Sudah hampir setahun
setelah keputusannya memeluk Islam. Setelah kepulangan kekampung halaman ibunya
ke Turki dan secara formal mengucap syahadat disebuah Mesjid, Adam benar-benar
merasa mendapatkan kehidupan baru. Dia mulai belajar tentang Islam sedikit demi
sedikit. Keluarga besar pun menyambut dengan suka cita. Betapa haru, ketika dia
kembali bertemu Nina, adik tunggalnya, yang sudah lama sekali tak diliatnya.
Namun diawal terkadang
dia merasa begitu berat, keraguan terkadang datang namun dia mensyukurinya
ketika ragu datang maka Islam bisa menjawabnya. Ketika sebulan di Turki,
Aleesya, ibunya merasa butuh mengajak Adam ke tempat yang lebih baik untuk
mempelajari Islam. Turki dirasanya kurang tepat untuk Adam. Dan mereka pun
terbang kembali ke Aceh, tempat Aleesya dulunya juga mendapatkan hidayahnya.
Kampung halaman kakek Adam.
Berbulan-bulan Adam
mondok disuatu pesantren di Aceh. Khusus belajar agama islam beserta belajar
membaca Al-Qur’an. Ketika akhirnya dia merasa sudah siap berdiri sendiri, dia
kembali pulang kerumah keluarganya disalah satu daerah di Banda Aceh. Tak ada
perubahan yang berarti dalam diri Adam. Mondok tak menjadikannya sosok yang
sangat religious, tapi dia berusaha belajar banyak. Adam masih penyuka
fotografi, penampilannya pun tak jauh berbeda dengan dulu.
Kini setelah sudah
hampir setahun keputusannya memeluk Islam. Adam membuka sekolah fotografi dekat
rumah ibunya. Dia juga menjadi salah satu snaper senior di salah satu komunitas
pecinta fotografi. Adam juga sering mengirim hasil fotonya ke majalah atau
galeri-galeri fotografi nasional juga internasional. Dia mulai menikmati
hari-harinya. Namun satu yang belum dinikmatinya, kehidupan pribadinya. Tetap
saja, nama Annisa Namira terukir kekal dihatinya.
Adam tidak berusaha
menutup hubungan dengan siapapun, tapi entah mengapa dia yakin suatu saat dia
akan bertemu kembali dengan Annisa. Entah dimana dan entah kapan. Adam hanya
bisa menjalin hubungan pertemanan dengan lawan jenis, belum ada yang bisa
merobohkan keangkuhan hatinya. Aleesya terkadang prihatin. Wanita itu serba
salah, dia mengerti anaknya masih begitu mencintai Annisa, tapi disatu sisi
usia Adam yang sudah menginjak 29 membuatnya ingin sekali melihat Adam segera
menikah. Toh, selama ini ada beberapa wanita yang kelihatan dekat dengan Adam.
Tapi, mereka harus mundur sendiri ketika Adam meminta maaf. Belum lagi ketika
dia terlihat sedikit aktif di Mesjid, ada beberapa orang tua yang datang
menanyakan kebersediaan Adam untuk putri-putri mereka. Namun, lagi-lagi mereka
semua harus menelan ludah pahit. Bahkan sampai ke titik itu anak lelakinya
Allah tempatkan, tapi tetap saja hatinya seperti masih sangat beku…
Adam dikenal sebagai
Yusuf di sekitaran rumahnya. Semua terjadi ketika suatu malam Adam pergi ke
Mesjid untuk shalat isya, kebetulan dia telat. Imam telah mengucapkan salam.
Ada beberapa orang remaja dan seorang bapak yang juga telat, ketika dia akan
takbiratul ihram memulai shalatnya, si bapak mengajaknya berjamaah. Adam sangat
setuju, namun ketika si bapak dan beberapa orang remaja membuat barisan tepat
dibelakangnya, Adam sedikit terkejut.
“Maaf Pak! Saya belum
pantas sepertinya menjadi seorang imam, bapak saja!”, ucapnya kepada sibapak.
“Kalau kamu belum siap
sekarang, terus kamu kapan siapnya? Seorang lelaki itu harus siap kapan pun dia
disuruh menjadi imam, apalagi ketika nanti sudah berkeluarga.”
“Tapi, saya seorang
mual…”
“Udah, lanjut saja!
Sekalian belajar…”, potong si bapak. Dan jadilah Adam untuk pertama kalinya
setelah dia menjadi seorang muslim mengimami orang lain di masjid.
Lelaki itu yang juga
salah satu imam muda di Mesjid itu, sedikit terpesona mendengar alunan
ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan seorang imam dibarisan belakang. Dia menoleh.
Ilyas menyimak seksama lantunan ayat-ayat itu. Ketika shalat berjamaah itu selesai,
dan Ilyas melihat si imam selesai berdoa dan seperti akan beranjak, dia
mendekat dan berkenalan dengan si imam itu…
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam…”
“Alhamdulillah bagus
sekali bacaan Al-Qur’annya. Anda dari daerah mana?”
“Alhamdulillah. Saya dari
daerah sini juga, rumah saya dekat kok, hanya beberapa blok dari sini…”
“Oia? Tapi saya belum
pernah lihat anda sebelumnya…”
“Iya, kebetulan saya
dulunya tidak di Aceh, baru pindah kemari beberapa bulan yang lalu…”
“Hmm…kenalkan saya
Ilyas”, ucap Ilyas sambil menjulurkan tangannya.
“Saya A… Yusuf”, ketika
lelaki itu menyebutkan namanya, hp Ilyas berbunyi. Dia memohon maaf pada lelaki
didepannya dan menerima panggilan sejenak. Ilyas hanya mendengar nama
belakangnya.
“Yusuf, sering-sering ke
Mesjid. Siapa tahu sesekali bisa menjadi imam disini…”, ucap Ilyas sambil
tersenyum.
“InsyAllah…”
“Oke, saya permisi dulu,
Assalamualaikum!”,
Adam menjawab salam
lelaki itu. Yusuf?? Bagus juga. Dan
mulai dari situ lah, akhirnya panggilan Yusuf melekat padanya, hingga ketika
para orang tua ingin melamarnya yang dicari bukan Adam tapi Yusuf.
***
Aleesya tersenyum
sendiri mengingat anak lelakinya itu. Dia teringat ketika dia dulu hamil muda,
dia selalu berdoa jika anaknya kelak seorang lelaki diberi berkah suara yang merdu
seperti Nabi Daud a.s dan diberkahi wajah tampan seperti nabi Yusuf a.s. Namun
entah mengapa ketika lahir, malah nama nabi pertama Adam yang terpilih.
“Masuk Ummi, kenapa
berdiri dipintu?”, ucap Adam yang kontan membuyarkan lamunannya.
Setelah
berbasa-basi sedikit, Aleesya membuka topik yang benar-benar ingin dia
tanyakan.
“Nak, gimana perasaanmu
sekarang?”, Adam menoleh.
“Maksud Ummi?”
“Apa sudah ada kabar
tentang Annisa? Kamu sudah berusaha menghubunginya?”, Adam hanya diam. Lama
mereka dalam jeda itu.
“Nak!”
“Kemarin Adam hubungi
Nino, dan kata Nino Annisa sudah lama resign dan pulang ke Aceh”
“Apa? Annisa juga orang
Aceh? Ya Allah, berarti ada kemungkinan kalian…”
“Entahlah Ummi, untuk
saat ini biar berjalan seperti ini. Menurut Adam, Annisa pasti sangat terluka.
Adam tidak yakin kami bisa… dia mungkin sudah tak bisa menerima Adam lagi…”
“Nak, kamu seorang
Muslim sekarang. Alasan kamu pergi pun karena tidak ingin keluarga besar Josep
menganggu Annisa jika mereka tahu kamu dulunya dekat dengannya…”, tiba-tiba
sebuah pesan singkat masuk memotong ucapan ibunya. Wanita itu meraih hp Adam
yang memang terletak didekatnya dan membuka pesan singkat itu dan menunjukkan
ke Adam.
From : Cut Sarah
Adam, lagi apa? Udah shalat belum?
Adam hanya mendesah.
Beberapa kali pesan yang sama hadir, kadang dengan nama pengirim yang berbeda.
Bukan salahnya kalau pesan singkat itu datang. Dia hanya menjalin pertemanan
Tapi kalau mereka ingin lebih, dia hanya bisa mundur.
“Keliatan sekali Cut,
Intan dan siapa itu, Mutia menyukaimu… apa tidak ada yang bisa mencairkan
hatimu nak?”, Adam memandang ibunya. Aleesya sudah tahu jawaban nya dari mata
itu.
“Belum bisa, Ummi!”
Adam memang tak hanya
diam saja. Sejak dia pulang mondok, dia berusaha mencari tahu tentang Annisa.
Kata Nino, Kakek Annisa orang Aceh Tengah. Baru minggu kemarin dia pulang
mencari Annisa kesana, tapi nihil. Annisa memang tak pernah detail mengatakan
dimana dia tinggal. Sekarang Adam hanya bisa berharap keajaiban akan datang.
Jarak tak akan menjadi masalah bagi Allah. Jika dekat saja bisa tak bertemu,
tapi belum tentu berjauhan ribuan kilometer tak akan bertatap muka. Dan
sementara semua Allah beri kejelasan, Adam dengan tak sadar pun tetap mengunci
hatinya bagi yang lain.
“Hmm… kemarin juga Pak
Saiful, kamu mungkin kenal, beliau yang tinggal di jalan Pari, yang dekan
fakultas ekonomi itu menelpon menanyakan keputusan kamu…”
“Maafkan Adam, Ummi!
Mungkin tidak dulu…”
Dan berakhirlah
percakapan malam itu. Aleesya mengerti.
***
Adam harus terbang ke
Jakarta malam ini, karena akan ada lomba fotografi di Galeri Cipta III TIM.
Adam merupakan salah satu juri utama. Sebelum berangkat malamnya dia
menyempatkan shalat berjamaah di Mesjid dekat rumahnya dan lagi-lagi Ilyas
memintanya menjadi imam shalat isya itu. Namun, dia hanya meminta maaf ketika
dia harus pergi dan tidak bisa bergabung dalam rapat kegiatan masjid.
Dia sesekali muncul.
Tapi tak disangkal bahwa kemunculannya beberapa bulan ini menjadi buah bibir.
Gadis-gadis remaja bahkan ibu-ibu memandangnya kagum. Siapa imam muda yang
bersuara merdu itu? Yusuf, nama yang dikenal mereka. Yusuf juga yang kebetulan
mempunyai wajah indah sepeti namanya. Selain itu, sikapnya yang membuat
orang-orang yang mengenalnya betah berbicaranya. Dia santun dan pintar membawa
diri. Adam Yusuf berubah banyak.
***
Postur tubuhnya persis
dia. Berkerudung ungu, warna yang wanita itu sangat sukai. Dan dia sangat
cantik bila berpadu dengan warna itu. Gerakannya juga sama lincah. Sebuah
kamera merek Nikon D90 tipe untuk pecinta fotografi kelas menengah tersangkut
patuh di lehernya. Memang bukan seperti miliknya. Wanita itu berjalan keluar
bandara, Adam yang tadinya asik dengan laptopnya ketika menunggu jemputan
sedikit tergesa-gesa mengikuti wanita itu. Dia merasa bahwa dia akan segera
bertemu dengan Annisa. Annisa, tunggu
aku! Jangan buru-buru pergi, kau tahu, betapa aku merindukanmu! Namun
langkahnya terhenti ketika wanita yang dianggapnya Annisa itu, tiba-tiba
berpaling. Wanita itu seperti ingat sesuatu dan berjalan melewati Adam.
Adam tersenyum sendiri. Ternyata bukan kau! Ya, matamu tak akan
tergantikan, kenapa Tuhan begitu tega membuat matamu itu berbinar dan penuh
kasih. Ah… aku memang sangat ingin
bertemu Annisa. Tapi kapan? Kapan waktu itu Tuhan? Apa masih ada kesempatan?
“Adam!”, panggilan itu
membuyarkan lamunannya. Dari kejauhan sang ibu memanggil anak
lelakinya itu.
***
“TPA ini sudah ada
profilnya belum Yas?”, Tanya Adam ketika siang itu dia bertemu Ilyas di
Mesjid
selesai shalat berjamaah.
“Profil? Maksud kamu?”
“Yaa… keterangan atau
informasi tentang kegiatan TPA atau TPQ ini. Yaah..walaupun hanya didaerah
sendiri, tapi tidak ada salahnya membuat profilnya kan? Kan bisa di pasang di
majalah dinding atau papan pengumuman masjid. Saya liat papan pengumuman begitu
kosong, hanya tempelan kertas-kertas putih…”, sambung Adam. Ilyas seperti
berpikir sejenak.
“Tapi apa tidak…”
“Hmm… saya kebetulan
punya pengalaman bekerja dimajalah. Kalau tidak keberatan saya bisa bantu
mendesain profilnya. Kamu bisa menyediakan informasinya saja”
“Itu saja?”
“Hmm… dengan beberapa
foto, akan sempurna”, ucap Adam sambil tersenyum sumringah.
“Ada siyh beberapa file
berisi foto-fo…”
“Begini saja Ilyas,
kebetulan hari ini saya free jadi nanti sore saat kegiatan TPA saya bisa
menyempatkan diri mengambil beberapa foto. Jadi kita tampilkan beberapa foto
yang up to date, bagaimana?”, Ilyas mengangguk tanda setuju.
Dan akhirnya sore itu
selepas Ashar, Adam mulai memotret-motret sekitaran Mesjid dengan fokus
kegiatan anak-anak TPA. Kelas Ilyas hari ini belajar diluar tepat di bawah
sebuah pohon besar. Ketika Adam asik dengan kameranya, Ilyas tiba-tiba datang
berbisik. Adam sedikit terpana. Mereka berdua kembali menuju anak-anak yang
sedang sibuk dengan Iqra’a masing-masing. Hanya ada sekitar 7 orang anak kecil
disana.
“Ustad minta maaf yaa,
tadi ustad ada telpon penting dan harus kembali ke kantor Mesjid sebentar.
Untuk sementara digantikan oleh ustad Yusuf yaa? Beliau punya suara yang indah,
nanti beliau ajarkan shalawat. Untuk hari ini, mengajinya dicukupkan dulu yaa…”,
Anak-anak bersorak gembira. Ustad Yusuf?
Apa pantas?
Ilyas pergi. Dan kini
Adam jadi sedikit grogi. Belum pernah seumur hidupnya dia berada diposisi ini.
Dihadapannya kini, telah ada 7 orang anak kecil yang menunggu kata-kata pertama
darinya. Untuk hal seperti ini dia mengaku kalah. Tapi tiba-tiba dia teringat
Annisa. Bagaimana wanita itu begitu lihai jika berhadapan dengan anak-anak. Annisa, kamu memang meninggalkan bekas yang
terlalu dalam.
“Siapa suka nyanyi?”,
tanyanya membuka pembicaraan. Dan tak seperti dugaannya, semuanya menunjuk.
Ketika ditanya lagu apa yang suka dinyanyikan, Adam tersenyum sendiri mendengar
ocehan anak-anak itu. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab lagu
anak-anak, semuanya judul yang Adam tebak adalah lagu remaja bahkan dewasa.
“Ustad juga punya lagu
cinta seperti kalian… Ayo tebak lagu cinta untuk siapa?”, Adam merasa risih
menyebutkan dirinya ustad.
“Pasti lagu cinta untuk
pacar kan ustad? Lagu Smash ya kan?”, ucap Rara yang menyebutkan Smash sepeti
bunyi Semes. Adam bingung sendiri.
“Bukan. Tapi lagu cinta untuk
Nabi Muhammad SAW… semuanya bisa?”, anak-anak tidak ada yang menjawab. Adam
kemudian mulai bersenandung. Dia bershalawat dan seperti hipnotis, anak-anak
bukan mengikutinya malah terdiam.
“Lho! Kok malah diam,
ikuti ustad, kita nyanyi sama-sama yaa?”
“Suara Ustad Yusuf
bagus!”, ucap Akbar dan diikuti suara yang lain. Adam tersenyum.
Sedetik kemudian mereka
pun bershalawat bersama. Adam seketika teringat sesuatu. Dia seperti ada
diposisi ini sebelumnya. Apa ini juga Déjà
vu? Ini kan mimpiku setahun yang lalu…
“Ustad, malaikat itu
sama ya seperti nabi?”, Tanya Kiki yang memang keliatan pintar setealh mereka
selesai bershalawat.
“Tidak sama. Malaikat
itu kan Allah ciptakan dari cahaya, malaikat itu mulia. Sedangkan Nabi sama
seperti kita, manusia biasa. Allah menciptakan Nabi dari apa? Siapa tahu?”
“Dari tanah”, jawab
mereka hampir serentak.
“Ustad, kiki mau tanya lagi… Tadi pagi kiki
nonton film kartun, disitu ada anak agamanya Kristen. Kiki kira mereka sama
seperti kita hanya punya Tuhan satu, tapi mereka malah ada tiga tuhan… kenapa
tuhan kita hanya Allah, ustad? Padahal kan kalau punya tiga, ketika kita
berdoa, kita malah bisa minta pada tiga tuhan…”, Adam sedikit berpikir keras.
Dia butuh cara yang tepat. Anak-anak begitu kuat ingatannya. Dan setiap
perkataan guru adalah yang paling benar baginya. Kemudian lagi-lagi dia
teringat Annisa…
Kekasih, aku minta izin menggunakan konsep Keesaan
Allah punyamu yaa? Aku janji kalau kita ketemu nanti, aku pasti berterimakasih
padamu. Ya Allah, betapa aku ingin bertemu lagi dengannya.
Mengalirlah penjelasan
itu dari mulutnya. Adam memberi contoh yang menurutnya mudah dimengerti oleh
anak-anak.
“Karena itulah Allah
kita special. Hmm…jadi semuanya mengerti yaa?? Keraguan kita kepada Allah,
suatu saat malah membuat kita semakin cinta kepadaNya, benar tidak?”
“Benar Ustad!”, ucap
mereka hampir serentak.
“Pinter!” Ucap Adam
sambil tersenyum. Ya Allah, terima kasih
banyak telah pernah mempertemukan aku dengan wanita itu. If I may request, God.
May I see her again? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Adam yakin
dihatinya bahwa dia akan bertemu dengan Annisa lagi dalam waktu dekat.
“Ustad, kita shalawat
lagi yuk! Terus pulang…”, suara Rara membuyarkan lamunannya. Adam melirik
alrojinya dan memang saatnya anak-anak pulang. Ilyas pun belum kembali.
“Oke, kita shalawat
sekali lagi, terus semuanya boleh pulang hari ini!”
“Ustad…”, ketika mereka
akan mulai bersenandung tiba-tiba Rara memanggilnya dan tangannya seperti
menunjuk kearah berlawanan dari Adam.
“Itu siapa?” pertanyaan
Rara kali ini seketika membuat Adam menoleh.
Deg.
Mata itu. Kekasih. Itu kah kau?
Adam tergesa bangun dari
duduknya. Dia benar-benar ingin memastikan penglihatannya. Dia takut ketika dia
kehilangan tatapan itu, maka kekasihnya juga akan menghilang. Tapi kali ini,
wanita itu benar telah hadir didepannya, dengan wajah dan senyuman khasnya.
Mata yang begitu dia rindukan itu kini seperti mengeluarkan sebutir air bening
yang seketika menjatuhi pipinya yang sedang merona. Adam tak tahu harus
bagaimana. Perasaannya campur aduk.
Yang jelas, kerinduannya begitu dalam
hingga butuh lama untuk menghilangkannya.
“Annisa Namira…”,
akhirnya dia bisa juga menyebutkan nama itu.
“Ka…amu disini
rupanya…”, ucap wanita didepannya.
Ya Tuhan, ini benar Annisaku. Ini bukan halusinasiku.
Ini bukan seseorang yang kuanggap dia ketika aku begitu rindu. Ini kau,
kekasih! Segala puji bagiMu Rabb yang senantiasa mendengar segala doa hambaMu.
Semuanya seperti
berhenti bergerak. Semuanya seolah mengabur. Waktu seperti berhenti.
Yang ada
hanya gemerincing suara rindu yang seakan begitu bahagia karena telah
terpenuhi. Yang ada hanya suara detak jantung yang berdetak lembut namun
berirama indah. Yang ada hanya mereka.
***
Anak-anak pulang setelah
batal bershalawat. Satu persatu mereka menciumi tangan Adam. Annisa tersenyum
penuh arti. Hatinya membuncah bahagia, bukan hanya karena Allah telah
mempertemukan dirinya dengan Adam lagi, tapi karena… Ah, Adam betapa ingin aku bertanya banyak hal tentangmu. Adam, kamu
berbeda. Ada sesuatu yang lebih indah diwajahmu.
Tiba-tiba dia teringat
sesuatu. Ah, Laila! Dia menoleh
mencari sosok itu. Ternyata, Laila sedang berbicara dengan Ilyas beberapa meter
dibelakangnya, sesekali gadis itu melirik kearah Annisa. Dan memang benar,
Ilyas memang sedang bertanya tentangnya dan Adam. Ilyas dan Laila tak
dipungkiri agak terkejut dengan kejadian ini. Annisa mendesah. Ya Allah, jangan-jangan imam muda bersuara
indah itu… jangan-jangan yang ditaksir Laila…
Sebelum dia sempat
menyelesaikan bisikan hatinya, Adam sudah berdiri tepat didepannya.
Tersenyum
sangat indah. Sesuatu yang begitu Annisa rindukan.
“Ka..amu Muallaf?”,
Tanya Annisa membuka percakapan. Adam menggeleng polos masih dengan sisa
senyuman. Annisa melongo.
“Ka..ka…mu Muslim kan?”,
tanyanya lagi seolah ingin memastikan segala apa yang telah dilihat dan
didengarnya. Namun, kini lagi-lagi Adam menggeleng. Dan Annisa kini benar—benar
shock. Dia merasa lemas. Terus apa yang
kulihat tadi? Am I day-dreaming? Again?
Melihat wajah didepannya
berubah drastis. Adam merasa iba, namun dia tersenyum sedikit aneh.
“Kamu pura-pura lupa,
atau lupa Annisa Namira?” Tanya Adam sedikit tanggung. Annisa mendongak. Apa maksudmu sekarang? Aku benar-benar tak
mengerti… Namun pertanyaan itu hanya bersuara dalam hatinya.
“Aku kan Adam Yusuf,
belum berganti nama jadi Muslim atau Muallaf. Hmm..anyway, I am a Muslim now!”,
ucapnya sedikit jenaka.
Wajah Annisa seketika
memerah. Dia kesal. Tapi, pernyataan itu sudah cukup membuat hatinya bahagia. Sekarang Adam adalah seorang Muslim. Itu
sudah cukup.
Annisa hanya
geleng-geleng sambil tersenyum hingga menyembulkan lesung pipi diwajahnya.
Entah disadari atau tidak olehnya, lelaki itu menikmati itu.
***
Pertemuan mereka tak
sesempurna harapan mereka. Keduanya kini berada pada titik uji atas perasaan
masing-masing. Keduanya juga harus berhadapan dengan kata-kata pengorbanan.
Annisa kini benar-benar
yakin kalau Adam lah imam muda yang bersuara indah itu. Adam lah yang
senantiasa menjadi buah bibir gadis muda serta ibu-ibu disekitar perumahannya.
Adam lah ustad Yusuf yang tampan itu. Dan yang paing membuatnya miris adalah
ketika Adamlah yang ditaksir sahabatnya Laila. Laila, aku minta maaf. Entah ujung kisah ini seperti apa, yang jelas
ini bukan sinetron. Apa aku harus berkorban Allah? Dia merasa bersalah,
tapi dia bukan wanita sempurna yang memiliki hati seputih salju, sebaik
malaikat. Dia juga punya hati, dia juga punya hak untuk berusaha.
Namun perasaan itu
seketika menghilang ketika pagi itu dia bertemu wanita cantik itu. Awalnya dia
sedikit ogah-ogahan ketika bunda mengajaknya berbelanja dipasar pagi dekat
rumahnya. Namun, seketika dia mensyukurinya ketika akhirnya dia bisa kembali
bertemu dengan Ummi. Ibunya Adam.
Bundanya sedang sibuk
tawar-menawar dengan abang tukang ikan, ketika Annisa beralih ingin mencari
sesuatu yang segar. Seorang gadis kecil cantik menarik perhatiannya. Cantik
sekali. Seperti keturunan luar. Gadis itu sedang menarik-narik baju seorang
wanita.
“Grandma, I want this!”
ucapnya menggemaskan.
“Alright honey, but no
more than one!”, ucap wanita itu sambil menunduk memberikan sebuah lollypop.
Dan wajah itu…
“Ummi…”, secara reflek
Annisa memanggil Aleesya. Kini mata mereka bertemu.
Aleesya dengan begitu
takjub memeluk Annisa. Menciuminya. Annisa begitu terharu. Aleesya menariknya
duduk dibangku kecil ditaman pinggir pasar itu. Banyak yang mereka bicarakan.
Ternyata, gadis kecil itu anaknya Nina, adiknya Adam. Mereka sekeluarga sedang
berada di Aceh.
Sepanjang pembicaraan
Aleesya senantiasa mengucapkan permintaan maaf karena pergi begitu saja
beberapa waktu lalu. Dia dengan sabar menjelaskan alasan kenapa Adam dan juga
dirinya pergi begitu saja. Annisa mengerti. Ketika tiba-tiba…
“Sayang, kamu tahu
tidak, Adam begitu mencintaimu sampai hari ini…”, Annisa terpana.
“Ummi merasa bersalah
padamu karena selama beberapa waktu lalu mengira Adam akan bisa melupakanmu dan
mulai bisa membuka hati seiring dengan datangnya orang-orang baru dalam
hidupnya. Namun… semuanya… Ah, Annisa, Ummi mohon maaf…”
Annisa hanya bisa diam.
Kini dia hanya bisa menatap mata indah ibunya Adam. Sampai ketika
Aleesya pergi
dan menitipkan salam untuk bundanya, Annisa masih terus sibuk dengan
pikirannya. Dia bingung antara bahagia dan bingung. Membahagiakan ketika
perasaannya masih berbalas, tapi sedikit miris ketika tahu betapa banyak hati
wanita yang terluka karena perasaan mereka tak berbalas oleh Adam. Dan, itu
karena dia. Padahal, bukan salahnya kalau semuanya terjadi.
Disatu sudut yang lain,
lelaki itu juga merasakan hal yang sama. Bukan salah Annisa ketika banyak
lelaki yang mengharapkannya. Ketika beberapa hari terakhir pertemuan mereka,
Adam bisa melihat bahwa ada mata lain yang begitu memperhatikan Annisa. Ilyas.
Lelaki muda berkharisma itu mencintai Annisa. Adam bingung. Satu sisi, dia
begitu takut Annisa akan memilih lelaki itu karena dia lebih pantas menjadi
imam bagi Annisa sedangkan dia hanya seorang muallaf, tapi disatu sisi lain
Adam begitu menghormati Ilyas. Lelaki yang begitu baik, teman yang baik ketika diajak
berdiskusi ketika dia tak mengerti akan sesuatu tentang islam.
***
“Nak, Ummi minta maaf.
Tapi Ummi harus sampaikan, karena ini amanah orang… Pak Syahrul ingin
menanyakan sekali lagi keputusanmu… apa kamu…”
“Ummi, Adam benar-benar
minta maaf… kalau Ummi merasa tak enak, biar Adam sendiri yang bertemu Pak
Syahrul dan mengutarakan jawaban Adam sendiri…”, Aleesya tersenyum. Kini dia
dan Adam sedang duduk diteras rumahnya. Tepat didepan rumah mereka ada lapangan
basket bergandengan dengan taman kecil. Beberapa orang sedang menikmati sore
disana. Anak-anak remaja sedang bermain basket.
“Apa begitu sulitnya
menghapus nama Annisa di hatimu, Nak?”
“Adam tidak pernah
meminta perasaan ini. Mungkin Ummi lebih tahu, hati kita memang bersemayam
ditubuh kita, tapi urusan hati memilih siapa, hanya Allah yang berhak
memutuskannya. Dan untuk saat ini, nama itu masih terukir indah disalah satu
sudut hati Adam…”, Aleesya sedikit terpana kemudian berakhir dengan senyuman
penuh arti.
“Berarti Ummi tak perlu
melamar siapapun untukmu?”, Adam memandang ibunya. Dia sedikit merasa bersalah.
“Ummi, jangan ngomong
seperti itu, kita tak pernah tahu keputusan Allah akan hati ini…”
Pandangan Aleesya
beralih ketika dia melihat seseorang itu datang mendekati rumah mereka.
Kini
wanita itu tersenyum lagi dan sambil menyentuh tangan Adam, bertanya…
“Kalau wanita itu yang
Ummi lamar untukmu, kamu mau tidak?”, tanyanya sambil menunjuk kearah pagar
yang sekarang sedang berusaha dibuka oleh seorang wanita. Adam terpana.
“Alhamdulillah Ummi,
kalau yang ini… Adam belum bisa menolak…”, ucapnya sambil tersenyum sedikit
malu.
“Assalamualaikum…”,
suara itu membuat keduanya bangun dan menyambut wanita itu.
“Waalaikumussalam… masuk
Annisa!”
Sejak pertama bertemu
kembali, mereka memang jarang bertemu lagi. Ini bukan York, dimana keduanya
begitu sering disatukan dalam satu scene. Bagi Adam dan Annisa, ini lah setting
sebenarnya, ketika keduanya benar-benar diuji tentang perasaan masing-masing.
Selain keduanya telah punya kesibukan masing-masing, tapi secara tidak langsung
Tuhan seperti membatasi intensitas itu agar mereka introspeksi. Kedatangan
Annisa mengantar pesanan ibu Adam merupakan pertemuan kedua, dan yang paling
menggemaskan kan keduanya lebih banyak diam tak bicara. Hanya tatapan yang
terkadang dicuri-curi. Keduanya seperti larut dalam perasaan yang baru mereka
alami lagi. Yaa… they are falling again. Yaa… again and for the same one. What a unique but romantis
thing!
Maka ketika mereka
ditinggal berdua diteras saat ibu Adam masuk memindahkan kuenya, Adam dengan
sedikit spontan berkata…
“Annisa…”
“Iya…”, sahut Annisa
sambil sedikit melirik wajah itu.
“I am sorry, I miss
you…”, Kini Annisa menoleh dan seketika
mata mereka beradu.
“Kamu?”, Tanya Adam
kemudian yang sukses membuat wajah didepannya merona. Annisa sedikit membuang
muka dan tersenyum.
“Kalau aku bilang tidak,
apa kamu akan menghilang lagi seperti waktu itu?”, pertanyaan itu
sukses
membuat Adam tertawa.
***
That’s a normal thing
ketika hubungan sedikit menjadi dingin ketika beberapa lama tak bertemu. Dan
itu juga yang terjadi pada Annisa dan Adam. Awalnya Annisa sedikit merasa
kehilangan momen-momen itu. Adam tak pernah lagi dengan sengaja menyebutnya
kekasih atau sayang untuknya. Lelaki itu juga tak pernah dengan sengaja
memandangnya lama. Adam juga tak pernah lagi mengusap kepalanya ketika dia
ingin mentransfer perasaannya. Kini Adam sangat bersikap wajar. Ada kehilangan,
namun akhirnya Annisa merasa sikap inilah yang semakin membuat Adam begitu
indah baginya. Adam yang kelihatan lebih
matang. Adam yang lebih… Adam… dan Adam lagi. Uuhh… aku kenapa siyh? Dan kini, Annisa seperti jatuh cinta lagi.
Ketika sedang membuka
halaman-halaman majalah itu, matanya tertuju pada satu artikel…
Ketika cinta berbalas,
rasanya ingin selalu mendendangkan lagu Melly Goslow… (Dan ku tlah jatuh cinta,
ku wanita dan engkau lelaki, perasaanku berkata… I am falling in love)…
Everything seems in the pink… the flowers are blooming wherever and whatever the
girl sees… Rasanya ingin setiap detik mengucap namanya… tersenyum sendiri
mengingat kebersamaan yang terkadang singkat namun begitu berkesan. Disela-sela
itu, datang lah perasaan resah. Sangat resah. Dan semakin resah. She is missing
him.
Annisa tersenyum malu.
Dia memang sedang merindukan lelaki itu. Tuhan,
aku ingin sekali bertemu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Benda kecil itu
masih dengan baik disimpannya dan kini saatnya dia harus dikembalikan kepada
sipemilik. Annisa meraih benda itu Tiba-tiba sebuah pesan masuk. Adam.
Annisa, may I see you?
Annisa tersenyum. Tanpa kau minta pun aku memang akan
menemuimu.
***
Nak, Islam menganjurkan ketika diri sudah siap lahir
batin dan apalagi kini seseorang telah hadir. Dia yang selalu engkau sebutkan
dalam doamu. Sebaiknya niat mulia itu segera disampaikan. Jodoh memang ditangan
Allah, tapi usaha kita juga elemen penting dalam penentuan jodoh…
Kata-kata ibunya terus
terngiang-ngiang. Maka ketika dia selesai dengan ibadah asharnya, Adam memohon
ampunan sang Khalik dan meminta petunjuk dan kemudahan akan niatnya hari ini.
Dia telah benar-benar bertekad mengungkapkan itu semua. Dia ambil hpnya dan
mulai mengirim sebuah pesan singkat. Tak sampai semenit sebuah pesan balasan
masuk. Annisa.
InsyaAllah. After Ashar J
Adam akan bergegas
ketika sebuah panggilan mengejutkannya.
“Ustad Yusuf, katanya
anak-anak ingin diajarkan shalawat lagi… Kalau tak keberatan, setengah jam
terakhir bisa mengajari anak-anak?”, ucap Ilyas. Adam tersenyum dan
menyanggupi. Ilyas, aku minta maaf. Tapi,
aku juga lelaki yang punya perasaan. Biarlah Allah yang memutuskan segalanya
dan sekarang biarlah aku berusaha sedikit lagi.
Adam pulang sejenak. Dia
harus bertemu sang bunda meminta restu dan doanya. Namun,
“Tadi kata Ummi mau
shalat berjamaah di masjid, karena ada pertemuan dengan ibu-ibu kompleks hari
ini… ada apa Bi?”, Tanya Nina kepada Adam. (Abi = panggilan untuk abang dalam
bahasa Turki)
Adam pun bergegas
kembali ke Mesjid. Dia berharap bisa bertemu sang bunda disana sementara dia
mengajari anak-anak.
Anak-anak memang sedang
menunggu-nunggu kehadirannya. Mereka bersorak gembira ketika Adam datang dan
mengucap salam. Adam memulai dengan menanyakan kabar, karena dia memang jarang
bertemu anak-anak itu. Namun disaat mereka akan memulai, Adam melihat ibunya…
“Maaf ya, Ustad permisi
sebentar, harus ketemu seseorang. Selagi ustad pergi, masing-masing coba
ucapkan “Laailahaillallah” sebanyak mungkin. Terus ditutup dengan syahadat yaa?
Ustad kembali kita shalawat badar sama-sama…”, anak-anak patuh dan mulai
melakukan apa yang Adam minta.
Adam sedikit berlari
menuju sang bunda. Adam mengecup tangan ibunya takjub.
“Nak, Ummi ketemu Annisa
tadi. Tapi Ummi belum bilang kalau…”
“That’s what I wanna
tell you, Mom! Kalau Ummi tak keberatan Adam ingin sekali mengutarakannya
sendiri kepadanya terlebih dahulu terlepas dari semua, apa Ummi menyetujui?
Adam hanya ingin mewujudkan suatu keinginan kami yang tertunda…”
“Keinginan yang
tertunda?”, ibunya bertanya lewat matanya. Adam hanya tersenyum.
“Apa Ummi menyetujui?”,
Adam malah tak menjawab, tapi senyumannya sudah cukup bagi Aleesya. Wanita itu
pun mengangguk.
“Pergilah…”
***
Annisa duduk di tangga
masjid dan sedikit tersenyum melihat lelaki itu sedang asik dengan anak-anak.
Dia menikmati scene itu. Dia memang sedang menunggu Adam ingin menyerahkan
kembali benda kecil itu. Benda yang sekarang digengamnya erat itu. Namun,
tiba-tiba ekspresinya berubah ketika melihat Adam pergi meningglakan anak-anak
dengan sedikit tergesa. Annisa turun dan melangkah ke bawah pohon tepat dimana
anak-anak sedang sayup-sayup mengucapkan zikir.
“Adik-adik, ustad
Yusufnya mana?”
“Tadi izin sebentar kak…”
“Ooh…jadi ini lagi
berzikir?”
“Iya, padahal kita mau
diajarin shalawat badar sama ustad Yusuf…”, ucap Kiki.
“Oia? Hmm… gimana kalau
kakak yang ajarin?”, anak-anak bersorak gembira.
Annisa tersenyum. Dia
pun mengajak anak-anak mengucap Basmalah dan mulai bershalawat…
Hatinya
bahagia. Dia jadi rindu anak-anaknya di York. Ketika dia menikmati kegiatannya
itu, pandangannya sedikit beralih kearah sosok yang sedang melangkah mendekat
itu. Sosok lelaki itu berhenti tepat beberapa langkah didepannya. Matanya
seolah menyiratkan sesuatu, tanpa diminta pun Annisa bangkit dari duduknya dan
melangkah menuju lelaki itu. Anak-anak seperti terhipnotis dan mereka terus
bershalawat.
“What’s happening
Adam?”, tanyanya sedikit cemas ketika telah berdiri tepat didepan lelaki itu.
Adam hanya diam.
“Adam, you oke?” Tanya
Annisa ketika mendapati Adam hanya diam.
Dan disaat seperti ini,
even no rehearsal or something he made for such a big moment. Namun, baginya
inilah waktunya. Dia tatap mata didepannya itu. Annisa sedikit merasa
deg-degan, perasaannya benar-benar berantakan. Sejak pertama bertemu lagi, ini
lah pandangan yang dia rindukan itu. Dengan mengucap Basmalah dan memohon
sokongan kekuatan berjuta-juta watt dari sang khalik, Adam akhirnya berhasil
mengeluarkan kata-kata itu…
“Annisa, will you marry
me?”
Sayup-sayup shalawat terdengar
menghiasi scene itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar