Sabtu, 22 Oktober 2011

Better In Time 17 - Ini Epilog Bukan yaa??





“Aduhai, aneuk dara lon nyoe! Ka rap 27 tapi goh lom trok jodoh… Mumang bunda, Nisa!” Annisa terkekeh. Bundanya sibuk mengoceh sejak tadi mulai makan malam. Ayahnya juga hanya bisa geleng-geleng.

Annisa mengerti. Mungkin diawal kepulangannya, tak ada yang memaksa atau menanyakannya perihal jodoh atau apalah tentang itu, tapi Bundanya tentu cemas melihat anak perempuannya yang pertama itu masih melajang. Bukan tak laku, tapi belum jodoh menurutnya… (padahal hatinya memaksa sedikit agar Adam orangnya, hehe). Dia akan menerima jika yang datang itu Adam (tuuu kan, Adam lagi). Kata beberapa teman dan sepupunya, dia terlalu banyak memilih. Padahal tak seorang pun yang dipilihnya, dia hanya memilih Adam (halaaah…mulai ngaco, siapa siyh yang naksir Adam? Annisa atau saya?).

Yang paling jelas, dia selalu melibatkan Allah dalam keputusannya (Istikharah cinta, suiiit..suiit).

“Bukan Bunda. Bukan belum sampai, tapi sudah sampai beberapa, eh…malah ditolaaak, hehe. Pada ogah nongol lagi kali tuch Bun, gengsi kan di tolak muluuu…”, Ainaya, adiknya ikut nimbrung. Annisa sedikit melotot.

“Nyan keuh, jameun Bunda usia 18 thoen ka meunikah. Nyan pih termasuk ka yang paling telat. Aneuk dara jameun jino, jak sikula lah beutinggi-tinggi, jak kerja mita peng beulee… aleuh keupeu leuh nyan? Linto yang perle, bah jeut peulengkap setengoh iman…”

“Bunda… mana sama zaman dulu dengan sekarang?”, Ayah sedikit membela. Bunda sewot, 
Annisa tersenyum. Bunda, aku juga ingin segera membahagiakanmu. insyaAllah Bunda!

“Ayah, kiban nyo si kakak. Masa, Naya duluan?”, ucap Bunda kemudian yang sontak membuat Annisa sedikit tersedak.

“Enggak-enggak. Siapa bilang Naya ngelangkahin Nisa, gak boleh! Gak sopan itu namanya!”, ucap Annisa dengan wajah sedikit berlebihan, yang lain tertawa.

“Habis nungguin kamu, Bunda masih lama kaya’a momong cucu. Biarlah, Naya dulu…”

“Eiiits, Bun, kali ini Naya setuju dengan Cut Kak. Siapa juga yang mau nikah cepet-cepet. Baru juga tamat SMA. Kalaupun gak Cut Kak duluan, Adun Izy aja dulu…”, kini Ainaya mulai melibatkan Al-Farishy, abangnya, yang seketika tersedak ketika sedang asik menonton bola dengan ayah mereka.

“Eh, gak sopan! Jangan menimpakan kesalahan padaku, cut kak aja duluan…”, Ujar Izy disela-sela keasikannya. Annisa terkekeh.

“Ya Allah, Ya Tuhan… pajan lon meuteumeung peu acara aneuk? Ban mandum han ek dipeubahagia ureung cik…”

“Ihh…bunda, jangan gitu juga ngomongnya ah! InsyaAllah Bunda. Yang penting kita berdoa, 
kalau Allah bilang segera, besok juga pasti akan datang…”, ucap Annisa menenangkan.

“Peugah bak Bunda neuk, so yang Nisa meuheut? Bah Bunda jak lake?”, kini bundanya benar-benar serius. Annisa terpana.

“Bunda, Naya request donk! Karena Naya masih SMA, jadi sedikit kurang mungkin. Jadi Naya requestnya buat cut kak aja… hmm, Ustad Yusuf aja Bun! Perfect!”, ucap Naya dengan mengacungkan dua jempolnya. Seketika wajah Annisa merona. Memang keluarganya hanya sebatas tahu Adam pernah jadi bos Annisa, tapi tak lebih dari itu. Haadduuu… sin yak nyan kok bisa tahu yaa??

“Waah…kalau Ustad Yusuf, bunda mundur dech…”, ucap bundanya. Annisa sedikit terpana.

“Yeeeh, si Bunda menyerah sebelum berperang! Naya yakin pasti Ustad Yusuf suka sama cut kak, lagian udah dapat banget chemistrynya Bun, kaya’a sejak di York…”

“Eh… ngomong apa?”, potong Annisa dengan wajah merona. Ainaya menjulurkan lidahnya.

“Annisa…kamu… Neuk, bunda harus kiban nyo Nisa galak keu Yusuf, tapi… Aneuk Pak Syahrul manteung ditolak… Duu, Nisa…kiban… Ayah, kiban nyoe..”, Ucap ibunya sedikit kelabakan.

“Apa siyh bunda ni? Annisa juga gak ngomong apa-apa”, jawab Ayah. Annisa bangkit dan duduk tepat disamping ibunya. Mengenggam tangan itu.

“Bunda… peucaya Annisa beuh. InsyaAllah kalau Allah bilang iya, kapan pun dan siapapun akan jadi nyata”, kini keduanya saling memandang. Bundanya membelai pipi itu. Ainaya pun datang memeluk sang bunda dari belakang. Tiba-tiba suara dering telpon membuyarkan suasana yang sedikit haru itu…

“Assalamualaikum…”, Naya yang mengangkat telpon itu.

“Bunda? Ada bu, sebentar…”,

“Bunda, Ibu Ammara Aleesya yang dari Turki itu, ibunya Ustad Yusuf…katanya mau bicara sama bunda…”, ucap Naya agak berbisik dengan gagang telpon masih ditangannya.

“Bu Ammara, ada apa ya?” Bundanya melihat kearah Annisa yang sedang tersenyum penuh arti. Bunda, InsyaAllah kan? Kita hanya bisa berdoa, biar Allah yang menggerakkan segalanya. Mudah-mudahan ini jawaban untukmu Bundaku.

Bundanya langsung meraih gagang itu dengan wajah sedikit bingung, namun seperti ada sedikit perasaan deg-degan.

Beberapa menit berlalu. Ekspresi sang bunda sedikit berubah-ubah ketika dia sedang berbicara dengan seseorang diseberang itu. Kini percakapan selesai. Bundanya kembali. Annisa masih dengan senyumannya, sedang Naya sedikit bertanya-tanya. Ayah dan Izy masih sedikit sibuk dengan tontonannya.

“Ayah…”

“Tuan… ada apa Bunda?”

“Malam Jum’at ini sehabis Isya, Keluarga ibu Ammara mau silaturrahmi kemari sekaligus untuk…”, ucapan sang bunda sedikit terputus karena kini dia sedang menatap Annisa. Ya Allah, Subhanallah! Mudah-mudahan ini akhir penantianku untuk putriku ini.

Jeda. Kini semua mata tertuju pada Annisa. InsyaAllah Ayah dan Bunda. Annisa juga ingin sekali menyempurnakan setengah ibadah dan sekaligus membahagiakan Ayah dan Bunda. Mungkin Allah baru sekarang menentukan jalannya. Mudah-mudahan. Amiin.


***

Adam benar-benar membuktikan bahwa bacaan Al-Qurannya sudah bagus. Melalui bibirnya, terlantunlah alunan Surat Ar-Rahman. Annisa berkaca-kaca. Semua yang hadir sangat menikmati kekhidmatan suasana saat itu. Adam merasakan rasa bahagia menjalar keseluruh tubuhnya. Seluruh kejadian ini benar-benar terekam jelas dipikirannya. Lagi-lagi Déjà vu menergapinya.

Sesaat setelah bacaan Al-Qur’an selesai dan khutbah nikah selesai. Kini saat-saat paling mendebarkan itu pun akan terlaksana…

“Bismilahirrahmanirrahim… Ananda Adam Yusuf, Saya nikah kan anak saya, Annisa Namira binti Arifin Ramadhan, untukmu dengan mahar 25 mayam emas, tunai!”

“Saya terima nikah Annisa Namira binti Arifin Ramadhan untuk saya, dengan mas kawin tersebut, tunai!”

Ijab Qabul pun berjalan lancar. Setetes air mata jatuh di pipi Annisa. Dia berdoa dengan khusyu’ tepat setelah ijab qabul terucap. Betapa besar kekuatan kalimat suci itu. Jelaslah sudah, statusnya kini sudah berubah menjadi istri seorang Adam Yusuf…

Sebuah potret baru telah tercapture hari itu. Pernikahan. Kini fotografi cinta mereka bahkan baru saja dimulai dengan alur yang lebih nyata. Kehidupan rumah tangga. Selamat menempuh hidup baru Adam dan Annisa J









See you guys di cerita-cerita selanjutnya…

Better In Time 16 - I am not Muslim







Sudah hampir setahun setelah keputusannya memeluk Islam. Setelah kepulangan kekampung halaman ibunya ke Turki dan secara formal mengucap syahadat disebuah Mesjid, Adam benar-benar merasa mendapatkan kehidupan baru. Dia mulai belajar tentang Islam sedikit demi sedikit. Keluarga besar pun menyambut dengan suka cita. Betapa haru, ketika dia kembali bertemu Nina, adik tunggalnya, yang sudah lama sekali tak diliatnya.

Namun diawal terkadang dia merasa begitu berat, keraguan terkadang datang namun dia mensyukurinya ketika ragu datang maka Islam bisa menjawabnya. Ketika sebulan di Turki, Aleesya, ibunya merasa butuh mengajak Adam ke tempat yang lebih baik untuk mempelajari Islam. Turki dirasanya kurang tepat untuk Adam. Dan mereka pun terbang kembali ke Aceh, tempat Aleesya dulunya juga mendapatkan hidayahnya. Kampung halaman kakek Adam.

Berbulan-bulan Adam mondok disuatu pesantren di Aceh. Khusus belajar agama islam beserta belajar membaca Al-Qur’an. Ketika akhirnya dia merasa sudah siap berdiri sendiri, dia kembali pulang kerumah keluarganya disalah satu daerah di Banda Aceh. Tak ada perubahan yang berarti dalam diri Adam. Mondok tak menjadikannya sosok yang sangat religious, tapi dia berusaha belajar banyak. Adam masih penyuka fotografi, penampilannya pun tak jauh berbeda dengan dulu.

Kini setelah sudah hampir setahun keputusannya memeluk Islam. Adam membuka sekolah fotografi dekat rumah ibunya. Dia juga menjadi salah satu snaper senior di salah satu komunitas pecinta fotografi. Adam juga sering mengirim hasil fotonya ke majalah atau galeri-galeri fotografi nasional juga internasional. Dia mulai menikmati hari-harinya. Namun satu yang belum dinikmatinya, kehidupan pribadinya. Tetap saja, nama Annisa Namira terukir kekal dihatinya.

Adam tidak berusaha menutup hubungan dengan siapapun, tapi entah mengapa dia yakin suatu saat dia akan bertemu kembali dengan Annisa. Entah dimana dan entah kapan. Adam hanya bisa menjalin hubungan pertemanan dengan lawan jenis, belum ada yang bisa merobohkan keangkuhan hatinya. Aleesya terkadang prihatin. Wanita itu serba salah, dia mengerti anaknya masih begitu mencintai Annisa, tapi disatu sisi usia Adam yang sudah menginjak 29 membuatnya ingin sekali melihat Adam segera menikah. Toh, selama ini ada beberapa wanita yang kelihatan dekat dengan Adam. Tapi, mereka harus mundur sendiri ketika Adam meminta maaf. Belum lagi ketika dia terlihat sedikit aktif di Mesjid, ada beberapa orang tua yang datang menanyakan kebersediaan Adam untuk putri-putri mereka. Namun, lagi-lagi mereka semua harus menelan ludah pahit. Bahkan sampai ke titik itu anak lelakinya Allah tempatkan, tapi tetap saja hatinya seperti masih sangat beku…

Adam dikenal sebagai Yusuf di sekitaran rumahnya. Semua terjadi ketika suatu malam Adam pergi ke Mesjid untuk shalat isya, kebetulan dia telat. Imam telah mengucapkan salam. Ada beberapa orang remaja dan seorang bapak yang juga telat, ketika dia akan takbiratul ihram memulai shalatnya, si bapak mengajaknya berjamaah. Adam sangat setuju, namun ketika si bapak dan beberapa orang remaja membuat barisan tepat dibelakangnya, Adam sedikit terkejut.

“Maaf Pak! Saya belum pantas sepertinya menjadi seorang imam, bapak saja!”, ucapnya kepada sibapak.

“Kalau kamu belum siap sekarang, terus kamu kapan siapnya? Seorang lelaki itu harus siap kapan pun dia disuruh menjadi imam, apalagi ketika nanti sudah berkeluarga.”

“Tapi, saya seorang mual…”

“Udah, lanjut saja! Sekalian belajar…”, potong si bapak. Dan jadilah Adam untuk pertama kalinya setelah dia menjadi seorang muslim mengimami orang lain di masjid.

Lelaki itu yang juga salah satu imam muda di Mesjid itu, sedikit terpesona mendengar alunan ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan seorang imam dibarisan belakang. Dia menoleh. Ilyas menyimak seksama lantunan ayat-ayat itu. Ketika shalat berjamaah itu selesai, dan Ilyas melihat si imam selesai berdoa dan seperti akan beranjak, dia mendekat dan berkenalan dengan si imam itu…

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam…”

“Alhamdulillah bagus sekali bacaan Al-Qur’annya. Anda dari daerah mana?”

“Alhamdulillah. Saya dari daerah sini juga, rumah saya dekat kok, hanya beberapa blok dari sini…”

“Oia? Tapi saya belum pernah lihat anda sebelumnya…”

“Iya, kebetulan saya dulunya tidak di Aceh, baru pindah kemari beberapa bulan yang lalu…”

“Hmm…kenalkan saya Ilyas”, ucap Ilyas sambil menjulurkan tangannya.

“Saya A… Yusuf”, ketika lelaki itu menyebutkan namanya, hp Ilyas berbunyi. Dia memohon maaf pada lelaki didepannya dan menerima panggilan sejenak. Ilyas hanya mendengar nama belakangnya.

“Yusuf, sering-sering ke Mesjid. Siapa tahu sesekali bisa menjadi imam disini…”, ucap Ilyas sambil tersenyum.

“InsyAllah…”

“Oke, saya permisi dulu, Assalamualaikum!”,

Adam menjawab salam lelaki itu. Yusuf?? Bagus juga. Dan mulai dari situ lah, akhirnya panggilan Yusuf melekat padanya, hingga ketika para orang tua ingin melamarnya yang dicari bukan Adam tapi Yusuf.


***


Aleesya tersenyum sendiri mengingat anak lelakinya itu. Dia teringat ketika dia dulu hamil muda, dia selalu berdoa jika anaknya kelak seorang lelaki diberi berkah suara yang merdu seperti Nabi Daud a.s dan diberkahi wajah tampan seperti nabi Yusuf a.s. Namun entah mengapa ketika lahir, malah nama nabi pertama Adam yang terpilih.

“Masuk Ummi, kenapa berdiri dipintu?”, ucap Adam yang kontan membuyarkan lamunannya. 
Setelah berbasa-basi sedikit, Aleesya membuka topik yang benar-benar ingin dia tanyakan.

“Nak, gimana perasaanmu sekarang?”, Adam menoleh.

“Maksud Ummi?”

“Apa sudah ada kabar tentang Annisa? Kamu sudah berusaha menghubunginya?”, Adam hanya diam. Lama mereka dalam jeda itu.

“Nak!”

“Kemarin Adam hubungi Nino, dan kata Nino Annisa sudah lama resign dan pulang ke Aceh”

“Apa? Annisa juga orang Aceh? Ya Allah, berarti ada kemungkinan kalian…”

“Entahlah Ummi, untuk saat ini biar berjalan seperti ini. Menurut Adam, Annisa pasti sangat terluka. Adam tidak yakin kami bisa… dia mungkin sudah tak bisa menerima Adam lagi…”

“Nak, kamu seorang Muslim sekarang. Alasan kamu pergi pun karena tidak ingin keluarga besar Josep menganggu Annisa jika mereka tahu kamu dulunya dekat dengannya…”, tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk memotong ucapan ibunya. Wanita itu meraih hp Adam yang memang terletak didekatnya dan membuka pesan singkat itu dan menunjukkan ke Adam.

From : Cut Sarah
Adam, lagi apa? Udah shalat belum?

Adam hanya mendesah. Beberapa kali pesan yang sama hadir, kadang dengan nama pengirim yang berbeda. Bukan salahnya kalau pesan singkat itu datang. Dia hanya menjalin pertemanan Tapi kalau mereka ingin lebih, dia hanya bisa mundur.

“Keliatan sekali Cut, Intan dan siapa itu, Mutia menyukaimu… apa tidak ada yang bisa mencairkan hatimu nak?”, Adam memandang ibunya. Aleesya sudah tahu jawaban nya dari mata itu.

“Belum bisa, Ummi!”

Adam memang tak hanya diam saja. Sejak dia pulang mondok, dia berusaha mencari tahu tentang Annisa. Kata Nino, Kakek Annisa orang Aceh Tengah. Baru minggu kemarin dia pulang mencari Annisa kesana, tapi nihil. Annisa memang tak pernah detail mengatakan dimana dia tinggal. Sekarang Adam hanya bisa berharap keajaiban akan datang. Jarak tak akan menjadi masalah bagi Allah. Jika dekat saja bisa tak bertemu, tapi belum tentu berjauhan ribuan kilometer tak akan bertatap muka. Dan sementara semua Allah beri kejelasan, Adam dengan tak sadar pun tetap mengunci hatinya bagi yang lain.

“Hmm… kemarin juga Pak Saiful, kamu mungkin kenal, beliau yang tinggal di jalan Pari, yang dekan fakultas ekonomi itu menelpon menanyakan keputusan kamu…”

“Maafkan Adam, Ummi! Mungkin tidak dulu…”

Dan berakhirlah percakapan malam itu. Aleesya mengerti.


***

Adam harus terbang ke Jakarta malam ini, karena akan ada lomba fotografi di Galeri Cipta III TIM. Adam merupakan salah satu juri utama. Sebelum berangkat malamnya dia menyempatkan shalat berjamaah di Mesjid dekat rumahnya dan lagi-lagi Ilyas memintanya menjadi imam shalat isya itu. Namun, dia hanya meminta maaf ketika dia harus pergi dan tidak bisa bergabung dalam rapat kegiatan masjid.

Dia sesekali muncul. Tapi tak disangkal bahwa kemunculannya beberapa bulan ini menjadi buah bibir. Gadis-gadis remaja bahkan ibu-ibu memandangnya kagum. Siapa imam muda yang bersuara merdu itu? Yusuf, nama yang dikenal mereka. Yusuf juga yang kebetulan mempunyai wajah indah sepeti namanya. Selain itu, sikapnya yang membuat orang-orang yang mengenalnya betah berbicaranya. Dia santun dan pintar membawa diri. Adam Yusuf berubah banyak.


***

Postur tubuhnya persis dia. Berkerudung ungu, warna yang wanita itu sangat sukai. Dan dia sangat cantik bila berpadu dengan warna itu. Gerakannya juga sama lincah. Sebuah kamera merek Nikon D90 tipe untuk pecinta fotografi kelas menengah tersangkut patuh di lehernya. Memang bukan seperti miliknya. Wanita itu berjalan keluar bandara, Adam yang tadinya asik dengan laptopnya ketika menunggu jemputan sedikit tergesa-gesa mengikuti wanita itu. Dia merasa bahwa dia akan segera bertemu dengan Annisa. Annisa, tunggu aku! Jangan buru-buru pergi, kau tahu, betapa aku merindukanmu! Namun langkahnya terhenti ketika wanita yang dianggapnya Annisa itu, tiba-tiba berpaling. Wanita itu seperti ingat sesuatu dan berjalan melewati Adam.

Adam tersenyum sendiri. Ternyata bukan kau! Ya, matamu tak akan tergantikan, kenapa Tuhan begitu tega membuat matamu itu berbinar dan penuh kasih.  Ah… aku memang sangat ingin bertemu Annisa. Tapi kapan? Kapan waktu itu Tuhan? Apa masih ada kesempatan?

“Adam!”, panggilan itu membuyarkan lamunannya. Dari kejauhan sang ibu memanggil anak 
lelakinya itu.


***

“TPA ini sudah ada profilnya belum Yas?”, Tanya Adam ketika siang itu dia bertemu Ilyas di 
Mesjid selesai shalat berjamaah.

“Profil? Maksud kamu?”

“Yaa… keterangan atau informasi tentang kegiatan TPA atau TPQ ini. Yaah..walaupun hanya didaerah sendiri, tapi tidak ada salahnya membuat profilnya kan? Kan bisa di pasang di majalah dinding atau papan pengumuman masjid. Saya liat papan pengumuman begitu kosong, hanya tempelan kertas-kertas putih…”, sambung Adam. Ilyas seperti berpikir sejenak.

“Tapi apa tidak…”

“Hmm… saya kebetulan punya pengalaman bekerja dimajalah. Kalau tidak keberatan saya bisa bantu mendesain profilnya. Kamu bisa menyediakan informasinya saja”

“Itu saja?”

“Hmm… dengan beberapa foto, akan sempurna”, ucap Adam sambil tersenyum sumringah.

“Ada siyh beberapa file berisi foto-fo…”

“Begini saja Ilyas, kebetulan hari ini saya free jadi nanti sore saat kegiatan TPA saya bisa menyempatkan diri mengambil beberapa foto. Jadi kita tampilkan beberapa foto yang up to date, bagaimana?”, Ilyas mengangguk tanda setuju.

Dan akhirnya sore itu selepas Ashar, Adam mulai memotret-motret sekitaran Mesjid dengan fokus kegiatan anak-anak TPA. Kelas Ilyas hari ini belajar diluar tepat di bawah sebuah pohon besar. Ketika Adam asik dengan kameranya, Ilyas tiba-tiba datang berbisik. Adam sedikit terpana. Mereka berdua kembali menuju anak-anak yang sedang sibuk dengan Iqra’a masing-masing. Hanya ada sekitar 7 orang anak kecil disana.

“Ustad minta maaf yaa, tadi ustad ada telpon penting dan harus kembali ke kantor Mesjid sebentar. Untuk sementara digantikan oleh ustad Yusuf yaa? Beliau punya suara yang indah, nanti beliau ajarkan shalawat. Untuk hari ini, mengajinya dicukupkan dulu yaa…”, Anak-anak bersorak gembira. Ustad Yusuf? Apa pantas?

Ilyas pergi. Dan kini Adam jadi sedikit grogi. Belum pernah seumur hidupnya dia berada diposisi ini. Dihadapannya kini, telah ada 7 orang anak kecil yang menunggu kata-kata pertama darinya. Untuk hal seperti ini dia mengaku kalah. Tapi tiba-tiba dia teringat Annisa. Bagaimana wanita itu begitu lihai jika berhadapan dengan anak-anak. Annisa, kamu memang meninggalkan bekas yang terlalu dalam.

“Siapa suka nyanyi?”, tanyanya membuka pembicaraan. Dan tak seperti dugaannya, semuanya menunjuk. Ketika ditanya lagu apa yang suka dinyanyikan, Adam tersenyum sendiri mendengar ocehan anak-anak itu. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab lagu anak-anak, semuanya judul yang Adam tebak adalah lagu remaja bahkan dewasa.

“Ustad juga punya lagu cinta seperti kalian… Ayo tebak lagu cinta untuk siapa?”, Adam merasa risih menyebutkan dirinya ustad.

“Pasti lagu cinta untuk pacar kan ustad? Lagu Smash ya kan?”, ucap Rara yang menyebutkan Smash sepeti bunyi Semes. Adam bingung sendiri.

“Bukan. Tapi lagu cinta untuk Nabi Muhammad SAW… semuanya bisa?”, anak-anak tidak ada yang menjawab. Adam kemudian mulai bersenandung. Dia bershalawat dan seperti hipnotis, anak-anak bukan mengikutinya malah terdiam.

“Lho! Kok malah diam, ikuti ustad, kita nyanyi sama-sama yaa?”

“Suara Ustad Yusuf bagus!”, ucap Akbar dan diikuti suara yang lain. Adam tersenyum.

Sedetik kemudian mereka pun bershalawat bersama. Adam seketika teringat sesuatu. Dia seperti ada diposisi ini sebelumnya. Apa ini juga Déjà vu? Ini kan mimpiku setahun yang lalu…

“Ustad, malaikat itu sama ya seperti nabi?”, Tanya Kiki yang memang keliatan pintar setealh mereka selesai bershalawat.

“Tidak sama. Malaikat itu kan Allah ciptakan dari cahaya, malaikat itu mulia. Sedangkan Nabi sama seperti kita, manusia biasa. Allah menciptakan Nabi dari apa? Siapa tahu?”

“Dari tanah”, jawab mereka hampir serentak.

 “Ustad, kiki mau tanya lagi… Tadi pagi kiki nonton film kartun, disitu ada anak agamanya Kristen. Kiki kira mereka sama seperti kita hanya punya Tuhan satu, tapi mereka malah ada tiga tuhan… kenapa tuhan kita hanya Allah, ustad? Padahal kan kalau punya tiga, ketika kita berdoa, kita malah bisa minta pada tiga tuhan…”, Adam sedikit berpikir keras. Dia butuh cara yang tepat. Anak-anak begitu kuat ingatannya. Dan setiap perkataan guru adalah yang paling benar baginya. Kemudian lagi-lagi dia teringat Annisa…

Kekasih, aku minta izin menggunakan konsep Keesaan Allah punyamu yaa? Aku janji kalau kita ketemu nanti, aku pasti berterimakasih padamu. Ya Allah, betapa aku ingin bertemu lagi dengannya.

Mengalirlah penjelasan itu dari mulutnya. Adam memberi contoh yang menurutnya mudah dimengerti oleh anak-anak.

“Karena itulah Allah kita special. Hmm…jadi semuanya mengerti yaa?? Keraguan kita kepada Allah, suatu saat malah membuat kita semakin cinta kepadaNya, benar tidak?”

“Benar Ustad!”, ucap mereka hampir serentak.

“Pinter!” Ucap Adam sambil tersenyum. Ya Allah, terima kasih banyak telah pernah mempertemukan aku dengan wanita itu. If I may request, God. May I see her again? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Adam yakin dihatinya bahwa dia akan bertemu dengan Annisa lagi dalam waktu dekat.

“Ustad, kita shalawat lagi yuk! Terus pulang…”, suara Rara membuyarkan lamunannya. Adam melirik alrojinya dan memang saatnya anak-anak pulang. Ilyas pun belum kembali.

“Oke, kita shalawat sekali lagi, terus semuanya boleh pulang hari ini!”

“Ustad…”, ketika mereka akan mulai bersenandung tiba-tiba Rara memanggilnya dan tangannya seperti menunjuk kearah berlawanan dari Adam.

“Itu siapa?” pertanyaan Rara kali ini seketika membuat Adam menoleh.

Deg.

Mata itu. Kekasih. Itu kah kau?

Adam tergesa bangun dari duduknya. Dia benar-benar ingin memastikan penglihatannya. Dia takut ketika dia kehilangan tatapan itu, maka kekasihnya juga akan menghilang. Tapi kali ini, wanita itu benar telah hadir didepannya, dengan wajah dan senyuman khasnya. Mata yang begitu dia rindukan itu kini seperti mengeluarkan sebutir air bening yang seketika menjatuhi pipinya yang sedang merona. Adam tak tahu harus bagaimana. Perasaannya campur aduk. 
Yang jelas, kerinduannya begitu dalam hingga butuh lama untuk menghilangkannya.

“Annisa Namira…”, akhirnya dia bisa juga menyebutkan nama itu.

“Ka…amu disini rupanya…”, ucap wanita didepannya.

Ya Tuhan, ini benar Annisaku. Ini bukan halusinasiku. Ini bukan seseorang yang kuanggap dia ketika aku begitu rindu. Ini kau, kekasih! Segala puji bagiMu Rabb yang senantiasa mendengar segala doa hambaMu.

Semuanya seperti berhenti bergerak. Semuanya seolah mengabur. Waktu seperti berhenti. 
Yang ada hanya gemerincing suara rindu yang seakan begitu bahagia karena telah terpenuhi. Yang ada hanya suara detak jantung yang berdetak lembut namun berirama indah. Yang ada hanya mereka.


***

Anak-anak pulang setelah batal bershalawat. Satu persatu mereka menciumi tangan Adam. Annisa tersenyum penuh arti. Hatinya membuncah bahagia, bukan hanya karena Allah telah mempertemukan dirinya dengan Adam lagi, tapi karena… Ah, Adam betapa ingin aku bertanya banyak hal tentangmu. Adam, kamu berbeda. Ada sesuatu yang lebih indah diwajahmu.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ah, Laila! Dia menoleh mencari sosok itu. Ternyata, Laila sedang berbicara dengan Ilyas beberapa meter dibelakangnya, sesekali gadis itu melirik kearah Annisa. Dan memang benar, Ilyas memang sedang bertanya tentangnya dan Adam. Ilyas dan Laila tak dipungkiri agak terkejut dengan kejadian ini. Annisa mendesah. Ya Allah, jangan-jangan imam muda bersuara indah itu… jangan-jangan yang ditaksir Laila…
Sebelum dia sempat menyelesaikan bisikan hatinya, Adam sudah berdiri tepat didepannya. 
Tersenyum sangat indah. Sesuatu yang begitu Annisa rindukan.

“Ka..amu Muallaf?”, Tanya Annisa membuka percakapan. Adam menggeleng polos masih dengan sisa senyuman. Annisa melongo.

“Ka..ka…mu Muslim kan?”, tanyanya lagi seolah ingin memastikan segala apa yang telah dilihat dan didengarnya. Namun, kini lagi-lagi Adam menggeleng. Dan Annisa kini benar—benar shock. Dia merasa lemas. Terus apa yang kulihat tadi? Am I day-dreaming? Again?

Melihat wajah didepannya berubah drastis. Adam merasa iba, namun dia tersenyum sedikit aneh.

“Kamu pura-pura lupa, atau lupa Annisa Namira?” Tanya Adam sedikit tanggung. Annisa mendongak. Apa maksudmu sekarang? Aku benar-benar tak mengerti… Namun pertanyaan itu hanya bersuara dalam hatinya.

“Aku kan Adam Yusuf, belum berganti nama jadi Muslim atau Muallaf. Hmm..anyway, I am a Muslim now!”, ucapnya sedikit jenaka.

Wajah Annisa seketika memerah. Dia kesal. Tapi, pernyataan itu sudah cukup membuat hatinya bahagia. Sekarang Adam adalah seorang Muslim. Itu sudah cukup.
Annisa hanya geleng-geleng sambil tersenyum hingga menyembulkan lesung pipi diwajahnya. 
Entah disadari atau tidak olehnya, lelaki itu menikmati itu.


***

Pertemuan mereka tak sesempurna harapan mereka. Keduanya kini berada pada titik uji atas perasaan masing-masing. Keduanya juga harus berhadapan dengan kata-kata pengorbanan.
Annisa kini benar-benar yakin kalau Adam lah imam muda yang bersuara indah itu. Adam lah yang senantiasa menjadi buah bibir gadis muda serta ibu-ibu disekitar perumahannya. Adam lah ustad Yusuf yang tampan itu. Dan yang paing membuatnya miris adalah ketika Adamlah yang ditaksir sahabatnya Laila. Laila, aku minta maaf. Entah ujung kisah ini seperti apa, yang jelas ini bukan sinetron. Apa aku harus berkorban Allah? Dia merasa bersalah, tapi dia bukan wanita sempurna yang memiliki hati seputih salju, sebaik malaikat. Dia juga punya hati, dia juga punya hak untuk berusaha.

Namun perasaan itu seketika menghilang ketika pagi itu dia bertemu wanita cantik itu. Awalnya dia sedikit ogah-ogahan ketika bunda mengajaknya berbelanja dipasar pagi dekat rumahnya. Namun, seketika dia mensyukurinya ketika akhirnya dia bisa kembali bertemu dengan Ummi. Ibunya Adam.

Bundanya sedang sibuk tawar-menawar dengan abang tukang ikan, ketika Annisa beralih ingin mencari sesuatu yang segar. Seorang gadis kecil cantik menarik perhatiannya. Cantik sekali. Seperti keturunan luar. Gadis itu sedang menarik-narik baju seorang wanita.

“Grandma, I want this!” ucapnya menggemaskan.

“Alright honey, but no more than one!”, ucap wanita itu sambil menunduk memberikan sebuah lollypop. Dan wajah itu…

“Ummi…”, secara reflek Annisa memanggil Aleesya. Kini mata mereka bertemu.

Aleesya dengan begitu takjub memeluk Annisa. Menciuminya. Annisa begitu terharu. Aleesya menariknya duduk dibangku kecil ditaman pinggir pasar itu. Banyak yang mereka bicarakan. Ternyata, gadis kecil itu anaknya Nina, adiknya Adam. Mereka sekeluarga sedang berada di Aceh.

Sepanjang pembicaraan Aleesya senantiasa mengucapkan permintaan maaf karena pergi begitu saja beberapa waktu lalu. Dia dengan sabar menjelaskan alasan kenapa Adam dan juga dirinya pergi begitu saja. Annisa mengerti. Ketika tiba-tiba…

“Sayang, kamu tahu tidak, Adam begitu mencintaimu sampai hari ini…”, Annisa terpana.

“Ummi merasa bersalah padamu karena selama beberapa waktu lalu mengira Adam akan bisa melupakanmu dan mulai bisa membuka hati seiring dengan datangnya orang-orang baru dalam hidupnya. Namun… semuanya… Ah, Annisa, Ummi mohon maaf…”

Annisa hanya bisa diam. Kini dia hanya bisa menatap mata indah ibunya Adam. Sampai ketika 
Aleesya pergi dan menitipkan salam untuk bundanya, Annisa masih terus sibuk dengan pikirannya. Dia bingung antara bahagia dan bingung. Membahagiakan ketika perasaannya masih berbalas, tapi sedikit miris ketika tahu betapa banyak hati wanita yang terluka karena perasaan mereka tak berbalas oleh Adam. Dan, itu karena dia. Padahal, bukan salahnya kalau semuanya terjadi.

Disatu sudut yang lain, lelaki itu juga merasakan hal yang sama. Bukan salah Annisa ketika banyak lelaki yang mengharapkannya. Ketika beberapa hari terakhir pertemuan mereka, Adam bisa melihat bahwa ada mata lain yang begitu memperhatikan Annisa. Ilyas. Lelaki muda berkharisma itu mencintai Annisa. Adam bingung. Satu sisi, dia begitu takut Annisa akan memilih lelaki itu karena dia lebih pantas menjadi imam bagi Annisa sedangkan dia hanya seorang muallaf, tapi disatu sisi lain Adam begitu menghormati Ilyas. Lelaki yang begitu baik, teman yang baik ketika diajak berdiskusi ketika dia tak mengerti akan sesuatu tentang islam.


***

“Nak, Ummi minta maaf. Tapi Ummi harus sampaikan, karena ini amanah orang… Pak Syahrul ingin menanyakan sekali lagi keputusanmu… apa kamu…”

“Ummi, Adam benar-benar minta maaf… kalau Ummi merasa tak enak, biar Adam sendiri yang bertemu Pak Syahrul dan mengutarakan jawaban Adam sendiri…”, Aleesya tersenyum. Kini dia dan Adam sedang duduk diteras rumahnya. Tepat didepan rumah mereka ada lapangan basket bergandengan dengan taman kecil. Beberapa orang sedang menikmati sore disana. Anak-anak remaja sedang bermain basket.

“Apa begitu sulitnya menghapus nama Annisa di hatimu, Nak?”

“Adam tidak pernah meminta perasaan ini. Mungkin Ummi lebih tahu, hati kita memang bersemayam ditubuh kita, tapi urusan hati memilih siapa, hanya Allah yang berhak memutuskannya. Dan untuk saat ini, nama itu masih terukir indah disalah satu sudut hati Adam…”, Aleesya sedikit terpana kemudian berakhir dengan senyuman penuh arti.

“Berarti Ummi tak perlu melamar siapapun untukmu?”, Adam memandang ibunya. Dia sedikit merasa bersalah.

“Ummi, jangan ngomong seperti itu, kita tak pernah tahu keputusan Allah akan hati ini…”
Pandangan Aleesya beralih ketika dia melihat seseorang itu datang mendekati rumah mereka. 
Kini wanita itu tersenyum lagi dan sambil menyentuh tangan Adam, bertanya…

“Kalau wanita itu yang Ummi lamar untukmu, kamu mau tidak?”, tanyanya sambil menunjuk kearah pagar yang sekarang sedang berusaha dibuka oleh seorang wanita. Adam terpana.

“Alhamdulillah Ummi, kalau yang ini… Adam belum bisa menolak…”, ucapnya sambil tersenyum sedikit malu.

“Assalamualaikum…”, suara itu membuat keduanya bangun dan menyambut wanita itu.

“Waalaikumussalam… masuk Annisa!”

Sejak pertama bertemu kembali, mereka memang jarang bertemu lagi. Ini bukan York, dimana keduanya begitu sering disatukan dalam satu scene. Bagi Adam dan Annisa, ini lah setting sebenarnya, ketika keduanya benar-benar diuji tentang perasaan masing-masing. Selain keduanya telah punya kesibukan masing-masing, tapi secara tidak langsung Tuhan seperti membatasi intensitas itu agar mereka introspeksi. Kedatangan Annisa mengantar pesanan ibu Adam merupakan pertemuan kedua, dan yang paling menggemaskan kan keduanya lebih banyak diam tak bicara. Hanya tatapan yang terkadang dicuri-curi. Keduanya seperti larut dalam perasaan yang baru mereka alami lagi. Yaa… they are falling again. Yaa… again and  for the same one. What a unique but romantis thing!

Maka ketika mereka ditinggal berdua diteras saat ibu Adam masuk memindahkan kuenya, Adam dengan sedikit spontan berkata…

“Annisa…”

“Iya…”, sahut Annisa sambil sedikit melirik wajah itu.

“I am sorry, I miss you…”,  Kini Annisa menoleh dan seketika mata mereka beradu.

“Kamu?”, Tanya Adam kemudian yang sukses membuat wajah didepannya merona. Annisa sedikit membuang muka dan tersenyum.

“Kalau aku bilang tidak, apa kamu akan menghilang lagi seperti waktu itu?”, pertanyaan itu 
sukses membuat Adam tertawa.


***

That’s a normal thing ketika hubungan sedikit menjadi dingin ketika beberapa lama tak bertemu. Dan itu juga yang terjadi pada Annisa dan Adam. Awalnya Annisa sedikit merasa kehilangan momen-momen itu. Adam tak pernah lagi dengan sengaja menyebutnya kekasih atau sayang untuknya. Lelaki itu juga tak pernah dengan sengaja memandangnya lama. Adam juga tak pernah lagi mengusap kepalanya ketika dia ingin mentransfer perasaannya. Kini Adam sangat bersikap wajar. Ada kehilangan, namun akhirnya Annisa merasa sikap inilah yang semakin membuat Adam begitu indah baginya. Adam yang kelihatan lebih matang. Adam yang lebih… Adam… dan Adam lagi. Uuhh… aku kenapa siyh?  Dan kini, Annisa seperti jatuh cinta lagi.

Ketika sedang membuka halaman-halaman majalah itu, matanya tertuju pada satu artikel…


Ketika cinta berbalas, rasanya ingin selalu mendendangkan lagu Melly Goslow… (Dan ku tlah jatuh cinta, ku wanita dan engkau lelaki, perasaanku berkata… I am falling in love)… Everything seems in the pink… the flowers are blooming wherever and whatever the girl sees… Rasanya ingin setiap detik mengucap namanya… tersenyum sendiri mengingat kebersamaan yang terkadang singkat namun begitu berkesan. Disela-sela itu, datang lah perasaan resah. Sangat resah. Dan semakin resah. She is missing him.

Annisa tersenyum malu. Dia memang sedang merindukan lelaki itu. Tuhan, aku ingin sekali bertemu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Benda kecil itu masih dengan baik disimpannya dan kini saatnya dia harus dikembalikan kepada sipemilik. Annisa meraih benda itu Tiba-tiba sebuah pesan masuk. Adam.

Annisa, may I see you?

Annisa tersenyum. Tanpa kau minta pun aku memang akan menemuimu.

***

Nak, Islam menganjurkan ketika diri sudah siap lahir batin dan apalagi kini seseorang telah hadir. Dia yang selalu engkau sebutkan dalam doamu. Sebaiknya niat mulia itu segera disampaikan. Jodoh memang ditangan Allah, tapi usaha kita juga elemen penting dalam penentuan jodoh…

Kata-kata ibunya terus terngiang-ngiang. Maka ketika dia selesai dengan ibadah asharnya, Adam memohon ampunan sang Khalik dan meminta petunjuk dan kemudahan akan niatnya hari ini. Dia telah benar-benar bertekad mengungkapkan itu semua. Dia ambil hpnya dan mulai mengirim sebuah pesan singkat. Tak sampai semenit sebuah pesan balasan masuk. Annisa.

InsyaAllah. After Ashar J

Adam akan bergegas ketika sebuah panggilan mengejutkannya.

“Ustad Yusuf, katanya anak-anak ingin diajarkan shalawat lagi… Kalau tak keberatan, setengah jam terakhir bisa mengajari anak-anak?”, ucap Ilyas. Adam tersenyum dan menyanggupi. Ilyas, aku minta maaf. Tapi, aku juga lelaki yang punya perasaan. Biarlah Allah yang memutuskan segalanya dan sekarang biarlah aku berusaha sedikit lagi.

Adam pulang sejenak. Dia harus bertemu sang bunda meminta restu dan doanya. Namun,

“Tadi kata Ummi mau shalat berjamaah di masjid, karena ada pertemuan dengan ibu-ibu kompleks hari ini… ada apa Bi?”, Tanya Nina kepada Adam. (Abi = panggilan untuk abang dalam bahasa Turki)

Adam pun bergegas kembali ke Mesjid. Dia berharap bisa bertemu sang bunda disana sementara dia mengajari anak-anak.

Anak-anak memang sedang menunggu-nunggu kehadirannya. Mereka bersorak gembira ketika Adam datang dan mengucap salam. Adam memulai dengan menanyakan kabar, karena dia memang jarang bertemu anak-anak itu. Namun disaat mereka akan memulai, Adam melihat ibunya…

“Maaf ya, Ustad permisi sebentar, harus ketemu seseorang. Selagi ustad pergi, masing-masing coba ucapkan “Laailahaillallah” sebanyak mungkin. Terus ditutup dengan syahadat yaa? Ustad kembali kita shalawat badar sama-sama…”, anak-anak patuh dan mulai melakukan apa yang Adam minta.

Adam sedikit berlari menuju sang bunda. Adam mengecup tangan ibunya takjub.

“Nak, Ummi ketemu Annisa tadi. Tapi Ummi belum bilang kalau…”

“That’s what I wanna tell you, Mom! Kalau Ummi tak keberatan Adam ingin sekali mengutarakannya sendiri kepadanya terlebih dahulu terlepas dari semua, apa Ummi menyetujui? Adam hanya ingin mewujudkan suatu keinginan kami yang tertunda…”

“Keinginan yang tertunda?”, ibunya bertanya lewat matanya. Adam hanya tersenyum.

“Apa Ummi menyetujui?”, Adam malah tak menjawab, tapi senyumannya sudah cukup bagi Aleesya. Wanita itu pun mengangguk.

“Pergilah…”


***

Annisa duduk di tangga masjid dan sedikit tersenyum melihat lelaki itu sedang asik dengan anak-anak. Dia menikmati scene itu. Dia memang sedang menunggu Adam ingin menyerahkan kembali benda kecil itu. Benda yang sekarang digengamnya erat itu. Namun, tiba-tiba ekspresinya berubah ketika melihat Adam pergi meningglakan anak-anak dengan sedikit tergesa. Annisa turun dan melangkah ke bawah pohon tepat dimana anak-anak sedang sayup-sayup mengucapkan zikir.

“Adik-adik, ustad Yusufnya mana?”

“Tadi izin sebentar kak…”

“Ooh…jadi ini lagi berzikir?”

“Iya, padahal kita mau diajarin shalawat badar sama ustad Yusuf…”, ucap Kiki.

“Oia? Hmm… gimana kalau kakak yang ajarin?”, anak-anak bersorak gembira.

Annisa tersenyum. Dia pun mengajak anak-anak mengucap Basmalah dan mulai bershalawat… 
Hatinya bahagia. Dia jadi rindu anak-anaknya di York. Ketika dia menikmati kegiatannya itu, pandangannya sedikit beralih kearah sosok yang sedang melangkah mendekat itu. Sosok lelaki itu berhenti tepat beberapa langkah didepannya. Matanya seolah menyiratkan sesuatu, tanpa diminta pun Annisa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju lelaki itu. Anak-anak seperti terhipnotis dan mereka terus bershalawat.

“What’s happening Adam?”, tanyanya sedikit cemas ketika telah berdiri tepat didepan lelaki itu.

Adam hanya diam.

“Adam, you oke?” Tanya Annisa ketika mendapati Adam hanya diam.

Dan disaat seperti ini, even no rehearsal or something he made for such a big moment. Namun, baginya inilah waktunya. Dia tatap mata didepannya itu. Annisa sedikit merasa deg-degan, perasaannya benar-benar berantakan. Sejak pertama bertemu lagi, ini lah pandangan yang dia rindukan itu. Dengan mengucap Basmalah dan memohon sokongan kekuatan berjuta-juta watt dari sang khalik, Adam akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata itu…

“Annisa, will you marry me?”

Sayup-sayup shalawat terdengar menghiasi scene itu…



Selasa, 18 Oktober 2011

Better In Time 15 - Under That Tree


“Non, kamu pucat banget! Sakit yaa?”, Tanya Nino saat menyambut Annisa datang dipintu kaca itu. Annisa mendongak dan hanya terdiam lama. Nino bingung.

“Hmm… Bos udah datang?”, tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Nino. Dan sudah pasti, 
Annisa sudah tahu jawabannya. Dia hanya ingin memastikan, apakah semua yang sudah terjadi hanya mimpi. Dan hari ini, Adam akan datang dengan gayanya yang khas, masuk dengan sapaan khas, tersenyum juga khas.

“Pak Adam?”, Tanya Nino memastikan. Bukannya mengangguk, wajah didepannya malah terlihat memprihatinkan. Nino agak terkejut.

“Sepertinya belum datang… biasanya kan memang menjelang jam 8 beliau datang. Ah, kamu sok nanya, padahal kamu yang lebih tahu, hehe…”, goda Nino. Namun lagi-lagi wajah di depannya menampakkan ekspresi yang tak diharapkan sama sekali. Mata itu sedikit berkaca-kaca. Nino kini terkejut. Annisa langsung pergi meninggalkannya dengan segudang tanya.

Kini satu persatu pegawai telah datang. Hanya satu ruangan dengan meja kerja itu yang belum terisi. Ruang kerja Adam. Namun, pintu masuk kaca itu tak kunjung terbuka lagi. Annisa masih tetap setia melihat kearah itu, mengharap satu keajaiban datang dan Adam benar-benar hadir. Nino memperhatikan itu, dia menuju meja Reni…

“Mba, sepertinya ada sesuatu antara Annisa dan Pak Adam! Mba tahu sesuatu gak?”, Reni mendongak.

“Enggak, emang ada apa siyh?”, Tanya Reni dan Nino menunjuk kearah Annisa. Reni baru tersadar akan keanehan sahabatnya itu.

“Dan yang anehnya, Pak Adam belum datang. Ini sudah hampir 20 menit dari jam masuk…”, sambung Nino dan Reni mengangguk.

“Hmm…mungkin Pak Adam telat, kan keluarganya masih disini…”, ucap Reni bijak.

Tiba-tiba saja pintu kaca itu terbuka. Annisa mendongak, bukan sosok lelaki yang masuk malah seorang wanita cantik bertubuh mungil dengan barang-barangnya. Wajahnya sedikit dingin. Diana. Dia tergopoh-gopoh datang dengan barang-barangnya. Annisa merasakan sakit didadanya. Sedang semua mata yang lain terpana akan kedatangan mantan atasannya itu.

“Pagi semuanya!”, sapa Diana.

“Saya yakin kalian semua heran akan kedatangan saya. To the point, saya akan menggantikan posisi Adam sementara penggantinya yang permanen sedang diputuskan. Mudah-mudahan kita bisa kerja sama dengan baik seperti dulu…”, ucapnya singkat dan langsung memasuki ruang kerjanya. Nino dan Reni saling pandang. Mereka berpikir bahwa ini lah yang membuat Annisa bersikap aneh hari ini.

Tak da yang tahu kenapa Adam pergi begitu saja. Tak ada penjelasan sedikit pun dari bibir Diana kenapa Adam tak bekerja lagi. Ketika semua mata akhirnya malah menuju kearah Annisa, dia hanya bisa mendesah. Tak ada jawaban juga padanya, dia juga sama dengan mereka. Malah mungkin dia lebih heran dan yang paling penting hati dan perasaannya perih.

“Kamu putus sama Pak Adam ya Sa?”, Tanya Desy tiba-tiba membuka pembicaraan saat break time. Annisa hanya diam dan tersenyum pahit. Putus? Lebih sakit lagi, Aku ditinggalkan Mba!

“Putus apa Mba? Memang kami gak ada hubungan apa-apa kok!”, ucapnya sedikit sulit karena dia menahan perasaannya begitu kuat.

“Jadi kenapa Pak Adam tak masuk kantor lagi Sa? Kalian baik-baik saja kan?”, Tanya Lulu penasaran. Kini Annisa hanya bisa menunduk. Dia tak tahu harus bagaimana menghadapi segala pertanyaan-pertanyaan itu. Rasanya air mata itu memaksa keluar, tapi dia paksakan agar tidak hingga dia tak bisa berbicara. Reni tahu dan memberi isyarat Lulu dan Desy.

Selama beberapa waktu berlalu, mereka berusaha menjaga perasaan Annisa. Tak ada pertanyaan tentang Adam, namun tetap saja ada hal-hal tertentu yang mengingatkan mereka akan Bos mereka itu dan akhirnya berujung tatapan iba kearah Annisa.

Ketika Desy mengundang barbeque dirumahnya merayakan ulang tahun putrinya sekaligus tahun baru. Semua terlihat bergembira, tapi tidak Annisa. Dia tersenyum, bibirnya tertawa tapi hatinya menangis. Toilet menjadi tempat pelampiasannya. Dia terisak disana. Reni hanya bisa mengelus punggungnya, sangat prihatin melihat sahabatnya. Tak ada satu kata pun keluar, hanya tangisan. Annisa bukan wanita sempurna, dia lemah.


***

Hitungan bulan pun berlalu…

Sikap Diana pun berubah drastis terhadap pegawainya yang Muslim, dan parahnya sebagian 
besar dari mereka memang beragama Islam. Semuanya heran. Atasan mereka memang berbeda agama dari mereka dari dulu, tapi sikap para atasan tak pernah ada yang menyakiti, termasuk Diana. Tapi tiba-tiba, semuanya berubah. Suasana kantor sedikit tak nyaman.

Annisa memang berusaha kuat, namun terkadang usahanya hanya malah membuat orang sekelilingnya prihatin. Diawal kepergian Adam, malah keadaannya lebih memprihatinkan. 
Ketika pagi dikantor, setiap pintu kaca itu terbuka dia menoleh. Keliatan sekali, mata itu mengharapkan seseorang. Tak ada lagi panggilan, Kekasih. Sayang. Tak ada lagi pesan singkat membangunkannya pagi hari. Tak ada lagi senyuman khas yang membuaikan itu. Tak ada lagi tatapan yang meneduhkan hati sekaligus mendebarkan itu. Tak ada lagi kalimat-kalimat penuh makna yang menghiasi diskusi-diskusi mereka. Dan dari segalanya, tak ada lagi sosok yang menentramkan hatinya itu yang selalu begitu tega membuat jantungnya berdetak kencang sekaligus mengikis kekesalannya. Semuanya hilang seiring perginya Adam. Annisa benar-benar kehilangan.

Setiap pulang kantor, melewati jalan-jalan yang dulunya sering dilewatinya bersama Adam. Bangku taman tempat mereka berdiskusi. Dia tersenyum pahit. Bahkan, ketika hampir satu tahun kepergian Adam, dirinya masih dengan sangat bodoh mengulang-ngulang memori itu… Dia ambil kameranya dan mulai memotret-motret. Tapi tetap saja cuaca menjelang musim dingin membuat hatinya sendu. Ya Rabb, aku tahu aku berdosa jika merinduinya. Dan perasaan ini sering sekali menggerogoti aku. Maafkan aku, Allah! Adam, apa kamu masih mengingatku? Apa kamu rindu aku? Adam kamu dimana siyh? Apa lupa nomor hpku? Sebegitu teganya engkau Adam. Aku benci. Dia pun kembali terisak. Tidak..ti..dak…Aku bahkan tidak bisa membencimu.

Tiba-tiba dia teringat kata-kata Adam terakhir kali mereka berjumpa, Sesekali akuilah kalau kamu memang rindu, sukanya dipendam, gimana kalau kita gak akan jumpa lagi dalam jangka waktu lama, nanti kamu nyesal lagi gak sempat ngomong jujur... dan kini air matanya kian deras mengalir, kenapa engkau harus mengeluarkan kata-kata perpisahan itu Adam? Dan sekarang aku menyesal. Aku rindu.

Dia hapus air matanya. Dia beristighfar beberapa kali dan bangkit menuju apartementnya.


***

Nisa, pulanglah! Bukan untuk alasan apapun, tapi untuk Bunda dan Ayah. Kami rindu kamu. Lupakan semua tentang perjodohan itu, Bunda tak akan memaksamu lagi. Tapi pulanglah Nak!

Kata-kata Bunda semalam terngiang-ngiang di pikirannya. Sudah hampir setahun dia mangkir dari janjinya. Dia akhirnya tak memberi jawaban terhadap lamaran Rizky. Ada sebersit rasa bersalah kepada orang tuanya. Begitu egoisnya dia, sibuk dengan perasaannya sendiri. Dia seolah diingatkan, bahwa ada keluarganya di belahan dunia lain yang senantiasa mendukung dan akan selalu bersamanya.

Lamunan seketika buyar ketika tiba-tiba mendapat kabar bahwa Desy akan resign. Beberapa minggu lalu Lulu pergi karena dia rindu keluarganya. Fakta sebenarnya adalah mereka sudah tidak tahan dengan tingkah Diana yang semakin hari semakin menyudutkan mereka. Banyak alasan yang tidak logis, tidak ada kesalahan. Isu beda agama dibawa-bawa. Keadaan kantor memang tak senyaman dulu, semuanya berubah. Kebanyakan materi untuk You & Me pun seperti diubah total, tak ada lagi hal-hal mengenai Islam, tapi mereka dituntut mencari materi lebih banyak tentang agama lain. Mereka begitu sulit mendapatkan izin untuk melaksanakan shalat. Reni, Nino, Putra dan dirinya yang Muslim yang masih bertahan. Kini, sebagian posisi itu digantikan orang yang jelas berbeda dengan mereka.

Maka setelah berpikir selama seminggu lebih, Annisa pun mengambil keputusan…

“Mba, InsyAllah akhir bulan ini Nisa pulang ke Indonesia…”, ucap Annisa tiba-tiba saat mereka dinner bersama. Reni terkejut.

“Kenapa? Sudah tak tahan dengan Diana juga?”, ucap Reni sambil tersenyum.

“Salah satu alasannya memang itu, tapi…”, mengalirlah cerita dari mulutnya tentang permintaan orang tuanya.

“Lagipun, Annisa memang harus pulang Mba, kalau terus disini Annisa akan teringat Adam terus… siapa tahu, ada lelaki yang baik dan tepat di Aceh sana…”, ucap Annisa sekenanya sambil terkekeh. Reni tersenyum.

“Amiin”, ucap Reni dan Annisa juga mengaminkan dalam hatinya.

Hati-hati dia mengatakan niatnya kepada Nino, dia cemas sahabatnya itu akan menentang keputusannya. Namun diluar dugaan Nino sangat mendukung keputusannya. Dan akhirnya dia pun kembali ke negerinya.


***

Beberapa minggu berada di kampung halaman, terlalu banyak kisah yang terjadi. Rizky akhirnya menikah. Annisa bersyukur dalam hati karena dia tidak perlu merasa bersalah terus-menerus. Bundanya sudah tidak memaksakannya segera menikah lagi, terbukti ketika beberapa proposal pernikahan datang dan Annisa hanya bisa dengan miris menolak. Bukan karena dia tidak mau, tapi karena ketika meminta petunjuk Allah, keraguan begitu besar muncul.

Kegiatan di Mesjid dekat rumahnya semakin banyak menjelang bulan Ramadhan. Annisa salah satu yang diajak untuk bergabung, walaupun dia tak bisa sepenuhnya menghabiskan waktu untuk kegiatan itu. Selama di Indonesia, dia membuka usaha fotografi. Tapi dia selalu menyempatkan datang ketika dia punya waktu, misalnya ketika malam ini selepas isya ada rapat tentang kegiatan dan kepanitiaan kegiatan bulan Ramadhan, Annisa menyempatkan datang dan sekaligus shalat berjamaah di Mesjid. Dia bukan manusia sempurna, ketika diawal imam memimpin shalat dia seperti merasakan sesuatu. Apalagi ketika sang imam membaca Al-Fatihah dan beberapa ayat Al-Quran, dia merasa sesuatu yang mendalam. Dia juga tak mengerti apa rasa itu. Yang dia mengerti suara sang imam sangat bagus, lantunan ayat-ayat dari mulutnya pun begitu terasa indah. Annisa berpikir, itu hanya karena dia rindu suasana berjamaah di kampung halamannya. Tapi dia benar penasaran dengan suara itu, dan ketika rapat dimulai Annisa yang duduk disamping Laila, tetangganya, berbisik…

“La, tadi yang jadi imam siapa?”, Laila menoleh dan tersenyum.

“Kenapa? Suaranya bagus banget kan?”, Annisa mengangguk pasti.

“Salah satu tahfiz atau ustad  disini juga?”, Tanyanya lagi.

“Hmm…gimana yaa? Dibilang ustad bukan, tapi kadang-kadang ada saat kegiatan di Mesjid, tapi dibilang iya, dia jarang banget munculnya, sesekali aja. Contohnya malam ini, kalau kamu pengen tahu yang mana beliau, maaf tidak bisa kutunjukkan. Sepertinya, dia gak ikut rapat. Jadi imam pun hanya sesekali, kamu beruntung malam ini, dia yang imamin, hehe…”, jelas Laila panjang lebar sambil mengitari pandangan kearah barisan duduk para lelaki.

“Oohh… kenapa beruntung La? Kamu aneh dech!”, ucap Annisa sambil tertawa.

“Ehem..gini lho Annisa. Asal kamu tahu, dia itu masih muda lho! Dan ganteng Sa! Trus…”, Laila sengaja menekankan dikata-kata pujian itu.

“Terus..?”, Tanya Annisa sambil memandang Laila dan dia terpana melihat wajah didepannya merona. Ya Allah, jangan-jangan…

“Beliau masih single!”, ucap Laila masih dengan wajah meronanya. Annisa terpana. Nah, benarkan, kamu naksir si imam itu kan?

“Jadi…kamu naks…”, saat pertanyaan itu akan dia lontarkan, seseorang mencoleknya dari belakang…

“Stt..Ssst..Ssst…dilarang ngegosip!”, ucap seseorang itu sambil menunjuk kearah depan dan sebagian kaum perempuan sedang menoleh melihat mereka berdua. Annisa dan Laila hanya tersenyum malu.


***

Annisa seperti kenal tempat itu. Benar saja, itu pelataran Mesjid dekat rumahnya. Dia bingung entah kenapa senja itu dia ada disana. Padahal seingatnya dia baru pulang dari kerjanya. Dia pun bergegas menuju gerbang Mesjid dan pulang. Namun, sayup-sayup terdengar seorang anak…

“Om Adam! Aira mau difoto juga!” Apa? Om Adam? Jangan-jangan….
Seketika dia mencari asal suara itu. Tidak. Tidak mungkin. Adam tidak mungkin ada disini. Aku pasti salah dengar. Logikanya seperti menolak firasatnya. Dia pun melanjutkan langkahnya. 
Namun…

“Siip gadis cantik! Tapi janji harus senyum yang cantik yaa? Terus…”, Annisa tersentak. Dia mengenal suara itu. Itu suara Adam. Benar, aku tak mungkin salah.

Ketika suara itu terus berbicara, Annisa mulai mencari lagi sumber suara itu. Dan disana, dibawah sebuah pohon besar yang sedang menggugurkan daunnya, berdiri seorang gadis kecil yang sedang berpose, dan seorang lelaki yang sedang sibuk dengan kameranya. Annisa mendekat dan seperti melihat hantu, badannya bergetar hebat. Itu benar lelaki itu. Adam. Dia benar rindu lelaki itu dan sekarang dia bertemu. Dan kini getaran itu semakin kuat, hingga membuat kantung airmatanya pun tak kuasa membendung tetesan itu. Dia menggigit bibirnya berusaha menahan airmatanya. Tiba-tiba gadis kecil itu seperti tersadar akan kehadirannya…

“Om Adam, itu siapa?”, Aira menunjuk kearahnya dan Adam menoleh.

Kini mata mereka beradu. Dan semua rasa rindu dihatinya seperti menguap. Namun, ironisnya sekuat apapun dia menggigit bibirnya, airmatanya sudah tak bisa terbendung.

“Annisa…”, dan panggilan itu semakin membuatnya terisak. Namun, tiba-tiba tubuh Adam seperti memudar. Dan sedikit demi sedikit menghilang. Annisa terpana. Tidak. Adam…jangan pergi lagi…

Dia pun terkejut. Hanya mimpi. Dia rindu Adam lagi. Mimpi-mimpi seperti itu sudah lama tak datang, dulu diawal kepergian Adam, mimpi itu seperti pelanggan ditidurnya.


***

Sepulangnya dari mengantar hasil fotonya ke studio, dia singgah ke Mesjid untuk shalat ashar disana. Kebetulan ada Laila disana, gadis itu terpilih jadi bendahara program Ramadhan. Ketika dia memarkir motornya (di kampung halamannya dia jelas tidak mungkin menggunakan roller blade or sepeda, hehe), dia melihat kearah belakang masjid. Bebarapa anak sedang berlari diluar, dan seorang gadis memanggil mereka. Murid TPA dan ustazahnya. 
Dibelakang masjid itu, memang ada semacam aula untuk anak-anak belajar mengaji. Dia ambil 
kameranya dan sedikit menangkap moment itu.

Laila menunggunya di lantai teras belakang masjid. Annisa selesai melipat mukenanya dan segera menuju Laila. Ketika mereka sedang asik mengobrol, seorang lelaki muda melewati dan menoleh kearah mereka. Ilyas. Lelaki itu tersenyum dan kembali melangkah.

“Sa, kaya’a ustad Ilyas suka deh sama kamu!”, Annisa sedikit terkejut mendengar kata-kata Laila.

“Kamu kok bisa nyimpulin gitu? Jangan mengada-ngada..”

“Hmm..gini dech, ustad ilyas itu jarang-jarang perhatian sama perempuan. Untuk senyum kaya’ tadi aja, itu udah luar biasa, ini malah dia sering banget nanyain kamu kalau ada kegiatan selama ini… apa itu namanya?”

“Yaa… masalah senyum itu kan juga senyum dengan kamu. Kalau dia nanya aku, itu karena aku jarang gabung. Lagian, aku kan masih baru lagi disini…”

“Ah, Nisa ngeles!”, Annisa hanya diam. Dia juga tak tahu harus berkata apa. Memang beberapa kali dia melihat gelagat itu, tapi dia tak mau terlalu ambil pusing.

“Nah, kan! Dia diam, hehe… Dan sepertinya akan ada ikhwan lain yang akan menampakkan gelagat sama…”, Annisa juga terkekeh. Dia merasa Laila terlalu berlebihan, ketika mereka asik tertawa kecil seseorang lewat. Haris. Dia juga tersenyum kearah Annisa dengan wajah yang sedikit agak merona. Ketika si pemuda pergi, keduanya saling menatap dan Laila seperti berkata, See! Benarkan kataku.

“Udah ah! Ngomongin masalah lain aja!”, alih Annisa. Laila tersenyum. Annisa memang cantik. 
Dia menarik. Tapi dia bukan seorang jilbaber seperti Laila. Penampilannya biasa aja, malah terkesan tomboy. Tapi pembawaan dan sikap Annisa yang mungkin membuatnya disukai banyak orang.

“Jangan-jangan kamu udah ada calon yaa?”

“Calon apa?”, Tanya Annisa sedikit terkejut.

“Calon suami lah, masa calon pembantu!”, Annisa terkekeh, namun hanya sebentar. Kini wajahnya murung. Dia teringat mimpinya semalam. Ya Allah, apa aku terlalu berharap kalau Adam akan kembali. Menyadari temannya kelihatan murung, Laila jadi terpana. Mereka sudah lama tak bertemu, dia berpikir Annisa mungkin punya kisah yang dia tak ketahui ketika mereka jauh.

“Hmm… udah gak usah dijawab kalau memang berat Sa!”, ucap Laila sambil tersenyum.

“Seandainya cerita itu indah, aku akan senang sekali berbagi La, tapi sekarang aku masih terlalu rentan untuk bercerita lagi…”, ucap Annisa lirih. Kini wajah itu menunduk. Laila hanya diam, mengharap ada kalimat lain keluar dari bibir Annisa.

“Yang jelas, kisah kasihku selama ini sedikit tragis. Yang terakhir malah membingungkan. Aku masih terlalu egois mengharapkan kejelasan ending dari kisahku ini, hehe…”

“Memangnya siapa lelaki itu?”

“Hmm…kamu gak kenal. Dia seseorang di York sana.”

“Bule?”, Laila terpana. Annisa tertawa namun masih juga hanya sebentar.

“Namanya A…dam Yusuf..”, Suaranya sedikit mengecil. Ada rasa perih ketika dia menyebutkan nama itu.

“Orang Indonesia juga kok! Ah, udah ah…gak usah dibahas lagi dech. Pulang yuk! Anak-anak aja udah pada mau pulang tuch…”, ajak Annisa sambil bangun dari duduknya.

Berdua mereka menuruni tangga Mesjid dan beranjak menuju motor Annisa. Mereka sedikit mengitari pelataran Mesjid. Sebagian anak-anak masih didalam kelas, sebagian lagi masih duduk melingkar dibawah sebuah pohon besar yang sedang berguguran daunnya bersama seorang lelaki yang duduk berlawanan. Hei, itu kan pohon itu… Annisa berhenti melangkah. 
Kemudian tersenyum. Seandainya saja Adam memang berada dibawah pohon itu. Ah, itu hanya mimpi. Laila menoleh dan Annisa melanjutkan kembali langkahnya mengikuti Laila ketika sayup-sayup suara seperti menarik perhatiannya… Itu kan konsep keesaan Allah yang… Dia pun menoleh mencari sumber suara itu. Dia melangkah mendekat berusaha mendengar lebih jelas. Laila memanggil-manggil, tapi tak digubrisnya. Dia terus melangkah sampai jaraknya dengan pusat suara sangat dekat. Ya Allah, ini bukan mimpi kan? Ini kenyataan kan? Suara ini, cara bicara ini…ternyata dia memang telah berubah. Kini, ada rasa haru yang luar bisa menjalar dari hati sampai keseluruh tubuhnya. Dia benar-benar penasaran, apa perkiraannya benar, atau benar-benar hanya mimpi belaka. Tubuhnya mendingin. Seorang gadis kecil menyadari kehadirannya dan menunjuk kearahnya. Seseorang itu pun menoleh dan…

Mata mereka pun beradu. Annisa merasakan tubuhnya yang kaku kini menghangat. Bibirnya menyunggingkan senyum namun ironis matanya seperti tak ingin kalah untuk beraksi. Kini matanya berkaca-kaca… Lelaki itu bangun dari duduknya dengan pandangan lurus kearahnya. Pandangannya terpana yang ujungnya berakhir sangat lembut. Pandangan yang begitu dirindukan Annisa. Itu dia. Ya Allah, kuharap ini bukan mimpi.

“Annisa Namira…”, ucap lelaki itu lirih, tapi bagi Annisa suara itu sangat jelas. Suara itu masih tetap begitu tega. Kini setitik air mata jatuh dipipinya.

“Ka…amu disini rupanya…”, ucap Annisa terbata-bata. Annisa menunggu beberapa saat memastikan penglihatannya. Alhamdulillah, ini bukan mimpi.

Seolah gerakan yang lain seperti melambat karena hanya mereka berdua yang masih terasa sangat normal. Kini keduanya bertemu lagi. Seolah apapun yang ada saat itu diantara mereka mengabur, hanya tatapan kearah masing-masing mereka yang terasa begitu jelas.


I believe it is not the end! So do you, don’t you?
God will bring us together to meet again someday…


***