Sabtu, 12 November 2011

Plot and Me 1 - Lelaki Bermata Sipit










Pagi menjelang lagi. Minggu pun datang lagi. Ah, weekend begini seharusnya aku menghabiskan waktu didapur, mengurusi pesanan atau sekedar mencoba kreasi baru. Aku memang hobi memasak, mencoba kreasi bahan-bahan makanan. Dan beberapa bulan ini memang kreasiku mulai diperjualbelikan karena nasehat dari orang-orang sekitar yang telah merasakan. Kata mereka siyh, kue, atau minuman kreasiku patut diperjuabelikan. Namun, karena aku juga sedang sibuk dengan kuliah Masterku, ibu dan aku memutuskan hanya akan berjualan di awal dan diakhir bulan saja. Ini juga strategi membuat pelanggan tidak bosan, kalau pun mereka ingin, mereka hanya boleh memesan dengan jumlah yang terbatas. Secara logika siyh, aku terlihat seperti tidak niat berjualan (sombong juga ia, hehe), tapi ini demi pendidikanku. Aku mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika atas kerjasama dengan pasca sarjana Unsyiah. Dengan beberapa orang rekan lainnya, kami menjalani kuliah di pasca sarjana Unsyiah selama delapan bulan dan selanjutnya melanjutkan disalah satu universitas di Amerika. Jadi, karena menurutku ini suatu kepercayaan yang diberikan kepadaku, aku harus bertanggung jawab penuh. Berjualan hanya bagian dari menyalurkan hobiku dan sekaligus menghilangkan kejenuhan tugas kampus.

Oia, namaku Nadia Humaira. Nadia itu artinya orang yang suka memanggil dan Humaira artinya kemerah-merahan. Ketika lahir, seluruh tubuhku memerah. Itu normal, tapi ketika pipiku merona seperti dipakaikan blush on itu menjadi sedikit luar biasa. That’s why my father gives that name to me. Pipiku memang suka merona memerah ketika aku sedang marah, malu, grogi, salah tingkah, batuk, tertawa. Banyak yang salah mengartikan warna pipiku, apalagi para lelaki, terkadang aku hanya merasa malu, namun dianggap naksir. Aku sedang marah, malah dianggap naksir juga. Aku sedang batuk, haduuh…juga dianggap naksir. Aku terkadang merasa kurang enak, namun kini aku sudah tak peduli. Toh, yang tahu perasaanku hanya aku dan Tuhanku.

Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku Naisya Faradilla. Kami hampir serupa tapi tak sama. Badannya sedikit lebih tinggi dariku. Kami hanya berbeda tiga tahun, kini juga dia akan menyelesaikan kuliah S1nya. Usiaku kini 24 tahun dan dia 21 tahun. Diusia seperti ini, seorang perempuan seharusnya was-was menunggu kedatangan seseorang untuk meminang. Tapi tidak bagiku, aku masih sangat santai dan masih sangat tenang. Kenapa? Karena aku masih punya beberapa orang sepupu yang masih lajang, teman-teman bahkan seniorku juga masih banyak yang lajang. Sayangnya, ketenangan itu bukan milik ibuku. Aku tahu beliau mencemaskanku, terutama ketika beberapa kali adikku mengatakan bahwa pacarnya ingin mengenalkan keluarganya. Ibu menolak dalam waktu dekat, karena sebenarnya beliau ingin aku melangkah terlebih dahulu. Aku hanya bisa miris, tak bisa berkata apa-apa. Di satu sisi, aku ingin keinginannya bisa terpenuhi, tapi aku harus bagaimana. Toh, calon suami tak mungkin dengan mudahnya didapat, apalagi dalam keadaanku jomblo begini (aku memang bukan tipe pacaran, hehe). Seandainya calon suami itu bisa didapat semudah mencari kacang goreng (gak berharga banget kan? Haha). Namun  disisi lain, aku tak berniat menunda-nunda keinginan adikku, walaupun dari bibirnya dia mengucapkan dia juga tak ingin melangkahiku. Aku memang tak punya pacar, itu karena aku tak mau. Usiaku kini bukan usia yang dengan mudahnya dibuang-buang untuk sekedar pacaran, aku merasa kalau memang ada yang cocok dan serius, kita kenalan dua bulan atau tiga bulan lalu menikah. Selama ini yang datang hanya sekedar bilang “I love You”, “Would you be my girl?” dan sebagainya. Dan aku tak suka kata-kata itu dalam konteks hubungan pacaran.

Permasalahan jodoh memang bikin pusing tujuh keliling. Sudah hampir dua tahun pertanyaan “kapan” menyerangku. Apalagi ketika bersilaturrahmi ke rumah kerabat. Awalnya aku hanya santai saja, namun beberapa waktu terakhir pertanyaan itu terdengar semakin tidak nyaman. Salah satunya ketika kami sekeluarga berkunjung kerumah salah satu sepupuku di Geuceu.

“Kak Dia duduk sini…”, panggil sepupuku ketika aku sudah selesai mengambil sepiring nasi tomat. Aku berniat duduk di depan TV bersama keponakanku karena kulihat sekilas wajah Hyun Bin disana (yaah, walaupun aku kurang suka yang bermata sipit tapi aku juga terkadang mengikuti drama korea, hehe…). Aku pun menurutinya. Disana kulihat ada adik dan ibuku, muka mereka sedikit serius. Ada apa ya?

“Ini pas banget, kakak mau nanya sesuatu…”, aku pun menyuapkan sendok pertama kedalam mulutku. Hmm… rendangnya kurang pedas. Tapi tauconya pas. Overall, lumayan.

“Jadi kapan ni Kak Dia mau memperkenalkan calon kamu?”, aku tersedak. Kesibukanku menilai makanan dalam piringku buyar. Aku buru-buru mengambil minum.

“Ada apa ini kak? Kok tiba-tiba pertanyaan itu?”, tanyaku dengan muka polos dan sesekali melihat kearah mamak dan Naisya. Mereka hanya diam.

“Lha, ko tiba-tiba? Kan ini pertanyaan normal. Usia kamu kan bukan usia remaja lagi Kak! Nadia selama ini seperti tertutup sekali masalah pasangan”.

“Apanya yang tertutup kak? Dia memang belum ada pasangan…”

“Belum ada?”, Tanya sepupuku yang bernama Rahmi itu. Aku mengangguk.

“Yang dekat?”, Tanyanya memastikan.

“Hmm…kawan dekat ada. Tapi hanya sebatas kawan. Toh, kalau mereka belum siap menikah, Nadia ogah! Kak, Dia bukan usia remaja yang menghabiskan waktu untuk pacaran…”, jelasku panjang lebar. Kak Rahmi diam, dia sedikit berpikir keras. Dalam penerawanganku, pasti aku akan disodori seseorang ini, mungkin teman sekantornya atau kerabat suaminya. Yaah…boleh juga. Siapa tahu cocok, pikirku. Ternyata…

“Itu berarti Dia rela kalau Naisya duluan?”, Nah lho! Aku terpana. Tidak seperti dugaanku. Aku sedikit tertawa karena sedikit merasa ge er. Namun, disalah satu sudut hati sedikit tekejut juga.

“Naisya kan udah punya pacar dan berniat serius datang kerumah. Mamak selama ini menunda-nunda karena Nadia belum memperkenalkan calonmu. Kan tidak mungkin keadaan ini terus berlanjut…”

“Nadia tidak pernah bilang jangan kok Kak! Kalau Naisya ingin duluan, Dia ikhlas kok! Jangan hanya menunggu Nadia, sem…”

“Nah kan Bunda, Nadianya tidak apa-apa tuch katanya…”, potong sepupuku itu. Aku yang sedari tadi sibuk memainkan sendokku (selera makanku sedikit berkurang) mendongak. Melihat ekspresi mamak.

“Jadi kalau bisa jangan ditunda-tunda terus menerus… nanti malah Naisya ditinggal karena dianggap gak serius…”

“Rahmi, bukan begitu! Bunda tahu Nadia juga insyaAllah enggak akan lama lagi. Bunda bukan berniat menunda-nunda, tapi kan lebih baik kalau kakaknya duluan. Bunda hanya tak ingin kejadian yang melanda Bunda akan dihadapi anak-anak. Dulu Bunda harus melangkahi ibumu, Rahmi. Dan bukan hal mudah. Hal yang paling menyedihkan adalah ketika harus melangkahi kakak. Bunda menangis tersedu-sedu ketika memeluk ibumu, malah bukan ketika memeluk ayah dan ibu. Bunda hanya tak ingin itu terulang. Lagian, Naisya sebaiknya menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. InsyaAllah kalau Allah berkenan, setelah sarjana, bunda tidak akan mengatakan tidak lagi… siapa tahu selama penantian itu, Nadia juga akan melangkah…”, Aku terharu. Mamak… aku tak tahu harus bicara apa. Yang jelas aku mengaminkan dalam hati saat itu. Aku tahu, kata-kata seorang ibu adalah doa. Dan ibu, Allah mudah perkenankan.

“Iya Rahmi, ibu ingat banget bundamu menangis terisak ketika berpelukan dengan ibu. Jadinya ibu jadi ikut-ikutan nangis tersedu. Sejujurnya, ada rasa haru ketika harus melepas adik padahal kita sendiri belum. Yaah…Allah berkehendaknya gitu. Toh, gak sampai enam bulan, ibu juga menikah. Malah, ibu duluan yang punya momongan… tapi ibu juga setuju sama bundamu, sebaiknya kita menunggu sedikit lagi. InsyaAllah, Nadia juga akan segera… lagian kamu ada gak calon buat dia, siapa tahu bisa cocok…”, aku merasa sedikit tenang. Kulihat kak Rahmi sedikit berpikir keras lalu menggeleng.

“Yaah, kalau emang tidak ada, kenapa mesti kamu yang repot…”

“Rahmi kan mau Nadia juga cepat-cepat bu…”

“Kamu yang kepingin, Nadia sendiri kamu ada tanya gak? Kamu yang maunya gitu, kalau Allah belum mau? Terus mau gimana?”, I love you Cecek Dewi. Akhirnya perasaanku benar-benar tenang luar biasa. Perkataannya benar-benar bijaksana dan tepat sasaran. Namun, Kak Rahmi seperti tak mau kalah, aku sedikit…hhhh…uh..namun akhirnya aku hanya beristighfar.

“Tapi tetap yaa Sya, Kak Nadia tadi udah ikhlas, jadi kamu bisa dari sekarang nanya Kak Dia mau apa sebagai ganti rugi… kompromikan terus, jangan malah Dia minta yang mahal nti, hehe…”, aku sedikit gregetan dalam hati, tapi aku hanya tersenyum pahit. Naisya juga sama. Namun, kami tak mau merusak suasana yang memang sudah terlanjur rusak khususnya bagiku.

“Hmm…Nadia gak minta mahal-mahal kok Kak! Minta tiket naik haji aja, jadi Nadia bisa sekalian berdoa disana biar didekatkan jodoh yang shaleh dan tanggungjawab…”, Kak Rahmi sedikit terpana namun akhirnya tersenyum.

Ketika akan pulang, didalam mobil aku sedikit berbisik pada Naisya…

“Emang kamu beneran mau segera menikah?”

“Enggak kok kak!”

“Evan gimana? Udah mau nikah cepat-cepat yaa?”

“Hmm…dia cuma nanya kapan bisa bisa datang orang tua, tapi ketika Sya bilang selesai Sya kuliah dulu, dia mengerti kok kak! Lagian kami gak mau tunangan terlalu lama… dia juga mengerti kalau Naisya sebenarnya gak mau melangkahi Kak Nadia..”

“Terus kenapa Kak Rahmi…”

“Itulah, Naisya dan mamak juga gak ngerti. Kak Rahmi bisa serepot itu mikirin kita, hehe…”

“Mungkin karena dia sayang”, ucapku menutup pembicaraan tentang itu.


***


“Kamu biasanya belanja dimana untuk bahan-bahan makanan?”, Tanya Kiki. Rizky Fitria, sepupuku. Dia kebetulan tinggal dekat denganku, karena kami seumuran jadi kami dekat. Dia tamatan ekonomi dan sekarang bekerja disalah satu bank swasta.

“Hmm..di swalayan dekat rumahku. Tapi kurang lengkap siyh, jadi kadang-kadang mesti ke toko bahan kue juga di daerah Peunayong! Kenapa ki?”

“Bundaku biasanya belanja di Peunayong juga Nad. Kamu biasanya belanja di toko bahan kue apa disana?”

“Waah…gak ingat! Tapi kaya’a gak ada namanya dech, haha. Tokonya agak kecil gitu…”

“Hmmm… belanja tempat langganan bundaku saja. Murah. Tapi Chinese yang jualan…”

“Oia?”, ucapku sedikit tertarik.

“Iya Nad. Kapan kamu mau belanja? Aku temenini dah! Hari ini?”, aku sedikit terpana.

“Enggak hari ini, minggu depan lah Ki. Aku kan gak jualan minggu ini…”

“Yaaah…”

“Emangnya ada apa siyh? Tumben banget kamu menawarkan diri…”, tanyaku curiga,

“Sebenarnya terakhir aku temenin bunda belanja, ada cowok ganteng Nad… biasanya aku paling malas nemenin bunda belanja kesana, tapi berkah banget hari itu. Sepertinya dia baru disitu…”

“Maksudnya?”

“Sepertinya anaknya si pemilik. Ganteng banget Nad…”

“Chinese?”, tanyaku sambil membelalakkan mata. Dalam pemikiranku Chinese selalu punya rupa yang sama. Kulit super putih, mata sipitnya masyaAllah. Aku juga kebayang bau dupa mengikutinya atau holy cross yang menghiasi lehernya. Hiiii…aku begidik. Jadi sama sekali tak menarik. Ditambah lagi, selera mata Kiki denganku sangat berbeda jauh. Kiki bisa dengan mudahnya menilai lelaki tampan. Aku tidak. Yaah..walaupun aku juga bukannya cantik-cantik banget, tapi aku paling susah menganggap seorang lelaki itu tampan. Seumur hidupku baru hitungan jari, lelaki yang kuanggap tampan. Salah satunya lelaki yang kulihat seminggu lalu dilampu lalu lintas. Lelaki bermata sayu itu berpenampilan biasa saja, namun ketampanannya membuatnya istimewa. Tak sedikit mata yang terpesona, namun karena seorang perempuan cantik terduduk manis diboncengannya dengan memeluk seorang gadis kecil yang juga sangat cantik memaksa mata-mata sedikit menjaga pandangannya. Haha…kali itu aku sangat bersyukur.

“Iya, hehe. Memangnya kenapa siyh Nad? Kamu kaya’a gak suka banget sama orang-orang bermata sipit itu… gak boleh, tau! Nti malah jodoh! Pengalaman SMA janganlah diungkit-ungkit”

“A’uzubillahiminzalik… ngomong apa siyh Ki? Siapa yang benci…”

Aku bukannya tidak suka, tapi aku sedikit punya pengalaman kurang enak dengan lelaki bermata sipit. Saat aku masih duduk dibangku SMA, salah satu kakak kelasku pernah naksir banget denganku. Namanya Michael dan dia Chinese. Dia pinter banget. Atlet basket. Aku tak ngerti, entah dari sudut mana teman-temanku mengatakannya keren. Yaah..mungkin karena dia suka basket, pinter dan mobilnya ganti-ganti antara Range Rover dan CR-V (ini alasan yang paling bsa kuterima). Lagian, aku juga bingung, kenapa aku yang bukan siapa-siapa? Prestasi biasa-biasa saja, rupa pun masih banyak gadis lain disekolahku yang lebih cantik. Heran!

Semua temanku memaksaku menerimanya, ketika secara terang-terangan dimuka public sekolahku, dia menyatakan perasaannya. Aku miris dalam hati dan yang paling membuat sedih ketika aku melihat sebuah kalung dilehernya dengan holy cross disana. Oh…tidak. Aku bergidik. Aku pun dengan kata-kata dengan kata-kata sopan menolak pernyataan cintanya.

Eh, malah teman-temanku bersorak tak setuju. Aku benar-benar miris. Si senior pun tak mau kalah, dia dengan gentlenya berlutut dan memintaku lagi menjadi pacarnya. Aku sedikit terpana, namun geli sendiri. Apa-apaan ini dalam pikiranku. Aku pun sekali lagi meminta maaf. Setelah itu aku bergegas pergi, namun dia menarik tanganku. Aku terkejut dan berusaha melepaskan genggamannya. Setelah itu, hubungan kami menjadi tak baik. Setiap bertemu dia selalu seperti mengejekku dengan cara mengumpat atau memamerkan kemesraan dengan pacarnya (dalam waktu instant dia bisa mendapatkan gadis lain, dan aku tak berani berpikir bagaimana jadinya kalau aku menerimanya). Aku tak peduli, toh aku tak bersalah.

“Hmm…tapi orangnya tak banyak bicara. Tapi memang Chinese kalau berdagang tak banyak bicara ya Nad, hehe…”ocehan Kiki membuyarkan lamunanku. Aku tertawa.

“Malah kalau dia begitu, keliatan banget pesonanya, semacam Hyun Bin gitu… so cool! 
Oh, enggak-enggak…lebh mirip Dong Wook kaya’a…”, sambung Kiki, kini dengan wajah sedikit berlebihan. Dasar Ababil!

Beberapa hari kemudian, aku memang berniat berbelanja, karena pesanan kue dan minuman kreasiku. Kiki tersenyum sumringah ketika aku akhirnya memintanya mengantarkanku ke toko langganan ibunya.
Sesampainya disana, aku memang sedikit bahagia karena harga yang ditawarkan sedikit lebih murah dan semua yang kubutuhkan ada. Dengan sedikit bersemangat aku pun memberikan catatan belanjaku dan uang. Aku baru sadar ketika aku kesulitan mengangkat belanjaanku. Kiki dimana siyh? Dan betapa terkejutnya aku melihat si gadis ababil itu bertengger di dalam jazz merahnya.

“Kiki, bantuin”, ucapku dengan suara sedikit besar.

Kiki pun melangkah sedikit malas-malasan. Aku jadi heran,kenapa dia biasa lulus di bank siyh. Gadis yang masih kekanak-kanakan ini. Tapi jangan salah, penampilan dan tingkahnya sangat berbeda ketika dia sudah menginjakkan kaki ke gerbang kantornya. Dasar !! Dan sesampai dirumah, akhirnya aku tahu penyebab kelunglaiannya. Lelaki bermata sipit yang disanjung-sanjungnya itu tidak nongol hari itu. Aku pun sedikit terkekeh merasa lupa akan hal itu.

“Lain kali temenin aku belanja lagi yaa??”

“Ogah! Aku pulang yaa!!”, ucap Kiki sewot. Aku jadi bingung, kok aku jadi sasaran?

“Lha! Si Hyun Bin gak nongol, aku yang tak berdosa ini jadi sasaran amukan…”

“Wee…aku pulang yaa! Assalamualaikum…”, ucapnya sambil menjulurkan lidah.

“Waalaikumussalam…”


***


Awal bulan baru menjelang. Kini sudah dua bulan lebih kuliah Masterku berjalan. Tugas semakin bertambah. Namun, minggu ini jadwalnya aku membuang segala kepenatan. Para langganan juga semakin sering mengirimiku pesan singkat menanyakan kapan aku akan berjualan. Yang paling mereka rindukan adalah es pelangi kreasiku. Jadilah, pagi itu aku pergi berbelanja. Kiki benar-benar absen menemaniku.

“Berapa semuanya Ci?”, tanyaku ketika Aci yang mempunyai nama Joan itu sedang memasukkan semua belanjaanku kedalam sebuah kantong plastic besar. Namun, kulihat dia sedikit melirik kearah pintu belakang ketika suara handphone berbunyi.

“221. 500,-“

Mendengar sejumlah uang itu disebutkan, aku pun membuka dompet dan mengambil dua lembar uang seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribuan. Oh, tidak. Seingatku ada koin-koin seratusan dalam tas kecilku, jadi aku pun dengan ideku dan kebiasaanku yang sangat tidak hobi mengkoleksi uang receh mulai mencari selembar seribuan dan lima koin ratusan. Logikaku, kuberikan uang sejumlah uang dua ratus lima puluh satu ribu lima ratus rupiah dan si Aci akan mengembalikan genap empat puluh ribu rupiah untukku. Jadi, uang recehku berkurang dan masalah pembayaran pun akan selesai. Dan akhirnya, aku pun sibuk merogoh kantong kecil disamping tasku. Aku dapat empat koin dan yap, akhirnya kudapatkan koin kelima. Aku kumpulkan uang itu dan berbalik memberikan uang itu pada Aci yang sebelumnya mengeluarkan sedikit bahasa yang tak kumengerti dan aku yakin sedikit bosan menunggu usahaku mencari koin-koin yang dengan sangat beruntung akan berpindah tangan itu. Aku pun berbalik…

“Ini Ci…” Ucapku sambil menoleh namun agak kesusahan menggenggam uang. Seketika pandanganku seperti disapu angin sejuk. Seorang laki-laki sedang berdiri tepat diposisi seharusnya Aci berada dengan menenteng sebuah plastiks besar dan tersenyum. Kenormalanku sebagai perempuan datang. Dia tampan. Sangat. Matanya bagus dan yang penting tidak sipit, tapi tunggu…kulitnya itu yang kurang normal sebagai lelaki. Dia putih. Sangat putih. Warna kulitnya mengalahkan warna kulitku. Jangan-jangan… dan itu yang membuat keyakinanku bertambah benar, dia menenteng kantong belanjaanku dan menyodorkannya kepadaku… Yaah, he’s Chinese! Tetapi matanya itu tak sesipit yang lain. Badannya pun sedikit lebih tinggi dari Chinese kebiasaan. Ketika dia tersenyum, ada sesuatu yang dengan mempesonanya menyembul keluar, lesung pipi. Walaupun dengan gaya casual, kaos biru muda dan celana jeans sedikit dibawah lutut, dia tetap jadi actor utama hari itu (aktrisnya??? Jangan tanya, aku juga tak berharap, haha. Ini seperti pungguk merindukan bulan atau jauh panggang dari api, hehe. Saking jauhnya, jangan berharap matang, hoho).

“Semuanya 221.500 Rupiah”, ucapnya dan lagi-lagi tersenyum.

Kekagumanku sedikit keterlaluan kali itu. Semua organ tubuhku seperti bekerjasama ingin mempermalukanku. Otakku tak berjalan normal, jantungku sedikit berdetak lebih cepat. Kacau begini kalau logika tak berjalan dan pikiran hanya berkata, Subhanallah… Lelaki ini charming, God! Thanks for this! Dan tidak Allah, kalau begini pasti wajahku sudah dengan sangat tega merona merah. Namun, aku masih sangat bodoh terpana dengan senyuman itu. Sepertinya lelaki itu menyadarinya…

“Hmm…jadi belanjanya?”, ucapnya kini dan malah membuatku tambah kacau. Koin dalam peganganku pun seperti ikut-ikutan ingin mempermalukanku dan dengan genitnya jatuh kelantai…

“Oh…e..o..ja, ja..di kok!”, dan membungkuk mengutip koin-koin nakal itu. Lelaki itu meletakkan kantong belanjaanku dan membantuku mengutip koin terakhir. Aku bangkit dan menyerahkan uang itu.

“Maaf…”, ucapku selanjutnya sambil tersenyum kaku. Dia tertawa kecil.

“Enggak apa-apa!”

Aku raih belanjaanku dan bergegas pergi.

“Hei…tunggu!”, suara panggilan itu memaksaku segera beralih lagi.

“Iya…” ucapku.

“Kembaliannya tidak mau lagi?”, ucapnya sambil tersenyum. Aku pun berjalan dan meraih kembalianku. Tetapi sekilas kudengar, cara bicaranya agak kaku. Seperti orang jarang berbahasa.

“Makasih”, ucapku tak menoleh kearah wajah itu lagi.

Hari ini aku mengakui kalau mata Kiki kali ini tak salah. Lelaki itu memang “sesuatu”, haha…


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar