“Kamu enggak apa-apa pagi-pagi udah kesini? Gak
ke gereja?”
“Udah tadi”, Annisa melihat kearah Adam karena
mendengar jawaban singkat itu. Sangat singkat.
“What’s wrong Adam?”, tanyanya.
“Haha...memangnya seperti ada yang terjadi
padaku yaa?? Sayang, jangan terlalu cemas begitu, kelihatan banget rasa cinta
kamu...”, ledek Adam. Annisa langsung cemberut. Adam tertawa, namun langsung
berakhir pahit.
“Hmm... aku lagi ingin ketenangan aja, beberapa
hari pikiran dan hatiku dilanda kegusaran... dan ketika keluarga datang ingin
merayakan Natal bersama, aku pikir akan lebih indah, namun ternyata...”, dan kau tahu tidak kekasih, bukan hanya
pikiran dan hatiku tapi juga keyakinanku. Dan entah kenapa disini, denganmu,
dengan komunitasmu di rumah Tuhanmu ini aku merasa ketentraman yang sangat. Banyak hal yang
membuatku sejalan dengan peraturan agamamu. Ketika tak ada hukum jelas dan
tegas dalam Bibel tentang sesuatu yang memang secara logika merugikan dan
membahayakan seperti hubungan sebelum nikah antara lelaki dan wanita, minuman
keras, tata cara berpakaian, adab kepada orang tua atau muda dan masih banyak
hal lainnya. Semuanya sangat jelas terurai didalam Al-Quran dan aku merasa
kitab itu benar. Tapi
kurasa kau tak perlu tahu...
Annisa diam menunggu kalimat Adam selanjutnya,
namun Adam malah menoleh melihat kearahnya dan tersenyum...
“Annisa, kamu tahu gak? Setiap hari aku selalu
merindukanmu... pakai sihir apa siyh?”, Muka Annisa merona karena malu juga
sewot. Adam tertawa.
“Bukan karena sihir, tapi karena kamu aja tuch!
Toh , I don’t miss you all the time like you do...”, ucap Annisa sedikit tegas.
Adam tersenyum dan mencari mata itu karena Annisa sudah membuang muka.
“Today?”
“Nope!”
“Perkataanmu selalu berbau bohong! Sesekali
akuilah kalau kamu memang rindu, sukanya dipendam, gimana kalau kita gak akan
jumpa lagi dalam jangka waktu lama, nanti kamu nyesal lagi gak sempat ngomong
jujur...”, Annisa terpana. Dia menoleh kearah Adam. Dia langsung merasa
perasaannya tak enak.
“Kamu ngomong apa siyh?”
“Memang kenapa? Benar kan? Gak ada yang salah
dengan kata-kataku kan?”, Annisa hanya diam.
Adam, apa harus aku mengungkap semua dengan kata-kata?
Sudahlah…yang penting hatiku tahu, dan mungkin juga hatimu juga tahu, itu sudah
sangat cukup. Ya Rabb, sampai kapan kami harus berjalan ditempat.
***
Dia mulai merasakan kebenaran akan kedamaian
dalam kekeluargaan di agama Islam. Selesai sarapan bersama dengan komunitas
yang dia sadari sangat berbeda dengannya, Adam memilih berjalan-jalan.
Sementara Annisa mulai sibuk dengan kegiatannya bersama anak-anak kecil. Duduk
melingkar dan mulai berkisah tentang para nabi.
Adam merasakan kakinya melangkah tanpa kesadaran
kearah Mesjid. Dia benar-benar ingin masuk kesana. Enggak Adam! Ini hanya pengaruh mimpi! Dia pun berbalik dan
melangkah menuju taman ketika seorang gadis kecil menarik perhatiannya. Gadis itu berjalan menuju
teras Mesjid dan mulai menaiki tangga itu, tangannya mengenggam erat yang
disadari Adam sebagai sebuah Al-Qur’an. Kitab
itu yang selama ini datang terus-terusan dalam mimpiku.
Betapa kitab itu mereka
muliakan, bahkan seorang gadis kecil. Dan dengan kesengajaan yang sangat
dia pun mengikuti langkah-langkah kecil itu.
***
“What’s your name?”, sapa Adam. Gadis kecil itu
hanya menoleh dan tersenyum.
Kemudian kembali menikmati pandangannya kearah taman.
“Why do you sit alone here? Don’t you wanna join
your friends?”, tanya Adam lagi.
“I’ll do, but after I finish reciting some
verses of Al-Qur’an”, jawab gadis kecil itu sambil terus mengenggam kitab itu.
Adam melihat kearah tangannya dan merasa sangat penasaran. Gadis itu melihat
kearahnya lagi.
“Who are you? I’ve never seen you before!”
“I’m Adam,” jawab Adam singkat dan gadis kecil
didepannya tersenyum sangat manis.
“Adam. Wow, that’s our first prophet’s name!
Very nice name!”, Adam
terpana. Jangan-jangan...
“Thank you!”
“Well... Adam, would you pleased doing something
for me?”
“What’s that?”
“Dari semalam aku pengen sekali mendengar
seseorang membacakan syahadat dan shalawat, will you?”, tanyanya dengan wajah
memohon. Adam terpana. Benar kan! Dia
mengira aku seorang Muslim sama sepertinya. Hanya gara-gara nama.
Adam diam. Bukan karena dia tak mau, tapi karena
dia memang tak bisa. Tak punya bayangan sama sekali. Sekalipun dia sudah pernah
membaca di salah satu buku islam tapi dia tidak benar-benar membacanya. Saat kecil sepertinya Ummi juga pernah mengajarinya,
tapi dia benar lupa. Adam terus diam, sampai si gadis pun
akhirnya jenuh.
“Why you just say nothing? Don’t say you
can’t!”, muka gadis itu pun cemberut. Mungkin dalam pikirannya, lelaki
dewasamacam apa yang tidak bisa bersyahadat dan bershalawat. Tiba-tiba gadis
itu pun membuang muka dan sedetik selanjutnya dia mulai bergumam mengucapkan
sesuatu. Gadis itu sedang mengucapkan syahadat dan diikuti dengan shalawat.
Adam hanya bisa terpana. Senandung itu persis dengan apa yang ada di mimpinya
dengan irama yang serupa. Tubuh Adam
mulai berkeringat di musim dingin yang sangat menusuk. Setelah selesai dengan
senadungnya, gadis yang tak diketahui namanya itu pun kembali menoleh...
“Kamu pengen gak ke syurga?”, kata-kata itu
mengejutkan Adam yang sedang tak bisa fokus. Adam mengangguk.
“Aku juga pengen banget...”, sambung gadis itu.
“Tapi
sejujurnya masih belum tahu jalan kesyurga!”, ucap Adam asal.
“Aku tahu…”, Adam terkejut. Kejadian ini kan…
“Kata Annisa, jalan kesyurga itu
mudah sekali sebenarnya. Kuncinya ikhlas mencintai Allah dan RasulNya. Suka
membantu sesama, dan suka mengaji”, ucap si gadis sambil menatap Al-Qurannya.
“Annisa bilang jalan ke syurga itu
akan terang benderang kalau semuanya dilakukan dengan ikhlas. Annisa juga
bilang Allah tidak suka kekerasan, karena agama islam mencintai kedamaian.
Walaupun dengan orang yang berbeda agama sekalipun, kita harus saling
menyayangi. Walaupun terkadang kita diperlakukan tidak baik, kita tetap harus
memaafkan. Katanya, kalau kita penyayang, Allah juga sayang dan sudah pasti
semua orang pasti sayang…”, Adam seperti anak kecil, dan posisinya memang sudah
terbalik. Kata-kata itu memang sangat sederhana dan hanya keluar dari mulut
seorang gadis kecil, tapi itu merupakan kekuatan besar buat Adam. Dia sangat
memaknainya. Otak dan hatinya kini mulai berjalan kearah seharusnya. Kebenaran
Islam.
“Persis seperti Annisa…” sambung
Adam selanjutnya.
“Iya, persis seperti Annisa. Semua
orang mencintainya. I love her too, do you?”, Tanya gadis itu dan Adam
tersenyum penuh arti.
“Very much!”
Gadis kecil itu pun tersenyum dan
membuka Al-Quran dan memulai melantunkan surat Al-Ikhlas hingga Al-Fatihah.
Adam merasakan tubuhnya dijalari energy yang luar biasa. Sejuk, tapi ironisnya
tubuhnya berkeringat dingin di musim dingin ini. Gadis itu pun selesai.
“Adam… I need to go to the
toilet…!”, tak ada respon. Gadis itu melihat kearah Adam yang sekarang menunduk
dengan keringat diwajahnya dan tubuh yang bergetar.
“Adam… Adam, are you oke?”, Adam
menoleh dengan susah payah dan mengangguk lemah.
“You sure?”, Adam tersenyum.
“Aku titip ini sebentar yaa?”, gadis itu meraih tangan Adam
dan meletakkan Al-Qur’an kecil itu tepat di telapak tangan Adam. Gadis itu
sudah berlari meninggalkan Adam yang kini semakin merasakan sesuatu yang luar
biasa. Harum semerbak menghinggapi indera penciumannya.
Kegelisahannya hilang
sudah. Kegusarannya lenyap. Hatinya yang dilemma sekarang penuh dengan
pencerahan. Sesuatu ditangannya itu yang memberi kekuatan besar. Itu lah cara
Allah. Semuanya terasa kabur. Hanya dirinya dan kitab itu di Mesjid itu. Namun,
samar-samar terdengar suara gadis kecil itu dari jauh…
“Adam, you asked me my name, didn’t
you? My name is the same as your girl. Annisa.”
Seolah puzzle mimpi-mimpinya mulai
terpecahkan. Semuanya memang berarti dan Allah sutradaranya. Semuanya
berkaitan. Mimpinya menjadi nyata. Déjà vu melandanya.
***
Dia mengemudikan mobilnya dengan
cepat. Hatinya bergetar hebat. Dipersimpangan itu,
mobilnya selalu akan
berhenti ketika dia begitu ingin menumpahkan segala keluh kesah dan
permasalahannya. Tapi saat ini, malah dia melewati gedung gereja itu. Dia
menuju sebuah rumah itu. Rumah ibunya.
Melewati pagar kecil itu, dia
melihat ibunya sedang mengaji di sebuah pondok kecil rumahnya. Kakinya yang
awalnya tergesa-gesa, mulai melambat seolah sangat menikmati alunan suara itu
yang membaca surat Ar-Rahman. Hatinya yang tadinya bergemuruh hebat, mulai
mengikuti irama detakan yang tenang. Satu airmata jatuh. Seluruh tubuhnya
seperti kaku, hilang rasa. Tapi dia begitu tenang.
Suara kunci mobilnya yang terjatuh
dari tangannya menyadarkan wanita cantik itu akan hadirnya seseorang. Dia pun
menoleh dan terpana. Anaknya menangis. Sesuatu yang tidak pernah terjadi
sebelumnya.
“Adam!”, suara wanita itu
menyadarkan adam. Dan tanpa diarahkan pun, Adam berjalan cepat dan memeluk erat
ibunya. Dia terisak disana. Ya Allah, anakku! Debaran jantungnya begitu cepat.
Ada apa Ya Rabb?
Dia biarkan itu beberapa saat sampai
dia merasa debaran jantung anaknya mulai normal kembali, sambil terus mengucap
istighfar dan membelai rambut Adam.
“Ummi..”
“Hmm...what happens Adam?”
“Ummi, apa berdosa jika Adam mulai
mencintai seseorang?”,
“Tentu tidak, cinta itu berkah
sayang”
“Tapi..”
“Tapi?”, Adam mendongak.
“Tapi Adam malah meninggalkan
seseorang yang sangat Adam banggakan dan kasihi?”, ibunya terpana. Ada apa dengan Adam dan Annisa? Sampai
serumit ini masalah mereka?
Mereka terdiam.
“Adam...hati ini memang letaknya di
tubuh kita. Kita menganggap ini hati kita. Tapi sebenarnya ini milik Tuhan. Dia
yang menentukan segala yang terjadi dengan hati kita. Kepada siapa hati ini
kelak akan menjatuhkan pilihan. Itu semua bukan kehendak kita, tapi itu Tuhan
yang punya andil. Jadi sebesar apa pun cinta kita kepada seseorang semenit yang
lalu, bisa saja berubah total sekarang..jadi menurut Ummi, tidak ada yang salah
dengan cinta.”
Adam terdiam.
“Ummi, getaran cinta itu makin besar
ketika Adam berada di Mesjid tadi pagi ketika menemui Annisa...”, ibunya
terpana namun penuh tanda tanya. Adam menunduk.
“Islam...itu...ternyata...indah,
ummi, ya kan?,” ucapnya terbata sambil mendongak melihat ke arah ibunya. Bening
air mata menghiasi matanya. Ibunya terpana.
“Subhanallah! Alhamdulillah,
AllahuAkbar!”, tak dapat ditahan, airmata mengalir di kedua kelopak mata wanita
itu. Dia memeluk erat tubuh Adam.
“Terima kasih hidayahMu, Ya Allah”.
“Ummi, Adam ingin bersyahadat. Ummi
bisa bantu bimbing Adam?”, dan kini air mata haru Aleesya tak bisa terbendung.
Dia memeluk putranya itu erat dan tak henti-hentinya mengucap syukur.
Dan di hari Natal itu, Aleesya
membimbing Adam bersyahadat. Salju yang sesaat telah berhenti, turun lagi
menyaksikan moment yang indah itu. Adam merasakan semuanya begitu indah.
Tenteram. Untuk pertama kalinya dia mengucap hamdalah dengan takjub.
***
“Annisa tahu keadaanmu nak?”, Adam
menggeleng dan tersenyum.
“Adam belum memberitahu siapapun
ummi, dan Annisa tak perlu tahu. Adam yakin dia akan menyalahkan dirinya
sendiri. Karena dia pasti berpikir...hmm, ya sudahlah. Biarlah keyakinan ini
Adam yang rasa sendiri.”
“Tidak nak! Ini berita gembira.
Annisa pasti gembira,” Adam memandang keluar jendela.
“Terlalu banyak hal yang dia hadapi
selama Adam mendekatinya. Banyak tanggapan negatif. Adam tidak mau dia berpikir
kalau keputusan Adam ini berhubungan erat dengannya...”
“Tapi sejujurnya iya kan Adam?”, Adam
terkejut dan menoleh kepada umminya.
“Tidak sama sekali ummi!”
“Adam, Ummi tidak berusaha
mengatakan kalau kamu meninggalkan keyakinanmu hanya karena mengikuti Nisa.
Tidak, nak. Tapi kamu sadar tidak, hidayah yang Allah berikan untukmu itu
mungkin berbeda bentuknya dengan yang selama ini kita tahu. Hidayahmu itu
adalah Annisa. Allah menuntunmu menuju arahNya melalui Annisa. Dia hanya
sebagai perantara, tapi hatimu sendiri yang memilih, ya kan?”, Adam terdiam dan
hatinya mengiyakan. Ibunya tersenyum penuh makna.
***
Adam kemana ya? Apa dia sudah pulang karena merasa
jenuh?
Annisa terus mencari sosok lelaki
itu, namun semuanya sia-sia. Adam menghilang. Hpnya tidak aktif.
“Annisa!”, seseorang memanggilnya.
Gadis kecil itu.
“Hai dear! Ada apa Annisa cilik?”,
Tanya Nisa sambil tersenyum.
“Where’s Adam?”, pertanyaan itu
tentu membuat Annisa terpana.
“Apa sayang?”
“Adam dimana Annisa? Dia pergi
begitu saja membawa serta Al-Qur’an milikku…”, Annisa kini benar-benar
terperanjat. Adam pergi membawa
Al-Qur’an? Sebenarnya ada apa? Come on Adam, angkat telponnya! Annisa mulai
sibuk lagi dengan hpnya.
“Sayang, sebentar yaa? I am trying
to call Adam!”,
Tapi lagi-lagi usahanya gagal. Hp
Adam masih tetap tak aktif.
***
Aleesya merasa sangat bahagia, tapi
disatu sisi ada kecemasan yang luar biasa. Kini dirinya dan Adam sedang dalam
perjalanan menuju kerumah Adam. Adam begitu berniat mengungkapkan segalanya.
Dia benar-benar ingin. Wanita itu cemas akan respon keluarga Adam terhadap
keputusan besarnya. Apapun yang terjadi,
apapun reaksi Kakek, Nenek dan Daddy serta keluarga lainnya, Adam harus siap,
Ummi. Tak ada yang perlu dicemaskan Ummi, semua keputusan punya konsekuensi.
Dan yang paling penting sekarang, Adam punya Dia dan juga Ummi. Ucap Adam
tadi ketika Aleesya terlihat begitu cemas.
Rumah cantik itu tak terlihat
menarik lagi. Semuanya terlihat menakutkan dimata Aleesya. Kaki dan tangannya
dingin bukan karena cuaca tapi karena kecemasan yang luar biasa. Dia tak mengkhawatirkan
dirinya sendiri tapi putranya. Lelaki yang menjadi kebanggaan keluarga Josep
dan kini telah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan yang dulunya
tak berani diambil lelaki yang dicintainya itu, David. Ketika keyakinan menjadi
taruhan, maka tak ada ampunan dalam keluarga itu. Dia mengenggam erat tangan
anaknya. Adam terlihat santai, namun Aleesya tahu sesuatu bergemuruh didalam
sana. Adam tak mungkin tega mengkhianati keluarganya, tapi keputusan ini demi
kelangsungan hidupnya. Yang paling benar adalah ini bukan keputusannya tapi
keputusan Tuhan akan jalan hidupnya.
Ketika berada diruang keluarga itu,
semuanya terlihat serius. Dingin. Semuanya memang telah kurang senang ketika
Adam menghilang tadi pagi dan mendapati Adam kembali dengan Aleesya.
“Sesuatu yang akan saya sampaikan
ini mungkin akan mengejutkan. Tapi saya harus menyampaikannya. Sejujurnya tidak
berniat merusak suasana Natal keluarga ini!”
Dan kata-kata itu membuat semuanya terpana.
Josep menatap tajam kearah Adam, sedang
istrinya memandang benci kearah
Aleesya. Adam merasa gugup. Dari tadi dalam perjalanan, otaknya mulai merangkai
kata-kata yang akan diucapkan, Kakek,
Nenek, Ayah, Saya minta maaf. Saya sudah mengambil keputusan untuk memeluk
agama Islam, mohon dimengerti. Atau… Kakek,
Adam mohon maaf sebesar mungkin kalau keputusan Adam menyakiti semua. Tapi Adam
merasakan kedamaian didalam Islam. Kini, bibirnya kelu. Dia mengucap
istighfar dalam hati dan memohon kemudahan dan…
“Now, I am a Muslim!”, singkat,
namun cukup membuat dirinya tenang. Semua beban kata-kata sekarang terlepaskan
hanya oleh sepenggal kalimat yang sangat jelas itu.
Semua wajah didepannya terkejut.
Muka Josep memerah. Sangat marah. Penerus kebanggaannya kini telah
mengkhianatinya. Kristine, istrinya juga merasakan hal yang sama, tapi bukan
pada Adam, tepatnya pada Aleesya. Dia memandang sengit kearah wanita yang
sedari tadi menunduk itu dan mengucap doa apa pun yang dia bisa. Hanya lelaki
itu yang tersenyum tipis. David. Dia merasa anaknya begitu berani bukan
sepertinya.
“Jangan konyol Adam. Keputusan macam
apa itu? Di hari suci Natal ini, kau bermain-main dengan keputusan… sebaiknya
segera kau antar pulang wanita itu, jangan sampai dia terlalu jauh mempengaruhimu
lagi..”, ucap Kristine. Josep hanya diam dengan muka yang semakin merah.
“Tidak Nek! Tidak ada yang memaksa Adam. Terutama Ummi, ini murni
keputusan Adam. Jangan salahkan Ummi! Aku butuh waktu agar bisa sampai pada
titik ini, bukan keputusan sehari…”
“Cukup! Apa-apaan kau ini? Sudah
cukup anakku yang dikelabui oleh dia. Sudah cukup aku begitu keras menjaga
keyakinannya, dan kini kamu yang kubesar dalam agama yang benar
berani-beraninya membela wanita itu dan beraninya mengkhianati keimananmu…”,
sambung Kristine.
“Nenek, sudah cukup menyalahkan
Ummi! Ini lah keyakinan yang kuanggap benar, semua pertanyaan tentang keimanan
terjawab ketika aku berdekatan dengan Islam, namun Bibel dan semua diskusi
bahkan dengan Pastur tidak membantu. Sekali lagi Ummi tidak pernah memaksaku…”
“Ini bukti bahwa kau berdekatan
dengan wanita itu, makanya kau meragukan Tuhanmu..”, lanjut Kristine. Adam
mulai merasakan mukanya memanas. Dia mulai emosi, tapi genggaman tangan dan
bisikan ibunya meredam amarahnya. Josep masih saja diam.
“Pertanyaan-pertanyaan macam apa
Adam?”, kini Diana angkat bicara.
Jeda. Semua mata kini tertuju
padanya dan wanita disampingnya.
“Oke! Jelaskan padaku tentang konsep
trinitas! Kenapa harus menyembah Tuhan yang
jumlahnya tiga? Atas dasar apa
hingga tercetus konsep trinitas? Apa pernah Jesus mengatakan bahwa dia adalah
Tuhan? Tunjukkan padaku ayat yang membuktikan itu…dan yang juga penting, kenapa
Bibel harus ada perbedaan isi antara perjanjian lama dan baru?”, tanyanya
bertubi-tubi.
“Kenapa pertanyaan-pertanyaan itu
bisa muncul sekarang Adam? Tega sekali engkau meragukan Tuhanmu…”, jawab Edwin,
salah satu kerabat Adam.
“That doesn’t answer my questions!”,
ucap Adam sambil tersenyum sinis.
“Semua hukum dalam Bibel semakin
hari semakin membingungkanku. Dari dulu aku tak pernah dekat dengan Bibel. Itu
tanda. Dan aku hanya meyakini Jesus, padahal dia hanya Tuhan anak. Aku
benar-benar bingung. Belum lagi konsep pengampunan dosa. Semua jawaban aku
temukan dalam Islam. Kitab suci yang murni isi dengan berbagai hukum dalam
kehidupan. Dan paling penting Tuhanku hanya satu, yaitu Allah, bukan tiga!”,
“Plak!”, sebuah tamparan mendarat
dipipi Adam. Perih. Adam mengaduh. Aleesya terkejut dan juga seluruh orang
disana. Kini kemarahan Josep sudah berada dipuncaknya. David hanya bisa diam. Dia
“Dasar pengkhianat. Sudah cukup kau
jelekkan Tuhan kami, kalau kau memang sudah tak percaya, pergi menjauh dari
Tuhan kami dan bersujudlah pada Tuhan barumu itu”, ucap Josep marah. Adam
terpana. Bukan tamparan itu yang sakit tapi hatinya perih.
“Dan kau wanita! Semuanya memang
berawal darimu. Pergi bawa pengkhianat ini bersamamu agar kau bebas
mengajarinya… dasar wanita pembawa sial!”, ucap Josep. David merasa iba, dia
hanya bisa terpana. Tidak Aleesya, kau
bukan pengkhianat! Kau bidadari!
“Cukup Kakek! Kami akan pergi, tapi
ingat jangan kakek ucapkan kata-kata kejam itu lagi… Ayo Ummi! Selamat tinggal!”,
ucap Adam sambil merangkul ibunya dan melangkah pergi.
“Tunggu!”, panggil Josep. Adam
berhenti.
“Jangan pernah memanggilku Kakek
lagi, kau bukan keluarga ini lagi. Kau pengkhianat dan pengkhianat bukan darah
kami…”, Adam merasakan hatinya seperti diiris-iris pisau yang tumpul. Aleesya
menangis.
“Dan satu lagi tinggalkan semuanya.
Pergi dari You & Me dan menjauh dari kehidupan kami, kalau tidak, jangan
salahkan kami kalau kehidupanmu dan wanita sialan itu akan seterusnya tidak
tenang!”, air mata Aleesya semakin deras. Adam makin kuat merangkulnya. Mereka
pergi.
“Adam, tunggu!”, panggil David.
“David, tetap disini!”, ucap ayahnya
tegas. David hanya memandang sengit, tapi kakinya dengan sangat tega tak bisa
bergerak.
David menahan emosinya. Anaknya
diperlakukan tidak adil. Tapi begitulah keluarganya, setiap ada kerabat yang
memilih agama lain, mereka memusuhi. Kehidupan tak tenang, dan kemudian memilih
pergi menjauh. Kau hebat nak! Kau punya
komitmen, tidak seperti ayahmu ini. Pergilah, cari kebenaran lewat hati dan
matamu.
***
Adam benar-benar pergi. Dia benar
meninggalkan semuanya. Rumah, You & Me, keluarga yang dicintai, mobil, dan
segala fasilitas lainnya serta hp yang memang tertinggal di dalam mobil. Dan
benda itu sudah puluhan kali berbunyi.
Dengan Aleesya, ibunya, mereka
berencana pergi jauh. Mencari tempat yang tenang yang
sekaligus bisa menjadi
tempat yang tepat untuk Adam mendalami Islam. Adam mencari penerbangan
tercepat. Kakeknya sudah pasti tak akan membiarkan mereka hidup tenang jika
mereka berlama-lama disana, lelaki itu punya kuasa yang besar. Dia hanya
mencemaskan ibunya.
Dalam perjalanan menuju airport
pikirannya terpecah. Dan bayangan Annisa datang dengan begitu teganya. Kekasih, aku pergi. Meninggalkanmu. Maafkan aku!
Annisa, aku rindu, kamu lagi apa? Apa aku bisa melihatmu sekali lagi? Allah,
beri aku kesempatan untuk melihatnya sekali lagi…
Dia meminta sopir taksi berhenti di
taman Museum Street, dia turun dan berjalan kecil. Memandang sekeliling. Dibawah
pohon itu, dibangku itu biasanya dia melihat Annisa. Duduk sendiri, sibuk
dengan kamera atau Al-Qur’an kecilnya. Menyelesaikan deadline dengan laptopnya.
Di atas rumput dekat sungai itu, dia duduk bersama anak-anaknya. Adam benar-benar
rindu. Seseorang itu menyentuh pundaknya…
“Adam…”, Adam mendongak dan
tersenyum. Ibunya.
“Ayo Nak! Pesawatnya segera
berangkat”, Aleesya tahu anaknya sedang dilemma. Dia merindukan kekasihnya. Adam
mengangguk ketika tiba-tiba dia mendengar suara itu…
***
Annisa mulai cemas. Adam menghilang.
Hpnya dari tadi tak dapat dihubungi. Tak biasanya perasaannya tidak nyaman
begini memikirkan Adam. Dia teringat perkataan Adam yang tadi pagi. Hingga menjelang
sore, hp Adam sudah aktif namun tak diangkat. Pertanyaan-pertanyaan berkelebat
dipikirannya. Apa ada kesalahan yang dia perbuat hingga Adam pergi. Tidak, Adam bukan orang seperti itu.
Annisa memacu roller bladenya menuju
taman. Carolyn, Katarine dan Ann menunggunya. Mereka ingin mengajaknya
berkunjung kerumah mereka di hari Natal itu. Namun, Annisa
memilih bertemu di
taman. Ketika dia sampai, dia malah dikejutkan oleh perkataan Carolyn…
“Annisa, Seorang lelaki menitipkan
ini untukmu…”, Annisa meraih sesuatu itu. Sebuah amplop coklat muda kecil. Ada kartu
kecil didalamnya. Sebuah foto. Itu fotonya dengan Adam yang Nino ambil. Foto ketika
Adam dan Nino memaksanya berpose dengan Adam, namun dia cuek dan memilih
berjalan pergi dengan acuh meninggalkan Adam. Namun, Adam mengikutinya dengan
mata tepat tertuju kearahnya.
Dear Annisa,
I believe it is not the end! So do you, don’t you?
God will bring us together to meet again someday…
Adam.
Ada rasa sedih luar biasa dalam
hatinya. Matanya mulainya perih. Dia menangis. Dia tahu, itu kata-kata
perpisahan. Adam pergi. Meninggalkannya. Tapi
kenapa? Kenapa kamu pergi begitu saja Adam? Seketika kekuatannya menghilang,
bahkan amplop sekecil dan seringan itu tak sanggup dia pegang. Amplop itu
terasa berat, terjatuh ketanah. Dan menjatuhkan sebuah benda kecil berkilau. Sebuah
cincin.
Carolyn mengutip cincin itu dan
menyerahkannya pada Annisa. Gadis kecil itu merasakan sesuatu sedang bergejolak
dihati Annisa sampai dia menangis. Dia pun meninggalkannya, menarik kedua
temannya untuk ikut bersamanya.
Annisa tak bisa menahan lagi
kesedihannya. Itu cincin saat Adam melamarnya. Dia memang terlalu cengeng, tapi
ini lah dia dengan segala kekurangannya. Dia seorang wanita yang mudah sekali
menangis. Dan di detik ini, hati dan pikirannya memang tak mau bekerja sama. Hati
yang begitu sakit teriris, mengirim sinyal ke otak dan bagian utama itu mulai
merespon dan mengirimkan semua sinyal ke seluruh tubuh. Kini tubuhnya bergetar.
Sinyal yang paling terasa begitu tega adalah ketika kantung air mata mulai
mengeluarkan airnya. Berbutir-butir. Dan mengalir teratur di pipinya…
Allah, is this the end?
and i cry mi :(. mudah2an ini bukan diakhir cerita y mi.
BalasHapusYiihiii...akhirnya qita punya blog ya af, heheheee...
BalasHapusInsyaAllah kalau panjang umur, kita lanjut dikit lagi kisah Adam and Annisanya yaa...biar gak kecewa penonton ^_^