Pagi menjelang lagi. Minggu pun datang lagi. Ah, weekend begini seharusnya aku menghabiskan waktu didapur, mengurusi pesanan atau sekedar mencoba kreasi baru. Aku memang hobi memasak, mencoba kreasi bahan-bahan makanan. Dan beberapa bulan ini memang kreasiku mulai diperjualbelikan karena nasehat dari orang-orang sekitar yang telah merasakan. Kata mereka siyh, kue, atau minuman kreasiku patut diperjuabelikan. Namun, karena aku juga sedang sibuk dengan kuliah Masterku, ibu dan aku memutuskan hanya akan berjualan di awal dan diakhir bulan saja. Ini juga strategi membuat pelanggan tidak bosan, kalau pun mereka ingin, mereka hanya boleh memesan dengan jumlah yang terbatas. Secara logika siyh, aku terlihat seperti tidak niat berjualan (sombong juga ia, hehe), tapi ini demi pendidikanku. Aku mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika atas kerjasama dengan pasca sarjana Unsyiah. Dengan beberapa orang rekan lainnya, kami menjalani kuliah di pasca sarjana Unsyiah selama delapan bulan dan selanjutnya melanjutkan disalah satu universitas di Amerika. Jadi, karena menurutku ini suatu kepercayaan yang diberikan kepadaku, aku harus bertanggung jawab penuh. Berjualan hanya bagian dari menyalurkan hobiku dan sekaligus menghilangkan kejenuhan tugas kampus.
Oia, namaku Nadia Humaira. Nadia itu
artinya orang yang suka memanggil dan Humaira artinya kemerah-merahan. Ketika
lahir, seluruh tubuhku memerah. Itu normal, tapi ketika pipiku merona seperti
dipakaikan blush on itu menjadi sedikit luar biasa. That’s why my father gives
that name to me. Pipiku memang suka merona memerah ketika aku sedang marah,
malu, grogi, salah tingkah, batuk, tertawa. Banyak yang salah mengartikan warna
pipiku, apalagi para lelaki, terkadang aku hanya merasa malu, namun dianggap
naksir. Aku sedang marah, malah dianggap naksir juga. Aku sedang batuk,
haduuh…juga dianggap naksir. Aku terkadang merasa kurang enak, namun kini aku
sudah tak peduli. Toh, yang tahu perasaanku hanya aku dan Tuhanku.
Aku anak pertama dari dua bersaudara.
Adikku Naisya Faradilla. Kami hampir serupa tapi tak sama. Badannya sedikit
lebih tinggi dariku. Kami hanya berbeda tiga tahun, kini juga dia akan
menyelesaikan kuliah S1nya. Usiaku kini 24 tahun dan dia 21 tahun. Diusia
seperti ini, seorang perempuan seharusnya was-was menunggu kedatangan seseorang
untuk meminang. Tapi tidak bagiku, aku masih sangat santai dan masih sangat
tenang. Kenapa? Karena aku masih punya beberapa orang sepupu yang masih lajang,
teman-teman bahkan seniorku juga masih banyak yang lajang. Sayangnya,
ketenangan itu bukan milik ibuku. Aku tahu
beliau mencemaskanku, terutama ketika beberapa
kali adikku mengatakan bahwa pacarnya ingin mengenalkan keluarganya. Ibu
menolak dalam waktu dekat, karena sebenarnya beliau ingin aku melangkah
terlebih dahulu. Aku hanya bisa miris, tak bisa berkata apa-apa. Di satu sisi,
aku ingin keinginannya bisa terpenuhi, tapi aku harus bagaimana. Toh, calon
suami tak mungkin dengan mudahnya didapat, apalagi dalam keadaanku jomblo
begini (aku memang bukan tipe pacaran, hehe). Seandainya calon suami itu bisa
didapat semudah mencari kacang goreng (gak berharga banget kan? Haha).
Namun disisi lain, aku tak berniat
menunda-nunda keinginan adikku, walaupun dari bibirnya dia mengucapkan dia juga
tak ingin melangkahiku. Aku memang tak punya pacar, itu karena aku tak mau.
Usiaku kini bukan usia yang dengan mudahnya dibuang-buang untuk sekedar pacaran,
aku merasa kalau memang ada yang cocok dan serius, kita kenalan dua bulan atau
tiga bulan lalu menikah. Selama ini yang datang hanya sekedar bilang “I love
You”, “Would you be my girl?” dan sebagainya. Dan aku tak suka kata-kata itu
dalam konteks hubungan pacaran.
Permasalahan jodoh memang bikin pusing
tujuh keliling. Sudah hampir dua tahun pertanyaan “kapan” menyerangku. Apalagi
ketika bersilaturrahmi ke rumah kerabat. Awalnya aku hanya santai saja, namun
beberapa waktu terakhir pertanyaan itu terdengar semakin tidak nyaman. Salah
satunya ketika kami sekeluarga berkunjung kerumah salah satu sepupuku di
Geuceu.
“Kak Dia duduk sini…”, panggil sepupuku
ketika aku sudah selesai mengambil sepiring nasi tomat. Aku berniat duduk di
depan TV bersama keponakanku karena kulihat sekilas wajah Hyun Bin disana
(yaah, walaupun aku kurang suka yang bermata sipit tapi aku juga terkadang
mengikuti drama korea, hehe…). Aku pun menurutinya. Disana kulihat ada adik dan
ibuku, muka mereka sedikit serius. Ada apa ya?
“Ini pas banget, kakak mau nanya sesuatu…”,
aku pun menyuapkan sendok pertama kedalam mulutku. Hmm… rendangnya kurang
pedas. Tapi tauconya pas. Overall, lumayan.
“Jadi kapan ni Kak Dia mau memperkenalkan
calon kamu?”, aku tersedak. Kesibukanku menilai makanan dalam piringku buyar.
Aku buru-buru mengambil minum.
“Ada apa ini kak? Kok tiba-tiba pertanyaan
itu?”, tanyaku dengan muka polos dan sesekali melihat kearah mamak dan Naisya.
Mereka hanya diam.
“Lha, ko tiba-tiba? Kan ini pertanyaan
normal. Usia kamu kan bukan usia remaja lagi Kak! Nadia selama ini seperti tertutup
sekali masalah pasangan”.
“Apanya yang tertutup kak? Dia memang belum
ada pasangan…”
“Belum ada?”, Tanya sepupuku yang bernama
Rahmi itu. Aku mengangguk.
“Yang dekat?”, Tanyanya memastikan.
“Hmm…kawan dekat ada. Tapi hanya sebatas
kawan. Toh, kalau mereka belum siap menikah, Nadia ogah! Kak, Dia bukan usia
remaja yang menghabiskan waktu untuk pacaran…”, jelasku panjang lebar. Kak
Rahmi diam, dia sedikit berpikir keras. Dalam penerawanganku, pasti aku akan
disodori seseorang ini, mungkin teman sekantornya atau kerabat suaminya.
Yaah…boleh juga. Siapa tahu cocok, pikirku. Ternyata…
“Itu berarti Dia rela kalau Naisya
duluan?”, Nah lho! Aku terpana. Tidak seperti dugaanku. Aku sedikit tertawa
karena sedikit merasa ge er. Namun, disalah satu sudut hati sedikit tekejut
juga.
“Naisya kan udah punya pacar dan berniat
serius datang kerumah. Mamak selama ini menunda-nunda karena Nadia belum
memperkenalkan calonmu. Kan tidak mungkin keadaan ini terus berlanjut…”
“Nadia tidak pernah bilang jangan kok Kak!
Kalau Naisya ingin duluan, Dia ikhlas kok! Jangan hanya menunggu Nadia, sem…”
“Nah kan Bunda, Nadianya tidak apa-apa tuch
katanya…”, potong sepupuku itu. Aku yang sedari tadi sibuk memainkan sendokku (selera
makanku sedikit berkurang) mendongak. Melihat ekspresi mamak.
“Jadi kalau bisa jangan ditunda-tunda terus
menerus… nanti malah Naisya ditinggal karena dianggap gak serius…”
“Rahmi, bukan begitu! Bunda tahu Nadia juga
insyaAllah enggak akan lama lagi. Bunda bukan berniat menunda-nunda, tapi kan
lebih baik kalau kakaknya duluan. Bunda hanya tak ingin kejadian yang melanda
Bunda akan dihadapi anak-anak. Dulu Bunda harus melangkahi ibumu, Rahmi. Dan
bukan hal mudah. Hal yang paling menyedihkan adalah ketika harus melangkahi
kakak. Bunda menangis tersedu-sedu ketika memeluk ibumu, malah bukan ketika
memeluk ayah dan ibu. Bunda hanya tak ingin itu terulang. Lagian, Naisya sebaiknya
menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. InsyaAllah kalau Allah berkenan,
setelah sarjana, bunda tidak akan mengatakan tidak lagi… siapa tahu selama
penantian itu, Nadia juga akan melangkah…”, Aku terharu. Mamak… aku tak tahu
harus bicara apa. Yang jelas aku mengaminkan dalam hati saat itu. Aku tahu,
kata-kata seorang ibu adalah doa. Dan ibu, Allah mudah perkenankan.
“Iya Rahmi, ibu ingat banget bundamu
menangis terisak ketika berpelukan dengan ibu. Jadinya ibu jadi ikut-ikutan
nangis tersedu. Sejujurnya, ada rasa haru ketika harus melepas adik padahal
kita sendiri belum. Yaah…Allah berkehendaknya gitu. Toh, gak sampai enam bulan,
ibu juga menikah. Malah, ibu duluan yang punya momongan… tapi ibu juga setuju
sama bundamu, sebaiknya kita menunggu sedikit lagi. InsyaAllah, Nadia juga akan
segera… lagian kamu ada gak calon buat dia, siapa tahu bisa cocok…”, aku merasa
sedikit tenang. Kulihat kak Rahmi sedikit berpikir keras lalu menggeleng.
“Yaah, kalau emang tidak ada, kenapa mesti
kamu yang repot…”
“Rahmi kan mau Nadia juga cepat-cepat bu…”
“Kamu yang kepingin, Nadia sendiri kamu ada
tanya gak? Kamu yang maunya gitu, kalau Allah belum mau? Terus mau gimana?”, I
love you Cecek Dewi. Akhirnya perasaanku benar-benar tenang luar biasa.
Perkataannya benar-benar bijaksana dan tepat sasaran. Namun, Kak Rahmi seperti
tak mau kalah, aku sedikit…hhhh…uh..namun akhirnya aku hanya beristighfar.
“Tapi tetap yaa Sya, Kak Nadia tadi udah
ikhlas, jadi kamu bisa dari sekarang nanya Kak Dia mau apa sebagai ganti rugi…
kompromikan terus, jangan malah Dia minta yang mahal nti, hehe…”, aku sedikit
gregetan dalam hati, tapi aku hanya tersenyum pahit. Naisya juga sama. Namun,
kami tak mau merusak suasana yang memang sudah terlanjur rusak khususnya
bagiku.
“Hmm…Nadia gak minta mahal-mahal kok Kak!
Minta tiket naik haji aja, jadi Nadia bisa sekalian berdoa disana biar
didekatkan jodoh yang shaleh dan tanggungjawab…”, Kak Rahmi sedikit terpana
namun akhirnya tersenyum.
Ketika akan pulang, didalam mobil aku
sedikit berbisik pada Naisya…
“Emang kamu beneran mau segera menikah?”
“Enggak kok kak!”
“Evan gimana? Udah mau nikah cepat-cepat
yaa?”
“Hmm…dia cuma nanya kapan bisa bisa datang
orang tua, tapi ketika Sya bilang selesai Sya kuliah dulu, dia mengerti kok
kak! Lagian kami gak mau tunangan terlalu lama… dia juga mengerti kalau Naisya
sebenarnya gak mau melangkahi Kak Nadia..”
“Terus kenapa Kak Rahmi…”
“Itulah, Naisya dan mamak juga gak ngerti.
Kak Rahmi bisa serepot itu mikirin kita, hehe…”
“Mungkin karena dia sayang”, ucapku menutup
pembicaraan tentang itu.
***
“Kamu biasanya belanja dimana untuk
bahan-bahan makanan?”, Tanya Kiki. Rizky Fitria, sepupuku. Dia kebetulan
tinggal dekat denganku, karena kami seumuran jadi kami dekat. Dia tamatan ekonomi
dan sekarang bekerja disalah satu bank swasta.
“Hmm..di swalayan dekat rumahku. Tapi
kurang lengkap siyh, jadi kadang-kadang mesti ke toko bahan kue juga di daerah
Peunayong! Kenapa ki?”
“Bundaku biasanya belanja di Peunayong juga
Nad. Kamu biasanya belanja di toko bahan kue apa disana?”
“Waah…gak ingat! Tapi kaya’a gak ada
namanya dech, haha. Tokonya agak kecil gitu…”
“Hmmm… belanja tempat langganan bundaku
saja. Murah. Tapi Chinese yang jualan…”
“Oia?”, ucapku sedikit tertarik.
“Iya Nad. Kapan kamu mau belanja? Aku
temenini dah! Hari ini?”, aku sedikit terpana.
“Enggak hari ini, minggu depan lah Ki. Aku
kan gak jualan minggu ini…”
“Yaaah…”
“Emangnya ada apa siyh? Tumben banget kamu
menawarkan diri…”, tanyaku curiga,
“Sebenarnya terakhir aku temenin bunda
belanja, ada cowok ganteng Nad… biasanya aku paling malas nemenin bunda belanja
kesana, tapi berkah banget hari itu. Sepertinya dia baru disitu…”
“Maksudnya?”
“Sepertinya anaknya si pemilik. Ganteng
banget Nad…”
“Chinese?”, tanyaku sambil membelalakkan
mata. Dalam pemikiranku Chinese selalu punya rupa yang sama. Kulit super putih,
mata sipitnya masyaAllah. Aku juga kebayang bau dupa mengikutinya atau holy
cross yang menghiasi lehernya. Hiiii…aku begidik. Jadi sama sekali tak menarik.
Ditambah lagi, selera mata Kiki denganku sangat berbeda jauh. Kiki bisa dengan
mudahnya menilai lelaki tampan. Aku tidak. Yaah..walaupun aku juga bukannya
cantik-cantik banget, tapi aku paling susah menganggap seorang lelaki itu
tampan. Seumur hidupku baru hitungan jari, lelaki yang kuanggap tampan. Salah
satunya lelaki yang kulihat seminggu lalu dilampu lalu lintas. Lelaki bermata
sayu itu berpenampilan biasa saja, namun ketampanannya membuatnya istimewa. Tak
sedikit mata yang terpesona, namun karena seorang perempuan cantik terduduk
manis diboncengannya dengan memeluk seorang gadis kecil yang juga sangat cantik
memaksa mata-mata sedikit menjaga pandangannya. Haha…kali itu aku sangat
bersyukur.
“Iya, hehe. Memangnya kenapa siyh Nad? Kamu
kaya’a gak suka banget sama orang-orang bermata sipit itu… gak boleh, tau! Nti
malah jodoh! Pengalaman SMA janganlah diungkit-ungkit”
“A’uzubillahiminzalik… ngomong apa siyh Ki?
Siapa yang benci…”
Aku bukannya tidak suka, tapi aku sedikit
punya pengalaman kurang enak dengan lelaki bermata sipit. Saat aku masih duduk
dibangku SMA, salah satu kakak kelasku pernah naksir banget denganku. Namanya
Michael dan dia Chinese. Dia pinter banget. Atlet basket. Aku tak ngerti, entah
dari sudut mana teman-temanku mengatakannya keren. Yaah..mungkin karena dia
suka basket, pinter dan mobilnya ganti-ganti antara Range Rover dan CR-V (ini alasan
yang paling bsa kuterima). Lagian, aku juga bingung, kenapa aku yang bukan
siapa-siapa? Prestasi biasa-biasa saja, rupa pun masih banyak gadis lain
disekolahku yang lebih cantik. Heran!
Semua temanku memaksaku menerimanya, ketika
secara terang-terangan dimuka public sekolahku, dia menyatakan perasaannya. Aku
miris dalam hati dan yang paling membuat sedih ketika aku melihat sebuah kalung
dilehernya dengan holy cross disana. Oh…tidak. Aku bergidik. Aku pun dengan
kata-kata dengan kata-kata sopan menolak pernyataan cintanya.
Eh, malah teman-temanku bersorak tak
setuju. Aku benar-benar miris. Si senior pun tak mau kalah, dia dengan
gentlenya berlutut dan memintaku lagi menjadi pacarnya. Aku sedikit terpana,
namun geli sendiri. Apa-apaan ini dalam pikiranku. Aku pun sekali lagi meminta
maaf. Setelah itu aku bergegas pergi, namun dia menarik tanganku. Aku terkejut
dan berusaha melepaskan genggamannya. Setelah itu, hubungan kami menjadi tak
baik. Setiap bertemu dia selalu seperti mengejekku dengan cara mengumpat atau
memamerkan kemesraan dengan pacarnya (dalam waktu instant dia bisa mendapatkan
gadis lain, dan aku tak berani berpikir bagaimana jadinya kalau aku
menerimanya). Aku tak peduli, toh aku tak bersalah.
“Hmm…tapi orangnya tak banyak bicara. Tapi
memang Chinese kalau berdagang tak banyak bicara ya Nad, hehe…”ocehan Kiki
membuyarkan lamunanku. Aku tertawa.
“Malah kalau dia begitu, keliatan banget
pesonanya, semacam Hyun Bin gitu… so cool!
Oh, enggak-enggak…lebh mirip Dong
Wook kaya’a…”, sambung Kiki, kini dengan wajah sedikit berlebihan. Dasar
Ababil!
Beberapa hari kemudian, aku memang berniat
berbelanja, karena pesanan kue dan minuman kreasiku. Kiki tersenyum sumringah
ketika aku akhirnya memintanya mengantarkanku ke toko langganan ibunya.
Sesampainya disana, aku memang sedikit
bahagia karena harga yang ditawarkan sedikit lebih murah dan semua yang
kubutuhkan ada. Dengan sedikit bersemangat aku pun memberikan catatan belanjaku
dan uang. Aku baru sadar ketika aku kesulitan mengangkat belanjaanku. Kiki
dimana siyh? Dan betapa terkejutnya aku melihat si gadis ababil itu bertengger
di dalam jazz merahnya.
“Kiki, bantuin”, ucapku dengan suara sedikit
besar.
Kiki pun melangkah sedikit malas-malasan. Aku
jadi heran,kenapa dia biasa lulus di bank siyh. Gadis yang masih
kekanak-kanakan ini. Tapi jangan salah, penampilan dan tingkahnya sangat
berbeda ketika dia sudah menginjakkan kaki ke gerbang kantornya. Dasar !! Dan
sesampai dirumah, akhirnya aku tahu penyebab kelunglaiannya. Lelaki bermata
sipit yang disanjung-sanjungnya itu tidak nongol hari itu. Aku pun sedikit
terkekeh merasa lupa akan hal itu.
“Lain kali temenin aku belanja lagi yaa??”
“Ogah! Aku pulang yaa!!”, ucap Kiki sewot.
Aku jadi bingung, kok aku jadi sasaran?
“Lha! Si Hyun Bin gak nongol, aku yang tak
berdosa ini jadi sasaran amukan…”
“Wee…aku pulang yaa! Assalamualaikum…”,
ucapnya sambil menjulurkan lidah.
“Waalaikumussalam…”
***
Awal bulan baru menjelang. Kini sudah dua
bulan lebih kuliah Masterku berjalan. Tugas semakin bertambah. Namun, minggu
ini jadwalnya aku membuang segala kepenatan. Para langganan juga semakin sering
mengirimiku pesan singkat menanyakan kapan aku akan berjualan. Yang paling
mereka rindukan adalah es pelangi kreasiku. Jadilah, pagi itu aku pergi
berbelanja. Kiki benar-benar absen menemaniku.
“Berapa semuanya Ci?”, tanyaku ketika Aci
yang mempunyai nama Joan itu sedang memasukkan semua belanjaanku kedalam sebuah
kantong plastic besar. Namun, kulihat dia sedikit melirik kearah pintu belakang
ketika suara handphone berbunyi.
“221. 500,-“
Mendengar sejumlah uang itu disebutkan, aku
pun membuka dompet dan mengambil dua lembar uang seratus ribu dan selembar uang
lima puluh ribuan. Oh, tidak. Seingatku ada koin-koin seratusan dalam tas
kecilku, jadi aku pun dengan ideku dan kebiasaanku yang sangat tidak hobi
mengkoleksi uang receh mulai mencari selembar seribuan dan lima koin ratusan.
Logikaku, kuberikan uang sejumlah uang dua ratus lima puluh satu ribu lima
ratus rupiah dan si Aci akan mengembalikan genap empat puluh ribu rupiah
untukku. Jadi, uang recehku berkurang dan masalah pembayaran pun akan selesai.
Dan akhirnya, aku pun sibuk merogoh kantong kecil disamping tasku. Aku dapat
empat koin dan yap, akhirnya kudapatkan koin kelima. Aku kumpulkan uang itu dan
berbalik memberikan uang itu pada Aci yang sebelumnya mengeluarkan sedikit bahasa yang tak kumengerti dan
aku yakin sedikit bosan menunggu usahaku mencari koin-koin yang dengan sangat beruntung
akan berpindah tangan itu. Aku pun berbalik…
“Ini Ci…” Ucapku sambil menoleh namun agak
kesusahan menggenggam uang. Seketika pandanganku seperti disapu angin sejuk.
Seorang laki-laki sedang berdiri tepat diposisi seharusnya Aci berada dengan
menenteng sebuah plastiks besar dan tersenyum. Kenormalanku sebagai perempuan
datang. Dia
tampan. Sangat. Matanya bagus dan yang penting tidak sipit, tapi
tunggu…kulitnya itu yang kurang normal sebagai lelaki. Dia putih. Sangat putih.
Warna kulitnya mengalahkan warna kulitku. Jangan-jangan… dan itu yang membuat
keyakinanku
bertambah benar, dia menenteng kantong belanjaanku dan menyodorkannya kepadaku…
Yaah, he’s Chinese! Tetapi matanya itu tak sesipit yang lain. Badannya pun
sedikit lebih tinggi dari Chinese kebiasaan. Ketika dia tersenyum, ada sesuatu
yang dengan mempesonanya
menyembul keluar, lesung pipi. Walaupun dengan gaya casual, kaos biru muda dan
celana jeans sedikit dibawah lutut, dia tetap jadi actor utama hari itu
(aktrisnya??? Jangan tanya,
aku juga tak berharap, haha. Ini “seperti
pungguk merindukan bulan”
atau “jauh panggang dari api”, hehe. Saking jauhnya, jangan berharap matang, hoho).
“Semuanya 221.500 Rupiah”, ucapnya dan
lagi-lagi tersenyum.
Kekagumanku sedikit keterlaluan kali itu.
Semua organ tubuhku seperti bekerjasama ingin mempermalukanku. Otakku tak berjalan
normal, jantungku sedikit berdetak lebih cepat. Kacau begini kalau logika tak
berjalan dan pikiran hanya berkata, Subhanallah…
Lelaki ini charming, God! Thanks for this! Dan tidak Allah, kalau begini
pasti wajahku sudah dengan sangat tega merona merah. Namun, aku masih sangat
bodoh terpana dengan senyuman itu. Sepertinya lelaki itu menyadarinya…
“Hmm…jadi belanjanya?”, ucapnya kini dan
malah membuatku tambah kacau. Koin dalam peganganku pun seperti ikut-ikutan
ingin mempermalukanku dan dengan genitnya jatuh kelantai…
“Oh…e..o..ja, ja..di kok!”, dan membungkuk
mengutip koin-koin nakal itu. Lelaki itu meletakkan kantong belanjaanku dan
membantuku mengutip koin terakhir. Aku bangkit dan menyerahkan uang itu.
“Maaf…”, ucapku selanjutnya sambil tersenyum
kaku. Dia tertawa kecil.
“Enggak apa-apa!”
Aku raih belanjaanku dan bergegas pergi.
“Hei…tunggu!”, suara panggilan itu
memaksaku segera beralih lagi.
“Iya…” ucapku.
“Kembaliannya tidak mau lagi?”, ucapnya
sambil tersenyum. Aku pun berjalan dan meraih kembalianku. Tetapi sekilas
kudengar, cara bicaranya agak kaku. Seperti orang jarang berbahasa.
“Makasih”, ucapku tak menoleh kearah wajah
itu lagi.
Hari ini aku mengakui kalau
mata Kiki kali ini tak salah. Lelaki itu memang “sesuatu”, haha…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar