Senin, 26 September 2011

Arif Dan Laila...


"Waaah..gambar kamu bagus banget...!"
"Oai?? Makasih...Hmm, kamu siapa??", tanya gadis kecil itu sambil menoleh ke wajah yang dia maksud.
"Arif, panggil kak arif aja... Kamu pinter menggambar, pasti bisa jadi arsitek yang pinter and keren..",
"Gak ah, Una gak pengen jadi Arsitek.."
"Trus mau jadi apa??"
"Pengen jadi dokter gigi ajah, heheheee", ucapnya lugu dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.
"Pantes, giginya bagus gitu"
"Iyyya, Una males liat gigi jelek kaya' giginya bang Raja and Kak Nanda, mereka males gosok gigi, suka makan coklat, makanya sering sakit giginya... Coba liat gigi b arif! aaaaa...", ucapnya sambil membuka mulut tanda meminta Arif membuka mulutnya dan yang bersangkutan pun menuruti dengan polos.
"Tuch kan ada gigi yang mau jelek, pasti juga males sikat gigi..."
"Hehee,, janji gak lagi setelah ini buk dokter..",
"Itu apa??", tanya gadis kecil itu menunjuk ke arah gulungan kertas yang di bawa Arif.
"Ini gambarku, aku kan hoby menggambar dan cita-citaku pengen jadi arsitek," ucapnya bangga sambil menunjukkan gambar-gambarnya, namun gadis kecil yang belum mengerti apa-apa itu hanya mengangguk kurang mengerti.
"Ohh.."
"Ya sudah, aku pergi dulu yaaa...daah gadis kecil",
"Daah kak Arif.."
Arif pun berjalan meninggalkan gadis kecil itu yang sudah mulai sibuk mewarnai gambarnya lagi. Namun tiba-tiba anak lelaki itu berbalik dan berjalan menuju Una..
"Gadis kecil, namamu siapa tadi?", tanyanya mengejutkan si gadis itu..
"Lailatul Husna, panggil aja Una...kenapa ?"
"Laila, matamu cantik.. Aku pergi dulu..", ucap Arif sambil tersenyum dan pergi. Pertama kali dalam hidupnya di usia yang masih sangat kecil, gadis bernama Lailatul Husna itu tersipu.
"Hei bang Arif, panggil aku Una jangan Laila..,"teriaknya setelah tersadar.
"Sampai ketemu, hmm U..Laila", ucap Arif dari kejauhan.




Mungkin sudah menjadi pilihan banyak penulis (apalagi di komik-komik remaja atau novel remaja) memilih karakter yang ganteng, tinggi, atlit di sekolah, cantik dan yang lain-lain. Begitu juga dengan pilihan karakterku kali ini. Yaah..mudan-mudahan tidak ada yang bosan dengan karakter yang begitu (hahahaa..sangsi banget).
Namanya Arif Akbar, seorang anak lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara. Ayah ganteng dan pintar, Ibu cantik serta pintar juga dan inilah hasilnya seorang anak laki-laki yang secara fisik tak perlu diceritakan. Keluarga yang sempurna, akademik yang memuaskan dan wajah tampan sejak lahir merupakan berkah yang selalu disyukuri oleh orang tuanya. Sebagai anak lelaki satu-satunya, Arif punya kelakuan yang baik. Dia menyadari segala kelebihannya tapi menempatkan diri sama dengan yang lain. Di sekolahnya, dia menjadi salah satu perhatian di sekolahnya bahkan di kompleks sekolahnya. Junior-junior di Sekolah Menengah Pertama pun tak mau kalah dengan kakak-kakaknya di SMU tempat Arif bersekolah. Termasuk si gadis kecil dulu yang sekarang tumbuh remaja yang duduk di kelas 2 SMP, Una.


Masih terekam jelas di ingatannya percakapan singkat di taman kota 8 tahun yang lalu. Dia menyimpan kekaguman yang luar biasa kepada Arif seiring dia mengenalnya. Lailatul Husna tumbuh jadi gadis pemalu, dia merahasiakan kekagumannya bahkan dari orang-orang terdekat tapi tidak kepada orang tuanya. Disaat gadis remaja lain mencari perhatian para senior idola (termasuk Arif disana), Una hanya memandang dari kejauhan. Yang paling dia rindukan adalah tatapan lelaki itu. Sejak pertemuan itu, Una tahu dia lelaki punya tatapan yang intens dan tulus. Dia boleh punya mata yang indah, tapi lelaki itu mengalahkannya dengan tatapan yang indah yang belum tentu seseorang bermata indah dapat melakukannya. Tapi yang membuatnya merasa terluka ketika dia tahu sang lelaki telah punya pilihan hati. Mungkin belum tentu benar ketika orang berkata, mencintai tak mesti memiliki tapi dengan melihat seseorang yang kita cintai bahagia, kita turut berbahagia. Gadis itu bahagia melihat senyuman di wajah lelaki itu, tapi di satu sudut hatinya, Una merasa terluka, menangis.


Arif memang telah memilih gadis itu. Nadia Rizky. Seorang gadis pintar nan cantik yang telah dekat dengannya sejak mereka sama-sama di tahun akhir SMP. Setelah 3 tahun masa pendekatan , malah mereka terlihat begitu serasi. Nadia, seorang gadis lembut dan taat beragama. Mereka menamakan hubungan mereka persahabatan, tapi ada tujuan disana. Ketika di tahun akhirnya di sekolah, Arif telah mantap akan memilih jurusan Teknik Arsitek sebagai jurusan profesi yang akan digelutinya. Dengan sekuta tenaga dia berusaha mendapatkan undangan masuk ke salah satu Universitas ternama di kota itu dan usahanya tidak sia-sia. Yang patut jadi pikirannya sekarang adalah kelulusan akhir di SMU.


Ketika suatu saat di kamarnya, Arif sedang belajar untuk menempuh Ujian akhir. Tiba-tiba dadanya sakit, dia sulit bernafas. Sebenarnya sakit ini sudah sejak lama dirasakannya. Orang tua pun sudah membawa ke dokter ahli dan memvonis bahwa dia terkena serangan asma biasa. Tapi malam itu, sakit itu semakin menjadi-jadi. Dia terkulai lemah, berteriak lemah memanggil ibunya..
"Bund..Bundaaa..!", dan akhirnya dia jatuh pingsan di lantai kamarnya.

Hari itu sepulang latihan badminton, Arif merasa lebih lelah dari biasanya. Bagaimana tidak, dia baru saja keluar dari Rumah Sakit kemarin pagi karena serangan sesak nafas dan nyeri dada mendadak. Dia mengarahkan sepedanya dan bergegas pulang, karena rumahnya begitu dekat dengan lapangan dia berolahraga. Saat dia sampai di gerbang rumah besar itu, dia melihat sebuah mobil terpakir di dalam perkarangan rumahnya. Makcik Zahara dan Om Usman, mau ketemu bunda mungkin. Dia bergegas masuk, namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara isak tangis itu... semakin lama semakin terisak sambil terus bercerita...Bunda menangis.
"Istighfar Ran, yang sabar...",  
"Dia mulai lemah kak, Arifku lemah. Anak lelakiku satu-satunya lemah. Kebanggaanku..huu..huu.. Aku tak sanggup ji..ji..ka tahu..hm,huu..kalau dia tahu dia sakit..huuuhuu..", Aku sakit?? Aku sakit apa, hingga bunda terisak seperti itu.
"Jadi Arif belum tahu keadaannya??"
"Belum makcik, Arif masih belum kami beritahu. Dia sebentar lagi akan Ujian Akhir di sekolahnya. Kami berpikir, akan sulit baginya menerima ini semua," ucap suara lainnya yang Arif tahu sebagai kakak pertamanya.
"Seberapa parah sejauh ini?", tanya Om Usman
"Selama dia tak berpikiran berat, dan sering berolah raga ringan dan makan sehat, InsyAllah keadaan jantungnya stabil. Kami terus mengusahakan dia agar tidur teratur dan tidak berpikiran berat".Jantung??? ada apa dengan jantungku. Dia memegang dadanya secara spontan, jantungnya mulai berdetak cepat, dia mulai resah...Namun saat itu yang terpikir olehnya hanya satu. Bunda tidak bole menagis lagi. Astaghfirullah. Dia ucapkan kata-kata itu sampai dia mulai merasa jantungnya mulai stabil. Dia hanya ingin tahu apa yang terjadi dengannya. Dengan jantungnya.
"Rani, mungkin ini catatan keturunan. Kamu ingatkan, ayah meninggal karena penyakit jantung," ucapan itu membuat Arif tertegun. Penyakit jantung?? Aku sakit, jantungku tidak sehat. Ya Allah... Dia mundur selangkah, tangannya tetap di dadanya. Ada satu bulir jatuh di sudut mata Arif. Bunda, aku bukan kebanggaanmu lagi.. aku tak berguna. Dia masih mendengar suara isak ibunya.
“Huu..huu, aku terluka kak. Ba..bagaimana, hmm..hu, hu.. kalau Arif tahu dia akan sulit mencapai cita-citanya?? Dia jarang komplain. Itu yang membuatku sangat sedih. Pa..pada..hal, dia baru saja lulus Usmu di jurusan pilihannya..hu.hu”,
Arif pergi. Dia terluka. Ke mesjid, dia harus bersujud. Menumpahkan segala kesedihan. Dia tahan nyeri di dadanya, dia kesusahan bernapas, tapi dia terus mengayuh sepedanya. Allah, aku membutuhkan kekuatan.


Tujuh tahun setelahnya Arif menjalani kehidupannya seperti biasa. Dia hidup di bawah bayang-bayang penyakitnya. Segala yang dilakukannya sekarang harus mempertimbangkan kekuatan jantungnya. Semuanya seakan terbatas tapi baginya melihat ketenangan di wajah ibunya adalah kekuatan baginya. Dia tidak memilih arsitek sebagai jurusan profesinya karena pertimbangan kesehatan. Tapi dia ingin hobi menggambarnya tersalurkan dan jika pun tidak dapat direalisasikan dalan sebuah bangunan konkrit, dia ingin ilmunya berguna. Pendidikan Seni Rupa menjadi pilihannya. Dan kini, dia menjadi salah satu tenaga pengajar di sekolah kejuruan. Nadia menerima lelaki itu apa adanya, walaupun Arif bersikeras agar Nadia pergi menjauh. Hubungan mereka pun berjalan lancar sampai di hari menjelang pertunangannya. Arif mengira, Nadia telah mengatakan tentang keadaan Arif kepada kedua orangnya. Tapi ternyata, Nadia masih sangat takut berkata kenyataan. Di satu sisi, dia anak satu-satunya. Nadia yakin, orangtua menginginkan seorang laki-laki yang sempurna. Arif boleh jadi sangat sempurna di matanya tapi tidak bagi orangtuanya. Tapi ketidakjujuran Nadia ini membuat hubungan mereka gagal dengan tidak baik. Orang tua Nadia menuding Arif memaksa anaknya mempertahan hubungan itu. Saat itu kesehatan fisik Arif menurun lagi. Dia harus menjalani parawatan intensif, tapi satu hal yang dia tak inginkan, operasi jantung. Dia ingin bertahan dengan jantungnya. Dia yakin dia akan sembuh.


Beberapa tahun terakhir, selain mengajar dia mulai menyibukkan diri di usaha desain grafisnya. Usianya sudah hampir mencapai kepala tiga. Dia lelaki tampan yang sudah mapan dengan usaha yang lancar. Keinginan menikah memang ada, tapi mengingat berapa kegagalan di masa lalu, membuatnya mengurungkan niat. Setelah kisahnya dengan Nadia berakhir, ada beberapa kisah menyusul setelahnya. Sebagai manusia biasa, ada terbesit anggapan bahwa penyakit jantungnya yang menyebabkan ini semua. Tapi di akhir setiap kisah, di saat dia berserah diri, dia sadar penyakitnya hanya sebagai instrumen Allah agar membuatnya lebih sabar dalam memaknai hidup. Arif terbentuk menjadi sosok yang kuat dan sabar. Dia selalu percaya Allah bersama orang-orang yang sabar. Hanya keluarga yang mulai meresahkannya, apalagi di saat dia sudah pasrah.

“Bunda...airmata bunda  membuat Arif lemah. Terseyum ya Bunda, karena senyuman bunda adalah kekuatan. Kita harus yakin akan janji Allah. Mungkin kita bukan orang yang terlalu alim, tapi kita orang beragama bun, kita libatkan Allah dalam segalanya.”, Arif menenangkan ibunya ketika beliau terisak di sela-sela percakapan pagi hari itu. Dan ketika itu, suara mungil itu memecah keheningan pagi itu...
“Accalamualaikum...”


Di satu sudut lain di kota yang sama.

Hmm...Ya Allah, setelah bertahun-tahun,  akhirnya bisa juga menghirup udara negeri tercinta. Masih ingat Laila?? Itu..Lailatul Husna. Gadis yang dulunya bercita-cita menjadi seorang dokter gigi itu sekarang menjelma menjadi seorang dosen berkejuruan Arsitektur yang secara langsung dia adalah seorang Arsitektur. Kita melupakannya diakhir kisah di SMP.

“Aku akan melihat keindahan dan keunikan suatu bentuk dan dimensi bangunan dari mataku sendiri kak... Tapi kamu tetap jadi inspirasiku. Aku akan mencari tahu kenapa Arsitektur menjadi pilihanmu. Tak disini. Aku perlu waktu menata hati,” ucapnya di akhir pertemuannya dengan Arif, dan dia mengucapkannya dengan jarak lebih dari 100 m dari Arif. Una pergi. Dia benar pergi menuntut ilmu. Dia menemukan keindahan menjadi seorang penata bangunan saat dia memperkuat ilmunya pada landscape architecture and planning di Universitas Wageningen, Belanda beberapa saat yang lalu.

Dan disinilah dia sekarang. Berdiri tegak menuju hari-hari barunya di negeri tercinta. Lailatul Husna merasa sangat siap untuk itu. Dia seorang perempuan mungil dan cantik. Gaya berbusana yang modern  membuatnya semakin menarik.
Di taman ini hampir 20 tahun lalu semuanya terjadi. Perempuan itu tak tersadar telah berjalan menapaki taman itu. Banyak perubahan disana. Tapi satu yang tidak pernah berubah, kenangan itu. Una terseyum dalam hati, mengutuk diri sendiri yang merasa bodoh, tidak pernah bisa melupakan kenangan itu. Tidak! Itu cuma kenangan masa kecil. Perjuanganku udah hampir10 tahun untuk mengubah rasa ini dan aku yakin ini sudah berhasil. Pasti. Saat dia berbalik pulang, tiba-tiba ada seorang bocah lelaki kecil menarik perhatiannya. Bocah itu mengingatkannya pada Arif (Nah lho, Arif lagi kan??), anak kecil yang berusia sekitar 5 tahun itu berlari lincah mengejar bola. Dia pasti setampan ayahnya,ucapnya Una dalam hati.

"Syauqi, ayo tendang kemari", tiba-tiba suara itu mengalihkan pandangan perempuan itu. Ya Allah, Dia kan... Ternyata benar, dia memang setampan ayahnya, Arif Akbar. Perempuan itu tak sadar, matanya terus memandang sepasang lelaki dewasa dan lelaki kecil itu, sampai sebuah sentuhan lembut menyentuh kakinya. Sebuah bola.

"Aunty, bole Syoqi minta bola na?", ucapan mungil itu membuyarkan lamunannya.
"Hmm...iya-iya, bole..ini sayang..", dengan buru-buru dia menyerahkan bola itu dan langsung membalikkan badan dan melangkah. Dia tak ingin melihat tatapan itu, dia takut belum siap. Dia mulai ragu akan kata-katanya tadi. Tapi..

"Syauqi, bilang apa sama Auntynya?", Ya, Allah. Suara itu.
"Tapi auntynya pelgi itu..Aunty, tunggu!", bocah kecil itu berlari kecil mengejar Una.
"Aunty...", tak tega mendengar suara itu, Una pun berhenti. Sebelum berbalik, dia mempersiapkan senyumnya.
"Iyya sayang..", ucapnya sambil menunduk sedikit.
"Telima kasiii aunty",
"Sama-sama, aunty pergi dulu yaaa..", ucapnya setelah membelai rambut bocah kecil itu.
"Syukran yaa..", ucap Arif yang sedari tadi mengejar Syauqi.
"Sama-sama, Assalamualaikum," jawab Una yang memandang sekilas ke arah Arif dan langsung pergi.Ya Allah, tatapan itu. Ternyata perjuanganku selama 10 tahun sia-sia hanya oleh satu tatapan itu. Ini salah Una. Ini haram. Kau lihat bocah kecil itu, dia anaknya. Allahku, ampuni dosaku. Una terisak di tengah perjalanannya, dia mengutuk dirinya sendiri yang tidak kuat sama sekali.

"Waalaikumussalam...", jawab Arif di tengah keterkejutannya. Bukannya dia... mata itu kan...
“Acut..acut..Acut Arif!!,” panggil Syauqi sambil menarik-narik kemejanya.
“Iy..iyya..”, jawabnya tersadar dari lamunannya yang memandang ke arah perempuan yang menghilang.
“Syauqi auusss...”, Arif tersenyum.
“Hmmm..ayuuk kita beli minum, trus kita pulang yaa, ummi pasti udah nungguin sama nenek dirumah”, Arif menggenggam tangan mungil keponakannya itu dan melangkah meninggalkan taman itu.


Takdir Allah selalu tak pernah bisa di tebak. Alurnya berjalan mulus dan terkadang kita yang menjalani tidak pernah menyadarinya.
Setelah pertemuan mendadaknya dengan Arif sebulan yang lalu, hari ini secara mengejutkan sepupu jauhnya memperkenalkan istri dan anak-anaknya. Nadia Rizky adalah perempuan itu. Berarti anak lelaki itu??? Terjalin lah percakapan yang tak disangka menyinggung si lelaki itu, Arif Akbar.
“Una dulu sekolah di kompleks itu juga?”
“Iyya kak, aku sering lho liat kakak,” wajah itu tersenyum. Cantik. Betapa serasinya dirimu kak kalau kau bersanding dengan kak Arif.
“Pasti kenal Arif juga donks!”, Una mengangguk. Tak dipungkiri olehnya, mendengar nama itu saja, hatinya berdesir.
“Dan mungkin kamu juga tahu hubunganku dengan Arif dan terkejut melihat aku disini sekarang”, tiba-tiba wajah itu merunduk. Ada gurat kesedihan disana. Satu persatu kata-kata terangkai dari mulut mungilnya. Sesekali matanya berkaca-kaca. Una tahu sekuat tenaga dia menahan bening-bening air mata jatuh dari kelopak matanya. Ya Allah, aku menangisi kisah mereka yang dulu ku lihat begitu bahagia. Ternyata lelaki yang sempurna di mata setiap perempuan itu, dia sakit...
Di akhir kisahnya dia tersenyum.
“Yaah, jalan kisah kami mungkin harus begini, Na. Hmm...jangan-jangan kamu salah satu penggemar Arif dulu yaa??”, tanyanya mulai menggoda. Dan dengan polos Una hanya tersenyum dengan wajah bersemu merah. Iyya kak, bahkan aku sudah mempunyai rasa itu jauh sebelum kamu bertemu dengannya. Perempuan di depannya yang tidak mengharapkan respon itu sedikit terkejut, namun akhirnya dia tersenyum.
“Arif belum menikah sampai sekarang, jadi kamu masih punya kesempatan”, ucapnya sambil menyentuh pipi Una.
“Terlalu banyak kegagalan yang dia hadapi. Arif adalah seorang yang patut di perjuangkan Una. Betapa bahagia seorang yang mendampinginya kelak. Kekurangannya itu adalah kelebihannya yang paling utama. Dia menjadi lelaki yang sabar dan kuat. Lelaki baik yang dibutuhkan seorang perempuan. Mungkin saat ini, dia akan sulit memenangkan hati para orang tua. Kalau kamu memang masih punya sedikit rasa itu, utarakan keinginan kepada orang tua, buat mereka ikhlas dan...” Dia diam sesaat sambil menatap Una yang mulai berkaca-kaca.
“Temui Arif, ajak dia menikah’.


Suasana hening saat Una memberanikan diri mengutarakan keinginannya kepada orang tuanya. Perempuan itu memang sudah sangat terbuka masalah perasaannya sejak dulu kepada kedua orang tuanya. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, dia sangat di sayang oleh orang tuanya. Ada kekhawatiran di hatinya, akan ada penolakan yang sama dari orang tuanya. Namun, Allah punya sesuatu yang lain. Orang tuanya meridhai segala keputusannya. Perempuan itu terisak dalam sujudnya. Mensyukuri segala yang terjadi. Allah, aku mohon keridhaanMu dalam keputusanku ini.


Selepas shalat magrib, lelaki tak bergegas pulang. Dia merengkuh mushaf itu dan membacanya. Ada tangis di saat dia mengaji. Karena begitu terisak, dadanya merasa sesak. Dia pun berhenti dan menarik napas panjang. Dia berjalan pulang dan melihat sebuah mobil terparkir di dalam perkarangan rumahnya.

“Assalamualaikum..”, jawaban salam pun terdengar dari orang-orang di ruang tamu rumahnya.
“Ini anak kami yang terakhir, Arif Akbar”, ucap ayahnya.
Tak seorang pun yang dia kenali kecuali keluarga besarnya. Ada apa ini, kenapa pada kumpul semua??Dia masuk sambil tersenyum dan menyalami satu persatu tamu itu. Dia menjulurkan tangannya terakhir kali ke tamu yang paling akhir dan mencari tempat duduk. Seorang perempuan. Tunggu-tunggu, dia kan... Sebelum menuju sofa yang kosong, dia berpikir keras dan berbalik. Dia gadis bermata cantik itu...
“Laila..”, ucapnya membuat semua mata tertuju kepadanya. Yang bersangkutan tersenyum dan mengangguk.

Tanpa dikomandokan, Lailatul Husna bangun dan...
“Iyya Kak Arif akbar. Saya Lailatul Husna. Mohon maaf jika bertindak kurang sopan dan melenceng dari budaya kita, to the point saja. Saya memang belum menjadi seorang muslimah yang baik, saya belum berpakaian layaknya seorang wanita muslim yang baik, saya bukan seorang yang pintar berkata-kata. Saya mungkin tidak secantik cleopatra. Saya mungkin dilihat belum pantas berdiri berdampingan dengan anda. Tapi saya disini denag mengahrapkan keridhaan Allah, berdiri mengajukan sebuah proposal. Proposal pernikahan dengan anda.”

Seluruh ruangan terpana. Arif terkejut. Dia masih berusaha mengumpulkan jiwanya yang mulai gamang. Kenyataannya kata-kata itu tidak sulit dimengerti, tapi kalau kata-kata itu keluar dari mulut seorang hawa..


“Kita menikah, kak Arif???”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar