Selasa, 18 Oktober 2011

Better In Time 15 - Under That Tree


“Non, kamu pucat banget! Sakit yaa?”, Tanya Nino saat menyambut Annisa datang dipintu kaca itu. Annisa mendongak dan hanya terdiam lama. Nino bingung.

“Hmm… Bos udah datang?”, tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Nino. Dan sudah pasti, 
Annisa sudah tahu jawabannya. Dia hanya ingin memastikan, apakah semua yang sudah terjadi hanya mimpi. Dan hari ini, Adam akan datang dengan gayanya yang khas, masuk dengan sapaan khas, tersenyum juga khas.

“Pak Adam?”, Tanya Nino memastikan. Bukannya mengangguk, wajah didepannya malah terlihat memprihatinkan. Nino agak terkejut.

“Sepertinya belum datang… biasanya kan memang menjelang jam 8 beliau datang. Ah, kamu sok nanya, padahal kamu yang lebih tahu, hehe…”, goda Nino. Namun lagi-lagi wajah di depannya menampakkan ekspresi yang tak diharapkan sama sekali. Mata itu sedikit berkaca-kaca. Nino kini terkejut. Annisa langsung pergi meninggalkannya dengan segudang tanya.

Kini satu persatu pegawai telah datang. Hanya satu ruangan dengan meja kerja itu yang belum terisi. Ruang kerja Adam. Namun, pintu masuk kaca itu tak kunjung terbuka lagi. Annisa masih tetap setia melihat kearah itu, mengharap satu keajaiban datang dan Adam benar-benar hadir. Nino memperhatikan itu, dia menuju meja Reni…

“Mba, sepertinya ada sesuatu antara Annisa dan Pak Adam! Mba tahu sesuatu gak?”, Reni mendongak.

“Enggak, emang ada apa siyh?”, Tanya Reni dan Nino menunjuk kearah Annisa. Reni baru tersadar akan keanehan sahabatnya itu.

“Dan yang anehnya, Pak Adam belum datang. Ini sudah hampir 20 menit dari jam masuk…”, sambung Nino dan Reni mengangguk.

“Hmm…mungkin Pak Adam telat, kan keluarganya masih disini…”, ucap Reni bijak.

Tiba-tiba saja pintu kaca itu terbuka. Annisa mendongak, bukan sosok lelaki yang masuk malah seorang wanita cantik bertubuh mungil dengan barang-barangnya. Wajahnya sedikit dingin. Diana. Dia tergopoh-gopoh datang dengan barang-barangnya. Annisa merasakan sakit didadanya. Sedang semua mata yang lain terpana akan kedatangan mantan atasannya itu.

“Pagi semuanya!”, sapa Diana.

“Saya yakin kalian semua heran akan kedatangan saya. To the point, saya akan menggantikan posisi Adam sementara penggantinya yang permanen sedang diputuskan. Mudah-mudahan kita bisa kerja sama dengan baik seperti dulu…”, ucapnya singkat dan langsung memasuki ruang kerjanya. Nino dan Reni saling pandang. Mereka berpikir bahwa ini lah yang membuat Annisa bersikap aneh hari ini.

Tak da yang tahu kenapa Adam pergi begitu saja. Tak ada penjelasan sedikit pun dari bibir Diana kenapa Adam tak bekerja lagi. Ketika semua mata akhirnya malah menuju kearah Annisa, dia hanya bisa mendesah. Tak ada jawaban juga padanya, dia juga sama dengan mereka. Malah mungkin dia lebih heran dan yang paling penting hati dan perasaannya perih.

“Kamu putus sama Pak Adam ya Sa?”, Tanya Desy tiba-tiba membuka pembicaraan saat break time. Annisa hanya diam dan tersenyum pahit. Putus? Lebih sakit lagi, Aku ditinggalkan Mba!

“Putus apa Mba? Memang kami gak ada hubungan apa-apa kok!”, ucapnya sedikit sulit karena dia menahan perasaannya begitu kuat.

“Jadi kenapa Pak Adam tak masuk kantor lagi Sa? Kalian baik-baik saja kan?”, Tanya Lulu penasaran. Kini Annisa hanya bisa menunduk. Dia tak tahu harus bagaimana menghadapi segala pertanyaan-pertanyaan itu. Rasanya air mata itu memaksa keluar, tapi dia paksakan agar tidak hingga dia tak bisa berbicara. Reni tahu dan memberi isyarat Lulu dan Desy.

Selama beberapa waktu berlalu, mereka berusaha menjaga perasaan Annisa. Tak ada pertanyaan tentang Adam, namun tetap saja ada hal-hal tertentu yang mengingatkan mereka akan Bos mereka itu dan akhirnya berujung tatapan iba kearah Annisa.

Ketika Desy mengundang barbeque dirumahnya merayakan ulang tahun putrinya sekaligus tahun baru. Semua terlihat bergembira, tapi tidak Annisa. Dia tersenyum, bibirnya tertawa tapi hatinya menangis. Toilet menjadi tempat pelampiasannya. Dia terisak disana. Reni hanya bisa mengelus punggungnya, sangat prihatin melihat sahabatnya. Tak ada satu kata pun keluar, hanya tangisan. Annisa bukan wanita sempurna, dia lemah.


***

Hitungan bulan pun berlalu…

Sikap Diana pun berubah drastis terhadap pegawainya yang Muslim, dan parahnya sebagian 
besar dari mereka memang beragama Islam. Semuanya heran. Atasan mereka memang berbeda agama dari mereka dari dulu, tapi sikap para atasan tak pernah ada yang menyakiti, termasuk Diana. Tapi tiba-tiba, semuanya berubah. Suasana kantor sedikit tak nyaman.

Annisa memang berusaha kuat, namun terkadang usahanya hanya malah membuat orang sekelilingnya prihatin. Diawal kepergian Adam, malah keadaannya lebih memprihatinkan. 
Ketika pagi dikantor, setiap pintu kaca itu terbuka dia menoleh. Keliatan sekali, mata itu mengharapkan seseorang. Tak ada lagi panggilan, Kekasih. Sayang. Tak ada lagi pesan singkat membangunkannya pagi hari. Tak ada lagi senyuman khas yang membuaikan itu. Tak ada lagi tatapan yang meneduhkan hati sekaligus mendebarkan itu. Tak ada lagi kalimat-kalimat penuh makna yang menghiasi diskusi-diskusi mereka. Dan dari segalanya, tak ada lagi sosok yang menentramkan hatinya itu yang selalu begitu tega membuat jantungnya berdetak kencang sekaligus mengikis kekesalannya. Semuanya hilang seiring perginya Adam. Annisa benar-benar kehilangan.

Setiap pulang kantor, melewati jalan-jalan yang dulunya sering dilewatinya bersama Adam. Bangku taman tempat mereka berdiskusi. Dia tersenyum pahit. Bahkan, ketika hampir satu tahun kepergian Adam, dirinya masih dengan sangat bodoh mengulang-ngulang memori itu… Dia ambil kameranya dan mulai memotret-motret. Tapi tetap saja cuaca menjelang musim dingin membuat hatinya sendu. Ya Rabb, aku tahu aku berdosa jika merinduinya. Dan perasaan ini sering sekali menggerogoti aku. Maafkan aku, Allah! Adam, apa kamu masih mengingatku? Apa kamu rindu aku? Adam kamu dimana siyh? Apa lupa nomor hpku? Sebegitu teganya engkau Adam. Aku benci. Dia pun kembali terisak. Tidak..ti..dak…Aku bahkan tidak bisa membencimu.

Tiba-tiba dia teringat kata-kata Adam terakhir kali mereka berjumpa, Sesekali akuilah kalau kamu memang rindu, sukanya dipendam, gimana kalau kita gak akan jumpa lagi dalam jangka waktu lama, nanti kamu nyesal lagi gak sempat ngomong jujur... dan kini air matanya kian deras mengalir, kenapa engkau harus mengeluarkan kata-kata perpisahan itu Adam? Dan sekarang aku menyesal. Aku rindu.

Dia hapus air matanya. Dia beristighfar beberapa kali dan bangkit menuju apartementnya.


***

Nisa, pulanglah! Bukan untuk alasan apapun, tapi untuk Bunda dan Ayah. Kami rindu kamu. Lupakan semua tentang perjodohan itu, Bunda tak akan memaksamu lagi. Tapi pulanglah Nak!

Kata-kata Bunda semalam terngiang-ngiang di pikirannya. Sudah hampir setahun dia mangkir dari janjinya. Dia akhirnya tak memberi jawaban terhadap lamaran Rizky. Ada sebersit rasa bersalah kepada orang tuanya. Begitu egoisnya dia, sibuk dengan perasaannya sendiri. Dia seolah diingatkan, bahwa ada keluarganya di belahan dunia lain yang senantiasa mendukung dan akan selalu bersamanya.

Lamunan seketika buyar ketika tiba-tiba mendapat kabar bahwa Desy akan resign. Beberapa minggu lalu Lulu pergi karena dia rindu keluarganya. Fakta sebenarnya adalah mereka sudah tidak tahan dengan tingkah Diana yang semakin hari semakin menyudutkan mereka. Banyak alasan yang tidak logis, tidak ada kesalahan. Isu beda agama dibawa-bawa. Keadaan kantor memang tak senyaman dulu, semuanya berubah. Kebanyakan materi untuk You & Me pun seperti diubah total, tak ada lagi hal-hal mengenai Islam, tapi mereka dituntut mencari materi lebih banyak tentang agama lain. Mereka begitu sulit mendapatkan izin untuk melaksanakan shalat. Reni, Nino, Putra dan dirinya yang Muslim yang masih bertahan. Kini, sebagian posisi itu digantikan orang yang jelas berbeda dengan mereka.

Maka setelah berpikir selama seminggu lebih, Annisa pun mengambil keputusan…

“Mba, InsyAllah akhir bulan ini Nisa pulang ke Indonesia…”, ucap Annisa tiba-tiba saat mereka dinner bersama. Reni terkejut.

“Kenapa? Sudah tak tahan dengan Diana juga?”, ucap Reni sambil tersenyum.

“Salah satu alasannya memang itu, tapi…”, mengalirlah cerita dari mulutnya tentang permintaan orang tuanya.

“Lagipun, Annisa memang harus pulang Mba, kalau terus disini Annisa akan teringat Adam terus… siapa tahu, ada lelaki yang baik dan tepat di Aceh sana…”, ucap Annisa sekenanya sambil terkekeh. Reni tersenyum.

“Amiin”, ucap Reni dan Annisa juga mengaminkan dalam hatinya.

Hati-hati dia mengatakan niatnya kepada Nino, dia cemas sahabatnya itu akan menentang keputusannya. Namun diluar dugaan Nino sangat mendukung keputusannya. Dan akhirnya dia pun kembali ke negerinya.


***

Beberapa minggu berada di kampung halaman, terlalu banyak kisah yang terjadi. Rizky akhirnya menikah. Annisa bersyukur dalam hati karena dia tidak perlu merasa bersalah terus-menerus. Bundanya sudah tidak memaksakannya segera menikah lagi, terbukti ketika beberapa proposal pernikahan datang dan Annisa hanya bisa dengan miris menolak. Bukan karena dia tidak mau, tapi karena ketika meminta petunjuk Allah, keraguan begitu besar muncul.

Kegiatan di Mesjid dekat rumahnya semakin banyak menjelang bulan Ramadhan. Annisa salah satu yang diajak untuk bergabung, walaupun dia tak bisa sepenuhnya menghabiskan waktu untuk kegiatan itu. Selama di Indonesia, dia membuka usaha fotografi. Tapi dia selalu menyempatkan datang ketika dia punya waktu, misalnya ketika malam ini selepas isya ada rapat tentang kegiatan dan kepanitiaan kegiatan bulan Ramadhan, Annisa menyempatkan datang dan sekaligus shalat berjamaah di Mesjid. Dia bukan manusia sempurna, ketika diawal imam memimpin shalat dia seperti merasakan sesuatu. Apalagi ketika sang imam membaca Al-Fatihah dan beberapa ayat Al-Quran, dia merasa sesuatu yang mendalam. Dia juga tak mengerti apa rasa itu. Yang dia mengerti suara sang imam sangat bagus, lantunan ayat-ayat dari mulutnya pun begitu terasa indah. Annisa berpikir, itu hanya karena dia rindu suasana berjamaah di kampung halamannya. Tapi dia benar penasaran dengan suara itu, dan ketika rapat dimulai Annisa yang duduk disamping Laila, tetangganya, berbisik…

“La, tadi yang jadi imam siapa?”, Laila menoleh dan tersenyum.

“Kenapa? Suaranya bagus banget kan?”, Annisa mengangguk pasti.

“Salah satu tahfiz atau ustad  disini juga?”, Tanyanya lagi.

“Hmm…gimana yaa? Dibilang ustad bukan, tapi kadang-kadang ada saat kegiatan di Mesjid, tapi dibilang iya, dia jarang banget munculnya, sesekali aja. Contohnya malam ini, kalau kamu pengen tahu yang mana beliau, maaf tidak bisa kutunjukkan. Sepertinya, dia gak ikut rapat. Jadi imam pun hanya sesekali, kamu beruntung malam ini, dia yang imamin, hehe…”, jelas Laila panjang lebar sambil mengitari pandangan kearah barisan duduk para lelaki.

“Oohh… kenapa beruntung La? Kamu aneh dech!”, ucap Annisa sambil tertawa.

“Ehem..gini lho Annisa. Asal kamu tahu, dia itu masih muda lho! Dan ganteng Sa! Trus…”, Laila sengaja menekankan dikata-kata pujian itu.

“Terus..?”, Tanya Annisa sambil memandang Laila dan dia terpana melihat wajah didepannya merona. Ya Allah, jangan-jangan…

“Beliau masih single!”, ucap Laila masih dengan wajah meronanya. Annisa terpana. Nah, benarkan, kamu naksir si imam itu kan?

“Jadi…kamu naks…”, saat pertanyaan itu akan dia lontarkan, seseorang mencoleknya dari belakang…

“Stt..Ssst..Ssst…dilarang ngegosip!”, ucap seseorang itu sambil menunjuk kearah depan dan sebagian kaum perempuan sedang menoleh melihat mereka berdua. Annisa dan Laila hanya tersenyum malu.


***

Annisa seperti kenal tempat itu. Benar saja, itu pelataran Mesjid dekat rumahnya. Dia bingung entah kenapa senja itu dia ada disana. Padahal seingatnya dia baru pulang dari kerjanya. Dia pun bergegas menuju gerbang Mesjid dan pulang. Namun, sayup-sayup terdengar seorang anak…

“Om Adam! Aira mau difoto juga!” Apa? Om Adam? Jangan-jangan….
Seketika dia mencari asal suara itu. Tidak. Tidak mungkin. Adam tidak mungkin ada disini. Aku pasti salah dengar. Logikanya seperti menolak firasatnya. Dia pun melanjutkan langkahnya. 
Namun…

“Siip gadis cantik! Tapi janji harus senyum yang cantik yaa? Terus…”, Annisa tersentak. Dia mengenal suara itu. Itu suara Adam. Benar, aku tak mungkin salah.

Ketika suara itu terus berbicara, Annisa mulai mencari lagi sumber suara itu. Dan disana, dibawah sebuah pohon besar yang sedang menggugurkan daunnya, berdiri seorang gadis kecil yang sedang berpose, dan seorang lelaki yang sedang sibuk dengan kameranya. Annisa mendekat dan seperti melihat hantu, badannya bergetar hebat. Itu benar lelaki itu. Adam. Dia benar rindu lelaki itu dan sekarang dia bertemu. Dan kini getaran itu semakin kuat, hingga membuat kantung airmatanya pun tak kuasa membendung tetesan itu. Dia menggigit bibirnya berusaha menahan airmatanya. Tiba-tiba gadis kecil itu seperti tersadar akan kehadirannya…

“Om Adam, itu siapa?”, Aira menunjuk kearahnya dan Adam menoleh.

Kini mata mereka beradu. Dan semua rasa rindu dihatinya seperti menguap. Namun, ironisnya sekuat apapun dia menggigit bibirnya, airmatanya sudah tak bisa terbendung.

“Annisa…”, dan panggilan itu semakin membuatnya terisak. Namun, tiba-tiba tubuh Adam seperti memudar. Dan sedikit demi sedikit menghilang. Annisa terpana. Tidak. Adam…jangan pergi lagi…

Dia pun terkejut. Hanya mimpi. Dia rindu Adam lagi. Mimpi-mimpi seperti itu sudah lama tak datang, dulu diawal kepergian Adam, mimpi itu seperti pelanggan ditidurnya.


***

Sepulangnya dari mengantar hasil fotonya ke studio, dia singgah ke Mesjid untuk shalat ashar disana. Kebetulan ada Laila disana, gadis itu terpilih jadi bendahara program Ramadhan. Ketika dia memarkir motornya (di kampung halamannya dia jelas tidak mungkin menggunakan roller blade or sepeda, hehe), dia melihat kearah belakang masjid. Bebarapa anak sedang berlari diluar, dan seorang gadis memanggil mereka. Murid TPA dan ustazahnya. 
Dibelakang masjid itu, memang ada semacam aula untuk anak-anak belajar mengaji. Dia ambil 
kameranya dan sedikit menangkap moment itu.

Laila menunggunya di lantai teras belakang masjid. Annisa selesai melipat mukenanya dan segera menuju Laila. Ketika mereka sedang asik mengobrol, seorang lelaki muda melewati dan menoleh kearah mereka. Ilyas. Lelaki itu tersenyum dan kembali melangkah.

“Sa, kaya’a ustad Ilyas suka deh sama kamu!”, Annisa sedikit terkejut mendengar kata-kata Laila.

“Kamu kok bisa nyimpulin gitu? Jangan mengada-ngada..”

“Hmm..gini dech, ustad ilyas itu jarang-jarang perhatian sama perempuan. Untuk senyum kaya’ tadi aja, itu udah luar biasa, ini malah dia sering banget nanyain kamu kalau ada kegiatan selama ini… apa itu namanya?”

“Yaa… masalah senyum itu kan juga senyum dengan kamu. Kalau dia nanya aku, itu karena aku jarang gabung. Lagian, aku kan masih baru lagi disini…”

“Ah, Nisa ngeles!”, Annisa hanya diam. Dia juga tak tahu harus berkata apa. Memang beberapa kali dia melihat gelagat itu, tapi dia tak mau terlalu ambil pusing.

“Nah, kan! Dia diam, hehe… Dan sepertinya akan ada ikhwan lain yang akan menampakkan gelagat sama…”, Annisa juga terkekeh. Dia merasa Laila terlalu berlebihan, ketika mereka asik tertawa kecil seseorang lewat. Haris. Dia juga tersenyum kearah Annisa dengan wajah yang sedikit agak merona. Ketika si pemuda pergi, keduanya saling menatap dan Laila seperti berkata, See! Benarkan kataku.

“Udah ah! Ngomongin masalah lain aja!”, alih Annisa. Laila tersenyum. Annisa memang cantik. 
Dia menarik. Tapi dia bukan seorang jilbaber seperti Laila. Penampilannya biasa aja, malah terkesan tomboy. Tapi pembawaan dan sikap Annisa yang mungkin membuatnya disukai banyak orang.

“Jangan-jangan kamu udah ada calon yaa?”

“Calon apa?”, Tanya Annisa sedikit terkejut.

“Calon suami lah, masa calon pembantu!”, Annisa terkekeh, namun hanya sebentar. Kini wajahnya murung. Dia teringat mimpinya semalam. Ya Allah, apa aku terlalu berharap kalau Adam akan kembali. Menyadari temannya kelihatan murung, Laila jadi terpana. Mereka sudah lama tak bertemu, dia berpikir Annisa mungkin punya kisah yang dia tak ketahui ketika mereka jauh.

“Hmm… udah gak usah dijawab kalau memang berat Sa!”, ucap Laila sambil tersenyum.

“Seandainya cerita itu indah, aku akan senang sekali berbagi La, tapi sekarang aku masih terlalu rentan untuk bercerita lagi…”, ucap Annisa lirih. Kini wajah itu menunduk. Laila hanya diam, mengharap ada kalimat lain keluar dari bibir Annisa.

“Yang jelas, kisah kasihku selama ini sedikit tragis. Yang terakhir malah membingungkan. Aku masih terlalu egois mengharapkan kejelasan ending dari kisahku ini, hehe…”

“Memangnya siapa lelaki itu?”

“Hmm…kamu gak kenal. Dia seseorang di York sana.”

“Bule?”, Laila terpana. Annisa tertawa namun masih juga hanya sebentar.

“Namanya A…dam Yusuf..”, Suaranya sedikit mengecil. Ada rasa perih ketika dia menyebutkan nama itu.

“Orang Indonesia juga kok! Ah, udah ah…gak usah dibahas lagi dech. Pulang yuk! Anak-anak aja udah pada mau pulang tuch…”, ajak Annisa sambil bangun dari duduknya.

Berdua mereka menuruni tangga Mesjid dan beranjak menuju motor Annisa. Mereka sedikit mengitari pelataran Mesjid. Sebagian anak-anak masih didalam kelas, sebagian lagi masih duduk melingkar dibawah sebuah pohon besar yang sedang berguguran daunnya bersama seorang lelaki yang duduk berlawanan. Hei, itu kan pohon itu… Annisa berhenti melangkah. 
Kemudian tersenyum. Seandainya saja Adam memang berada dibawah pohon itu. Ah, itu hanya mimpi. Laila menoleh dan Annisa melanjutkan kembali langkahnya mengikuti Laila ketika sayup-sayup suara seperti menarik perhatiannya… Itu kan konsep keesaan Allah yang… Dia pun menoleh mencari sumber suara itu. Dia melangkah mendekat berusaha mendengar lebih jelas. Laila memanggil-manggil, tapi tak digubrisnya. Dia terus melangkah sampai jaraknya dengan pusat suara sangat dekat. Ya Allah, ini bukan mimpi kan? Ini kenyataan kan? Suara ini, cara bicara ini…ternyata dia memang telah berubah. Kini, ada rasa haru yang luar bisa menjalar dari hati sampai keseluruh tubuhnya. Dia benar-benar penasaran, apa perkiraannya benar, atau benar-benar hanya mimpi belaka. Tubuhnya mendingin. Seorang gadis kecil menyadari kehadirannya dan menunjuk kearahnya. Seseorang itu pun menoleh dan…

Mata mereka pun beradu. Annisa merasakan tubuhnya yang kaku kini menghangat. Bibirnya menyunggingkan senyum namun ironis matanya seperti tak ingin kalah untuk beraksi. Kini matanya berkaca-kaca… Lelaki itu bangun dari duduknya dengan pandangan lurus kearahnya. Pandangannya terpana yang ujungnya berakhir sangat lembut. Pandangan yang begitu dirindukan Annisa. Itu dia. Ya Allah, kuharap ini bukan mimpi.

“Annisa Namira…”, ucap lelaki itu lirih, tapi bagi Annisa suara itu sangat jelas. Suara itu masih tetap begitu tega. Kini setitik air mata jatuh dipipinya.

“Ka…amu disini rupanya…”, ucap Annisa terbata-bata. Annisa menunggu beberapa saat memastikan penglihatannya. Alhamdulillah, ini bukan mimpi.

Seolah gerakan yang lain seperti melambat karena hanya mereka berdua yang masih terasa sangat normal. Kini keduanya bertemu lagi. Seolah apapun yang ada saat itu diantara mereka mengabur, hanya tatapan kearah masing-masing mereka yang terasa begitu jelas.


I believe it is not the end! So do you, don’t you?
God will bring us together to meet again someday…


***














Tidak ada komentar:

Posting Komentar