Rabu, 05 Oktober 2011

Better In Time 14 - Is This The End??



“Kamu enggak apa-apa pagi-pagi udah kesini? Gak ke gereja?”

“Udah tadi”, Annisa melihat kearah Adam karena mendengar jawaban singkat itu. Sangat singkat.

“What’s wrong Adam?”, tanyanya.

“Haha...memangnya seperti ada yang terjadi padaku yaa?? Sayang, jangan terlalu cemas begitu, kelihatan banget rasa cinta kamu...”, ledek Adam. Annisa langsung cemberut. Adam tertawa, namun langsung berakhir pahit.

“Hmm... aku lagi ingin ketenangan aja, beberapa hari pikiran dan hatiku dilanda kegusaran... dan ketika keluarga datang ingin merayakan Natal bersama, aku pikir akan lebih indah, namun ternyata...”, dan kau tahu tidak kekasih, bukan hanya pikiran dan hatiku tapi juga keyakinanku. Dan entah kenapa disini, denganmu, dengan komunitasmu di rumah Tuhanmu ini aku merasa ketentraman yang sangat. Banyak hal yang membuatku sejalan dengan peraturan agamamu. Ketika tak ada hukum jelas dan tegas dalam Bibel tentang sesuatu yang memang secara logika merugikan dan membahayakan seperti hubungan sebelum nikah antara lelaki dan wanita, minuman keras, tata cara berpakaian, adab kepada orang tua atau muda dan masih banyak hal lainnya. Semuanya sangat jelas terurai didalam Al-Quran dan aku merasa kitab itu benar. Tapi kurasa kau tak perlu tahu...

Annisa diam menunggu kalimat Adam selanjutnya, namun Adam malah menoleh melihat kearahnya dan tersenyum...

“Annisa, kamu tahu gak? Setiap hari aku selalu merindukanmu... pakai sihir apa siyh?”, Muka Annisa merona karena malu juga sewot. Adam tertawa.

“Bukan karena sihir, tapi karena kamu aja tuch! Toh , I don’t miss you all the time like you do...”, ucap Annisa sedikit tegas. Adam tersenyum dan mencari mata itu karena Annisa sudah membuang muka.

“Today?”

“Nope!”

“Perkataanmu selalu berbau bohong! Sesekali akuilah kalau kamu memang rindu, sukanya dipendam, gimana kalau kita gak akan jumpa lagi dalam jangka waktu lama, nanti kamu nyesal lagi gak sempat ngomong jujur...”, Annisa terpana. Dia menoleh kearah Adam. Dia langsung merasa perasaannya tak enak.

“Kamu ngomong apa siyh?”

“Memang kenapa? Benar kan? Gak ada yang salah dengan kata-kataku kan?”, Annisa hanya diam.

Adam, apa harus aku mengungkap semua dengan kata-kata? Sudahlah…yang penting hatiku tahu, dan mungkin juga hatimu juga tahu, itu sudah sangat cukup. Ya Rabb, sampai kapan kami harus berjalan ditempat.

***


Dia mulai merasakan kebenaran akan kedamaian dalam kekeluargaan di agama Islam. Selesai sarapan bersama dengan komunitas yang dia sadari sangat berbeda dengannya, Adam memilih berjalan-jalan. Sementara Annisa mulai sibuk dengan kegiatannya bersama anak-anak kecil. Duduk melingkar dan mulai berkisah tentang para nabi.

Adam merasakan kakinya melangkah tanpa kesadaran kearah Mesjid. Dia benar-benar ingin masuk kesana. Enggak Adam! Ini hanya pengaruh mimpi! Dia pun berbalik dan melangkah menuju taman ketika seorang gadis kecil  menarik perhatiannya. Gadis itu berjalan menuju teras Mesjid dan mulai menaiki tangga itu, tangannya mengenggam erat yang disadari Adam sebagai sebuah Al-Qur’an. Kitab itu yang selama ini datang terus-terusan dalam mimpiku. 
Betapa kitab itu mereka muliakan, bahkan seorang gadis kecil. Dan dengan kesengajaan yang sangat dia pun mengikuti langkah-langkah kecil itu.


***


“What’s your name?”, sapa Adam. Gadis kecil itu hanya menoleh dan tersenyum. Kemudian kembali menikmati pandangannya kearah taman.

“Why do you sit alone here? Don’t you wanna join your friends?”, tanya Adam lagi.

“I’ll do, but after I finish reciting some verses of Al-Qur’an”, jawab gadis kecil itu sambil terus mengenggam kitab itu. Adam melihat kearah tangannya dan merasa sangat penasaran. Gadis itu melihat kearahnya lagi.

“Who are you? I’ve never seen you before!”

“I’m Adam,” jawab Adam singkat dan gadis kecil didepannya tersenyum sangat manis.

“Adam. Wow, that’s our first prophet’s name! Very nice name!”, Adam terpana. Jangan-jangan...

“Thank you!”

“Well... Adam, would you pleased doing something for me?”

“What’s that?”

“Dari semalam aku pengen sekali mendengar seseorang membacakan syahadat dan shalawat, will you?”, tanyanya dengan wajah memohon. Adam terpana. Benar kan! Dia mengira aku seorang Muslim sama sepertinya. Hanya gara-gara nama.
Adam diam. Bukan karena dia tak mau, tapi karena dia memang tak bisa. Tak punya bayangan sama sekali. Sekalipun dia sudah pernah membaca di salah satu buku islam tapi dia tidak benar-benar membacanya. Saat kecil sepertinya Ummi juga pernah mengajarinya, tapi dia benar lupa. Adam terus diam, sampai si gadis pun akhirnya jenuh.

“Why you just say nothing? Don’t say you can’t!”, muka gadis itu pun cemberut. Mungkin dalam pikirannya, lelaki dewasamacam apa yang tidak bisa bersyahadat dan bershalawat. Tiba-tiba gadis itu pun membuang muka dan sedetik selanjutnya dia mulai bergumam mengucapkan sesuatu. Gadis itu sedang mengucapkan syahadat dan diikuti dengan shalawat. Adam hanya bisa terpana. Senandung itu persis dengan apa yang ada di mimpinya dengan irama yang serupa. Tubuh Adam mulai berkeringat di musim dingin yang sangat menusuk. Setelah selesai dengan senadungnya, gadis yang tak diketahui namanya itu pun kembali menoleh...

“Kamu pengen gak ke syurga?”, kata-kata itu mengejutkan Adam yang sedang tak bisa fokus. Adam mengangguk.

“Aku juga pengen banget...”, sambung gadis itu.

Tapi sejujurnya masih belum tahu jalan kesyurga!”, ucap Adam asal.

“Aku tahu…”, Adam terkejut. Kejadian ini kan…

“Kata Annisa, jalan kesyurga itu mudah sekali sebenarnya. Kuncinya ikhlas mencintai Allah dan RasulNya. Suka membantu sesama, dan suka mengaji”, ucap si gadis sambil menatap Al-Qurannya.

“Annisa bilang jalan ke syurga itu akan terang benderang kalau semuanya dilakukan dengan ikhlas. Annisa juga bilang Allah tidak suka kekerasan, karena agama islam mencintai kedamaian. Walaupun dengan orang yang berbeda agama sekalipun, kita harus saling menyayangi. Walaupun terkadang kita diperlakukan tidak baik, kita tetap harus memaafkan. Katanya, kalau kita penyayang, Allah juga sayang dan sudah pasti semua orang pasti sayang…”, Adam seperti anak kecil, dan posisinya memang sudah terbalik. Kata-kata itu memang sangat sederhana dan hanya keluar dari mulut seorang gadis kecil, tapi itu merupakan kekuatan besar buat Adam. Dia sangat memaknainya. Otak dan hatinya kini mulai berjalan kearah seharusnya. Kebenaran Islam.

“Persis seperti Annisa…” sambung Adam selanjutnya.

“Iya, persis seperti Annisa. Semua orang mencintainya. I love her too, do you?”, Tanya gadis itu dan Adam tersenyum penuh arti.

“Very much!”

Gadis kecil itu pun tersenyum dan membuka Al-Quran dan memulai melantunkan surat Al-Ikhlas hingga Al-Fatihah. Adam merasakan tubuhnya dijalari energy yang luar biasa. Sejuk, tapi ironisnya tubuhnya berkeringat dingin di musim dingin ini. Gadis itu pun selesai.

“Adam… I need to go to the toilet…!”, tak ada respon. Gadis itu melihat kearah Adam yang sekarang menunduk dengan keringat diwajahnya dan tubuh yang bergetar.

“Adam… Adam, are you oke?”, Adam menoleh dengan susah payah dan mengangguk lemah.

“You sure?”, Adam tersenyum.

“Aku titip ini  sebentar yaa?”, gadis itu meraih tangan Adam dan meletakkan Al-Qur’an kecil itu tepat di telapak tangan Adam. Gadis itu sudah berlari meninggalkan Adam yang kini semakin merasakan sesuatu yang luar biasa. Harum semerbak menghinggapi indera penciumannya. 
Kegelisahannya hilang sudah. Kegusarannya lenyap. Hatinya yang dilemma sekarang penuh dengan pencerahan. Sesuatu ditangannya itu yang memberi kekuatan besar. Itu lah cara Allah. Semuanya terasa kabur. Hanya dirinya dan kitab itu di Mesjid itu. Namun, samar-samar terdengar suara gadis kecil itu dari jauh…

“Adam, you asked me my name, didn’t you? My name is the same as your girl. Annisa.”
Seolah puzzle mimpi-mimpinya mulai terpecahkan. Semuanya memang berarti dan Allah sutradaranya. Semuanya berkaitan. Mimpinya menjadi nyata. Déjà vu melandanya.


***

Dia mengemudikan mobilnya dengan cepat. Hatinya bergetar hebat. Dipersimpangan itu, 
mobilnya selalu akan berhenti ketika dia begitu ingin menumpahkan segala keluh kesah dan permasalahannya. Tapi saat ini, malah dia melewati gedung gereja itu. Dia menuju sebuah rumah itu. Rumah ibunya.

Melewati pagar kecil itu, dia melihat ibunya sedang mengaji di sebuah pondok kecil rumahnya. Kakinya yang awalnya tergesa-gesa, mulai melambat seolah sangat menikmati alunan suara itu yang membaca surat Ar-Rahman. Hatinya yang tadinya bergemuruh hebat, mulai mengikuti irama detakan yang tenang. Satu airmata jatuh. Seluruh tubuhnya seperti kaku, hilang rasa. Tapi dia begitu tenang.

Suara kunci mobilnya yang terjatuh dari tangannya menyadarkan wanita cantik itu akan hadirnya seseorang. Dia pun menoleh dan terpana. Anaknya menangis. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

“Adam!”, suara wanita itu menyadarkan adam. Dan tanpa diarahkan pun, Adam berjalan cepat dan memeluk erat ibunya. Dia terisak disana. Ya Allah, anakku! Debaran jantungnya begitu cepat. Ada apa Ya Rabb?

Dia biarkan itu beberapa saat sampai dia merasa debaran jantung anaknya mulai normal kembali, sambil terus mengucap istighfar dan membelai rambut Adam.

“Ummi..”

“Hmm...what happens Adam?”

“Ummi, apa berdosa jika Adam mulai mencintai seseorang?”,

“Tentu tidak, cinta itu berkah sayang”

“Tapi..”

“Tapi?”, Adam mendongak.

“Tapi Adam malah meninggalkan seseorang yang sangat Adam banggakan dan kasihi?”, ibunya terpana. Ada apa dengan Adam dan Annisa? Sampai serumit ini masalah mereka?

Mereka terdiam.

“Adam...hati ini memang letaknya di tubuh kita. Kita menganggap ini hati kita. Tapi sebenarnya ini milik Tuhan. Dia yang menentukan segala yang terjadi dengan hati kita. Kepada siapa hati ini kelak akan menjatuhkan pilihan. Itu semua bukan kehendak kita, tapi itu Tuhan yang punya andil. Jadi sebesar apa pun cinta kita kepada seseorang semenit yang lalu, bisa saja berubah total sekarang..jadi menurut Ummi, tidak ada yang salah dengan cinta.”

Adam terdiam.

“Ummi, getaran cinta itu makin besar ketika Adam berada di Mesjid tadi pagi ketika menemui Annisa...”, ibunya terpana namun penuh tanda tanya. Adam menunduk.

“Islam...itu...ternyata...indah, ummi, ya kan?,” ucapnya terbata sambil mendongak melihat ke arah ibunya. Bening air mata menghiasi matanya. Ibunya terpana.

“Subhanallah! Alhamdulillah, AllahuAkbar!”, tak dapat ditahan, airmata mengalir di kedua kelopak mata wanita itu. Dia memeluk erat tubuh Adam.

“Terima kasih hidayahMu, Ya Allah”.

“Ummi, Adam ingin bersyahadat. Ummi bisa bantu bimbing Adam?”, dan kini air mata haru Aleesya tak bisa terbendung. Dia memeluk putranya itu erat dan tak henti-hentinya mengucap syukur.

Dan di hari Natal itu, Aleesya membimbing Adam bersyahadat. Salju yang sesaat telah berhenti, turun lagi menyaksikan moment yang indah itu. Adam merasakan semuanya begitu indah. Tenteram. Untuk pertama kalinya dia mengucap hamdalah dengan takjub.


***


“Annisa tahu keadaanmu nak?”, Adam menggeleng dan tersenyum.

“Adam belum memberitahu siapapun ummi, dan Annisa tak perlu tahu. Adam yakin dia akan menyalahkan dirinya sendiri. Karena dia pasti berpikir...hmm, ya sudahlah. Biarlah keyakinan ini Adam yang rasa sendiri.”

“Tidak nak! Ini berita gembira. Annisa pasti gembira,” Adam memandang keluar jendela.

“Terlalu banyak hal yang dia hadapi selama Adam mendekatinya. Banyak tanggapan negatif. Adam tidak mau dia berpikir kalau keputusan Adam ini berhubungan erat dengannya...”

“Tapi sejujurnya iya kan Adam?”, Adam terkejut dan menoleh kepada umminya.

“Tidak sama sekali ummi!”

“Adam, Ummi tidak berusaha mengatakan kalau kamu meninggalkan keyakinanmu hanya karena mengikuti Nisa. Tidak, nak. Tapi kamu sadar tidak, hidayah yang Allah berikan untukmu itu mungkin berbeda bentuknya dengan yang selama ini kita tahu. Hidayahmu itu adalah Annisa. Allah menuntunmu menuju arahNya melalui Annisa. Dia hanya sebagai perantara, tapi hatimu sendiri yang memilih, ya kan?”, Adam terdiam dan hatinya mengiyakan. Ibunya tersenyum penuh makna.

***


Adam kemana ya? Apa dia sudah pulang karena merasa jenuh?

Annisa terus mencari sosok lelaki itu, namun semuanya sia-sia. Adam menghilang. Hpnya tidak aktif.

“Annisa!”, seseorang memanggilnya. Gadis kecil itu.

“Hai dear! Ada apa Annisa cilik?”, Tanya Nisa sambil tersenyum.

“Where’s Adam?”, pertanyaan itu tentu membuat Annisa terpana.

“Apa sayang?”

“Adam dimana Annisa? Dia pergi begitu saja membawa serta Al-Qur’an milikku…”, Annisa kini benar-benar terperanjat. Adam pergi membawa Al-Qur’an? Sebenarnya ada apa? Come on Adam, angkat telponnya! Annisa mulai sibuk lagi dengan hpnya.

“Sayang, sebentar yaa? I am trying to call Adam!”,

Tapi lagi-lagi usahanya gagal. Hp Adam masih tetap tak aktif.


***


Aleesya merasa sangat bahagia, tapi disatu sisi ada kecemasan yang luar biasa. Kini dirinya dan Adam sedang dalam perjalanan menuju kerumah Adam. Adam begitu berniat mengungkapkan segalanya. Dia benar-benar ingin. Wanita itu cemas akan respon keluarga Adam terhadap keputusan besarnya. Apapun yang terjadi, apapun reaksi Kakek, Nenek dan Daddy serta keluarga lainnya, Adam harus siap, Ummi. Tak ada yang perlu dicemaskan Ummi, semua keputusan punya konsekuensi. Dan yang paling penting sekarang, Adam punya Dia dan juga Ummi. Ucap Adam tadi ketika Aleesya terlihat begitu cemas.

Rumah cantik itu tak terlihat menarik lagi. Semuanya terlihat menakutkan dimata Aleesya. Kaki dan tangannya dingin bukan karena cuaca tapi karena kecemasan yang luar biasa. Dia tak mengkhawatirkan dirinya sendiri tapi putranya. Lelaki yang menjadi kebanggaan keluarga Josep dan kini telah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan yang dulunya tak berani diambil lelaki yang dicintainya itu, David. Ketika keyakinan menjadi taruhan, maka tak ada ampunan dalam keluarga itu. Dia mengenggam erat tangan anaknya. Adam terlihat santai, namun Aleesya tahu sesuatu bergemuruh didalam sana. Adam tak mungkin tega mengkhianati keluarganya, tapi keputusan ini demi kelangsungan hidupnya. Yang paling benar adalah ini bukan keputusannya tapi keputusan Tuhan akan jalan hidupnya.

Ketika berada diruang keluarga itu, semuanya terlihat serius. Dingin. Semuanya memang telah kurang senang ketika Adam menghilang tadi pagi dan mendapati Adam kembali dengan Aleesya.

“Sesuatu yang akan saya sampaikan ini mungkin akan mengejutkan. Tapi saya harus menyampaikannya. Sejujurnya tidak berniat merusak suasana Natal keluarga ini!”

Dan kata-kata itu membuat semuanya terpana. Josep menatap tajam kearah Adam, sedang 
istrinya memandang benci kearah Aleesya. Adam merasa gugup. Dari tadi dalam perjalanan, otaknya mulai merangkai kata-kata yang akan diucapkan, Kakek, Nenek, Ayah, Saya minta maaf. Saya sudah mengambil keputusan untuk memeluk agama Islam, mohon dimengerti. Atau… Kakek, Adam mohon maaf sebesar mungkin kalau keputusan Adam menyakiti semua. Tapi Adam merasakan kedamaian didalam Islam. Kini, bibirnya kelu. Dia mengucap istighfar dalam hati dan memohon kemudahan dan…

“Now, I am a Muslim!”, singkat, namun cukup membuat dirinya tenang. Semua beban kata-kata sekarang terlepaskan hanya oleh sepenggal kalimat yang sangat jelas itu.

Semua wajah didepannya terkejut. Muka Josep memerah. Sangat marah. Penerus kebanggaannya kini telah mengkhianatinya. Kristine, istrinya juga merasakan hal yang sama, tapi bukan pada Adam, tepatnya pada Aleesya. Dia memandang sengit kearah wanita yang sedari tadi menunduk itu dan mengucap doa apa pun yang dia bisa. Hanya lelaki itu yang tersenyum tipis. David. Dia merasa anaknya begitu berani bukan sepertinya.

“Jangan konyol Adam. Keputusan macam apa itu? Di hari suci Natal ini, kau bermain-main dengan keputusan… sebaiknya segera kau antar pulang wanita itu, jangan sampai dia terlalu jauh mempengaruhimu lagi..”, ucap Kristine. Josep hanya diam dengan muka yang semakin merah.

“Tidak Nek! Tidak ada  yang memaksa Adam. Terutama Ummi, ini murni keputusan Adam. Jangan salahkan Ummi! Aku butuh waktu agar bisa sampai pada titik ini, bukan keputusan sehari…”

“Cukup! Apa-apaan kau ini? Sudah cukup anakku yang dikelabui oleh dia. Sudah cukup aku begitu keras menjaga keyakinannya, dan kini kamu yang kubesar dalam agama yang benar berani-beraninya membela wanita itu dan beraninya mengkhianati keimananmu…”, sambung Kristine.

“Nenek, sudah cukup menyalahkan Ummi! Ini lah keyakinan yang kuanggap benar, semua pertanyaan tentang keimanan terjawab ketika aku berdekatan dengan Islam, namun Bibel dan semua diskusi bahkan dengan Pastur tidak membantu. Sekali lagi Ummi tidak pernah memaksaku…”

“Ini bukti bahwa kau berdekatan dengan wanita itu, makanya kau meragukan Tuhanmu..”, lanjut Kristine. Adam mulai merasakan mukanya memanas. Dia mulai emosi, tapi genggaman tangan dan bisikan ibunya meredam amarahnya. Josep masih saja diam.

“Pertanyaan-pertanyaan macam apa Adam?”, kini Diana angkat bicara.
Jeda. Semua mata kini tertuju padanya dan wanita disampingnya.

“Oke! Jelaskan padaku tentang konsep trinitas! Kenapa harus menyembah Tuhan yang 
jumlahnya tiga? Atas dasar apa hingga tercetus konsep trinitas? Apa pernah Jesus mengatakan bahwa dia adalah Tuhan? Tunjukkan padaku ayat yang membuktikan itu…dan yang juga penting, kenapa Bibel harus ada perbedaan isi antara perjanjian lama dan baru?”, tanyanya bertubi-tubi.

“Kenapa pertanyaan-pertanyaan itu bisa muncul sekarang Adam? Tega sekali engkau meragukan Tuhanmu…”, jawab Edwin, salah satu kerabat Adam.

“That doesn’t answer my questions!”, ucap Adam sambil tersenyum sinis.

“Semua hukum dalam Bibel semakin hari semakin membingungkanku. Dari dulu aku tak pernah dekat dengan Bibel. Itu tanda. Dan aku hanya meyakini Jesus, padahal dia hanya Tuhan anak. Aku benar-benar bingung. Belum lagi konsep pengampunan dosa. Semua jawaban aku temukan dalam Islam. Kitab suci yang murni isi dengan berbagai hukum dalam kehidupan. Dan paling penting Tuhanku hanya satu, yaitu Allah, bukan tiga!”,

“Plak!”, sebuah tamparan mendarat dipipi Adam. Perih. Adam mengaduh. Aleesya terkejut dan juga seluruh orang disana. Kini kemarahan Josep sudah berada dipuncaknya. David hanya bisa diam. Dia

“Dasar pengkhianat. Sudah cukup kau jelekkan Tuhan kami, kalau kau memang sudah tak percaya, pergi menjauh dari Tuhan kami dan bersujudlah pada Tuhan barumu itu”, ucap Josep marah. Adam terpana. Bukan tamparan itu yang sakit tapi hatinya perih.

“Dan kau wanita! Semuanya memang berawal darimu. Pergi bawa pengkhianat ini bersamamu agar kau bebas mengajarinya… dasar wanita pembawa sial!”, ucap Josep. David merasa iba, dia hanya bisa terpana. Tidak Aleesya, kau bukan pengkhianat! Kau bidadari!

“Cukup Kakek! Kami akan pergi, tapi ingat jangan kakek ucapkan kata-kata kejam itu lagi… Ayo Ummi! Selamat tinggal!”, ucap Adam sambil merangkul ibunya dan melangkah pergi.

“Tunggu!”, panggil Josep. Adam berhenti.

“Jangan pernah memanggilku Kakek lagi, kau bukan keluarga ini lagi. Kau pengkhianat dan pengkhianat bukan darah kami…”, Adam merasakan hatinya seperti diiris-iris pisau yang tumpul. Aleesya menangis.

“Dan satu lagi tinggalkan semuanya. Pergi dari You & Me dan menjauh dari kehidupan kami, kalau tidak, jangan salahkan kami kalau kehidupanmu dan wanita sialan itu akan seterusnya tidak tenang!”, air mata Aleesya semakin deras. Adam makin kuat merangkulnya. Mereka pergi.

“Adam, tunggu!”, panggil David.

“David, tetap disini!”, ucap ayahnya tegas. David hanya memandang sengit, tapi kakinya dengan sangat tega tak bisa bergerak.

David menahan emosinya. Anaknya diperlakukan tidak adil. Tapi begitulah keluarganya, setiap ada kerabat yang memilih agama lain, mereka memusuhi. Kehidupan tak tenang, dan kemudian memilih pergi menjauh. Kau hebat nak! Kau punya komitmen, tidak seperti ayahmu ini. Pergilah, cari kebenaran lewat hati dan matamu.


***

Adam benar-benar pergi. Dia benar meninggalkan semuanya. Rumah, You & Me, keluarga yang dicintai, mobil, dan segala fasilitas lainnya serta hp yang memang tertinggal di dalam mobil. Dan benda itu sudah puluhan kali berbunyi.

Dengan Aleesya, ibunya, mereka berencana pergi jauh. Mencari tempat yang tenang yang 
sekaligus bisa menjadi tempat yang tepat untuk Adam mendalami Islam. Adam mencari penerbangan tercepat. Kakeknya sudah pasti tak akan membiarkan mereka hidup tenang jika mereka berlama-lama disana, lelaki itu punya kuasa yang besar. Dia hanya mencemaskan ibunya.

Dalam perjalanan menuju airport pikirannya terpecah. Dan bayangan Annisa datang dengan begitu teganya. Kekasih, aku pergi. Meninggalkanmu. Maafkan aku! Annisa, aku rindu, kamu lagi apa? Apa aku bisa melihatmu sekali lagi? Allah, beri aku kesempatan untuk melihatnya sekali lagi…

Dia meminta sopir taksi berhenti di taman Museum Street, dia turun dan berjalan kecil. Memandang sekeliling. Dibawah pohon itu, dibangku itu biasanya dia melihat Annisa. Duduk sendiri, sibuk dengan kamera atau Al-Qur’an kecilnya. Menyelesaikan deadline dengan laptopnya. Di atas rumput dekat sungai itu, dia duduk bersama anak-anaknya. Adam benar-benar rindu. Seseorang itu menyentuh pundaknya…

“Adam…”, Adam mendongak dan tersenyum. Ibunya.

“Ayo Nak! Pesawatnya segera berangkat”, Aleesya tahu anaknya sedang dilemma. Dia merindukan kekasihnya. Adam mengangguk ketika tiba-tiba dia mendengar suara itu…


***

Annisa mulai cemas. Adam menghilang. Hpnya dari tadi tak dapat dihubungi. Tak biasanya perasaannya tidak nyaman begini memikirkan Adam. Dia teringat perkataan Adam yang tadi pagi. Hingga menjelang sore, hp Adam sudah aktif namun tak diangkat. Pertanyaan-pertanyaan berkelebat dipikirannya. Apa ada kesalahan yang dia perbuat hingga Adam pergi. Tidak, Adam bukan orang seperti itu.

Annisa memacu roller bladenya menuju taman. Carolyn, Katarine dan Ann menunggunya. Mereka ingin mengajaknya berkunjung kerumah mereka di hari Natal itu. Namun, Annisa 
memilih bertemu di taman. Ketika dia sampai, dia malah dikejutkan oleh perkataan Carolyn…

“Annisa, Seorang lelaki menitipkan ini untukmu…”, Annisa meraih sesuatu itu. Sebuah amplop coklat muda kecil. Ada kartu kecil didalamnya. Sebuah foto. Itu fotonya dengan Adam yang Nino ambil. Foto ketika Adam dan Nino memaksanya berpose dengan Adam, namun dia cuek dan memilih berjalan pergi dengan acuh meninggalkan Adam. Namun, Adam mengikutinya dengan mata tepat tertuju kearahnya.

Dear Annisa,
I believe it is not the end! So do you, don’t you?
God will bring us together to meet again someday…

Adam.

Ada rasa sedih luar biasa dalam hatinya. Matanya mulainya perih. Dia menangis. Dia tahu, itu kata-kata perpisahan. Adam pergi. Meninggalkannya. Tapi kenapa? Kenapa kamu pergi begitu saja Adam? Seketika kekuatannya menghilang, bahkan amplop sekecil dan seringan itu tak sanggup dia pegang. Amplop itu terasa berat, terjatuh ketanah. Dan menjatuhkan sebuah benda kecil berkilau. Sebuah cincin.

Carolyn mengutip cincin itu dan menyerahkannya pada Annisa. Gadis kecil itu merasakan sesuatu sedang bergejolak dihati Annisa sampai dia menangis. Dia pun meninggalkannya, menarik kedua temannya untuk ikut bersamanya.

Annisa tak bisa menahan lagi kesedihannya. Itu cincin saat Adam melamarnya. Dia memang terlalu cengeng, tapi ini lah dia dengan segala kekurangannya. Dia seorang wanita yang mudah sekali menangis. Dan di detik ini, hati dan pikirannya memang tak mau bekerja sama. Hati yang begitu sakit teriris, mengirim sinyal ke otak dan bagian utama itu mulai merespon dan mengirimkan semua sinyal ke seluruh tubuh. Kini tubuhnya bergetar. Sinyal yang paling terasa begitu tega adalah ketika kantung air mata mulai mengeluarkan airnya. Berbutir-butir. Dan mengalir teratur di pipinya…


Allah, is this the end?









2 komentar:

  1. and i cry mi :(. mudah2an ini bukan diakhir cerita y mi.

    BalasHapus
  2. Yiihiii...akhirnya qita punya blog ya af, heheheee...
    InsyaAllah kalau panjang umur, kita lanjut dikit lagi kisah Adam and Annisanya yaa...biar gak kecewa penonton ^_^

    BalasHapus