Sabtu, 22 Oktober 2011

Better In Time 16 - I am not Muslim







Sudah hampir setahun setelah keputusannya memeluk Islam. Setelah kepulangan kekampung halaman ibunya ke Turki dan secara formal mengucap syahadat disebuah Mesjid, Adam benar-benar merasa mendapatkan kehidupan baru. Dia mulai belajar tentang Islam sedikit demi sedikit. Keluarga besar pun menyambut dengan suka cita. Betapa haru, ketika dia kembali bertemu Nina, adik tunggalnya, yang sudah lama sekali tak diliatnya.

Namun diawal terkadang dia merasa begitu berat, keraguan terkadang datang namun dia mensyukurinya ketika ragu datang maka Islam bisa menjawabnya. Ketika sebulan di Turki, Aleesya, ibunya merasa butuh mengajak Adam ke tempat yang lebih baik untuk mempelajari Islam. Turki dirasanya kurang tepat untuk Adam. Dan mereka pun terbang kembali ke Aceh, tempat Aleesya dulunya juga mendapatkan hidayahnya. Kampung halaman kakek Adam.

Berbulan-bulan Adam mondok disuatu pesantren di Aceh. Khusus belajar agama islam beserta belajar membaca Al-Qur’an. Ketika akhirnya dia merasa sudah siap berdiri sendiri, dia kembali pulang kerumah keluarganya disalah satu daerah di Banda Aceh. Tak ada perubahan yang berarti dalam diri Adam. Mondok tak menjadikannya sosok yang sangat religious, tapi dia berusaha belajar banyak. Adam masih penyuka fotografi, penampilannya pun tak jauh berbeda dengan dulu.

Kini setelah sudah hampir setahun keputusannya memeluk Islam. Adam membuka sekolah fotografi dekat rumah ibunya. Dia juga menjadi salah satu snaper senior di salah satu komunitas pecinta fotografi. Adam juga sering mengirim hasil fotonya ke majalah atau galeri-galeri fotografi nasional juga internasional. Dia mulai menikmati hari-harinya. Namun satu yang belum dinikmatinya, kehidupan pribadinya. Tetap saja, nama Annisa Namira terukir kekal dihatinya.

Adam tidak berusaha menutup hubungan dengan siapapun, tapi entah mengapa dia yakin suatu saat dia akan bertemu kembali dengan Annisa. Entah dimana dan entah kapan. Adam hanya bisa menjalin hubungan pertemanan dengan lawan jenis, belum ada yang bisa merobohkan keangkuhan hatinya. Aleesya terkadang prihatin. Wanita itu serba salah, dia mengerti anaknya masih begitu mencintai Annisa, tapi disatu sisi usia Adam yang sudah menginjak 29 membuatnya ingin sekali melihat Adam segera menikah. Toh, selama ini ada beberapa wanita yang kelihatan dekat dengan Adam. Tapi, mereka harus mundur sendiri ketika Adam meminta maaf. Belum lagi ketika dia terlihat sedikit aktif di Mesjid, ada beberapa orang tua yang datang menanyakan kebersediaan Adam untuk putri-putri mereka. Namun, lagi-lagi mereka semua harus menelan ludah pahit. Bahkan sampai ke titik itu anak lelakinya Allah tempatkan, tapi tetap saja hatinya seperti masih sangat beku…

Adam dikenal sebagai Yusuf di sekitaran rumahnya. Semua terjadi ketika suatu malam Adam pergi ke Mesjid untuk shalat isya, kebetulan dia telat. Imam telah mengucapkan salam. Ada beberapa orang remaja dan seorang bapak yang juga telat, ketika dia akan takbiratul ihram memulai shalatnya, si bapak mengajaknya berjamaah. Adam sangat setuju, namun ketika si bapak dan beberapa orang remaja membuat barisan tepat dibelakangnya, Adam sedikit terkejut.

“Maaf Pak! Saya belum pantas sepertinya menjadi seorang imam, bapak saja!”, ucapnya kepada sibapak.

“Kalau kamu belum siap sekarang, terus kamu kapan siapnya? Seorang lelaki itu harus siap kapan pun dia disuruh menjadi imam, apalagi ketika nanti sudah berkeluarga.”

“Tapi, saya seorang mual…”

“Udah, lanjut saja! Sekalian belajar…”, potong si bapak. Dan jadilah Adam untuk pertama kalinya setelah dia menjadi seorang muslim mengimami orang lain di masjid.

Lelaki itu yang juga salah satu imam muda di Mesjid itu, sedikit terpesona mendengar alunan ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan seorang imam dibarisan belakang. Dia menoleh. Ilyas menyimak seksama lantunan ayat-ayat itu. Ketika shalat berjamaah itu selesai, dan Ilyas melihat si imam selesai berdoa dan seperti akan beranjak, dia mendekat dan berkenalan dengan si imam itu…

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam…”

“Alhamdulillah bagus sekali bacaan Al-Qur’annya. Anda dari daerah mana?”

“Alhamdulillah. Saya dari daerah sini juga, rumah saya dekat kok, hanya beberapa blok dari sini…”

“Oia? Tapi saya belum pernah lihat anda sebelumnya…”

“Iya, kebetulan saya dulunya tidak di Aceh, baru pindah kemari beberapa bulan yang lalu…”

“Hmm…kenalkan saya Ilyas”, ucap Ilyas sambil menjulurkan tangannya.

“Saya A… Yusuf”, ketika lelaki itu menyebutkan namanya, hp Ilyas berbunyi. Dia memohon maaf pada lelaki didepannya dan menerima panggilan sejenak. Ilyas hanya mendengar nama belakangnya.

“Yusuf, sering-sering ke Mesjid. Siapa tahu sesekali bisa menjadi imam disini…”, ucap Ilyas sambil tersenyum.

“InsyAllah…”

“Oke, saya permisi dulu, Assalamualaikum!”,

Adam menjawab salam lelaki itu. Yusuf?? Bagus juga. Dan mulai dari situ lah, akhirnya panggilan Yusuf melekat padanya, hingga ketika para orang tua ingin melamarnya yang dicari bukan Adam tapi Yusuf.


***


Aleesya tersenyum sendiri mengingat anak lelakinya itu. Dia teringat ketika dia dulu hamil muda, dia selalu berdoa jika anaknya kelak seorang lelaki diberi berkah suara yang merdu seperti Nabi Daud a.s dan diberkahi wajah tampan seperti nabi Yusuf a.s. Namun entah mengapa ketika lahir, malah nama nabi pertama Adam yang terpilih.

“Masuk Ummi, kenapa berdiri dipintu?”, ucap Adam yang kontan membuyarkan lamunannya. 
Setelah berbasa-basi sedikit, Aleesya membuka topik yang benar-benar ingin dia tanyakan.

“Nak, gimana perasaanmu sekarang?”, Adam menoleh.

“Maksud Ummi?”

“Apa sudah ada kabar tentang Annisa? Kamu sudah berusaha menghubunginya?”, Adam hanya diam. Lama mereka dalam jeda itu.

“Nak!”

“Kemarin Adam hubungi Nino, dan kata Nino Annisa sudah lama resign dan pulang ke Aceh”

“Apa? Annisa juga orang Aceh? Ya Allah, berarti ada kemungkinan kalian…”

“Entahlah Ummi, untuk saat ini biar berjalan seperti ini. Menurut Adam, Annisa pasti sangat terluka. Adam tidak yakin kami bisa… dia mungkin sudah tak bisa menerima Adam lagi…”

“Nak, kamu seorang Muslim sekarang. Alasan kamu pergi pun karena tidak ingin keluarga besar Josep menganggu Annisa jika mereka tahu kamu dulunya dekat dengannya…”, tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk memotong ucapan ibunya. Wanita itu meraih hp Adam yang memang terletak didekatnya dan membuka pesan singkat itu dan menunjukkan ke Adam.

From : Cut Sarah
Adam, lagi apa? Udah shalat belum?

Adam hanya mendesah. Beberapa kali pesan yang sama hadir, kadang dengan nama pengirim yang berbeda. Bukan salahnya kalau pesan singkat itu datang. Dia hanya menjalin pertemanan Tapi kalau mereka ingin lebih, dia hanya bisa mundur.

“Keliatan sekali Cut, Intan dan siapa itu, Mutia menyukaimu… apa tidak ada yang bisa mencairkan hatimu nak?”, Adam memandang ibunya. Aleesya sudah tahu jawaban nya dari mata itu.

“Belum bisa, Ummi!”

Adam memang tak hanya diam saja. Sejak dia pulang mondok, dia berusaha mencari tahu tentang Annisa. Kata Nino, Kakek Annisa orang Aceh Tengah. Baru minggu kemarin dia pulang mencari Annisa kesana, tapi nihil. Annisa memang tak pernah detail mengatakan dimana dia tinggal. Sekarang Adam hanya bisa berharap keajaiban akan datang. Jarak tak akan menjadi masalah bagi Allah. Jika dekat saja bisa tak bertemu, tapi belum tentu berjauhan ribuan kilometer tak akan bertatap muka. Dan sementara semua Allah beri kejelasan, Adam dengan tak sadar pun tetap mengunci hatinya bagi yang lain.

“Hmm… kemarin juga Pak Saiful, kamu mungkin kenal, beliau yang tinggal di jalan Pari, yang dekan fakultas ekonomi itu menelpon menanyakan keputusan kamu…”

“Maafkan Adam, Ummi! Mungkin tidak dulu…”

Dan berakhirlah percakapan malam itu. Aleesya mengerti.


***

Adam harus terbang ke Jakarta malam ini, karena akan ada lomba fotografi di Galeri Cipta III TIM. Adam merupakan salah satu juri utama. Sebelum berangkat malamnya dia menyempatkan shalat berjamaah di Mesjid dekat rumahnya dan lagi-lagi Ilyas memintanya menjadi imam shalat isya itu. Namun, dia hanya meminta maaf ketika dia harus pergi dan tidak bisa bergabung dalam rapat kegiatan masjid.

Dia sesekali muncul. Tapi tak disangkal bahwa kemunculannya beberapa bulan ini menjadi buah bibir. Gadis-gadis remaja bahkan ibu-ibu memandangnya kagum. Siapa imam muda yang bersuara merdu itu? Yusuf, nama yang dikenal mereka. Yusuf juga yang kebetulan mempunyai wajah indah sepeti namanya. Selain itu, sikapnya yang membuat orang-orang yang mengenalnya betah berbicaranya. Dia santun dan pintar membawa diri. Adam Yusuf berubah banyak.


***

Postur tubuhnya persis dia. Berkerudung ungu, warna yang wanita itu sangat sukai. Dan dia sangat cantik bila berpadu dengan warna itu. Gerakannya juga sama lincah. Sebuah kamera merek Nikon D90 tipe untuk pecinta fotografi kelas menengah tersangkut patuh di lehernya. Memang bukan seperti miliknya. Wanita itu berjalan keluar bandara, Adam yang tadinya asik dengan laptopnya ketika menunggu jemputan sedikit tergesa-gesa mengikuti wanita itu. Dia merasa bahwa dia akan segera bertemu dengan Annisa. Annisa, tunggu aku! Jangan buru-buru pergi, kau tahu, betapa aku merindukanmu! Namun langkahnya terhenti ketika wanita yang dianggapnya Annisa itu, tiba-tiba berpaling. Wanita itu seperti ingat sesuatu dan berjalan melewati Adam.

Adam tersenyum sendiri. Ternyata bukan kau! Ya, matamu tak akan tergantikan, kenapa Tuhan begitu tega membuat matamu itu berbinar dan penuh kasih.  Ah… aku memang sangat ingin bertemu Annisa. Tapi kapan? Kapan waktu itu Tuhan? Apa masih ada kesempatan?

“Adam!”, panggilan itu membuyarkan lamunannya. Dari kejauhan sang ibu memanggil anak 
lelakinya itu.


***

“TPA ini sudah ada profilnya belum Yas?”, Tanya Adam ketika siang itu dia bertemu Ilyas di 
Mesjid selesai shalat berjamaah.

“Profil? Maksud kamu?”

“Yaa… keterangan atau informasi tentang kegiatan TPA atau TPQ ini. Yaah..walaupun hanya didaerah sendiri, tapi tidak ada salahnya membuat profilnya kan? Kan bisa di pasang di majalah dinding atau papan pengumuman masjid. Saya liat papan pengumuman begitu kosong, hanya tempelan kertas-kertas putih…”, sambung Adam. Ilyas seperti berpikir sejenak.

“Tapi apa tidak…”

“Hmm… saya kebetulan punya pengalaman bekerja dimajalah. Kalau tidak keberatan saya bisa bantu mendesain profilnya. Kamu bisa menyediakan informasinya saja”

“Itu saja?”

“Hmm… dengan beberapa foto, akan sempurna”, ucap Adam sambil tersenyum sumringah.

“Ada siyh beberapa file berisi foto-fo…”

“Begini saja Ilyas, kebetulan hari ini saya free jadi nanti sore saat kegiatan TPA saya bisa menyempatkan diri mengambil beberapa foto. Jadi kita tampilkan beberapa foto yang up to date, bagaimana?”, Ilyas mengangguk tanda setuju.

Dan akhirnya sore itu selepas Ashar, Adam mulai memotret-motret sekitaran Mesjid dengan fokus kegiatan anak-anak TPA. Kelas Ilyas hari ini belajar diluar tepat di bawah sebuah pohon besar. Ketika Adam asik dengan kameranya, Ilyas tiba-tiba datang berbisik. Adam sedikit terpana. Mereka berdua kembali menuju anak-anak yang sedang sibuk dengan Iqra’a masing-masing. Hanya ada sekitar 7 orang anak kecil disana.

“Ustad minta maaf yaa, tadi ustad ada telpon penting dan harus kembali ke kantor Mesjid sebentar. Untuk sementara digantikan oleh ustad Yusuf yaa? Beliau punya suara yang indah, nanti beliau ajarkan shalawat. Untuk hari ini, mengajinya dicukupkan dulu yaa…”, Anak-anak bersorak gembira. Ustad Yusuf? Apa pantas?

Ilyas pergi. Dan kini Adam jadi sedikit grogi. Belum pernah seumur hidupnya dia berada diposisi ini. Dihadapannya kini, telah ada 7 orang anak kecil yang menunggu kata-kata pertama darinya. Untuk hal seperti ini dia mengaku kalah. Tapi tiba-tiba dia teringat Annisa. Bagaimana wanita itu begitu lihai jika berhadapan dengan anak-anak. Annisa, kamu memang meninggalkan bekas yang terlalu dalam.

“Siapa suka nyanyi?”, tanyanya membuka pembicaraan. Dan tak seperti dugaannya, semuanya menunjuk. Ketika ditanya lagu apa yang suka dinyanyikan, Adam tersenyum sendiri mendengar ocehan anak-anak itu. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab lagu anak-anak, semuanya judul yang Adam tebak adalah lagu remaja bahkan dewasa.

“Ustad juga punya lagu cinta seperti kalian… Ayo tebak lagu cinta untuk siapa?”, Adam merasa risih menyebutkan dirinya ustad.

“Pasti lagu cinta untuk pacar kan ustad? Lagu Smash ya kan?”, ucap Rara yang menyebutkan Smash sepeti bunyi Semes. Adam bingung sendiri.

“Bukan. Tapi lagu cinta untuk Nabi Muhammad SAW… semuanya bisa?”, anak-anak tidak ada yang menjawab. Adam kemudian mulai bersenandung. Dia bershalawat dan seperti hipnotis, anak-anak bukan mengikutinya malah terdiam.

“Lho! Kok malah diam, ikuti ustad, kita nyanyi sama-sama yaa?”

“Suara Ustad Yusuf bagus!”, ucap Akbar dan diikuti suara yang lain. Adam tersenyum.

Sedetik kemudian mereka pun bershalawat bersama. Adam seketika teringat sesuatu. Dia seperti ada diposisi ini sebelumnya. Apa ini juga Déjà vu? Ini kan mimpiku setahun yang lalu…

“Ustad, malaikat itu sama ya seperti nabi?”, Tanya Kiki yang memang keliatan pintar setealh mereka selesai bershalawat.

“Tidak sama. Malaikat itu kan Allah ciptakan dari cahaya, malaikat itu mulia. Sedangkan Nabi sama seperti kita, manusia biasa. Allah menciptakan Nabi dari apa? Siapa tahu?”

“Dari tanah”, jawab mereka hampir serentak.

 “Ustad, kiki mau tanya lagi… Tadi pagi kiki nonton film kartun, disitu ada anak agamanya Kristen. Kiki kira mereka sama seperti kita hanya punya Tuhan satu, tapi mereka malah ada tiga tuhan… kenapa tuhan kita hanya Allah, ustad? Padahal kan kalau punya tiga, ketika kita berdoa, kita malah bisa minta pada tiga tuhan…”, Adam sedikit berpikir keras. Dia butuh cara yang tepat. Anak-anak begitu kuat ingatannya. Dan setiap perkataan guru adalah yang paling benar baginya. Kemudian lagi-lagi dia teringat Annisa…

Kekasih, aku minta izin menggunakan konsep Keesaan Allah punyamu yaa? Aku janji kalau kita ketemu nanti, aku pasti berterimakasih padamu. Ya Allah, betapa aku ingin bertemu lagi dengannya.

Mengalirlah penjelasan itu dari mulutnya. Adam memberi contoh yang menurutnya mudah dimengerti oleh anak-anak.

“Karena itulah Allah kita special. Hmm…jadi semuanya mengerti yaa?? Keraguan kita kepada Allah, suatu saat malah membuat kita semakin cinta kepadaNya, benar tidak?”

“Benar Ustad!”, ucap mereka hampir serentak.

“Pinter!” Ucap Adam sambil tersenyum. Ya Allah, terima kasih banyak telah pernah mempertemukan aku dengan wanita itu. If I may request, God. May I see her again? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Adam yakin dihatinya bahwa dia akan bertemu dengan Annisa lagi dalam waktu dekat.

“Ustad, kita shalawat lagi yuk! Terus pulang…”, suara Rara membuyarkan lamunannya. Adam melirik alrojinya dan memang saatnya anak-anak pulang. Ilyas pun belum kembali.

“Oke, kita shalawat sekali lagi, terus semuanya boleh pulang hari ini!”

“Ustad…”, ketika mereka akan mulai bersenandung tiba-tiba Rara memanggilnya dan tangannya seperti menunjuk kearah berlawanan dari Adam.

“Itu siapa?” pertanyaan Rara kali ini seketika membuat Adam menoleh.

Deg.

Mata itu. Kekasih. Itu kah kau?

Adam tergesa bangun dari duduknya. Dia benar-benar ingin memastikan penglihatannya. Dia takut ketika dia kehilangan tatapan itu, maka kekasihnya juga akan menghilang. Tapi kali ini, wanita itu benar telah hadir didepannya, dengan wajah dan senyuman khasnya. Mata yang begitu dia rindukan itu kini seperti mengeluarkan sebutir air bening yang seketika menjatuhi pipinya yang sedang merona. Adam tak tahu harus bagaimana. Perasaannya campur aduk. 
Yang jelas, kerinduannya begitu dalam hingga butuh lama untuk menghilangkannya.

“Annisa Namira…”, akhirnya dia bisa juga menyebutkan nama itu.

“Ka…amu disini rupanya…”, ucap wanita didepannya.

Ya Tuhan, ini benar Annisaku. Ini bukan halusinasiku. Ini bukan seseorang yang kuanggap dia ketika aku begitu rindu. Ini kau, kekasih! Segala puji bagiMu Rabb yang senantiasa mendengar segala doa hambaMu.

Semuanya seperti berhenti bergerak. Semuanya seolah mengabur. Waktu seperti berhenti. 
Yang ada hanya gemerincing suara rindu yang seakan begitu bahagia karena telah terpenuhi. Yang ada hanya suara detak jantung yang berdetak lembut namun berirama indah. Yang ada hanya mereka.


***

Anak-anak pulang setelah batal bershalawat. Satu persatu mereka menciumi tangan Adam. Annisa tersenyum penuh arti. Hatinya membuncah bahagia, bukan hanya karena Allah telah mempertemukan dirinya dengan Adam lagi, tapi karena… Ah, Adam betapa ingin aku bertanya banyak hal tentangmu. Adam, kamu berbeda. Ada sesuatu yang lebih indah diwajahmu.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ah, Laila! Dia menoleh mencari sosok itu. Ternyata, Laila sedang berbicara dengan Ilyas beberapa meter dibelakangnya, sesekali gadis itu melirik kearah Annisa. Dan memang benar, Ilyas memang sedang bertanya tentangnya dan Adam. Ilyas dan Laila tak dipungkiri agak terkejut dengan kejadian ini. Annisa mendesah. Ya Allah, jangan-jangan imam muda bersuara indah itu… jangan-jangan yang ditaksir Laila…
Sebelum dia sempat menyelesaikan bisikan hatinya, Adam sudah berdiri tepat didepannya. 
Tersenyum sangat indah. Sesuatu yang begitu Annisa rindukan.

“Ka..amu Muallaf?”, Tanya Annisa membuka percakapan. Adam menggeleng polos masih dengan sisa senyuman. Annisa melongo.

“Ka..ka…mu Muslim kan?”, tanyanya lagi seolah ingin memastikan segala apa yang telah dilihat dan didengarnya. Namun, kini lagi-lagi Adam menggeleng. Dan Annisa kini benar—benar shock. Dia merasa lemas. Terus apa yang kulihat tadi? Am I day-dreaming? Again?

Melihat wajah didepannya berubah drastis. Adam merasa iba, namun dia tersenyum sedikit aneh.

“Kamu pura-pura lupa, atau lupa Annisa Namira?” Tanya Adam sedikit tanggung. Annisa mendongak. Apa maksudmu sekarang? Aku benar-benar tak mengerti… Namun pertanyaan itu hanya bersuara dalam hatinya.

“Aku kan Adam Yusuf, belum berganti nama jadi Muslim atau Muallaf. Hmm..anyway, I am a Muslim now!”, ucapnya sedikit jenaka.

Wajah Annisa seketika memerah. Dia kesal. Tapi, pernyataan itu sudah cukup membuat hatinya bahagia. Sekarang Adam adalah seorang Muslim. Itu sudah cukup.
Annisa hanya geleng-geleng sambil tersenyum hingga menyembulkan lesung pipi diwajahnya. 
Entah disadari atau tidak olehnya, lelaki itu menikmati itu.


***

Pertemuan mereka tak sesempurna harapan mereka. Keduanya kini berada pada titik uji atas perasaan masing-masing. Keduanya juga harus berhadapan dengan kata-kata pengorbanan.
Annisa kini benar-benar yakin kalau Adam lah imam muda yang bersuara indah itu. Adam lah yang senantiasa menjadi buah bibir gadis muda serta ibu-ibu disekitar perumahannya. Adam lah ustad Yusuf yang tampan itu. Dan yang paing membuatnya miris adalah ketika Adamlah yang ditaksir sahabatnya Laila. Laila, aku minta maaf. Entah ujung kisah ini seperti apa, yang jelas ini bukan sinetron. Apa aku harus berkorban Allah? Dia merasa bersalah, tapi dia bukan wanita sempurna yang memiliki hati seputih salju, sebaik malaikat. Dia juga punya hati, dia juga punya hak untuk berusaha.

Namun perasaan itu seketika menghilang ketika pagi itu dia bertemu wanita cantik itu. Awalnya dia sedikit ogah-ogahan ketika bunda mengajaknya berbelanja dipasar pagi dekat rumahnya. Namun, seketika dia mensyukurinya ketika akhirnya dia bisa kembali bertemu dengan Ummi. Ibunya Adam.

Bundanya sedang sibuk tawar-menawar dengan abang tukang ikan, ketika Annisa beralih ingin mencari sesuatu yang segar. Seorang gadis kecil cantik menarik perhatiannya. Cantik sekali. Seperti keturunan luar. Gadis itu sedang menarik-narik baju seorang wanita.

“Grandma, I want this!” ucapnya menggemaskan.

“Alright honey, but no more than one!”, ucap wanita itu sambil menunduk memberikan sebuah lollypop. Dan wajah itu…

“Ummi…”, secara reflek Annisa memanggil Aleesya. Kini mata mereka bertemu.

Aleesya dengan begitu takjub memeluk Annisa. Menciuminya. Annisa begitu terharu. Aleesya menariknya duduk dibangku kecil ditaman pinggir pasar itu. Banyak yang mereka bicarakan. Ternyata, gadis kecil itu anaknya Nina, adiknya Adam. Mereka sekeluarga sedang berada di Aceh.

Sepanjang pembicaraan Aleesya senantiasa mengucapkan permintaan maaf karena pergi begitu saja beberapa waktu lalu. Dia dengan sabar menjelaskan alasan kenapa Adam dan juga dirinya pergi begitu saja. Annisa mengerti. Ketika tiba-tiba…

“Sayang, kamu tahu tidak, Adam begitu mencintaimu sampai hari ini…”, Annisa terpana.

“Ummi merasa bersalah padamu karena selama beberapa waktu lalu mengira Adam akan bisa melupakanmu dan mulai bisa membuka hati seiring dengan datangnya orang-orang baru dalam hidupnya. Namun… semuanya… Ah, Annisa, Ummi mohon maaf…”

Annisa hanya bisa diam. Kini dia hanya bisa menatap mata indah ibunya Adam. Sampai ketika 
Aleesya pergi dan menitipkan salam untuk bundanya, Annisa masih terus sibuk dengan pikirannya. Dia bingung antara bahagia dan bingung. Membahagiakan ketika perasaannya masih berbalas, tapi sedikit miris ketika tahu betapa banyak hati wanita yang terluka karena perasaan mereka tak berbalas oleh Adam. Dan, itu karena dia. Padahal, bukan salahnya kalau semuanya terjadi.

Disatu sudut yang lain, lelaki itu juga merasakan hal yang sama. Bukan salah Annisa ketika banyak lelaki yang mengharapkannya. Ketika beberapa hari terakhir pertemuan mereka, Adam bisa melihat bahwa ada mata lain yang begitu memperhatikan Annisa. Ilyas. Lelaki muda berkharisma itu mencintai Annisa. Adam bingung. Satu sisi, dia begitu takut Annisa akan memilih lelaki itu karena dia lebih pantas menjadi imam bagi Annisa sedangkan dia hanya seorang muallaf, tapi disatu sisi lain Adam begitu menghormati Ilyas. Lelaki yang begitu baik, teman yang baik ketika diajak berdiskusi ketika dia tak mengerti akan sesuatu tentang islam.


***

“Nak, Ummi minta maaf. Tapi Ummi harus sampaikan, karena ini amanah orang… Pak Syahrul ingin menanyakan sekali lagi keputusanmu… apa kamu…”

“Ummi, Adam benar-benar minta maaf… kalau Ummi merasa tak enak, biar Adam sendiri yang bertemu Pak Syahrul dan mengutarakan jawaban Adam sendiri…”, Aleesya tersenyum. Kini dia dan Adam sedang duduk diteras rumahnya. Tepat didepan rumah mereka ada lapangan basket bergandengan dengan taman kecil. Beberapa orang sedang menikmati sore disana. Anak-anak remaja sedang bermain basket.

“Apa begitu sulitnya menghapus nama Annisa di hatimu, Nak?”

“Adam tidak pernah meminta perasaan ini. Mungkin Ummi lebih tahu, hati kita memang bersemayam ditubuh kita, tapi urusan hati memilih siapa, hanya Allah yang berhak memutuskannya. Dan untuk saat ini, nama itu masih terukir indah disalah satu sudut hati Adam…”, Aleesya sedikit terpana kemudian berakhir dengan senyuman penuh arti.

“Berarti Ummi tak perlu melamar siapapun untukmu?”, Adam memandang ibunya. Dia sedikit merasa bersalah.

“Ummi, jangan ngomong seperti itu, kita tak pernah tahu keputusan Allah akan hati ini…”
Pandangan Aleesya beralih ketika dia melihat seseorang itu datang mendekati rumah mereka. 
Kini wanita itu tersenyum lagi dan sambil menyentuh tangan Adam, bertanya…

“Kalau wanita itu yang Ummi lamar untukmu, kamu mau tidak?”, tanyanya sambil menunjuk kearah pagar yang sekarang sedang berusaha dibuka oleh seorang wanita. Adam terpana.

“Alhamdulillah Ummi, kalau yang ini… Adam belum bisa menolak…”, ucapnya sambil tersenyum sedikit malu.

“Assalamualaikum…”, suara itu membuat keduanya bangun dan menyambut wanita itu.

“Waalaikumussalam… masuk Annisa!”

Sejak pertama bertemu kembali, mereka memang jarang bertemu lagi. Ini bukan York, dimana keduanya begitu sering disatukan dalam satu scene. Bagi Adam dan Annisa, ini lah setting sebenarnya, ketika keduanya benar-benar diuji tentang perasaan masing-masing. Selain keduanya telah punya kesibukan masing-masing, tapi secara tidak langsung Tuhan seperti membatasi intensitas itu agar mereka introspeksi. Kedatangan Annisa mengantar pesanan ibu Adam merupakan pertemuan kedua, dan yang paling menggemaskan kan keduanya lebih banyak diam tak bicara. Hanya tatapan yang terkadang dicuri-curi. Keduanya seperti larut dalam perasaan yang baru mereka alami lagi. Yaa… they are falling again. Yaa… again and  for the same one. What a unique but romantis thing!

Maka ketika mereka ditinggal berdua diteras saat ibu Adam masuk memindahkan kuenya, Adam dengan sedikit spontan berkata…

“Annisa…”

“Iya…”, sahut Annisa sambil sedikit melirik wajah itu.

“I am sorry, I miss you…”,  Kini Annisa menoleh dan seketika mata mereka beradu.

“Kamu?”, Tanya Adam kemudian yang sukses membuat wajah didepannya merona. Annisa sedikit membuang muka dan tersenyum.

“Kalau aku bilang tidak, apa kamu akan menghilang lagi seperti waktu itu?”, pertanyaan itu 
sukses membuat Adam tertawa.


***

That’s a normal thing ketika hubungan sedikit menjadi dingin ketika beberapa lama tak bertemu. Dan itu juga yang terjadi pada Annisa dan Adam. Awalnya Annisa sedikit merasa kehilangan momen-momen itu. Adam tak pernah lagi dengan sengaja menyebutnya kekasih atau sayang untuknya. Lelaki itu juga tak pernah dengan sengaja memandangnya lama. Adam juga tak pernah lagi mengusap kepalanya ketika dia ingin mentransfer perasaannya. Kini Adam sangat bersikap wajar. Ada kehilangan, namun akhirnya Annisa merasa sikap inilah yang semakin membuat Adam begitu indah baginya. Adam yang kelihatan lebih matang. Adam yang lebih… Adam… dan Adam lagi. Uuhh… aku kenapa siyh?  Dan kini, Annisa seperti jatuh cinta lagi.

Ketika sedang membuka halaman-halaman majalah itu, matanya tertuju pada satu artikel…


Ketika cinta berbalas, rasanya ingin selalu mendendangkan lagu Melly Goslow… (Dan ku tlah jatuh cinta, ku wanita dan engkau lelaki, perasaanku berkata… I am falling in love)… Everything seems in the pink… the flowers are blooming wherever and whatever the girl sees… Rasanya ingin setiap detik mengucap namanya… tersenyum sendiri mengingat kebersamaan yang terkadang singkat namun begitu berkesan. Disela-sela itu, datang lah perasaan resah. Sangat resah. Dan semakin resah. She is missing him.

Annisa tersenyum malu. Dia memang sedang merindukan lelaki itu. Tuhan, aku ingin sekali bertemu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Benda kecil itu masih dengan baik disimpannya dan kini saatnya dia harus dikembalikan kepada sipemilik. Annisa meraih benda itu Tiba-tiba sebuah pesan masuk. Adam.

Annisa, may I see you?

Annisa tersenyum. Tanpa kau minta pun aku memang akan menemuimu.

***

Nak, Islam menganjurkan ketika diri sudah siap lahir batin dan apalagi kini seseorang telah hadir. Dia yang selalu engkau sebutkan dalam doamu. Sebaiknya niat mulia itu segera disampaikan. Jodoh memang ditangan Allah, tapi usaha kita juga elemen penting dalam penentuan jodoh…

Kata-kata ibunya terus terngiang-ngiang. Maka ketika dia selesai dengan ibadah asharnya, Adam memohon ampunan sang Khalik dan meminta petunjuk dan kemudahan akan niatnya hari ini. Dia telah benar-benar bertekad mengungkapkan itu semua. Dia ambil hpnya dan mulai mengirim sebuah pesan singkat. Tak sampai semenit sebuah pesan balasan masuk. Annisa.

InsyaAllah. After Ashar J

Adam akan bergegas ketika sebuah panggilan mengejutkannya.

“Ustad Yusuf, katanya anak-anak ingin diajarkan shalawat lagi… Kalau tak keberatan, setengah jam terakhir bisa mengajari anak-anak?”, ucap Ilyas. Adam tersenyum dan menyanggupi. Ilyas, aku minta maaf. Tapi, aku juga lelaki yang punya perasaan. Biarlah Allah yang memutuskan segalanya dan sekarang biarlah aku berusaha sedikit lagi.

Adam pulang sejenak. Dia harus bertemu sang bunda meminta restu dan doanya. Namun,

“Tadi kata Ummi mau shalat berjamaah di masjid, karena ada pertemuan dengan ibu-ibu kompleks hari ini… ada apa Bi?”, Tanya Nina kepada Adam. (Abi = panggilan untuk abang dalam bahasa Turki)

Adam pun bergegas kembali ke Mesjid. Dia berharap bisa bertemu sang bunda disana sementara dia mengajari anak-anak.

Anak-anak memang sedang menunggu-nunggu kehadirannya. Mereka bersorak gembira ketika Adam datang dan mengucap salam. Adam memulai dengan menanyakan kabar, karena dia memang jarang bertemu anak-anak itu. Namun disaat mereka akan memulai, Adam melihat ibunya…

“Maaf ya, Ustad permisi sebentar, harus ketemu seseorang. Selagi ustad pergi, masing-masing coba ucapkan “Laailahaillallah” sebanyak mungkin. Terus ditutup dengan syahadat yaa? Ustad kembali kita shalawat badar sama-sama…”, anak-anak patuh dan mulai melakukan apa yang Adam minta.

Adam sedikit berlari menuju sang bunda. Adam mengecup tangan ibunya takjub.

“Nak, Ummi ketemu Annisa tadi. Tapi Ummi belum bilang kalau…”

“That’s what I wanna tell you, Mom! Kalau Ummi tak keberatan Adam ingin sekali mengutarakannya sendiri kepadanya terlebih dahulu terlepas dari semua, apa Ummi menyetujui? Adam hanya ingin mewujudkan suatu keinginan kami yang tertunda…”

“Keinginan yang tertunda?”, ibunya bertanya lewat matanya. Adam hanya tersenyum.

“Apa Ummi menyetujui?”, Adam malah tak menjawab, tapi senyumannya sudah cukup bagi Aleesya. Wanita itu pun mengangguk.

“Pergilah…”


***

Annisa duduk di tangga masjid dan sedikit tersenyum melihat lelaki itu sedang asik dengan anak-anak. Dia menikmati scene itu. Dia memang sedang menunggu Adam ingin menyerahkan kembali benda kecil itu. Benda yang sekarang digengamnya erat itu. Namun, tiba-tiba ekspresinya berubah ketika melihat Adam pergi meningglakan anak-anak dengan sedikit tergesa. Annisa turun dan melangkah ke bawah pohon tepat dimana anak-anak sedang sayup-sayup mengucapkan zikir.

“Adik-adik, ustad Yusufnya mana?”

“Tadi izin sebentar kak…”

“Ooh…jadi ini lagi berzikir?”

“Iya, padahal kita mau diajarin shalawat badar sama ustad Yusuf…”, ucap Kiki.

“Oia? Hmm… gimana kalau kakak yang ajarin?”, anak-anak bersorak gembira.

Annisa tersenyum. Dia pun mengajak anak-anak mengucap Basmalah dan mulai bershalawat… 
Hatinya bahagia. Dia jadi rindu anak-anaknya di York. Ketika dia menikmati kegiatannya itu, pandangannya sedikit beralih kearah sosok yang sedang melangkah mendekat itu. Sosok lelaki itu berhenti tepat beberapa langkah didepannya. Matanya seolah menyiratkan sesuatu, tanpa diminta pun Annisa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju lelaki itu. Anak-anak seperti terhipnotis dan mereka terus bershalawat.

“What’s happening Adam?”, tanyanya sedikit cemas ketika telah berdiri tepat didepan lelaki itu.

Adam hanya diam.

“Adam, you oke?” Tanya Annisa ketika mendapati Adam hanya diam.

Dan disaat seperti ini, even no rehearsal or something he made for such a big moment. Namun, baginya inilah waktunya. Dia tatap mata didepannya itu. Annisa sedikit merasa deg-degan, perasaannya benar-benar berantakan. Sejak pertama bertemu lagi, ini lah pandangan yang dia rindukan itu. Dengan mengucap Basmalah dan memohon sokongan kekuatan berjuta-juta watt dari sang khalik, Adam akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata itu…

“Annisa, will you marry me?”

Sayup-sayup shalawat terdengar menghiasi scene itu…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar