Kamis, 22 September 2011

Better In Time 12 - Aku Melamarmu, Salju itu Saksinya!




Ada saat-saat dimana dia ingat seseorang. Merindukan keluarganya. Abah dan Bunda. Dulu, diawal kedatangannya ke York malah rasa itu begitu sering datang. Tak hanya pada keluarganya, tapi yang paling dia rasa menyiksa adalah ketika dia merindukan lelaki itu, Rizal Aulia. Dan kini malah cerita itu seperti berulang. Dari sejak semalam ketika dia ingat Adam. Dia benar rindu. Biasanya dia akan sangat gengsi untuk mengirimkan pesan singkat. Tapi tidak malam itu.

[Ingat seseorang itu ternyata terkadang menyiksa]. Send. Pending.

Ya. Pesannya tentu pending ketika nomor yang dituju tidak aktif. Adam mendadak pulang ke Indonesia dua hari lalu. Kakeknya sakit keras. Dia pergi tiba-tiba dan sangat buru-buru, hanya berpamitan lewat pandangan.

Dan ketika weekend begini, dimana Adam akan sangat suka menganggu tidurnya. Membangunkannya.

[Bicycling time!]. Subuh baru saja. Dia ogah-ogahn ketika sms kedua masuk.

[I’ll see you in half an hour. Wudhu’lah and go to shalat subuh. I’m Catholic  but remembering you to shalat. Good work Annisa]. Dia merasa malu kemudian tertawa malu.

Namun pagi ini malah tak satu pun pesan itu masuk. She’s waiting and she will. Tapi kemudian sadar pesan itu tak akan masuk hari itu. Ya Rabb, kenapa kau limpahkan perasaan rindu itu jika itu berdosa? Kenapa, jika hanya menyiksa? Mohon diberi kekuatan dan kesabaran. Dia merasa bertemu denganNya adalah satu-satunya cara mengalihkan perasaannya. Kemudian bersujud.

Perasaan itu malah semakin tega ketika sore datang. Annisa selesai dengan anak-anaknya. Carolyn, Ann dan Katherine telah pulang dari tadi ketika dia masih terduduk di bangku taman itu. Kali ini malah dia terisak. Kenapa rasa ini begitu menyiksa? Maafkan aku Ya Allah!

Seseorang itu sedari tadi melihatnya. Iba. Kenapa kamu terlihat tidak nyaman hari ini kekasih? Adakah seseorang yang menyakitimu. Puncaknya ketika wanita itu menunduk dan sebutir air mata menjatuhi pipinya. Annisa, aku bahkan belum pernah melihatmu menangis. Tetap indah, batinnya. Moment paling indah minggu ini.

Klik. Klik.

Dia akan menuju wanita itu, ketika dia mendengar suara itu lirih berkata…

“Rabb, aku tak pantas merindukannya. Mohon ampuni aku!”

***


Dia usap air matanya. Dia merasa tak pantas menangis. Ketika…

“Kata Ibuku, if you miss someone, especially your Mom or Father or someone special. Then if they are away and when a call or a message can’t reduce your longing. Pray for them. God will clam your heart down and bless them in the same time as well…”, Annisa mendongak. Suara itu sangat dikenalnya. Adam. Kapan dia ada disini? Kenapa dia bisa tahu?

Adam tersenyum.

Annisa membuang mukanya. Kata-katanya bagus.

“Makasih kata-katanya. Bagus.”

“Sama-sama!”, ucap Adam dengan wajah sedikit bangga. Dia duduk disamping Annisa.

“Memangnya kamu lagi rindu siapa? Oh, aku tahu. Pasti namanya Adam Josep. Oh, bukan, Adam Yusuf pastikan? Hmm… kalau bukan itu, pasti Adam saja, hehe. Yang jelas orangnya tetap sama!”, ucapnya jenaka dan disusul lirikan Annisa yang sengit. Heran, kenapa aku bisa rindu sampai menangis untuk lelaki ini. Jelas Annisa enggan berkomentar.

“Oke-oke, kamu pasti bilang enggak kan. Yaah…gak apa-apa lah.” Ucapnya sambil menyandarkan kepalanya ke kedua tangannya.

“Tapi kamu tahu gak? Aku rindu kamu, Annisa Namira!’,ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya kedepan. Annisa tersentak. Tersipu. Dia juga merindukanku.

“Hampir empat hari kita tak bertemu kan. Aku buru-buru pergi, kejar pesawat tercepat sampai aku lupa handphoneku. Ternyata rindu itu memang menyiksa yaa, hehe”. Dia seperti berbicara sendiri. Annisa hanya diam saja menikmati kisahnya. Jadi hpnya tinggal? Kenapa tak aktif? Low bat kah?

Adam seperti mengingat sesuatu. Dia merogoh sakunya.

“Ini ni, gara-gara rindu sekali sama kamu, aku buru-buru ke kantor, ngambil hp trus nyari-nyari Annisa Namira seperti orang kehilangan anak sampai lupa aktifkan hp…”. Dia pun buru-buru mengaktifkan hpnya.

Beberapa waktu berlalu. Banyak sms masuk. Pemberitahuan panggilan. Maklum orang sibuk, ketinggalan hp. Tapi, satu sms dengan nama itu sangat menarik perhatiannya.

“Nah kan, benar! Kamu rindu aku…”, ucapnya sambil memperlihatkan sms yang dikirimnya tadi malam.

From: Annisa
[Ingat seseorang itu ternyata terkadang menyiksa].

Annisa tak tahu harus menyembunyikan mukanya kemana.


***


“Kata nenekmu, kalau kamu mau melamar seorang gadis tapi tidak tahu ukuran jari manisnya, maka cobalah di jari kelingkingmu kalau cincinnya pas di jari manis si gadis, maka bisa jadi dia jodohmu sebenar…”, ucap ibunya saat Adam menemani ibunya ke took perhiasan pagi sabtu itu. Udara dingin menusuk. Namun entah kenapa salju seperti masih malu-malu turun ke bumi.

“Oia?”, tanyanya dengan mimik serius. Biasanya Adam susah percaya hal-hal seperti itu. 
Ibunya menoleh dan sedikit terkejut melihat tanggapan si anak.

“Yaah..Ummi siyh percaya sedikit aja. Apalagi saat Ayahmu melamar Ummi dulu, Ummi iseng memasangkan cincinnya, tapi sedikit kedodoran. Dan kini kami pisah kan? Tapi itu semuanya sudah ada yang mengatur, itu hanya ucapan orang tua kok… emang kenapa siyh? Kamu keliatannya serius amat?, Adam hanya tersenyum.

Selesai melihat-lihat dan memilih yang dirasa cocok, ibunya mengajaknya pergi.

“Ayo Nak!”

Adam hanya diam. Matanya masih tertuju pada cincin sederhana itu. Entah kenapa otaknya begitu tega mengingat Annisa ketika dia sedang bersama sang ibu. Dia ingin memberinya cincin itu. Wanita itu tersadar akan keanehan sang anak.

“Why don’t you take it if you like?”

“Hmm..ee..a..apa Mi?”

“Adam, I am your Mom! Pasti tentang Annisa lagi kan?”

***


Selama beberapa hari ini, pikirannya hanya memikirkan kata-kata itu. Semua orang mempertanyakan keseriusannya pada Annisa, tapi tidak wanita itu. Orang-orang itu hanya penasaran kelanjutan hubungan mereka. Siapa ikut siapa. Padahal menurutnya, rasanya pada Annisa bukan tentang agama apa yang mereka jalani. Tapi, mungkin itu tidak bagi Annisa. 
Wanita itu beberapa kali menghindarinya, karena perbedaan itu, walaupun akhirnya tetap ada jalan baginya untuk bisa bersama Annisa lagi. Sekarang, dia hanya berpikir bagaimana dia bisa membuat orang-orang percaya bahwa cintanya pada Annisa bukan main-main. Bukan dia cipta sendiri, tapi sudah tercetak dengan sendirinya ketika pertama kali mereka bertemu. Apalagi mengetahui Annisa sedang diburu jawaban orang tuanya tentang seseorang yang telah dijodohkan dengannya. Menikahi Annisa. Itulah yang terpikir sekarang.

“Hmm..jadi hanya karena itu kamu ingin menikahinya? Nak, pernikahan itu bukan hanya tentang pendapat orang tentang keseriusan kita dengan seseorang. Bukan karena hanya ajang pembuktian. Tapi memang karena sudah panggilan hatimu untuk menikah. Pernikahan yang didasari hal-haltadi tidak akan bertahan lama, kalau pun bertahan akan banyak permasalahan”, Adam mengangguk.

“Apa Annisa pernah berkata sesuatu tentang itu?”, Adam menggeleng.

“Tidak Ummi. Annisa tidak akan pernah mau menikah denganku karena perbedaan kami, jadi dia tidak akan pernah menyinggung itu…”, Ibunya iba melihat Adam. Tentu Nak! Ummi juga sudah menduga itu.

“Tapi Adam ingin sekali melindungi Annisa, Ummi. Ketika melihat dia sakit, walau hanya sakit biasa, rasanya sakit sekali tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekedar mengulurkan tangan”.

Wanita cantik di depannya itu tersenyum. Membelai rambut Adam lembut. Ya Rabb, apa salah kalau anakku ini mencoba? Walaupun dia pasti akan ditolak. Tapi, apa salah kalau dia menyampaikan niatnya?

“Pergilah Nak! Lamar Annisa!”, Adam yang sedari tadi menopangkan tangan kepahanya menatap jauh kedepan menoleh.

“Tapi, Ummi…”

“Tidak bersalah dan berdosa kalau kamu hanya menyampaikan niatmu kan?”

***


Biasanya Annisa ogah diajak keluar oleh Adam. Berkali-kali Adam hanya bisa mendesah mendapati dirinya dicuekin. Bukannya ingin mencoba romantis, tapi dia juga ingin sesekali menghabiskan waktu bersama sang pujaan hati setelah bekerja setengah hari. Ingin tahu lebih detail tentang sisi lain sang kekasih (upps, bukan kekasih yaa? Hehe). Tapi apa hendak dikata, Annisa selalu punya kata-kata sopan dan halus untuk menolak ajakannya. Adam juga menyadari bahwa mereka memang telah berkomitmen saat senja di St. Moritz dulu bahwa mereka memang tidak punya hubungan apa-apa. Jadi atas nama berduaan, atau menghabiskan waktu berdua, Annisa pasti akan menolak. Masih ingat kan, kejadian ketika 
Adam datang mengunjungi Annisa dan ingin dimasakin masakan Indonesia? Itu salah satu cara Adam. Dia berpikir kalau memang diajak keluar tidak mungkin, maka bisa saja berkencan dirumah berhasil, tapi toh tetap gagal.

Namun, beberapa kali pun dia gagal Adam tetap tidak merasa jengah. Makin dia ditolak, makin besar keyakinannya kalau Annisa memang special. Dia hanya terkadang penasaran, apa yang kekasihnya itu lakukan malam-malam sepulang kerja? Atau bahkan saat weekend. Dan ketika dia mencari tahu, Annisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak asuhnya, atau pergi mengunjungi masjid di 76 Fourth Avenue dan terkadang pergi berputar-putar dengan sepeda atau sepatu rodanya memotret sana-sini dan juga duduk di taman membaca buku dan yang selalu dibawanya, Al-Qur’an nya itu.

Dan malam ini, kebetulan Saturday night. Minggu kedua bulan Desember. Musim dingin sudah hampir mencapai puncak. Adam berusaha lagi, dan keyakinan begitu besar. Selain itu, dia memang punya misi besar hari ini dan dia sangat berharap ini berjalan lancar.

Tuhan, buka kan hatinya malam ini. Aku hanya ingin membahagiakannya. Annisa,

Bersama sebuah benda yang malam ini menguatkannya, Adam mengetuk pintu itu.
Beberapa detik selanjutnya seorang wanita cantik telah berdiri didepan pintu apartemennya. 
Hmm…usaha apa lagi malam ini Adam?

“Ngapain kesini?”, kalimat Tanya biasa. Dan Adam hanya terkekeh.

“Mau ngantar sesuatu buat kekasih hati?”, ucapnya seadanya. Annisa melotot.

“I AM NOT…”

“Oke-oke, you are not my girl. Aku hanya mau kasih kamu hasil foto ku hari ini…”, ucapnya.

“Tumben… biasanya ninggalin depan pintu atau ngasih ke front desk. Enggak berusaha jadi secret admirer lagi Pak?”, Adam terkekeh.

Itu lah cara Adam mencintai Annisa. Setiap minggu pasti akan ada selembar fotonya dikirim. 
Foto dalam bentuk apapun. Sedang tertawa lebar, sedang menjulur lidah, sedang serius dengan editing, sedang serius dengan kameranya, mendongak, tersenyum tipis, melamun bahkan ada saat dia sedang khusyu berdoa diatas sajadahnya atau yang parahnya pernah dia sedang terlelap dimeja kerjanya. Semuanya dikirim. Dan Annisa tak pernah tahu, kapan persisnya Adam sempat mengabadikannya. Ketika dia hanya bisa mendesah saat Adam berkata dari jauh tanpa suara… I got you!

“Hari ini mau dideliver sendiri aja sambil mengakui kalau aku lah pengangum rahasiamu yang tampan itu, tentu kamu pasti tidak keberatan donk!”, Annisa melirik sebentar tak mau berlama-lama karena dia sangat menghindari tatapan itu.

“Udah donk pengakuannya, terus mana fotonya?”, Tanya Annisa seadanya.

“Hmm…belum pengakuannya. Gak romantis banget didepan pintu gini,” ucapnya sambil mendongak ke dalam.

“No way!”, ucap Annisa tegas sambil membelalakkan mata.

“Sudah kuduga”, ucapnya tersenyum. Dan diam sambil terus memandang wanita di depannya. Annisa mulai grogi. Jangan harap dengan memandangku seperti itu, pintu ini akan terbuka! 
Padahal Adam sedang sibuk mencari kata-kata yang tepat untuk mengajaknya keluar.

“Sudah mandanginnya? Gak ada yang berubah kan?”, Tanya Annisa yang diikuti tawa Adam.

“Oke-oke. Hmm…begini, di televisi katanya hari ini bakal turun salju pertama kali… “

“Jadi?”

“Hmm…aku pengen ngajak kamu nungguin moment itu. Memang biasa saja siyh, tapi kamu belum pernah liat kan?”, Annisa berpikir sejenak. Belum siyh, tapi kan…

“Sekalian aku juga mau mengakui sesuatu…”, kini wajah didepannya itu berubah. Merona. Tidak, tidak. Adam belum pernah seperti ini. Tapi apa yang mau diakuinya? Kenapa tidak sekarang saja?

“Gimana? Hmm…tapi kalau mau ditolak seperti biasa siyh, aku…”

“Aku apa?”,

“Aku bakal nunggu kamu mau malam ini!”, biasanya wajah itu selalu tersenyum tapi kali in serius. Dia serius!

“Oke! Tapi gak lama kan?”, senyum Adam merekah. Akhirnya setelah sekian lama… Thanks God!

“Sampai saljunya turun donk!”, kini dia mulai bercanda. Yaah…rupanya dia tidak serius.

“Gak jadi dech!”, ucap Annisa sambil mendorong pintu masuknya dan Adam reflex memegangnya.

“Enggak, becanda kok! Please! Malam ini saja! Aku hanya mau mengakui beberapa hal saja! Setelah itu aku janji, kita pulang!”, Ada keseriusan diwajahnya yang sakarang merona lagi.

Annisa terpana.

***

Sejoli itu berjalan beriringan. Udara sangat dingin menusuk. Annisa bingung melihat Adam yang tidak memakai sarung tangannya, sedang dia merasa tak cukup dengan sarung tangan itu. Mereka menuju taman dekat apartement Annisa. Orang-orang hanya sedikit berkeliaran, karena mereka lebih suka menghabiskan malam yang dingin dirumahnya dengan pemanas ruangan yang menghangatkan.

“Kamu gak dingin?”, Tanya Annisa sambil melirik tangan Adam.

“Hmm..dingin dikit!”. Gimana aku bisa dingin kalau dengan lirikanmu saja membuat tubuhku langsung hangat.

“Annisa…”

“Iyya…”

“Hatimu milik siapa?”

“Heh? A..apa?”

“Aku tanya, hatimu milik siapa?”

“Milik Tuhanku lah…”, ucapnya sambil tergesa-gesa berjalan. Adam tertawa dan mulai mengejar langkah itu.

“Di dunia ini gak ada yang kita miliki secara sempurna, kan?”, Tanya Adam.

“Iya..”

“Termasuk hati kita kan?”

“Iyya, termasuk hati kita… kita gak pernah punya andil menentukan harus kepada siapa hati memilih, hanya Tuhan yang tahu…”

“Artinya rasa yang kita miliki bisa saja berubah kapan pun, jadi bisa saja seseorang berkata cinta banget sampai mati tapi dalam hitungan detik kalau Tuhan menentukan hatinya berbalik, semuanya akan berubah…”, jelas Adam mulai menikmati pembicaraannya.

“Iya-iya. Padahal sering banget kan ada orang yang suka bilang I’ll always love you forever, eh..tau-taunya udah gak cinta lagi…”, sambung Annisa.

“Iyya… contoh lain tentang hati kan kisah kita ya? Taunya udah naksir aja pertama ketemu…”, ucap Adam sambil tersenyum penuh cinta. Annisa bergegas melangkah lagi.

“Nope, I didn’t!”, ucap Annisa buru-buru.

“Oia-ya, kamu enggak. Ujung-ujungnya baru berbalas. Yang dulunya selalu ingin indah saat jatuh hati pertama kali, eh…malah tragis. Belum lagi, yang dicintai malah sudah bertunangan dan yang lebih parah lagi udah punya istri dan anak…”, Ucap Adam. Annisa hanya tersenyum pahit.

“Dan sekarang malah beda keyakinan…”, dan sekarang malah Adam yang tersenyum sangat getir. Annisa hanya memandangnya dengan pandangan sendu. Jeda.

Lalu Annisa menghadap Adam, berjalan kebelakang. Dia mencoba mengalihkan.

“Makanya Mr.Adam, jangan suka bilang aku mencintaimu selamanya…”

“Aku gak bilang, kamu yang bilang barusan kan? Makasi banyak Nisa, hehe”. Annisa sewot. 
Usaha mengalihkannya malah berbalas ejekan. Annisa pun kembali berjalan normal ke depan mengikuti langkah Adam.

Tiba-tiba langkah itu berhenti. Annisa pun berhenti karena menyadari Adam berhenti. Dia lebih beberapa langkah didepan Adam. Sekarang mereka tepat dibawah sebuah lampu taman dekat sebuah pohon yang sudah ditinggal pergi daun-daun. Pemandangan yang indah, dibawah temaram lampu taman.

“Berarti, kalau aku bilang gini…”, Adam melangkah sedikit dan menantap lembut tepat kedalam mata Annisa…

“Annisa… I love you and I will. Hanya jika Tuhan tak membalikkan hatiku, trus apa jawabmu?” Ini pengakuan pertamaku. Annisa jengah. Dia menunduk.

Kata-kata itu mungkin sederhana bagi orang lain tapi tidak baginya. Kata-kata itu sangat romantis dan indah tapi disaat yang sama menghujam sakit ke ulu hatinya karena lelaki itu yang mengucapkannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Tidak Rabb, aku tidak siap kalau harus menolaknya sekarang, apa yang harus kujawab?

Adam mengerti perasaan kekasihnya itu. Dia coba mengalihkan.

“Terharu yaa? Hmm..anyway, mau liat foto terbaikku minggu ini?”, Adam merogoh sesuatu dari kantong jaketnya dan membarikannya pada Annisa.

Annisa terpana. Dia tahu, dia akan melihat wajahnya sendiri tapi dia tidak berharap melihat dirinya sendiri dalam bentuk seperti itu. Ini moment kapan? Aku lupa. Kapan dia mengambil gambar aku menitikkan airmata seperti ini? Tunggu-tungu, ini moment itu yaa… iyya, ini moment ketika aku sangat rindu padanya. Dia mendongak masih dengan mata berkaca-kaca.

“Trus jawabmu?”, Tanya lelaki didepannya lagi.

“Sama”, ucapnya lirih sekali.

“Apaan tuch sama? Gak ada makna ah. Tega amat siyh!”.

Adam sewot. Annisa tak memperdulikan itu. Dia masih sibuk dengan perasaannya yang kacau. Adam sadar akan hal itu. Dia ingin sekali membatalkan niatnya mengatakan itu tapi mulutnya seperti tak bisa dikontrol begitupun hatinya.

“Aku melamarmu…”, ucapnya lirih, namun cukup jelas didengar dimalam yang sunyi itu. Hanya beberapa orang yang melewati mereka.

Annisa kali ini benar-benar terpana.

“Menikah denganku ya?”, ucap lelaki itu lagi dan kalimat terakhir inilah yang menggoyahkan semua pertahanannya. Air matanya tumpah. Dia menangis. Terus menangis, sampai dia harus menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Adam resah. Tapi satu sisi hatinya, dia tahu ini akan terjadi. Inilah bukti bahwa Annisa mencintainya. Dia menangis bukan karena dia sedih tapi dia menangis karena dia tak ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Adam. 
Karena dia pasti akan menolaknya. Adam tahu itu. Dia biarkan wanita terus menangis. Adam maju selangkah. Dia ingin sekali menarik wanita itu ke dalam pelukannya, tapi dia tidak akan pernah melakukannya.

“Annisa, aku benar ingin menikahimu!”, ucapnya lembut.

Ironis. Ketika semua wanita menunggu moment ini. Ketika semua wanita itu menangis bahagia karena pinangan pujaan hati dan mereka dengan bahagia berkata Yes, I will. Annisa menangis sedih. Hatinya sakit sekali. Bahkan moment ini yang paling dihindarinya. Bukan karena dia menolak. Bukan karena tak cinta. Tapi karena perbedaan. Adam… aku mencintaimu, kau sangat tahu itu. Tapi…kita tak akan mungkin bersama kalau perbedaan itu masih membentang. Agamaku hidupku, dan kutahu bagimu juga agama segalanya.

“Annisa…”

Adam tahu posisinya. Adam sangat mengerti, kekasihnya terluka. Kini Annisa mulai tenang. Dia turunkan tangannya. Menatap lelaki itu yang kini begitu dekat dengannya. Airmatanya tetap jatuh.

“Maaf…”, ucap Adam. Dia sudah tak tahan. Apapun respon Annisa sekarang, dia hanya ingin mengusap airmata kekasihnya itu. Tak terduga, Annisa hanya diam. Detik selanjutnya, dia baru berkata terbata…

“Don…Don’t touch me! Please!”, Adam tersenyum dan menurut. Dia mundur selangkah.

“A..Adam…maafkan jika aku harus menolak lamaranmu…”, ucapnya ketika dia mulai tenang. Namun air matanya tetap tak bisa terbendung. Adam hanya tersenyum.

“Sudah kuduga!”

Jeda. Lama. Annisa mendongak mencari mata itu. Dia sangat takut melihat mata itu sedih. Tapi malah yang dia lihat sepasang mata yang jenaka dengan senyum yang tersungging untuknya. Adam memang menunggu Annisa siap dan tenang.

“Jangan merasa bersalah, kekasihku! Ini bukan pertama kali kamu menolakku kan? Yaah..walaupun ini konteksnya sedikit, eh..maksudnya sangat berbeda, tapi aku sudah tak apa… anyway, kelak kalau kau sudah siap di lamar lagi olehku, just tell me. Aku akan buat seromantis mungkin…”, ucapnya tanpa beban denga senyum diwajahnya. Tapi Annisa tahu, 
Adam menyimpan luka dihatinya. Annisa pun tak mau merusak suasana.

“Romantis gimana? Kamu niat lamar atau engga siyh?”

“Hah? Maksudnya?”

“Mau lamar cincinnya kok gak ada!”, Adam menepuk kepalanya dan tertawa renyah. Saking groginya dia lupa benda berharga itu. Dia rogoh kantong jaket sebelahnya. Ini dia, benda penting hari ini, tapi terlupa begitu saja.

“Kaya’a Mr.Adam harus banyak latihan dulu niyh… presentasi or fotografi mah boleh jago, tapi ginian sepertinya harus banya latihan..”, ucap Annisa membuat pipi Adam sedikit lebih merona selain karena dingin.

“Hei…kamu coba donks cincinnya!”, ucap Adam. Annisa hanya terdiam.

“Udah, jangan khawatir. Hanya dicoba sebentar. Sini kupakaikan!”, Annisa menggeleng.

“Oke-oke. Aku gak pegang dah tangan kamu yang lembut itu. aku Cuma masukin aja ke jari manismu, oke?”

“Deal!”, Annisa membuka sarung tangannya dan membentangkan telapak tangannya. Adam mengambil cincin itu dan memasukkan ke jari manis Annisa. Dan… Pas. Sangat Pas. Keduanya terdiam. Darimana dia bisa tahu ukuran jariku? Dan tanpa disadari salju pertama pun turun ingin menyaksikan moment ini.  Salju itu benar-benar turun, seolah Tuhan memang mengatur moment itu makin indah.

“Annisa, saljunya turun…”

“Iyya… for the first time this year. Dan ini pertama kalinya aku melihat moment ini…”, keduanya kemudian menengadah. Diam. Adam kemudian melihat sang kekasih…

“Annisa…”

“Iyya..”

“Kamu tahu gak kata orangtua dulu, kalau seorang lelaki ingin meminang seorang gadis tapi tak tahu ukuran jari si gadis maka dia bisa mengukurnya dengan jari kelingkingnya sendiri. Kalau cincin itu pas pada jari manis si gadis, maka mereka bisa saja berjodoh…”

Keduanya saling menatap. Annisa kemudian melihat kejari manisnya. Cincin ini pas. Apa Adam…

“Aku mencobanya di kelingkingku…”, ucap Adam menutup moment malam itu. Kota York kembali dihujani salju putih yang sangat beruntung bisa menjadi saksi bisu moment indah dua sejoli itu…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar