Ada saat-saat dimana dia
ingat seseorang. Merindukan keluarganya. Abah dan Bunda. Dulu, diawal
kedatangannya ke York malah rasa itu begitu sering datang. Tak hanya pada
keluarganya, tapi yang paling dia rasa menyiksa adalah ketika dia merindukan
lelaki itu, Rizal Aulia. Dan kini malah cerita itu seperti berulang. Dari sejak
semalam ketika dia ingat Adam. Dia benar rindu. Biasanya dia akan sangat gengsi
untuk mengirimkan pesan singkat. Tapi tidak malam itu.
Ya. Pesannya tentu
pending ketika nomor yang dituju tidak aktif. Adam mendadak pulang ke Indonesia
dua hari lalu. Kakeknya sakit keras. Dia pergi tiba-tiba dan sangat buru-buru,
hanya berpamitan lewat pandangan.
Dan ketika weekend
begini, dimana Adam akan sangat suka menganggu tidurnya. Membangunkannya.
[Bicycling time!]. Subuh baru saja. Dia ogah-ogahn ketika sms kedua
masuk.
[I’ll see you in half an hour. Wudhu’lah and go to
shalat subuh. I’m Catholic but
remembering you to shalat. Good work Annisa]. Dia merasa malu kemudian tertawa malu.
Namun pagi ini malah tak
satu pun pesan itu masuk. She’s waiting and she will. Tapi kemudian sadar pesan
itu tak akan masuk hari itu. Ya Rabb,
kenapa kau limpahkan perasaan rindu itu jika itu berdosa? Kenapa, jika hanya
menyiksa? Mohon diberi kekuatan dan kesabaran. Dia merasa bertemu denganNya
adalah satu-satunya cara mengalihkan perasaannya. Kemudian bersujud.
Perasaan itu malah
semakin tega ketika sore datang. Annisa selesai dengan anak-anaknya. Carolyn,
Ann dan Katherine telah pulang dari tadi ketika dia masih terduduk di bangku
taman itu. Kali ini malah dia terisak. Kenapa
rasa ini begitu menyiksa? Maafkan aku Ya Allah!
Seseorang itu sedari
tadi melihatnya. Iba. Kenapa kamu
terlihat tidak nyaman hari ini kekasih? Adakah seseorang yang menyakitimu.
Puncaknya ketika wanita itu menunduk dan sebutir air mata menjatuhi pipinya. Annisa, aku bahkan belum pernah melihatmu
menangis. Tetap indah, batinnya. Moment paling indah minggu ini.
Klik. Klik.
Dia akan menuju wanita
itu, ketika dia mendengar suara itu lirih berkata…
“Rabb, aku tak pantas
merindukannya. Mohon ampuni aku!”
***
Dia usap air matanya.
Dia merasa tak pantas menangis. Ketika…
“Kata Ibuku, if you miss
someone, especially your Mom or Father or someone special. Then if they are
away and when a call or a message can’t reduce your longing. Pray for them. God
will clam your heart down and bless them in the same time as well…”, Annisa
mendongak. Suara itu sangat dikenalnya. Adam. Kapan dia ada disini? Kenapa dia bisa tahu?
Adam tersenyum.
Annisa membuang mukanya.
Kata-katanya bagus.
“Makasih kata-katanya.
Bagus.”
“Sama-sama!”, ucap Adam
dengan wajah sedikit bangga. Dia duduk disamping Annisa.
“Memangnya kamu lagi
rindu siapa? Oh, aku tahu. Pasti namanya Adam Josep. Oh, bukan, Adam Yusuf
pastikan? Hmm… kalau bukan itu, pasti Adam saja, hehe. Yang jelas orangnya
tetap sama!”, ucapnya jenaka dan disusul lirikan Annisa yang sengit. Heran, kenapa aku bisa rindu sampai menangis
untuk lelaki ini. Jelas Annisa enggan berkomentar.
“Oke-oke, kamu pasti
bilang enggak kan. Yaah…gak apa-apa lah.” Ucapnya sambil menyandarkan kepalanya
ke kedua tangannya.
“Tapi kamu tahu gak? Aku
rindu kamu, Annisa Namira!’,ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya kedepan.
Annisa tersentak. Tersipu. Dia juga
merindukanku.
“Hampir empat hari kita
tak bertemu kan. Aku buru-buru pergi, kejar pesawat tercepat sampai aku lupa
handphoneku. Ternyata rindu itu memang menyiksa yaa, hehe”. Dia seperti
berbicara sendiri. Annisa hanya diam saja menikmati kisahnya. Jadi hpnya tinggal? Kenapa tak aktif? Low
bat kah?
Adam seperti mengingat
sesuatu. Dia merogoh sakunya.
“Ini ni, gara-gara rindu
sekali sama kamu, aku buru-buru ke kantor, ngambil hp trus nyari-nyari Annisa
Namira seperti orang kehilangan anak sampai lupa aktifkan hp…”. Dia pun
buru-buru mengaktifkan hpnya.
Beberapa waktu berlalu.
Banyak sms masuk. Pemberitahuan panggilan. Maklum orang sibuk, ketinggalan hp.
Tapi, satu sms dengan nama itu sangat menarik perhatiannya.
“Nah kan, benar! Kamu
rindu aku…”, ucapnya sambil memperlihatkan sms yang dikirimnya tadi malam.
From: Annisa
[Ingat seseorang itu ternyata terkadang menyiksa].
Annisa tak tahu harus
menyembunyikan mukanya kemana.
***
“Kata nenekmu, kalau
kamu mau melamar seorang gadis tapi tidak tahu ukuran jari manisnya, maka
cobalah di jari kelingkingmu kalau cincinnya pas di jari manis si gadis, maka
bisa jadi dia jodohmu sebenar…”, ucap ibunya saat Adam menemani ibunya ke took
perhiasan pagi sabtu itu. Udara
dingin menusuk. Namun entah kenapa salju seperti masih malu-malu turun ke bumi.
“Oia?”, tanyanya dengan
mimik serius. Biasanya Adam susah percaya hal-hal seperti itu.
Ibunya menoleh
dan sedikit terkejut melihat tanggapan si anak.
“Yaah..Ummi siyh percaya
sedikit aja. Apalagi saat Ayahmu melamar Ummi dulu, Ummi iseng memasangkan
cincinnya, tapi sedikit kedodoran. Dan kini kami pisah kan? Tapi itu semuanya
sudah ada yang mengatur, itu hanya ucapan orang tua kok… emang kenapa siyh?
Kamu keliatannya serius amat?, Adam hanya tersenyum.
Selesai melihat-lihat
dan memilih yang dirasa cocok, ibunya mengajaknya pergi.
“Ayo Nak!”
Adam hanya diam. Matanya
masih tertuju pada cincin sederhana itu. Entah kenapa otaknya begitu tega
mengingat Annisa ketika dia sedang bersama sang ibu. Dia ingin memberinya cincin
itu. Wanita itu tersadar akan keanehan sang anak.
“Why don’t you take it
if you like?”
“Hmm..ee..a..apa Mi?”
“Adam, I am your Mom!
Pasti tentang Annisa lagi kan?”
***
Selama beberapa hari
ini, pikirannya hanya memikirkan kata-kata itu. Semua orang mempertanyakan
keseriusannya pada Annisa, tapi tidak wanita itu. Orang-orang itu hanya
penasaran kelanjutan hubungan mereka. Siapa ikut siapa. Padahal menurutnya,
rasanya pada Annisa bukan tentang agama apa yang mereka jalani. Tapi, mungkin
itu tidak bagi Annisa.
Wanita itu beberapa kali menghindarinya, karena
perbedaan itu, walaupun akhirnya tetap ada jalan baginya untuk bisa bersama
Annisa lagi. Sekarang, dia hanya berpikir bagaimana dia bisa membuat
orang-orang percaya bahwa cintanya pada Annisa bukan main-main. Bukan dia cipta
sendiri, tapi sudah tercetak dengan sendirinya ketika pertama kali mereka
bertemu. Apalagi mengetahui Annisa
sedang diburu jawaban orang tuanya tentang seseorang yang telah dijodohkan
dengannya. Menikahi Annisa. Itulah
yang terpikir sekarang.
“Hmm..jadi hanya karena
itu kamu ingin menikahinya? Nak, pernikahan itu bukan hanya tentang pendapat
orang tentang keseriusan kita dengan seseorang. Bukan karena hanya ajang
pembuktian. Tapi memang karena sudah panggilan hatimu untuk menikah. Pernikahan
yang didasari hal-haltadi tidak akan bertahan lama, kalau pun bertahan akan
banyak permasalahan”, Adam mengangguk.
“Apa Annisa pernah
berkata sesuatu tentang itu?”, Adam menggeleng.
“Tidak Ummi. Annisa
tidak akan pernah mau menikah denganku karena perbedaan kami, jadi dia tidak
akan pernah menyinggung itu…”, Ibunya iba melihat Adam. Tentu Nak! Ummi juga sudah menduga itu.
“Tapi Adam ingin sekali
melindungi Annisa, Ummi. Ketika melihat dia sakit, walau hanya sakit biasa,
rasanya sakit sekali tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekedar
mengulurkan tangan”.
Wanita cantik di
depannya itu tersenyum. Membelai rambut Adam lembut. Ya Rabb, apa salah kalau anakku ini mencoba? Walaupun dia pasti akan
ditolak. Tapi, apa salah kalau dia menyampaikan niatnya?
“Pergilah Nak! Lamar Annisa!”, Adam yang sedari tadi menopangkan tangan
kepahanya menatap jauh kedepan menoleh.
“Tapi, Ummi…”
“Tidak bersalah dan
berdosa kalau kamu hanya menyampaikan niatmu kan?”
***
Biasanya Annisa ogah
diajak keluar oleh Adam. Berkali-kali Adam hanya bisa mendesah mendapati
dirinya dicuekin. Bukannya ingin mencoba romantis, tapi dia juga ingin sesekali
menghabiskan waktu bersama sang pujaan hati setelah bekerja setengah hari.
Ingin tahu lebih detail tentang sisi lain sang kekasih (upps, bukan kekasih
yaa? Hehe). Tapi apa hendak dikata, Annisa selalu punya kata-kata sopan dan
halus untuk menolak ajakannya. Adam juga menyadari bahwa mereka memang telah
berkomitmen saat senja di St. Moritz dulu bahwa mereka memang tidak punya
hubungan apa-apa. Jadi atas nama berduaan, atau menghabiskan waktu berdua,
Annisa pasti akan menolak. Masih ingat kan, kejadian ketika
Adam datang
mengunjungi Annisa dan ingin dimasakin masakan Indonesia? Itu salah satu cara
Adam. Dia berpikir kalau memang diajak keluar tidak mungkin, maka bisa saja
berkencan dirumah berhasil, tapi toh tetap gagal.
Namun, beberapa kali pun
dia gagal Adam tetap tidak merasa jengah. Makin dia ditolak, makin besar
keyakinannya kalau Annisa memang special. Dia hanya terkadang penasaran, apa
yang kekasihnya itu lakukan malam-malam sepulang kerja? Atau bahkan saat
weekend. Dan ketika dia mencari tahu, Annisa lebih banyak menghabiskan waktu
bersama dengan anak-anak asuhnya, atau pergi mengunjungi masjid di 76 Fourth
Avenue dan terkadang pergi berputar-putar dengan sepeda atau sepatu rodanya
memotret sana-sini dan juga duduk di taman membaca buku dan yang selalu
dibawanya, Al-Qur’an nya itu.
Dan malam ini, kebetulan
Saturday night. Minggu kedua bulan Desember. Musim dingin sudah hampir mencapai
puncak. Adam berusaha lagi, dan keyakinan begitu besar. Selain itu, dia memang
punya misi besar hari ini dan dia sangat berharap ini berjalan lancar.
Tuhan, buka kan hatinya malam ini. Aku hanya ingin
membahagiakannya. Annisa,
Bersama sebuah benda
yang malam ini menguatkannya, Adam mengetuk pintu itu.
Beberapa detik
selanjutnya seorang wanita cantik telah berdiri didepan pintu apartemennya.
Hmm…usaha apa lagi malam ini Adam?
“Ngapain kesini?”,
kalimat Tanya biasa. Dan Adam hanya terkekeh.
“Mau ngantar sesuatu
buat kekasih hati?”, ucapnya seadanya. Annisa melotot.
“I AM NOT…”
“Oke-oke, you are not my
girl. Aku hanya mau kasih kamu hasil foto ku hari ini…”, ucapnya.
“Tumben… biasanya
ninggalin depan pintu atau ngasih ke front desk. Enggak berusaha jadi secret
admirer lagi Pak?”, Adam terkekeh.
Itu lah cara Adam
mencintai Annisa. Setiap minggu pasti akan ada selembar fotonya dikirim.
Foto
dalam bentuk apapun. Sedang tertawa lebar, sedang menjulur lidah, sedang serius
dengan editing, sedang serius dengan kameranya, mendongak, tersenyum tipis,
melamun bahkan ada saat dia sedang khusyu berdoa diatas sajadahnya atau yang
parahnya pernah dia sedang terlelap dimeja kerjanya. Semuanya dikirim. Dan
Annisa tak pernah tahu, kapan persisnya Adam sempat mengabadikannya. Ketika dia
hanya bisa mendesah saat Adam berkata dari jauh tanpa suara… I got you!
“Hari ini mau dideliver
sendiri aja sambil mengakui kalau aku lah pengangum rahasiamu yang tampan itu,
tentu kamu pasti tidak keberatan donk!”, Annisa melirik sebentar tak mau
berlama-lama karena dia sangat menghindari tatapan itu.
“Udah donk pengakuannya,
terus mana fotonya?”, Tanya Annisa seadanya.
“Hmm…belum pengakuannya.
Gak romantis banget didepan pintu gini,” ucapnya sambil mendongak ke dalam.
“No way!”, ucap Annisa
tegas sambil membelalakkan mata.
“Sudah kuduga”, ucapnya
tersenyum. Dan diam sambil terus memandang wanita di depannya. Annisa mulai
grogi. Jangan harap dengan memandangku
seperti itu, pintu ini akan terbuka!
Padahal Adam sedang sibuk mencari
kata-kata yang tepat untuk mengajaknya keluar.
“Sudah mandanginnya? Gak
ada yang berubah kan?”, Tanya Annisa yang diikuti tawa Adam.
“Oke-oke. Hmm…begini, di
televisi katanya hari ini bakal turun salju pertama kali… “
“Jadi?”
“Hmm…aku pengen ngajak
kamu nungguin moment itu. Memang biasa saja siyh, tapi kamu belum pernah liat
kan?”, Annisa berpikir sejenak. Belum
siyh, tapi kan…
“Sekalian aku juga mau
mengakui sesuatu…”, kini wajah didepannya itu berubah. Merona. Tidak, tidak. Adam belum pernah seperti ini.
Tapi apa yang mau diakuinya? Kenapa tidak sekarang saja?
“Gimana? Hmm…tapi kalau
mau ditolak seperti biasa siyh, aku…”
“Aku apa?”,
“Aku bakal nunggu kamu
mau malam ini!”, biasanya wajah itu selalu tersenyum tapi kali in serius. Dia serius!
“Oke! Tapi gak lama
kan?”, senyum Adam merekah. Akhirnya
setelah sekian lama… Thanks God!
“Sampai saljunya turun
donk!”, kini dia mulai bercanda. Yaah…rupanya
dia tidak serius.
“Gak jadi dech!”, ucap
Annisa sambil mendorong pintu masuknya dan Adam reflex memegangnya.
“Enggak, becanda kok!
Please! Malam ini saja! Aku hanya mau mengakui beberapa hal saja! Setelah itu
aku janji, kita pulang!”, Ada keseriusan diwajahnya yang sakarang merona lagi.
Annisa terpana.
***
Sejoli itu berjalan
beriringan. Udara sangat dingin menusuk. Annisa bingung melihat Adam yang tidak
memakai sarung tangannya, sedang dia merasa tak cukup dengan sarung tangan itu.
Mereka menuju taman dekat apartement Annisa. Orang-orang hanya sedikit
berkeliaran, karena mereka lebih suka menghabiskan malam yang dingin dirumahnya
dengan pemanas ruangan yang menghangatkan.
“Kamu gak dingin?”,
Tanya Annisa sambil melirik tangan Adam.
“Hmm..dingin dikit!”. Gimana aku bisa dingin kalau dengan
lirikanmu saja membuat tubuhku langsung hangat.
“Annisa…”
“Iyya…”
“Hatimu milik siapa?”
“Heh? A..apa?”
“Aku tanya, hatimu milik
siapa?”
“Milik Tuhanku lah…”,
ucapnya sambil tergesa-gesa berjalan. Adam tertawa dan mulai mengejar langkah
itu.
“Di dunia ini gak ada
yang kita miliki secara sempurna, kan?”, Tanya Adam.
“Iya..”
“Termasuk hati kita
kan?”
“Iyya, termasuk hati
kita… kita gak pernah punya andil menentukan harus kepada siapa hati memilih,
hanya Tuhan yang tahu…”
“Artinya rasa yang kita
miliki bisa saja berubah kapan pun, jadi bisa saja seseorang berkata cinta
banget sampai mati tapi dalam hitungan detik kalau Tuhan menentukan hatinya
berbalik, semuanya akan berubah…”, jelas Adam mulai menikmati pembicaraannya.
“Iya-iya. Padahal sering
banget kan ada orang yang suka bilang I’ll always love you forever,
eh..tau-taunya udah gak cinta lagi…”, sambung Annisa.
“Iyya… contoh lain
tentang hati kan kisah kita ya? Taunya udah naksir aja pertama ketemu…”, ucap
Adam sambil tersenyum penuh cinta. Annisa bergegas melangkah lagi.
“Nope, I didn’t!”, ucap
Annisa
buru-buru.
“Oia-ya, kamu enggak. Ujung-ujungnya baru berbalas. Yang dulunya selalu
ingin indah saat jatuh hati pertama kali, eh…malah tragis. Belum lagi, yang
dicintai malah sudah bertunangan dan yang lebih parah lagi udah punya istri dan
anak…”, Ucap Adam. Annisa hanya tersenyum pahit.
“Dan sekarang malah beda
keyakinan…”, dan sekarang malah Adam yang tersenyum sangat getir. Annisa hanya
memandangnya dengan pandangan sendu. Jeda.
Lalu Annisa menghadap
Adam, berjalan kebelakang. Dia mencoba mengalihkan.
“Makanya Mr.Adam, jangan
suka bilang aku mencintaimu selamanya…”
“Aku gak bilang, kamu
yang bilang barusan kan? Makasi banyak Nisa, hehe”. Annisa sewot.
Usaha mengalihkannya
malah berbalas ejekan. Annisa pun kembali berjalan normal ke depan mengikuti
langkah Adam.
Tiba-tiba langkah itu
berhenti. Annisa pun berhenti karena menyadari Adam berhenti. Dia lebih
beberapa langkah didepan Adam. Sekarang mereka tepat dibawah sebuah lampu taman
dekat sebuah pohon yang sudah ditinggal pergi daun-daun. Pemandangan yang
indah, dibawah temaram lampu taman.
“Berarti, kalau aku
bilang gini…”, Adam melangkah sedikit dan menantap lembut tepat kedalam mata
Annisa…
“Annisa… I love you and I
will. Hanya jika Tuhan tak membalikkan hatiku, trus apa jawabmu?” Ini pengakuan pertamaku. Annisa jengah.
Dia menunduk.
Kata-kata itu mungkin
sederhana bagi orang lain tapi tidak baginya. Kata-kata itu sangat romantis dan
indah tapi disaat yang sama menghujam sakit ke ulu hatinya karena lelaki itu
yang mengucapkannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Tidak Rabb, aku tidak siap kalau harus menolaknya sekarang, apa yang
harus kujawab?
Adam mengerti perasaan
kekasihnya itu. Dia coba mengalihkan.
“Terharu yaa? Hmm..anyway,
mau liat foto terbaikku minggu ini?”, Adam merogoh sesuatu dari kantong
jaketnya dan membarikannya pada Annisa.
Annisa terpana. Dia tahu,
dia akan melihat wajahnya sendiri tapi dia tidak berharap melihat dirinya
sendiri dalam bentuk seperti itu. Ini
moment kapan? Aku lupa. Kapan dia mengambil gambar aku menitikkan airmata
seperti ini? Tunggu-tungu, ini moment itu yaa… iyya, ini moment ketika aku
sangat rindu padanya. Dia mendongak masih dengan mata berkaca-kaca.
“Trus jawabmu?”, Tanya
lelaki didepannya lagi.
“Sama”, ucapnya lirih
sekali.
“Apaan tuch sama? Gak
ada makna ah. Tega amat siyh!”.
Adam sewot. Annisa tak
memperdulikan itu. Dia masih sibuk dengan perasaannya yang kacau. Adam sadar
akan hal itu. Dia ingin sekali membatalkan niatnya mengatakan itu tapi mulutnya
seperti tak bisa dikontrol begitupun hatinya.
“Aku melamarmu…”,
ucapnya lirih, namun cukup jelas didengar dimalam yang sunyi itu. Hanya
beberapa orang yang melewati mereka.
Annisa kali ini
benar-benar terpana.
“Menikah denganku ya?”,
ucap lelaki itu lagi dan kalimat terakhir inilah yang menggoyahkan semua
pertahanannya. Air matanya tumpah. Dia menangis. Terus menangis, sampai dia
harus menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Adam resah. Tapi satu
sisi hatinya, dia tahu ini akan terjadi. Inilah bukti bahwa Annisa
mencintainya. Dia menangis bukan karena dia sedih tapi dia menangis karena dia
tak ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Adam.
Karena dia pasti akan
menolaknya. Adam tahu itu. Dia biarkan wanita terus menangis. Adam maju
selangkah. Dia ingin sekali menarik wanita itu ke dalam pelukannya, tapi dia
tidak akan pernah melakukannya.
“Annisa, aku benar ingin
menikahimu!”, ucapnya lembut.
Ironis. Ketika semua
wanita menunggu moment ini. Ketika semua wanita itu menangis bahagia karena
pinangan pujaan hati dan mereka dengan bahagia berkata Yes, I will. Annisa menangis sedih. Hatinya sakit sekali. Bahkan
moment ini yang paling dihindarinya. Bukan karena dia menolak. Bukan karena tak
cinta. Tapi karena perbedaan. Adam… aku mencintaimu,
kau sangat tahu itu. Tapi…kita tak akan mungkin bersama kalau perbedaan itu
masih membentang. Agamaku hidupku, dan kutahu bagimu juga agama segalanya.
“Annisa…”
Adam tahu posisinya.
Adam sangat mengerti, kekasihnya terluka. Kini Annisa mulai tenang. Dia
turunkan tangannya. Menatap lelaki itu yang kini begitu dekat dengannya.
Airmatanya tetap jatuh.
“Maaf…”, ucap Adam. Dia
sudah tak tahan. Apapun respon Annisa sekarang, dia hanya ingin mengusap
airmata kekasihnya itu. Tak terduga, Annisa hanya diam. Detik selanjutnya, dia
baru berkata terbata…
“Don…Don’t touch me!
Please!”, Adam tersenyum dan menurut. Dia mundur selangkah.
“A..Adam…maafkan jika
aku harus menolak lamaranmu…”, ucapnya ketika dia mulai tenang. Namun air
matanya tetap tak bisa terbendung. Adam hanya tersenyum.
“Sudah kuduga!”
Jeda. Lama. Annisa
mendongak mencari mata itu. Dia sangat takut melihat mata itu sedih. Tapi malah
yang dia lihat sepasang mata yang jenaka dengan senyum yang tersungging
untuknya. Adam memang menunggu Annisa siap dan tenang.
“Jangan merasa bersalah,
kekasihku! Ini bukan pertama kali kamu menolakku kan? Yaah..walaupun ini
konteksnya sedikit, eh..maksudnya sangat berbeda, tapi aku sudah tak apa…
anyway, kelak kalau kau sudah siap di lamar lagi olehku, just tell me. Aku akan
buat seromantis mungkin…”, ucapnya tanpa beban denga senyum diwajahnya. Tapi
Annisa tahu,
Adam menyimpan luka dihatinya. Annisa pun tak mau merusak suasana.
“Romantis gimana? Kamu
niat lamar atau engga siyh?”
“Hah? Maksudnya?”
“Mau lamar cincinnya kok
gak ada!”, Adam menepuk kepalanya dan tertawa renyah. Saking groginya dia lupa
benda berharga itu. Dia rogoh kantong jaket sebelahnya. Ini dia, benda penting hari ini, tapi terlupa begitu saja.
“Kaya’a Mr.Adam harus
banyak latihan dulu niyh… presentasi or fotografi mah boleh jago, tapi ginian
sepertinya harus banya latihan..”, ucap Annisa membuat pipi Adam sedikit lebih
merona selain karena dingin.
“Hei…kamu coba donks
cincinnya!”, ucap Adam. Annisa hanya terdiam.
“Udah, jangan khawatir.
Hanya dicoba sebentar. Sini kupakaikan!”, Annisa menggeleng.
“Oke-oke. Aku gak pegang
dah tangan kamu yang lembut itu. aku Cuma masukin aja ke jari manismu, oke?”
“Deal!”, Annisa membuka
sarung tangannya dan membentangkan telapak tangannya. Adam mengambil cincin itu
dan memasukkan ke jari manis Annisa. Dan… Pas.
Sangat Pas. Keduanya terdiam. Darimana
dia bisa tahu ukuran jariku? Dan tanpa disadari salju pertama pun turun
ingin menyaksikan moment ini. Salju itu
benar-benar turun, seolah Tuhan memang mengatur moment itu makin indah.
“Annisa, saljunya
turun…”
“Iyya… for the first
time this year. Dan ini pertama kalinya aku melihat moment ini…”, keduanya
kemudian menengadah. Diam. Adam kemudian melihat sang kekasih…
“Annisa…”
“Iyya..”
“Kamu tahu gak kata
orangtua dulu, kalau seorang lelaki ingin meminang seorang gadis tapi tak tahu
ukuran jari si gadis maka dia bisa mengukurnya dengan jari kelingkingnya
sendiri. Kalau cincin itu pas pada jari manis si gadis, maka mereka bisa saja
berjodoh…”
Keduanya saling menatap.
Annisa kemudian melihat kejari manisnya. Cincin
ini pas. Apa Adam…
“Aku mencobanya di
kelingkingku…”, ucap Adam menutup moment malam itu. Kota York kembali dihujani
salju putih yang sangat beruntung bisa menjadi saksi bisu moment indah dua
sejoli itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar