan?
Do I need to come?
Zack… jangan mencari masalah denganku :-p
Haha.. I am so scared of you, Nadine! Of course I’ll come. For you, my…
My… what?
Isi sendiri, but is it ok if I come? May I?
For sure, Dzaki Ar-Rafa (anyway, I always love your name). I’ll be waiting.
Love my name? means รจ love me?
Dan dia benar-benar mempermalukanku. Tak kugubris lagi sms itu. Zack, apa harus aku ungkapan kan? Namun, beberapa detik kemudian sebuah sms lagi masuk. Zack.
Mukamu pasti sedang memerahkan. I always love to see your face that way, haha.
Dasaaar Zack! Tidak cukup dia mempermalukanku.
I don’t wanna respond anything like that. Just come, I’ll be waiting.

***
Menjelang jam 12 tamu sudah mulai berdatangan. Acara kali ini memang sedikit mewah karena sekalian memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan syukuran kelulusanku. Semua sepupu dan kerabat dekat memang telah datang sejak awal. Ini lah membuat aku rindu kampung halamanku, ikatan persaudaraan dan kekerabatan masih sangat terasa. Teman-temanku belum juga hadir, mungkin menjelang zuhur, pikirku. Zack juga belum hadir.

Mau datang jam berapa Dzaki Ar-Rafa?

Tak ada balasan. 15 menit kemudian juga taka da balasan. Zack, kamu pasti datang kan. Iya. Kamu pasti datang.
Satu jam berlalu. Aku kembali mengecek handphoneku dan memang belum ada balasan dari Zack. Tamu-tamu sudah mulai ramai, sekelompok teman dekatku sekolah sudah datang. Setiap sebuah mobil datang, aku selalu mendongak dan berharap itu Zack. Teman Naisya dan Evan sudah dari tadi datang dan masih menikmati hidangan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil lain masuk. Bukan Harrier. Zack kamu dimana siyh? Enggak, dia pasti datang. Zack selalu menepati janjinya. Mungkin dia shalat zuhur dulu. Rika dan beberapa teman sekelasku dikampus pun juga telah tiba. Aku mempersilahkan mereka menikmati hidangan. Tiba-tiba Naisya datang…
“Kak, mamak nanya Zack datang gak? Kamu ada undang dia kan?”
“Ada, dia pasti datang”
“Iyaa…mukamu keliatan cemas gitu. Coba hubungi lagi”
Aku pun menelponnya lagi, tapi tak diangkat. Zack, kamu kemana siyh? Aku pun bergegas masuk untuk shalat Zuhur, perasaanku cemas. Aku harus shalat.

***
“Nda Ya…mau buah!”, ucap Aisha setelah aku selesai shalat. Perasaanku kembali tenang. Dan aku masih yakin Zack pasti datang. Aku pun mengambilkannya sepotong semangka.
“Makannya jangan buru-buru yaa… ini tissue, jangan ngelap dibaju, iya sayang?”, Aisha mengangguk.
Tiba-tiba aku merasakan suasana agak sunyi. Suara-suara tamu agak meredam, tinggal bisik-bisik…
“Siapa itu?”
Aku pun berpaling dan Zack sudah disana. Dia baru saja sampai dan berdiri di gerbang sambil menenteng sekantong plastik hitam. Wajahnya menggemaskan, aku tersenyum, namun wajah itu masih melihat sekeliling. Dia mungkin belum terbiasa dengan acara begini. Kulihat sekeliling, semuanya seperti terhipnotis.
Aku akan melangkah menujunya, ketika Ayah menyambutnya…
“Zaki, masuk! Kenapa berdiri disana?”, ucap ayah dan Zack mulai melangkah masuk.
“Om… itu kan Om… anteng…”, ucap Aisha dan buru-buru berlari kearah Zack dan meninggalkanku dengan semangka bekas gigitannya.
“Om Jek…”, panggil gadis kecil itu dan langsung menggenggam tangan lelaki itu. Zack membungkuk dan menggendong Aisha. Aku pun melangkah kesana.
“Kenapa gak balas sms?”, ucapku mengejutkannya yang sedang menggoda Aisha.
Detik selanjutnya dia hanya diam melihat kearahku. Haduu…jangan-jangan Zack marah aku menanyakan itu padanya di depan semua orang. Uuuh…kekanak-kanakan sekali siyh Nadia.
“Nadia, ajak Zack makan dulu. Masa langsung di interogasi”, ucap Ayah sambil tersenyum. Zack kemudian juga tersenyum.
Aku mengantarnya ke bagian lelaki dan mengambil alih Aisha sementara dia mengambil makanannya.
“Makan yang banyak yaa? Gratis kok, hehe!”, ucapku sambil tersenyum dan langsung pergi meninggalkannya.
Aku baru tersadar, banyak yang masih berbisik-bisik, termasuk para sepupuku dan keluarga besarku yang secara mendadak keluar dari dalam rumah dan mengintip kearah Zack…
“Itu calonnya Nadia? Gak seperti Chinese kok? Ganteng malah…”
“Iyyaa… kalau yang gituan mah, kenapa harus di pertimbangkan lagi?”, aku tersenyum sendiri.
Aku juga melihat Naisya diinterogasi oleh Kak Dira ketika aku sedang menuju mereka, membawa Aisha…
“Sebenarnya Chinese bukan siyh? Aisha kok bisa kenal?”
“Keturunan Kak, jadi gimana? Ganteng kan? Islam juga kan?”
“Tapi kan…”
“Ah, kak! Dia juga keturunan Aceh. Ayahnya lahir di Aceh. Aisha aja suka…”
“Iyyya siyh, perkiraan kakak gak seperti ini rupanya…”, aku tersenyum.
“Jadi gimana? Kulitnya super putih dan matanya super sipit, gitu ya kak?”, ucapku tiba-tiba sambil mendudukkan Aisha dipangkuannya. Persis seperti perkiraanku terhadap semua Chinese dulu, tapi kehadiran Zack merubah semuanya. Kak Dira hanya tersenyum.
“Namanya beneran Zaki ya?”
“Enggak Ma! Nama Om ganteng… Jek!”
“Hah?”, kami tertawa.
“Kak, kasihan Zack yaa? Dia dipandangin terus dari tadi tuch… nyaman gak dia makannya tuch!”
“Nyaman! Zack kan cuek”, ucapku sambil melirik lelaki itu yang sedang menikmati makanannya. Dia terlihat santai dan sesekali mengumbar senyum ketika merasa orang sedang memandangnya.
“Dia tahu kalau dirinya itu adorable kali yaa? Akhirnya mimpimu jadi kenyataan kak, hehe”, ucap Naisya.
“Iyyya Nad, dimana kamu dapat kaya’ gituan? Ganteng amat”, Tanya Kak Dira. Aku hanya tersenyum.
“Lagian apa dia gak salah liat, kok bisa kamu ?”, sambungnya lagi. Aku kembali tersenyum. Aku juga gak ngerti Kak. Aku kan juga merasa kalau aku hanya “pungguk merindukan bulan”, tapi buktinya Allah menjadikan aku pungguk yang dicintai bulan.
“Tapi yang naksir duluan kan bukan aku, hehe…”, ucapku sedikit sombong. Yang lain geleng-geleng.
Kulihat ayah sudah duduk menemani Zack.
“Zaki sudah datang ya?”, tiba-tiba mamak sudah keluar dari rumah dan aku menunjukkan kearah lelaki itu dan ayah.
“Ini Mak!”, ucapku sambil menyerahkan sekantong plastic berisi beberapa kilo gula, teh dan biscuit (Kurasa Zaki berusaha keras mencari tahu tentang adat Maulid di Aceh).
“Ini apa?”
“Zaki yang bawa tadi..”, ucapku tersenyum dan yang lain juga ikut tersenyum. Aku tahu mereka punya pemikiran yang sama tentang Zaki yang berusaha mencari tahu tentang ini semua.
“Ehem… calon menantu idaman ini sepertinya, bunda!”, ucap Kak Dira. Kulihat mamak tersipu (Nah Lho?)

***
Zaki pamit. Dia menyalami kedua orang tuaku dan beberapa sepupu dan kerabatku. Dia juga berpamitan dengan Naisya yang sejak tadi cengar-cengir berusaha menggoda (dengan memanggilnya “hei calon abang ipar ganteng”) lelaki itu (dan Zack adalah orang yang sangat cuek, jadi dia biasa saja dan aku cekikikan). Zack tak lupa berpamitan pada si kecil Aisha yang sedari tadi menggenggam tangannya dengan mengusap rambut Aisha dan mengecup hidung mungil gadis cantik itu (they are cute together, syukur Aisha masih kecil, kalau tidak bakal jadi sainganku nih, hehe). Tapi, dia bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Aku terpana ketika dia langsung menuju mobilnya. Apa-apaan ini?
Sudah lupa dengan perempuan manis ini Mr. Zaki? Tega sekali kamu pergi tanpa salam perpisahan.  Send
Just because you’re so cute that makes me so nervous just to see your face and say good bye.
Aku tersenyum. Dia ternyata bisa menggombal.
Is it you that says me “so cute”? Unbelievable.  Send
 Tak ada balasan.
Dan setelah 5 menit tak ada balasan, aku mengurngkan niatku untuk menunggu.
Memang sudah biasa ketika Zack jarang membalas sms atau jarang menelpon, dari dulu juga dia begitu. Pengusaha. Sibuk. Kelupaan. Kata-kata itu mungkin sudah biasa bagi seorang cowok pekerja macam Zack. Tapi, terkadang bagiku tidak biasa, bahkan ketika akhirnya kami di titik ini. Aku kesal. Terkesan kekanak-kanakan memang, setiap aku mendapati diriku kesal akan sikapnya itu, aku malah menertawakan diri sendiri. Aku selalu menanyakan, what do I expect? Perhatian lebih? Smsan berlebihan? Apa tidak cukup kalau setiap dia punya waktu, dia datang berkunjung? Apa tidak cukup hubungan di titik ini? What do I expect?
Hmm…tapi kekesalanku lebih pada diri sendiri yang senantiasa bersikap kekanak-kanakan, alhasil tidak ada satupun pesan singkat dengan kata-kata “ngambek” disana atau telpon berlebihan kepadanya, karena semuanya bermula padaku dan akan berakhir padaku pula. Ada hal-hal tertentu dimana kita membutuhkan waktu dan belajra dari itu, dan aku belajar menjadi lebih sabar dan dewasa dari ini.
Overall, ketika aku sudah berhasil meredam kekesalanku sendiri, setiap kali itu pula Zack datang lagi dan dengan senyumnya yang semanis air tebu itu membuatku semakin merasa konyol.
“Assalamualaikum… Hi, Nadine!”, ucapnya malam itu selesai aku membereskan rumah selepas acara maulid dan syukuran wisudaku.
“Waalaikumussalam… hi!”, terkadang aku masih sangat konyol ketika harus berhadapan dengan pesonanya itu. Respon singkat inilah yang membuatnya senang menggodaku. Dan Naisya juga, huuuu…
“Ehem…apa kita akan terus berdiri disini sampai pagi?”, tanyanya dengan senyum licik. Menjatuhkanku.
“Heh?”
“Waah..wah…masa calon suami dibiarin kena angin siyh kak? Ayo calon kakak ipar masuk… Kak Nadia bahagia banget tuch, kamu datang… dari tadi nungguin sms balasan, tapi gak dibales, hehe”, ucap Naisya dan ngeloyor pergi. Zack hanya tersenyum.
“Mukamu tambah memerah, Nadine! Look so cheri (lovely)”, ucapnya sambil masuk dan meninggalkanku dengan tampang menyedihkan.
Setiap kali dia datang, Zack pasti lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah atau mamak. Dan aku?? Giliran belakangan. Dan itu pun kalau aku beruntung, karena kalau tidak, aku hanya kebagian mengantarnya keluar dan dia langsung ngeloyor pergi. But, that’s more than enough for me. Bagiku keluargaku hidupku kedua, jadi ketika dia mencintaiku, maka cintai keluargaku. That’s it.
Sesekali jika aku memang beruntung sekali, dia dengan sangat baiknya memainkan gitar yang selau dibawanya itu, tapi itupun ketika dia sadar aku tak ada bersama yang lain. Dan kalau aku lebih beruntung lagi, ketika tiba saatnya dia bisa menghubungiku, daripada membicarakan hal-hal yang tak berguna dan tak penting, dia akan mengantarku tidur dengan bacaan Al-Qur’annya. Dia memang bukan seorang Qari, tapi bagiku nilainya cukup untuk bisa menjadi imamku kelak. Itu lah Zack, ketika aku benar-benar merindukannya dan sebuah pesan singkat tak sanggup menghapus rasa gundahku, aku menelponnya.
“Hmm… do you miss me now?”, tanyanya.
“I do… why?”
“Tutup dulu telponnya, aku kirimkan sesuatu yaa?”
Semenit berselang, sebuah voice message masuk..
“Nadine, hope it can reduce your “rindu”, aku bacakan sesuatu untukmu yaa… Bismillahirrahmanirrahim, Yaa Allah! Janganlah Engkau hinakan aku karena perbuatan maksiat terhadap-MU, dan janganlah Engkau pukul aku dengan cambuk balasan-MU. Jauhkanlah aku dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan-MU, dengan anugerah dan bantuan-MU, Wahai puncak keinginan orang-orang yang berkeinginan! Nadine, I’m learning.
Then, what should I say? Bukannya ini sebuah hadiah yang Allah berikan untukku? Yes, he learns! Learn to be my imam. Dan sejak itu, aku tak henti-hentinya mengucap syukur, hingga hari itu datang…

***
Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi perasaanku padanya. Dzaki Ar-Rafa kini telah jadi imamku. Alhamdulillah.
Sebutir air mata jatuh ketika mendengarkan suara Zack dengan logatnya yang sangat khas berusaha dengan baik dan khusyu’ mengucapkan ijab qabul. Ucapan Hamdallah dari segenap kerabat dan teman yang hadir menjadi doa dan menghancurkan semua kegelisahan.
Ketika giliranku menyalaminya untuk pertama kali sebagai suami, ada desiran yang aku sendiri tak mengerti. Dzaki Ar-Rafa, suamiku, bukan lagi sebagai aktor utama dalam kisahku, tetapi seorang imam dan pemimpin dalam hidupku.

***
Note!
Tak ada yang lebih indah ketika sebuah hubungan terbangun atas izin Allah. Ini lah yang sekarang sedang aku jalani. Senyuman, lirikan, tatapan, perasaan dan sentuhan berbuah berkah dan pahala.
Seminggu usia pernikahan, tapi aku belum juga tahu apa harum khasnya Zack. Dan aku penasaran. Bukan merk parfumnya tapi aromanya. Pada bingung kan? Ini point penting dari kisah ini, haha.
Hingga weekend ini, ketika aku sedang membantu mamak didapur membuat kue persiapan Idul Adha, Zack datang dengan sedikit berpeluh. Hmm…pasti dia menawarkan diri memanjat pohon lagi di kebun bersama ayah. Ketika dia masuk, bahkan disaat berpeluh pun, aroma itu masih terasa. Hmm..wait, aku seperti familiar dengan harum ini…
“Nadia, ambilkan minum untuk suamimu…”, ucap mamak mengacaukan lamunanku. Aku bangkit dan mengambil sehelai tissue.
“Manjat lagi yaa?”, tanyaku sambil menyodorkannya tissue. Zack mengangguk semangat.
“Ini minumnya…”
“Merci, bien adore!!”, ucapnya sambil melempar senyum khasnya itu. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Jika saja semua tau, betapa kesulitan aku mencari arti dari kata-kata itu…
Tetapi rupanya seseorang sangat penasaran dengan kata-kata itu. Mamak.
“Zaki, mamak penasaran, artinya bien adore, apa siyh?”, dan aku langsung kelabakan. Malu. Zack mah tenang-tenang aja, hanya melempar senyum.
“Hehe…biasa mak, pasangan muda…”, ternyata ada orang lain disini yang mulai ikut campur. Dasar Naisya.
“Hehe… kata-kata biasa kok mak!”, ucapku gugup. Zack sampai melihat kearahku yang berdiri disampingnya.
“Your face’s becoming red, cheri femme!”, ucapnya cuek dan sekaligus membuatku tambah malu. Cheri femme??
“Waah… Cheri? pake nama buah lagi? Romantisnya kakak iparku, hehe…”, sambung Naisya, mamak hanya tersenyum.
“Arti bien adore itu “sayang”, Mak!”, ucap Zack yang kemudian berhasil mempermalukanku.
“Ooh… sayang!”, ucap mamak. See? That short respond embrasses me a lot! Namun Zack tetap dengan senyuman khasnya itu, sementara mata mamak dan Naisya mulai menggodaku.
“Terus cheri juga artinya sama yaa kakak ipar?’, tanya Naisya dan tega-teganya Zack mengangguk.
“Almost the same! Beloved wife…”
“Cuiit..cuiit..bikin iri..”, sambung Naisya.
“Kamu kenapa kak? Kenapa tak respond? Malu yaa?”, berondong Naisya dengan segala pertanyaannya yang tidak penting itu.
“Ah…males!! Mak, vanilinya udah dimasukin belum?”, tanyaku dan menghindar dari pertanyaan yang kuanggap tidak penting itu. Zack dan Naisya hanya terkekeh.
“Hmm… vanili itu vanilla ya?”, tanya Zack tiba-tiba.
“Iyya… kenapa?”
“My perfume…”, hanya jawaban pendek namun menjawab rasa penasaranku sejak dari awal aku mengenalnya. Aroma khasnya Dzaki Ar-Rafa.
“Vanilla??”, ucapku sedikit bersemangat. Yang lain terkejut.
Dan sejak itu ku panggil dia, Vanilla mari… alias lelaki beraroma vanilla. And that vanilla mari is my homme.


Jumat, 08 Juni 2012

Aura.. My Little Girl



Perempuan itu lebih memilih melepas gadis kecil nan cantik berkerudung merah muda itu, dan memilih mengikuti lelaki yang secara agama dan hokum menjadi suaminya? Tapi kenapa? Apa yang terjadi, ketika akhirnya dia begitu tega meninggalkan gadis kecil yang mungkin pantas disebut balita itu.

Entahlah.

***
Perempuan cantik itu terlihat sangat sibuk dengan handphonenya. Helena namanya. Dia sengaja menghindar dari keluarganya yang sedang mengajak jalan-jalan sepupu mereka yang datang dari Yunani. Saat yang tepat, pikirnya ketika dia sangat tidak nyaman dengan suara teriakan anak-anaknya si sepupu. Yaa…dia salah satu perempuan yang kurang suka dengan anak kecil. Bahkan ketika dia harus mengenal Julian, anak Erick, kekasihnya. Seluruh tenaga dia kerahkan untuk mengubah sikap jenuhnya dengan suara-suara riuh Julian.

Erick menelponnya dari Jerman, betapa dia sangat bahagia setelah sehari sebelumnya kekasihnya itu berangkat pulang kekampung halamannya untuk sesaat.

Ada kebahagiaan yang luar biasa ketika menutup telpon. At least, kekasihnya selalu menepati janji, walau terkadang sedikit terlambat. Dan itu sudah tidak menjadi masalah, apalagi saat ini dering itu menyelamatkannya dari keramaian anak-anak kecil. Dari awal dia tak ingin ikut, namun ibunya memaksa. Dan kini dia sedikit kesal mengingat harus kembali ke tempat dimana ibu, sepupu dan anak-anaknya berada. Mereka sedang menikmati matahari terbenam.

“No, Helen! You’re growing up woman! Gimana Julian bisa sayang sama kamu, kalau kamu tidak suka anak kecil seperti ini…”, ucapnya sendiri.
“But… Oh, Gosh! Bisa gak Kamu jadikan mereka besar detik ini, I hate their noisy voice!”, sambungnya.
Akhirnya dia berhenti mengoceh dan melangkah menuju ibu dan keluarganya, ketika dia merasa sesuatu seperti menahan langkahnya…

***
Helena berdiri terkejut ketika sebelah kakinya seperti dipeluk sebuah tangan imut. Ada suara isakan disana. Bukannya terkejut, perempuan cantik berdarah Yunani itu mematung dan diam sejenak. Bukan karena dia marah, bukan karena dia tak tahu harus melakukan apa, tapi isakan itu seperti memanggil nuraninya sebagai seorang perempuan. Betapa terkejutnya dia akan perasaannya sendiri, seorang Helena yang selama ini bahkan bersusah payah mendekat dengan Julian, anak dari kekasihnya, kini malah terjebak dengan perasaan yang dia sendiri tak mengerti. Hanya dengan sebuah isakan entah dari siapa, dia tak tahu. Dia tak juga mengerti.

“Bunda…”, ucap gadis kecil itu dengan suara khas anak usia 4 tahun. Dia masih terisak. Tubuhnya bergetar.

Helena menunduk dan melepas genggaman dikaki kanannya. Dia merasakan tangan mungil itu dingin. Oh Gosh, she is frizzed! Tangan itu seperti enggan melepas genggamannya, getaran sangat terasa. Helena tau, kalau gadis ini seperti ketakutan. Dia sedikit memaksa melepas tangan kecil itu. Tidak. Bukan karena marah, dia hanya ingin tahu. Siapa gadis kecil ini? kenapa dia menangis? Kemana orang tuanya ketika malam menjelang di daerah sejauh ini. Iya, dia sedang berada di Sky High, sebuah tempat pariwisata di Victoria.

Ketika akhirnya dia berhasil melepas genggaman itu, gadis itu masih menunduk, seperti enggan melihat kearahnya. Helena bingung.

“Hi…!”, ucapnya sambil menggenggam kedua pundak si gadis. Namun gadis itu tetap tak bergerak, air matanya terus mengalir. Namun, satu hal yang membuat Helena heran, gadis ini bahkan tidak bersuara. Dia seperti berusaha menahan tangis yang memang sudah tak bisa ditahan. Hanya tubuh mungilnya yang bergetar hebat dan suara sesenggukan karena menahan tangis.

“Bun..un..da..da!!”, ucapnya sedikit kesusahan dalam sesenggukannya.
Pundaknya semakin bergetar. Helena mulai kebingungan. Ketika akhirnya dia memeluk gadis itu. Itu bukan dirinya, pikir Helena. Ini tidak mungkin, dia yang acuh kepada anak-anak, kini malah terjebak dengan perasaan yang dia sendiri tak mengerti. Dia yang sangat benci suara anak-anak, kini malah memeluk seorang anak tak dikenalnya dan dalam keadaan menangis pula. Tuhan memang adil! Ada tarikan kuat antara dia dan gadis berkerudung itu. Isakan itu kian mereda ketika Helena terus-menerus mengusap punggung sigadis. Ketika akhirnya tangis itu reda, Helena mulai melepas pelukannya dan menatap kearah mata itu. Iya, tepat kearah mata itu.

Dia pun tak mengerti, ada sesuatu dimata cantik itu. Dia merasa sangat tertarik dalam perasaan sigadis itu. Gadis itu berkedip, berusaha mengenali perempuan didepannya. Mungkin dia salah mengira kalau aku ibunya, pikir Helen. Dan dia tersenyum. Perempuan itu kemudian mengusap sisa air mata di sudut mata sigadis.

“Hallo!”, tak ada tanggapan.
“What’s your name love?”, dia mencoba tuk kedua kalinya, namun beberapa detik berselang, tak ada respon. Hanya kedipan yang mungkin berarti tak mengerti. Oh Gosh, she’s got such a beautiful black eyes!!

“Bun..da..dimana?”, ucapnya dalam bahasa yang kini Helena tak mengerti. Dan pikirannya mulai mendapati bahwa gadis kecil ini tak mengerti ucapannya, karena bahasa yang mereka gunakan berbeda. Wajah didepannya kini mulai kembali berubah dan detik selanjutnya isakan kecil mulai kembali terdengar. Namun kali ini gadis itu menangis dalam tangannya, karena dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sesuatu yang berbeda, pikir Helena. Gadis ini berusaha sangat tegar, tidak pernah ditemuinya seorang gadis kecil menangis, namun berusaha menutupi.

Detik selanjutnya, setelah lepas dari kekagumannya, Helen mulai cemas, dia tak tahu harus berbuat apa.

“Sweet heart, tell me where’s your mom!”, ucapnya dalam kegalauan sikapnya. Tak ada respon. Tentu, dia tak mengerti ucapanku. Also, if she does, dia tak mungkin menangis kalau dia tau ibunya kemana. Think, Helen! Think! Ucap Helen dalam hatinya.

“Okei..okei..Helen, do something! Oh, gosh!”

Dia kemudian menyentuh pundak gadis itu…

“Love, listen to me!”, kini kedua belah tangan itu mulai membuka.
“Hmm..oke, I know you won’t understand what I tell you…hmm..”, ucapnya lembut seperti berbicara sendiri. Gadis kecil itu berkedip.
“What’s your name?”, tanyanya kemudian. Mata itu kembali berkedip. Dia kebingungan. Dua-duanya kebingungan.
“Tan..te, ngomong apa?”
“Pardon?”
“Aura.. hilang…bun..da, tante!!”, ucapnya lembut. Helen terdiam dalam bingungnya menatap gadis itu. Dia jelas tak mengerti, tapi bukan karena itu. Dalam ucapan lembutnya, ada ketegaran disana. Gadis itu dengan jelas berkata-kata, bahkan ketika bening-bening air mata jatuh lagi di pipinya.

Aura, is that your name?

Jeda melanda. Hanya tatapan masing-masing mereka.

“Aura..”, panggil Helena selanjutnya. Gadis itu hanya menjawab dengan kedipan. Namun, setetes airmata lain jatuh dipipi kanannya. Helen mengusap air mata itu.
“Listen, I know we can’t understand each other!”, Helen kemudian menggenggam tangan gadis itu dan mendudukkannya di bangku taman terdekat.
“I… am…Helen!”, gadis itu menggeleng. Helen tau dia tak mengerti.
“Aura..!”, kata Helen sambil menunjuk kearah sigadis.
“Helen!”, ucapnya kemudian sambil menunjuk kearahnya sendiri.
“Tan..te, Helien..”
“Helen, love..”
“Helen…??”
“Yap, good girl! Now… I will walk with you and try to catch your mom… maybe she’s somewhere and is looking for you too… Maybe you’re lost…err..”, Helen tak melanjutkan kata-katanya ketika gadis di depannya terlihat tersenyum hingga menyembulkan lesung pipi dikedua belah pipinya. Beautiful girl!
“Aura…gak nge..ti, tante! Tante Helen..ngomongnya an..neh!”, ucapnya dan kini Helen benar-benar seperti orang asing. Namun anehnya, dia tersenyum.
“Love…let’s find your mom!”, dia kemudian menurunkan Aura dan mulai mengitari jalan setapak mencari tanda-tanda seseorang kehilangan.

***
Setelah sedikit lama memutar-mutar arena Sky High yang memang sangat luas, Helen sedikit menyerah. Aura hanya ikut dan diam.
“No, it won’t work! I don’t even have the clue who her mom is! Damn…”, ucapnya pada diri sendiri ketika dia akhirnya menunduk dan melihat gadis kecil itu. Yes, she puts hijab. Dalam hatinya bersorak, ketika dia akhirnya tahu siapa yang harus dicari. Setidaknya perempuan-perempuan berpostur dan berperawakan sepertinya bukan sasaran. Dan satu hal yang penting, dia yakin 100%, pasti perempuan itu berhijab.

Helen kemudian kembali berjalan, ketika dia merasakan gadis itu tak lagi mengikutinya berjalan.
“Aura, what’s happening? Are you tired?”, ucapnya sambil berjongkok menatap Aura.
“I..i..tu, bunda!”, ucapnya sambil menunjuk kearah bawah. Helen mengikuti telunjuk itu dan seketika melihat seorang perempuan berjilbab sedang melihat kearah mereka, namun buru-buru melangkah pergi. Detik selanjutnya Aura sudah berlari menuruni jalanan setapak menuju area parkir. Kaki mungilnya sedikit kesulitan berlari, Helen hanya terhenyak. Dia masih shock melihat kearah perempuan yang sedang berlari itu, hingga ketika Aura terjatuh, dia tersadar…
“Bun..da, tunggu Aura…”, ucap gadis kecil itu dengan kesusahan dan bangkit sedikit kesulitan.
“Aura!”, panggil Helen dan menuju gadis itu.
Aura bangkit dan kembali berlari, Helen mengikutinya. Namun, perempuan yang mereka kejar kini telah menghilang dengan sebuah mobil Audy. Mobil itu sepertinya dikemudikan dengan tergesa-gesa, Helen berusaha mengingat nomor flat, namun keadaan yang sudah mulai gelap membuatnya kesulitan.
“Ah… what the bloody… ibu macam apa..”, rutuknya.
Dia kembali menuju Aura yang memang sedikit tertinggal dibelakangnya.
Aura diam ditempat. Dia bahkan tak melangkah lagi. Helen terdiam, dia tahu betapa gadis itu sangat terluka, ketika dia ditinggalkan seperti ini. Helen kembali berjalan kearahnya…
“Aura…”, panggilnya lembut. Diam. Gadis kecil itu terus menatap kearah depan. Tak ada respon sama sekali... Helen terus melihat kearah wajah itu, wajahnya menyiratka sesuatu. Tapi dia tak menangis. Itu yang membuat Helen seperti menemukan sesuatu yang berarti pada gadis ini.
“Bun..da, kenapa ninggalin Aura?”, ucapnya kemudian. Helen tak mengerti. Satu hal yang dia mengerti, perempuan yang berstatus sebagai ibu sigadis ini, sangat keterlaluan.
“Aura salah apa? Bunda... Aura minta maaf, balik ya bunda...”, ucapnya seperti memohon. Lagi-lagi Helen tak mengerti. Dia hanya diam mendengarkan.
“Bunda...Aura nunggu!”, ucapnya lagi dan kini Helen terkenyak, ketika akhirnya sebutir air mata jatuh dipipi kanannya. Ada perasaan haru menyerangnya. See, hanya sebutir air mata, namun hatinya sangat sedih. God, gadis ini kau cipta dari apa?
“Ya Allah, Aura mohon...bawa bunda kembali, amiin!”, ucapnya sambil menutup kedua mukanya. Dan kembali menatap ke depan. Helen hanya diam. Dia bahkan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Aura tidak seperti gadis kecil lainnya yang akan berteriak histeris hanya ketika tak dibelikan mainan, apalagi ketika orang tua meninggalkannya seperti ini. Aura sangat berbeda. Helen seperti mencoba memasuki relung hati gadis kecil itu.

Dering telpon mengejutkannya.

Where are you?
Di dekat parkir, sudah selesai, Mom?
Sudah, kami segera kesana

Telpon ditutup. Kini mata Helen kembali menatap gadis yang masih menatap ke depan itu.

***

“Where have you been? Kenapa menghilang? Sebegitunya kamu tak suka anak-anak, heh?”
“I am here, mom! Come on!”
“Erick called you that long, huh?”, tanya ibunya dengan nada sedikit menyelidik.
“Mom, come on! I am not a little girl...”, ibunya tersenyum.
“Let’s come back. It’s dark now, mereka pun mulai kelelahan”, ucap ibunya sambil melangkah meninggalkan Helen yang kini sudah kembali menatap Aura.

Merry, wanita berusia hampir 70 tahun itu menyadari anaknya tak mengikuti langkahnya. Dia berpaling.

“Helen, come on!”
“Mom..!”
“What’s wrong?”
Dia kembali berjalan kearah Helen, dan melihat anaknya itu sedang melihat kesatu arah. Merry mengikuti pandangan mata Helen. Betapa terkejutnya perempuan paruh baya itu, ketika melihat objek yang jadi pandangan Helen. Seorang gadis kecil. Merry menatap penuh tanya kearah Helen, dan dia bertambah terkejut ketika melihat tatapan iba anaknya. Helen seperti memohon sesuatu. Apa yang terjadi pada Helen?

***

“I am not dreaming, am I?”
“Mom, Please! I am serious now...”
“Helen, kamu sakit? Ini bukan kamu...”

Merry merasa sangat terkejut mendengar kisah sigadis kecil. Namun, yang lebih membuatnya terkejut ketika Helen mengutarakan niatnya.

“Mom, Ini sampai kita temui keluarganya saja. We can’t leave her alone here at night! Please!”
“Helen, kita harus pikir panjang? Mom tak mau berurusan dengan kepolisian, gimana kalau keluarganya mencarinya dan mengira...”
“Mom, her mommy is leaving her. I witnessed it”, potong Helen.
“Hmm, oke..gimana kalau dia memang tak diinginkan oleh keluarganya? Apa kamu akan menampungnya selamanya? Oh, come on!”, Helen mengangguk. Merry terkejut. Ada yang salah dengan anaknya ini.
“Mom, Helen memohon...please!”
“Bagaimana dengan Erick? Does he know such thing?”
“Kita pikirkan itu kelak...”
“Oke, but...”
“But...”
“Kamu bertanggung jawab atas semuanya, I bet you’ll give up soon. Come on, she’s a little girl and needs a lot of care! Do you think, you can...”
“Mom, just see...!”

Ucap Helen dan kemudian meninggalkan ibunya yang hanya bisa terpana denga perubahan tiba-tiba anaknya itu.
***

Helen berjongkok dan menyentuh pundak Aura. Gadis itu melihat kearahnya, masih dengan wajah penuh harapannya. Badannya bergetar karena mulai kedinginan.
“Love, it’s dark now. We can’t stay here til longer. It’s freezing, you haven’t been put warm enough jumper. Come with me, yes?”, gadis itu hanya berkedip tak mengerti. Helen tersenyum.
“Go with me to my home...”, ucapnya sambil sedikit berbahasa tubuh. Tak disangka olehnya, gadis itu langsung berpaling.
“Aura...”
“Aura ma..u nung..gu bunda, tante Helen... bunda pasti da..tang jem.put Aura..”, ucapnya sambil tak membuang muka sama sekali dari pandangannya. Namun, kini dia mulai meremas tangannya, tanda kedinginan. Helen menebak, bahwa dia tak mau ikut dengannya.
“Aura...listen to me!”, ucapnya sambil menggenggam tangan gadis itu. Kini Helen sudah berada didepan Aura.
“Your mom won’t come back. She’s leaving you here. She does not love...”
“Enggak... Bunda sayang kok sa.ma Aura...”, potong Aura seolah mengerti apa yang akan diucapkan Helen. Dan memang dia benar. Helen terpana.
“Bunda se.lalu..bilang kalau bunda sayang sama Aura...”, sambungnya dan kini matanya mulai berkaca-kaca lagi.

Helen seperti kehilangan kata-kata. Ibunya dari jauh mulai bertanya dengan bahasa tubuh, what’s wrong? Helen tak merespon. Dia kembali menatap Aura. Namun, kini pandangannya tertuju di kantong sweaternya Aura. Seperti ada sesuatu disana. Secarik kertas.

“Aura, may I?”, tanyanya dan gadis itu tak merespon apa-apa.

Helen mengambil secarik kertas itu. Terasa berat. Dia membukanya dan sebuah gelang emas, jatuh ke tanah. Helen mengambilnya, dan melihat tulisan nama dibatangan gelang itu, for my sweetest girl, Khanzaa Haazimah Hauraa. Gelang itu terlihat sedikit besar untuk ukuran tangan Aura, apa ini miliknya? Tanya Helen pada dirinya sendiri? Lalu ini nama siapa? Khanzaa Haazimah Hauraa. For my sweetest girl, tentu ini milik Aura. Iyaa, Aura dari Hauraa. Helen berusaha menganalisis sampai akhirnya dia membaca tulisan di secarik kertas itu, yang memang dia mengerti karena bertuliskan dalam bahasa Inggris...

Please take care of my little girl. I love her so much, but because of my condition, I must leave her. I don’t want her to be in danger. I love her so much.

Helen mengutuk perempuan itu. Bagaimana dia mengatakan mencintai anaknya kalau dia tega meninggalkannya seperti ini, tak bisa dimaafkan, pikirnya. Lalu dia beralih ke baris bawah. Ada beberapa kata yang dia tak mengerti.

For Aura...
Sayang, kalau suatu saat kamu sudah dewasa dan membaca surat ini. Bunda minta maaf, ada hal yang bunda tak bisa jelaskan. Tapi bunda harus melakukan ini untuk kebahagiaan Aura. Ini berdosa, bunda tau. Kamu akan sangat membenci bunda, bunda juga tahu itu. Tapi, bunda akan tetap sayang Aura. You’re my little girl, the pleasure in my eyes, the color of my life, you’re such a blessing Allah gives to me! Bunda akan menyesali seumur hidup semua ini. I love you Aura, bunda selalu akan berdoa untuk Aura dunia dan akhirat. Ingat, Allah is with you forever, mudah-mudahan Aura selalu dalam lindungannya dan keyakinan akanNya ketika Aura kelak membaca surat ini. Itu, kalau Aura membacanya.
Love,
Bunda.

Helen sedikit tersentuh. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuatnya sedikit memafkan perempuan itu. Namun, lagi-lagi rasa prihatin dia lenyap ketika melihat Aura menggigil kedinginan, dan detik selanjutnya terduduk lemas.
“Aura...!!”, Helen mengangkat tubuh mungil itu. Aura lunglai dalam pelukan Helen, matanya terbuka, namun seperti mati. Tak ada respon apa pun. Helen mulai cemas.
“Aura, bangun, sayang!! Mom!”, panggil Helen.
Kini tubuh itu bergetar hebat, Aura menggigil.
“Bu...bun..daa..”, ucap Aura diakhir sadarnya. Dia menutup mata dengan butiran bening di pipinya. Dan kali ini, air mata pun menghiasi pipi Helen. Perempuan yang mungkin bisa dihitung berapa kali menumpahkan air matanya ini, kini menangis. God, betapa terlukanya gadis ini! Namun, dia bertahan dalam sedihnya, bahkan ketika dia pingsan pun, dia berusaha tak menangis, hingga air mata sedih itu memaksa keluar. Aura, I promise. Kamu akan bahagia. Batin Helen.

***
12 tahun berlalu.
“Khanza.. have you got your breakfast?”, tanya Merry sedikit berteriak.
“Nope, Yaya! One second! I’ll be there soon...”
Suara dering telpon membuat Khanza melompat dari sofa dan meraih gagang telpon.
“Mom!”
Hai sweetheart, how are you?
Good. Miss you so much. You’ll come here soon?
Soon, baby! Give to Yaya, I’ll call ya later. You gotta go to school now, don’t ya?
Khanza melahap toast dan peanut butter buatan Yayanya (Yunani-baca:nenek) sedikit tergesa-gesa. Dia sedikit tersedak ketika hendak minum susu.
“Khanza... sudah Yaya bilang, jangan terburu-buru...”, ucap neneknya dalam pembicaraannya dengan Helen.
“I am in hurry, Bye...! Say my love to Mom, I love you so much, Mommy!”
Khanza melangkah terburu-buru mengejar train. East burton train station membutuhkan waktu 10 jalan berjalan kaki. Dan kalau sudah kehilangan satu train, berarti dia kemungkinan besar akan kehilangan tram juga.
Sementara Merry terlihat serius berbicara dengan Helen.
“Mom, I promised my self to tell the truth when Khanza get 17 years old... But I am afraid I couldn’t be there!”
“What are you talking about? You’ll be here when she celebrate ...”
“Mom...we never know what will happen. Probably, I have work to do here in Berlin. And you know, Erick masih sedikit sulit membiarkanku bertemu Khanza...”
“Let me talk to him!”
“Mom, come on! Sekarang Khanza tidak hanya milikku, Mom bisa lihat betapa dia dengan mudahnya membuat Mom sangat sayang padanya. Bahkan ketika dua minggu kehadirannya, Mom masih terasa menolaknya, setelah itu malah aku tak dibiarkan dekat-dekat dengan Khanza...”
“Helen, I didn’t mean that... I am so sorry!”
“Oh, come on! That’s just kidding! I am grateful you love her that much!”
“Helen..”
“Mom, you know everything about her, the letter, and the bracelet. Tell her everything in case I am not there! Ok?”
“But...”
“Mom, please!”
“Oke...”
“One more thing, let her choose her own faith!”
“Helen, dia terlihat sangat nyaman dengan keyakinan kita. Bahkan, dia selalu bersemangat ke gereja, malah ketika Mom tidak berniat pergi...”
“But, we promised we won’t make her! Let her decide! Mom, kalau Helen boleh meminta, buka jalan bagi Khanza untuk mengenal islam...”
“Helen...”
“Yes, that’s my hope. Jadi Khanza bisa melihat kearah masing-masing keyakinan, tidak hanya satu agama, yang kita membiasakan dia akan itu...”
“Oke, but not to do that! You will!”
“Mom...”
“Helen, I said yes already for your first order, now...”
“Oke, Thank so much for being with me and Khanza these couple years Mom..”
“Because I love you both!”
“I love you, too”

***

Khanzaa Haazimah Hauraa...
Gadis yang detik ini sedang mengejar langkahnya sendiri menuju station kereta api.
Yaap, she is Aura kecil nan teguh hatinya...