Senin, 26 September 2011

Kisah Wanita itu..."Dulu, begitu kuat niat menghidarinya... sekarang, berpisah pun aku tak sanggup.."


Ku lihat wanita itu duduk sendiri, menikmati makan siangnya... Wajahnya lelah setelah setengah hari bekerja mencari nafkah, bergelut dengan anak-anak kecil yang lucu namun terkadang butuh kesabaran yang luar biasa itu...

Ku dekati dia... hari ini mau mengobrol apa yaaa??? Hmmm... seru juga kalau mengetahui kisah kasihnya dulu...



Namaku Murni. Aku anak paling bontot dari lebih 10 orang bersaudara. Keluarga besar menjadi hal yang biasa di tahun-tahun 50an. Yang membingungkanku adalah namaku sendiri yang sedikit membelot dari nama-nama saudaraku. Ibu dan Ayah memberi nama islami kepada mereka seperti Asiah, Nuraini, Bukhari, Ainal Mardhiah dan lain-lain tapi di saat anak bontot ini lahir tercetus lah nama Murni. Sampai sekarang kau juga belum tau alasan kenapa.Seperti kataku tadi, keluarga yang besar adalah hal yang biasa dimasa kecilku dulu (jadi iklan KB yang cukup 2 anak saja versi Teuku Wisnu and Shireen tak berlaku saat itu, hehehheee). Karena keluarga besar, tentunya perbedaan usia pun terkadang tidak begitu jauh antara saudara. Yang penting di ingat, dulu anak gadis pasti menikah begitu cepat, terkadang tamat SD sudah disodorkan calon suami. Jadi tak heran kalau kakak-kakakku sudah menikah saat aku bahkan belum dicetak (hmm..maksudnya di rencanakan untuk di lahirkan oleh ibu..). Dan ketika aku sedang dalam kandungan, bukan hal lucu jika aku sudah punya keponakan dari kakak-kakakku. Aku lahir berdekatan dengan keponakanku, dan itu berarti keponakan-keponakanku akan jadi teman bermainku nanti (dalam bahasa kami disebut "Tuha Bijeh"). Entah kenapa aku jadi anak paling tomboi di antara saudara-saudaraku. Aku paling jago main kelereng, aku yang paling diandalkan memanjat pohon  kalau teman bermainku ingin ngerujak, aku juga pintar berenang. Banyak cerita-cerita konyol tentang ketomboianku itu. Aku pernah jatuh dari pohon Sawo karena memaksa memetik Sawo yang paling besar di ujung pohon, kepalaku sampai harus dijahit karena bocor. Aku juga pernah hampir mati karena nyaris tenggelam di sungai saat berenang habis mencuci pakaian. Masa kecilku menyenangkan hingga sampai sekarang sepupu-sepupuku, keponakan-keponakan serta teman-temanku masih mengingat sejarah ketomboianku itu.Disaat gadis seusiaku sudah mulai di nikahkan (keponakanku rata-rata sudah bertunangan, bahkan sudah ada yang menikah dan become a mother), aku masih sibuk dengan sekolah (walaupun cuma alasanku saja). Padahal aku bukan anak yang pintar, nilai pas-pasan (ck..ck..ck, tapi tetap belum mau menikah). Kenapa aku masih santai?? Karena dua kakak di atasku yang menurut pendanganku lebih segalanya dariku belum menikah juga (yang satu pinter dan sudah selesai sekolah, yang satu lagi wajahnya cantik luar biasa seperti Arab, hidungnya mancung banyak lelaki yang tertarik). Tapi...tenyata orangtuaku punya rencana lain...Remaja identik dengan suka-sukaan, asmara, sakit hati dan lainnya. Begitu pun aku. Di sekolah keguruan (Sekolah Pendidikan Guru disingkat SPG) dulu aku melanjutkan study ku. Di masa-masa itu, aku juga pernah dekat dengan makluk bernama lelaki. Tapi aku tak pernah menyebutnya pacaran, karena bagiku dekat yaa berteman dekat, sebatas itu (faktor karena aku tomboi juga kali yaaa tapi yang jelas aku juga penyuka lelaki lho, hihiiihi). Kalau diajak jalan, yaa..jalan bareng sama teman-teman lainnya. If not, I won't come. Jadi begitulah, saat itu ketika aku sedang dekat dengan seseorang, tapi nyak dan ayah tak tahu itu.

"Kenapa harus saya, nyak?? kan kakak juga belum, kenapa gak mereka duluan?? Saya mau sekolah dulu"
"Kan setelah menikah bisa tetap sekolah. Dan mereka yang datang itu menginginkan kamu. Bertemu dulu yaa."
"Tapi kan.."
"Besok malam mereka akan datang melihat kamu, jangan kemana-mana"
"Nyak..", aku merengek.
"Murni, kamu ketemu dulu yaa."

Dan malam itu pun datang. Biasanya anak gadis yang mau dikenalkan tak akan duduk dengan mereka, tapi orang tua akan menyuruh mengantar air. Dari situ lah, mereka akan menilai. Aku pun hanya sekilas melihat "lelaki" itu. Naluri remajaku langsung membandingkan "lelaki" itu dengan "teman dekatku".

"Oke, murni setuju. Tapi ada dua syarat."
"Apa syaratnya?"
"Saya tetap bole sekolah dan setelah menikah tunggu dua tahun baru boleh pulang"
"Syarat pertama tidak masalah sama sekali, tapi syarat kedua itu konyol. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat murni, untuk apa menikah kalau menunggu sampai 2 tahun"
"Kalau beliau tidak mau, ya sudah..biar beliau cari yang lain saja."
"Kamu keras kepala, dia lelaki baik. Hmm..Setahun kita tunggu untuk resepsi. Tidak ada bantahan".

Aku hanya diam seribu bahasa mendengar ucapan ayah. Tidak ada bantahan jika beliau sudah memutuskan.

Tak sulit bagiku untuk mengungkapkan perihal pernikahanku pada "teman dekatku" karena status kami pun cuma berteman tapi hatiku lumayan sakit. Aku tahu dia terluka, tapi nothing I can do.

"Lelaki" itu setuju dengan perjanjian itu dan akhirnya pernikahan pun terlaksana. Sesuai perjanjian, linto baroe tidak bole pulang (means tidak serumah dengan dara baroe) selama waktu yang telah ditentukan. Dan itu betul-betul dilakukannya dengan sabar. Saat di foto pun, aku harus memaksa senyum yang manis.Aku tidak bisa memaksakan rasa itu. Aku belum bisa merasa indah saat melihatnya. Bahkan disaat weekend (di malam minggu) dia berkunjung melihat istrinya (biasanya malam minggu malamnya pacar mengunjungi pasangannya tapi malah ini malah aku dikunjungi suamiku sendiri), aku berusaha agar tidak ada dirumah. Diam-diam pergi dari pintu belakang, tapi terkadang perjuanganku gagal. Tak jarang aku berkilah ingin menginap di rumah kakak pada malam minggu, tapi nyak dan ayah tidak mengizinkan karena cuma hari itu suamiku akan datang selalu. Terkadang aku merengek dan aku bersorak dalam hati setelah diizinkan ke rumah kakakku, tapi malam minggunya tetap suamiku datang dengan mengendarai vespanya ke rumah kakakku dan mengajakku keluar. Di masa-masa awal itu, tak ada kebahagian. Tapi tiap kali bersamanya, aku merasa terlindungi. Ternyata aku tahu "lelaki" itu bukan seorang yang banyak bicara. Dia jarang berkomentar tentang sekililingnya. Saat aku mengoceh, dia hanya tersenyum. Sebagai seorang suami, dia juga senantiasa memberiku nafkah. Semua kewajiban dan janji-janjinya semuanya dipenuhi dengan tulus. Aku tahu itu. "Lelaki" itu begitu sabar memenuhi janjinya.
Biasanya jarang sekali ada pasangan lelaki yang bertahan dengan keadaan ini. Tapi "lelaki" itu bahkan tidak pernah menanyakan kepadaku, membujukku pun tidak. Dia menjaga janjinya walau sekuat tenaga aku menghindari bertemu dengannya saat itu. Mungkin dengan sikapnya ini lah, Allah membuka hatiku yang beku. Bahkan senyuman yang manis dan gayanya yang rapi tidak menjadi pengaruh apa-apa bagiku. Tibalah Allah mengirimkan satu paket cinta di hatiku. Hatiku penuh cinta pada suamiku bahkan jauh sebelum resepsi akan diselenggarakan.

Keadaannya begitu berbeda, dulu ketika dia datang aku selalu dalam keadaan tidak enak dilihat. Nyak selalu memarahiku. Tapi sekarang aku menghitung detik, kapan "lelaki"itu akan datang. Aku memilih baju yang paling bagus saat akan bertemu dengannya. Hatiku yang dulunya menolak kehadirannya, sekarang malah merasa dag-dig-dug saat suara vespanya yang nyaring berbunyi. Aku jatuh cinta pada suamiku sendiri.

Dua bulan sebelum jatuh tempo perjanjian kami, resepsi pun diselenggarakan. Aku mulai bisa tersenyum bahagia. Aku bangga bergandengan dengan "lelaki"itu.


Sudah lebih 10 tahun kami menikah. Allah menganugerahi 3 orang anak yang lucu. Tidak pernah ada kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulutnya untukku. Aku tidak pernah merasa disakiti, malah setiap detiknya "lelaki" itu makin membuatku bangga akan hadirnya di hidupku. Di saat aku mengomel ketika dia selalu meminjamkan uang ke orang dan tidak ada niat dari orang tersebut mengembalikannya, dia menenangkanku.

"Kan uang yang kita punya itu, walaupun kerja keras kita sendiri tapi itu punya Allah. Biarlah Allah yang memutuskan kemana arahnya."
"Tapi kita kan sedang membangun rumah, kapan jadinya kalau uangnya selalu gak dikembalikan", aku mulai menangis mengingat betapa susannya kami membangun rumah dengan uang dari hasil gaji kecil pegawai saat itu.
"Allah kan ada, pasti akan ada rejeki yang lain. InsyAllah rumah kta akan segera jadi. Jangan menagis lagi."

Suamiku memang bukan seorang pujangga. Dia tak pandai merayu, tapi setiap kata dari mulutnya adalah kekuatan bagiku. Aku begitu mencintainya. Dan akhirnya dengan perjuangan sedikit demi sedikit rumah kami pun terbagun. Aku bersama dengannya berusaha melakukan apapun yang kami bisa jika itu bisa membantu menghemat biaya pembangunan. Aku membantunya mengecat rumah. Aku kuat dan mulai rajin karenanya.
Tangannya begitu dingin, dia menyulap perkarangan rumah kami menjadi kebun. Dan sekarang kami menikmatinya.

Setelah beberapa saat kami menikmati kehidupan baru di rumah kami, pertanda itu pun datang.
Suamiku sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak boleh terluka sedikit pun. Dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata keras di depan anak-anak apalagi memukul. Dia punya cara lain mengajari mereka. Tapi pagi itu, seuatu aneh terjadi. Anak ketigaku masih bayi, dia mulai merangkak kesana kemari dengan lincahnya. Abang dan kakak (anak pertama dan kedua) masih terlelap. Ketika subuh, suamiku membangunkan Abang. Namun beberapa kali dipanggil baru dia mulai bangun. Namanya anak kecil, dia harus mengumpulkan nyawa terlebih dahulu namun caranya mungkin salah. Dia langsung melangkah bangun dengan terhoyong-hoyong dan tanpa sengaja menyenggol si adik. Menangislah adik dan tiba-tiba "Plak!", suah tamparan keras mendarat di muka abang.
"Itulah gak dengar ayah bilang dari tadi bangun".
Aku menangis melihat kejadian itu, anakku ditampar. Aku lebih sedih lagi karena suamiku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Yang paling membuat miris adalah melihat abang yang hanya diam (dia mewarisi sifat ayahnya yang tidak akan komplaini apalagi jika salah), dia tidak menangis. Tapi sekilas kulihat air mata di jatuh di pipi putihnya selain bekas merah karena tamparan suamiku.
"Kenapa??", aku menanyakannya sambil menangis. Tapi seperti biasa, suamiku hanya diam. Ada segurat penyesalan diwajahnya. Lalu dia melihatku, dan wajah itu berbeda. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku belum sadar saat itu bahwa Allah sudah memberinya tanda.
Dan ketika siang di hari minggu, aku menyuruh abang membeli cabe di kedai dekat rumah dia tidak mau. Anakku yang pertama ini memang kurang berani saat kecil. Mungkin dia sering sakit semasa kecil jadi sering bersama aku dan ayahnya membuatnya agak sedikit kurang berani. Biasanya ayahnya akan marah jika aku memaksanya pergi yang ujung-ujungnya aku yang akan pergi sendiri. Tapi hari ini berbeda...

"Ayok abang, kamu itu cowok harus berani. Kedainya pun dekat itu. Kamu itu anak lelaki, punya adik-adik perempuan. Gimana kalau ayah gak ada, sapa yang akan membela dan menjaga ibu dan adik-adik kalau bukan kamu?"
"Tapi yah..", abang masih merengek.
"Pergi gak?",
Aku terkejut mendengar suamiku bersuara keras, abang mengambil uang dan pergi sambil menangis.

Beberapa saat setelah kejadian itu, suamiku jatuh sakit. Dan tak lama meninggal di usianya yang masih muda. Dan meninggalkan seorang istri yang semakin hari semakin mencintainya beserta anak-anak yang masih kecil-kecil. Aku rapuh saat itu, aku belum siap jika harus kehilangan dia.  Aku menyesal dulu pernah menolaknya, seandainya lebih banyak waktu kuhabiskan bersamanya..

Dan sampai kini pun rasa cinta itu tak bisa tergantikan oleh apapun. Cinta yang ditawarkan ole lelaki manapun tak sanggup menghapus kenangannya karena aku punya mereka, anak-anakku.



Kisah cinta mereka mungkin tak semiris kisah cinta Romeo dan Juliet atau Jack dan Rose, tak seindah kisah cinta Cinderella dan Pangerannya. Tapi kisah cinta itu terukir indah dan kekal dihati perempuan itu. Ibuku.

Mommy and her girls..

Anak-anaknya yang menjadi kekuatannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar