“Non, kamu pucat banget! Sakit yaa?”, Tanya Nino
saat menyambut Annisa datang dipintu kaca itu. Annisa mendongak dan hanya
terdiam lama. Nino bingung.
“Hmm… Bos udah datang?”, tanyanya tanpa menjawab
pertanyaan Nino. Dan sudah pasti,
Annisa sudah tahu jawabannya. Dia hanya ingin
memastikan, apakah semua yang sudah terjadi hanya mimpi. Dan hari ini, Adam
akan datang dengan gayanya yang khas, masuk dengan sapaan khas, tersenyum juga
khas.
“Pak Adam?”, Tanya Nino memastikan. Bukannya
mengangguk, wajah didepannya malah terlihat memprihatinkan. Nino agak terkejut.
“Sepertinya belum datang… biasanya kan memang
menjelang jam 8 beliau datang. Ah, kamu sok nanya, padahal kamu yang lebih
tahu, hehe…”, goda Nino. Namun lagi-lagi wajah di depannya menampakkan ekspresi
yang tak diharapkan sama sekali. Mata itu sedikit berkaca-kaca. Nino kini
terkejut. Annisa langsung pergi meninggalkannya dengan segudang tanya.
Kini satu persatu pegawai telah datang. Hanya
satu ruangan dengan meja kerja itu yang belum terisi. Ruang kerja Adam. Namun,
pintu masuk kaca itu tak kunjung terbuka lagi. Annisa masih tetap setia melihat
kearah itu, mengharap satu keajaiban datang dan Adam benar-benar hadir. Nino memperhatikan itu, dia
menuju meja Reni…
“Mba, sepertinya ada sesuatu antara Annisa dan
Pak Adam! Mba tahu sesuatu gak?”, Reni mendongak.
“Enggak, emang ada apa siyh?”, Tanya Reni dan
Nino menunjuk kearah Annisa. Reni baru tersadar akan keanehan sahabatnya itu.
“Dan yang anehnya, Pak Adam belum datang. Ini
sudah hampir 20 menit dari jam masuk…”, sambung Nino dan Reni mengangguk.
“Hmm…mungkin Pak Adam telat, kan keluarganya
masih disini…”, ucap Reni bijak.
Tiba-tiba saja pintu kaca itu terbuka. Annisa
mendongak, bukan sosok lelaki yang masuk malah seorang wanita cantik bertubuh
mungil dengan barang-barangnya. Wajahnya sedikit dingin. Diana. Dia
tergopoh-gopoh datang dengan barang-barangnya. Annisa merasakan sakit
didadanya. Sedang semua mata yang lain terpana akan kedatangan mantan atasannya
itu.
“Pagi semuanya!”, sapa Diana.
“Saya yakin kalian semua heran akan kedatangan
saya. To the point, saya akan menggantikan posisi Adam sementara penggantinya
yang permanen sedang diputuskan. Mudah-mudahan kita bisa kerja sama dengan baik
seperti dulu…”, ucapnya singkat dan langsung memasuki ruang kerjanya. Nino dan
Reni saling pandang. Mereka berpikir bahwa ini lah yang membuat Annisa bersikap
aneh hari ini.
Tak da yang tahu kenapa Adam pergi begitu saja. Tak
ada penjelasan sedikit pun dari bibir Diana kenapa Adam tak bekerja lagi.
Ketika semua mata akhirnya malah menuju kearah Annisa, dia hanya bisa mendesah.
Tak ada jawaban juga padanya, dia juga sama dengan mereka. Malah mungkin dia
lebih heran dan yang paling penting hati dan perasaannya perih.
“Kamu putus sama Pak Adam ya Sa?”, Tanya Desy
tiba-tiba membuka pembicaraan saat break time. Annisa hanya diam dan tersenyum
pahit. Putus? Lebih sakit lagi, Aku
ditinggalkan Mba!
“Putus apa Mba? Memang kami gak ada hubungan
apa-apa kok!”, ucapnya sedikit sulit karena dia menahan perasaannya begitu
kuat.
“Jadi kenapa Pak Adam tak masuk kantor lagi Sa?
Kalian baik-baik saja kan?”, Tanya Lulu penasaran. Kini Annisa hanya bisa
menunduk. Dia tak tahu harus bagaimana menghadapi segala pertanyaan-pertanyaan
itu. Rasanya air mata itu memaksa keluar, tapi dia paksakan agar tidak hingga
dia tak bisa berbicara. Reni tahu dan memberi isyarat Lulu dan Desy.
Selama beberapa waktu berlalu, mereka berusaha
menjaga perasaan Annisa. Tak ada pertanyaan tentang Adam, namun tetap saja ada
hal-hal tertentu yang mengingatkan mereka akan Bos mereka itu dan akhirnya
berujung tatapan iba kearah Annisa.
Ketika Desy mengundang barbeque dirumahnya
merayakan ulang tahun putrinya sekaligus tahun baru. Semua terlihat bergembira,
tapi tidak Annisa. Dia tersenyum, bibirnya tertawa tapi hatinya menangis.
Toilet menjadi tempat pelampiasannya. Dia terisak disana. Reni hanya bisa
mengelus punggungnya, sangat prihatin melihat sahabatnya. Tak ada satu kata pun
keluar, hanya tangisan. Annisa bukan wanita sempurna, dia lemah.
***
Hitungan bulan pun berlalu…
Sikap Diana pun berubah drastis terhadap
pegawainya yang Muslim, dan parahnya sebagian
besar dari mereka memang beragama
Islam. Semuanya heran. Atasan mereka memang berbeda agama dari mereka dari
dulu, tapi sikap para atasan tak pernah ada yang menyakiti, termasuk Diana.
Tapi tiba-tiba, semuanya berubah. Suasana kantor sedikit tak nyaman.
Annisa memang berusaha kuat, namun terkadang
usahanya hanya malah membuat orang sekelilingnya prihatin.
Diawal kepergian Adam, malah keadaannya lebih memprihatinkan.
Ketika pagi dikantor,
setiap pintu kaca itu terbuka dia menoleh. Keliatan sekali, mata itu
mengharapkan seseorang. Tak ada lagi panggilan, Kekasih. Sayang. Tak ada lagi pesan singkat membangunkannya pagi hari. Tak ada lagi senyuman khas
yang membuaikan itu. Tak ada lagi tatapan yang meneduhkan hati sekaligus
mendebarkan itu. Tak ada lagi kalimat-kalimat penuh makna yang menghiasi
diskusi-diskusi mereka. Dan dari segalanya, tak ada lagi sosok yang
menentramkan hatinya itu yang selalu begitu tega membuat jantungnya berdetak
kencang sekaligus mengikis kekesalannya. Semuanya hilang seiring perginya Adam.
Annisa benar-benar kehilangan.
Setiap pulang kantor, melewati jalan-jalan yang
dulunya sering dilewatinya bersama Adam. Bangku taman tempat mereka berdiskusi.
Dia tersenyum pahit. Bahkan, ketika hampir satu
tahun kepergian Adam, dirinya masih dengan sangat bodoh mengulang-ngulang
memori itu… Dia ambil kameranya dan mulai memotret-motret. Tapi tetap saja
cuaca menjelang musim dingin membuat hatinya sendu. Ya Rabb, aku tahu aku berdosa jika merinduinya. Dan perasaan ini sering
sekali menggerogoti aku. Maafkan aku, Allah! Adam, apa kamu masih mengingatku?
Apa kamu rindu aku? Adam kamu dimana siyh? Apa lupa nomor hpku? Sebegitu
teganya engkau Adam. Aku benci. Dia pun kembali terisak. Tidak..ti..dak…Aku bahkan tidak bisa
membencimu.
Tiba-tiba dia teringat kata-kata Adam terakhir
kali mereka berjumpa, Sesekali akuilah
kalau kamu memang rindu, sukanya dipendam, gimana kalau kita gak akan jumpa
lagi dalam jangka waktu lama, nanti kamu nyesal lagi gak sempat ngomong
jujur... dan kini air matanya kian deras mengalir, kenapa engkau harus mengeluarkan kata-kata perpisahan itu Adam? Dan
sekarang aku menyesal. Aku rindu.
Dia hapus air matanya. Dia beristighfar beberapa
kali dan bangkit menuju apartementnya.
***
Nisa,
pulanglah! Bukan untuk alasan apapun, tapi untuk Bunda dan Ayah. Kami rindu
kamu. Lupakan semua tentang perjodohan itu, Bunda tak akan memaksamu lagi. Tapi
pulanglah Nak!
Kata-kata Bunda semalam terngiang-ngiang di pikirannya.
Sudah hampir setahun dia mangkir dari janjinya. Dia akhirnya tak memberi
jawaban terhadap lamaran Rizky. Ada sebersit rasa bersalah kepada orang tuanya.
Begitu egoisnya dia, sibuk dengan perasaannya sendiri. Dia seolah diingatkan,
bahwa ada keluarganya di belahan dunia lain yang senantiasa mendukung dan akan
selalu bersamanya.
Lamunan seketika buyar ketika tiba-tiba mendapat
kabar bahwa Desy akan resign. Beberapa minggu lalu Lulu pergi karena dia rindu
keluarganya. Fakta sebenarnya adalah mereka sudah tidak tahan dengan tingkah
Diana yang semakin hari semakin menyudutkan mereka. Banyak alasan yang tidak
logis, tidak ada kesalahan. Isu beda agama dibawa-bawa. Keadaan kantor memang
tak senyaman dulu, semuanya berubah. Kebanyakan materi untuk You & Me pun
seperti diubah total, tak ada lagi hal-hal mengenai Islam, tapi mereka dituntut
mencari materi lebih banyak tentang agama lain. Mereka begitu sulit mendapatkan
izin untuk melaksanakan shalat. Reni, Nino, Putra dan dirinya yang Muslim yang
masih bertahan. Kini, sebagian posisi itu digantikan orang yang jelas berbeda
dengan mereka.
Maka setelah berpikir selama seminggu lebih,
Annisa pun mengambil keputusan…
“Mba, InsyAllah akhir bulan ini Nisa pulang ke
Indonesia…”, ucap Annisa tiba-tiba saat mereka dinner bersama. Reni terkejut.
“Kenapa? Sudah tak tahan dengan Diana juga?”,
ucap Reni sambil tersenyum.
“Salah satu alasannya memang itu, tapi…”,
mengalirlah cerita dari mulutnya tentang permintaan orang tuanya.
“Lagipun, Annisa memang harus pulang Mba, kalau
terus disini Annisa akan teringat Adam terus… siapa tahu, ada lelaki yang baik
dan tepat di Aceh sana…”, ucap Annisa sekenanya sambil terkekeh. Reni
tersenyum.
“Amiin”, ucap Reni dan Annisa juga mengaminkan
dalam hatinya.
Hati-hati dia mengatakan niatnya kepada Nino,
dia cemas sahabatnya itu akan menentang keputusannya. Namun diluar dugaan Nino
sangat mendukung keputusannya. Dan akhirnya dia pun kembali ke negerinya.
***
Beberapa minggu berada di kampung halaman,
terlalu banyak kisah yang terjadi. Rizky akhirnya menikah. Annisa bersyukur
dalam hati karena dia tidak perlu merasa bersalah terus-menerus. Bundanya sudah
tidak memaksakannya segera menikah lagi, terbukti ketika beberapa proposal
pernikahan datang dan Annisa hanya bisa dengan miris menolak. Bukan karena dia
tidak mau, tapi karena ketika meminta petunjuk Allah, keraguan begitu besar
muncul.
Kegiatan di Mesjid dekat rumahnya semakin banyak menjelang bulan Ramadhan.
Annisa salah satu yang diajak untuk bergabung, walaupun dia tak bisa sepenuhnya
menghabiskan waktu untuk kegiatan itu. Selama di Indonesia, dia membuka usaha
fotografi. Tapi dia selalu menyempatkan datang ketika dia punya waktu, misalnya
ketika malam ini selepas isya ada rapat tentang kegiatan dan kepanitiaan
kegiatan bulan Ramadhan, Annisa menyempatkan datang dan sekaligus shalat
berjamaah di Mesjid. Dia bukan manusia sempurna, ketika diawal imam memimpin
shalat dia seperti merasakan sesuatu. Apalagi ketika sang imam membaca
Al-Fatihah dan beberapa ayat Al-Quran, dia merasa sesuatu yang mendalam. Dia
juga tak mengerti apa rasa itu. Yang dia mengerti suara sang imam sangat bagus,
lantunan ayat-ayat dari mulutnya pun begitu terasa indah. Annisa berpikir, itu
hanya karena dia rindu suasana berjamaah di kampung halamannya. Tapi dia benar
penasaran dengan suara itu, dan ketika rapat dimulai Annisa yang duduk
disamping Laila,
tetangganya,
berbisik…
“La, tadi yang jadi imam siapa?”, Laila menoleh
dan tersenyum.
“Kenapa? Suaranya bagus banget kan?”, Annisa
mengangguk pasti.
“Salah satu tahfiz atau ustad disini juga?”, Tanyanya lagi.
“Hmm…gimana yaa? Dibilang ustad bukan, tapi
kadang-kadang ada saat kegiatan di Mesjid, tapi dibilang iya, dia jarang banget
munculnya, sesekali aja. Contohnya malam ini, kalau kamu pengen tahu yang mana
beliau, maaf tidak bisa kutunjukkan. Sepertinya, dia gak ikut rapat. Jadi imam
pun hanya sesekali, kamu beruntung malam ini, dia yang imamin, hehe…”, jelas
Laila panjang lebar sambil mengitari pandangan kearah barisan duduk para
lelaki.
“Oohh… kenapa beruntung La? Kamu aneh dech!”,
ucap Annisa sambil tertawa.
“Ehem..gini lho Annisa. Asal kamu tahu, dia itu
masih muda lho! Dan ganteng Sa! Trus…”, Laila sengaja menekankan dikata-kata
pujian itu.
“Terus..?”, Tanya Annisa sambil memandang Laila
dan dia terpana melihat wajah didepannya merona. Ya Allah, jangan-jangan…
“Beliau masih single!”, ucap Laila masih dengan
wajah meronanya. Annisa terpana. Nah,
benarkan, kamu naksir si imam itu kan?
“Jadi…kamu naks…”, saat pertanyaan itu akan dia
lontarkan, seseorang mencoleknya dari belakang…
“Stt..Ssst..Ssst…dilarang ngegosip!”, ucap
seseorang itu sambil menunjuk kearah depan dan sebagian kaum perempuan sedang
menoleh melihat mereka berdua. Annisa dan Laila hanya tersenyum malu.
***
Annisa seperti kenal tempat itu. Benar saja, itu
pelataran Mesjid dekat rumahnya. Dia bingung entah kenapa senja itu dia ada
disana. Padahal seingatnya dia baru pulang dari kerjanya. Dia pun bergegas
menuju gerbang Mesjid dan pulang. Namun, sayup-sayup terdengar seorang anak…
“Om Adam! Aira mau difoto juga!” Apa? Om Adam? Jangan-jangan….
Seketika dia mencari asal suara itu. Tidak. Tidak mungkin. Adam tidak mungkin ada
disini. Aku pasti salah dengar. Logikanya seperti menolak firasatnya. Dia
pun melanjutkan langkahnya.
Namun…
“Siip gadis cantik! Tapi janji harus senyum yang
cantik yaa? Terus…”, Annisa tersentak. Dia mengenal suara itu. Itu suara Adam. Benar, aku tak mungkin
salah.
Ketika suara itu terus berbicara, Annisa mulai
mencari lagi sumber suara itu. Dan disana, dibawah sebuah pohon besar yang
sedang menggugurkan daunnya, berdiri seorang gadis kecil yang sedang berpose,
dan seorang lelaki yang sedang sibuk dengan kameranya. Annisa mendekat dan
seperti melihat hantu, badannya bergetar hebat. Itu benar lelaki itu. Adam. Dia
benar rindu lelaki itu dan sekarang dia bertemu. Dan kini getaran itu semakin
kuat, hingga membuat kantung airmatanya pun tak kuasa membendung tetesan itu.
Dia menggigit bibirnya berusaha menahan airmatanya. Tiba-tiba gadis kecil itu
seperti tersadar akan kehadirannya…
“Om Adam, itu siapa?”, Aira menunjuk kearahnya
dan Adam menoleh.
Kini mata mereka beradu. Dan semua rasa rindu
dihatinya seperti menguap. Namun, ironisnya sekuat apapun dia menggigit
bibirnya, airmatanya sudah tak bisa terbendung.
“Annisa…”, dan panggilan itu semakin membuatnya
terisak. Namun, tiba-tiba tubuh Adam seperti memudar. Dan sedikit demi sedikit
menghilang. Annisa terpana. Tidak.
Adam…jangan pergi lagi…
Dia pun terkejut. Hanya mimpi. Dia rindu Adam
lagi. Mimpi-mimpi seperti itu sudah
lama tak datang, dulu diawal kepergian Adam, mimpi itu seperti pelanggan ditidurnya.
***
Sepulangnya dari mengantar hasil fotonya ke
studio, dia singgah ke Mesjid untuk shalat ashar disana. Kebetulan ada Laila
disana, gadis itu terpilih jadi bendahara program Ramadhan. Ketika dia memarkir
motornya (di kampung halamannya dia jelas tidak mungkin menggunakan roller
blade or sepeda, hehe), dia melihat kearah belakang masjid. Bebarapa anak
sedang berlari diluar, dan seorang gadis memanggil mereka. Murid TPA dan
ustazahnya.
Dibelakang masjid itu, memang ada semacam aula untuk anak-anak
belajar mengaji. Dia ambil
kameranya dan sedikit menangkap moment itu.
Laila menunggunya di lantai teras belakang
masjid. Annisa selesai melipat mukenanya dan segera menuju Laila. Ketika mereka
sedang asik mengobrol, seorang lelaki muda melewati dan menoleh kearah mereka.
Ilyas. Lelaki itu tersenyum dan kembali melangkah.
“Sa, kaya’a ustad Ilyas suka deh sama kamu!”,
Annisa sedikit terkejut mendengar kata-kata Laila.
“Kamu kok bisa nyimpulin gitu? Jangan mengada-ngada..”
“Hmm..gini dech, ustad ilyas itu jarang-jarang
perhatian sama perempuan. Untuk senyum kaya’ tadi aja, itu udah luar biasa, ini
malah dia sering banget nanyain kamu kalau ada kegiatan selama ini… apa itu
namanya?”
“Yaa… masalah senyum itu kan juga senyum dengan
kamu. Kalau dia nanya aku, itu karena aku jarang
gabung. Lagian, aku kan masih baru lagi disini…”
“Ah, Nisa ngeles!”, Annisa hanya diam. Dia juga
tak tahu harus berkata apa. Memang beberapa kali dia melihat gelagat itu, tapi
dia tak mau terlalu ambil pusing.
“Nah, kan! Dia diam, hehe… Dan sepertinya akan ada ikhwan lain yang akan
menampakkan gelagat sama…”, Annisa juga terkekeh. Dia merasa Laila terlalu
berlebihan, ketika mereka asik tertawa kecil seseorang lewat. Haris. Dia juga
tersenyum kearah Annisa dengan wajah yang sedikit agak merona. Ketika si pemuda
pergi, keduanya saling menatap dan Laila seperti berkata, See! Benarkan kataku.
“Udah ah! Ngomongin masalah lain aja!”, alih
Annisa. Laila tersenyum. Annisa memang cantik.
Dia menarik. Tapi dia bukan seorang jilbaber seperti Laila. Penampilannya biasa
aja, malah terkesan tomboy. Tapi pembawaan dan sikap Annisa yang mungkin
membuatnya disukai banyak orang.
“Jangan-jangan
kamu udah ada calon yaa?”
“Calon apa?”, Tanya Annisa sedikit
terkejut.
“Calon suami lah, masa calon
pembantu!”, Annisa terkekeh, namun hanya sebentar. Kini wajahnya murung. Dia
teringat mimpinya semalam. Ya Allah, apa
aku terlalu berharap kalau Adam akan kembali. Menyadari temannya kelihatan
murung, Laila jadi terpana. Mereka sudah lama tak bertemu, dia berpikir Annisa
mungkin punya kisah yang dia tak ketahui ketika mereka jauh.
“Hmm… udah gak usah dijawab kalau
memang berat Sa!”, ucap Laila sambil tersenyum.
“Seandainya cerita itu indah, aku
akan senang sekali berbagi La, tapi sekarang aku masih terlalu rentan untuk
bercerita lagi…”, ucap Annisa lirih. Kini wajah itu menunduk. Laila hanya diam,
mengharap ada kalimat lain keluar dari bibir Annisa.
“Yang jelas, kisah kasihku selama
ini sedikit tragis. Yang terakhir malah membingungkan. Aku masih terlalu egois
mengharapkan kejelasan ending dari kisahku ini, hehe…”
“Memangnya siapa lelaki itu?”
“Hmm…kamu gak kenal. Dia seseorang
di York sana.”
“Bule?”, Laila terpana. Annisa
tertawa namun masih juga hanya sebentar.
“Namanya A…dam Yusuf..”, Suaranya
sedikit mengecil. Ada rasa perih ketika dia menyebutkan nama itu.
“Orang Indonesia juga kok! Ah, udah
ah…gak usah dibahas lagi dech. Pulang yuk! Anak-anak aja udah pada mau pulang
tuch…”, ajak Annisa sambil bangun dari duduknya.
Berdua mereka menuruni tangga Mesjid
dan beranjak menuju motor Annisa. Mereka sedikit mengitari pelataran Mesjid.
Sebagian anak-anak masih didalam kelas, sebagian lagi masih duduk melingkar
dibawah sebuah pohon besar yang sedang berguguran daunnya bersama seorang lelaki
yang duduk berlawanan. Hei, itu kan pohon
itu… Annisa berhenti melangkah.
Kemudian tersenyum. Seandainya saja Adam memang berada dibawah pohon itu. Ah, itu hanya
mimpi. Laila menoleh dan Annisa melanjutkan kembali langkahnya mengikuti
Laila ketika sayup-sayup suara seperti menarik perhatiannya… Itu kan konsep keesaan Allah yang… Dia
pun menoleh mencari sumber suara itu. Dia melangkah mendekat berusaha mendengar
lebih jelas. Laila memanggil-manggil, tapi tak digubrisnya. Dia terus melangkah
sampai jaraknya dengan pusat suara sangat dekat. Ya Allah, ini bukan mimpi kan? Ini kenyataan kan? Suara ini, cara
bicara ini…ternyata dia memang telah berubah. Kini, ada rasa haru yang luar
bisa menjalar dari hati sampai keseluruh tubuhnya. Dia benar-benar penasaran,
apa perkiraannya benar, atau benar-benar hanya mimpi belaka. Tubuhnya
mendingin. Seorang gadis kecil menyadari kehadirannya dan menunjuk kearahnya. Seseorang
itu pun menoleh dan…
Mata mereka pun beradu. Annisa
merasakan tubuhnya yang kaku kini menghangat. Bibirnya menyunggingkan senyum
namun ironis matanya seperti tak ingin kalah untuk beraksi. Kini matanya
berkaca-kaca… Lelaki itu bangun dari duduknya dengan pandangan lurus kearahnya.
Pandangannya terpana yang ujungnya berakhir sangat lembut. Pandangan yang
begitu dirindukan Annisa. Itu dia. Ya
Allah, kuharap ini bukan mimpi.
“Annisa Namira…”, ucap lelaki itu
lirih, tapi bagi Annisa suara itu sangat jelas. Suara itu masih tetap begitu
tega. Kini setitik air mata jatuh dipipinya.
“Ka…amu disini rupanya…”, ucap
Annisa terbata-bata. Annisa menunggu beberapa saat memastikan penglihatannya. Alhamdulillah, ini
bukan mimpi.
Seolah gerakan yang lain seperti
melambat karena hanya mereka berdua yang masih terasa sangat normal. Kini
keduanya bertemu lagi. Seolah apapun yang ada saat itu diantara mereka
mengabur, hanya tatapan kearah masing-masing mereka yang terasa begitu jelas.
I believe it is not the end! So do you, don’t you?
God will bring us together to meet again someday…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar