Minggu, 18 September 2011

Better In Time 4 - Saat Adam Berucap Cinta



Awalnya kisah berjalan seperti biasa. Annisa pun bercerita dengan mimik biasa saja, walaupun disaat Adam bertanya, wajahnya terlihat berpikir keras. Tapi ketika kisah itu terus berlanjut, Adam hanya bisa terpana dan sesekali menatap wajah disampingnya yang kini mulai terlihat menahan tangis. Tuhan, ternyata kisahnya lebih pilu dari kisahku. Tak sepersekian persen dari kisahku semiris kisah wanita yang kukira sangat kuat ini. Lihat, Tuhan, dia begitu kuat menahan perasaannya, aku tahu dia sangat terluka ketika harus membuka luka lama itu. Ada sebersit keinginan dalam hatinya menggenggam tangan itu, menenangkannya, dan berkata sudah, jika bercerita lagi malah membuatmu makin terluka, maka jangan bercerita lagi. Tapi, dia ingin tahu. Benar-benar ingin tahu.

Akhirnya semua selesai (jangan pada penasaran yaa?? Akan ada chapter khusus buat kisah Annisa dan lelaki di masa lampaunya). Annisa selesai dengan kisahnya. Diakhir kata-katanya, dia murung dan diam sejenak, namun kemudian tersenyum kearah Adam yang sedang melihat penuh arti kearahnya.

“Hmm… gitu kisah saya Pak. Dramatis yaa? Seharusnya cinta pertama itu indah. Tapi saya pertama kali jatuh hati malah berbuah sakit hati… Yaah, tapi saya percaya Allah mengajari banyak hal kepada saya melalui kisah hidup saya ini, mungkin saya menjadi lebih kuat dan lebih bisa menjaga hati.”, ucapnya sambil menatap lurus kearah danau yang kini tak lagi memancarkan warna birunya, tapi mengikuti warna senja.

Adam tersenyum.  Benar, kamu memang kuat.

“Hmm… gimana reaksi rizal ketika kamu pergi?”

“Dia menolak. Dia ingin saya bisa tetap seperti dulu dengannya, bahkan dia menarahkan saya agar bisa lebih dekat dengan istri dan anaknya. Dia tak mengerti kalau itu menyakitkan”

“Apa Rizal masih mencintaimu sampai sekarang?”, pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman. Adam langsung tahu jawabannya. Iya…Rizal masih kan?

“Hmm…kamu sendiri?”, pertanyaan ini membuat Annisa menoleh kearahnya dan kemudian hanya bisa menunduk. Adam terpana. Betulkan, Ummi. Dia tidak bisa mencitaiku karena dihatinya sudah terukir nama lelaki lain.

Kemudian Adam tersenyum.

“Sudah, tidak perlu dijawab lagi.” Ucap Adam dan itu membuat Annisa kembali melihat kearahnya yang sekarang sudah menatap lurus kedepan. Kamu tak mengerti Adam. Sekarang rasa itu entah berada dimana. Yang kupunya hanya rasa hangat dihati ini dan itu ketika bersamamu. Hangat sekali. Nyaman. Ya Rabb, mohon maaf akan rasa itu.

“Hmm… tadi bapak janji mau cerita lagi. Baru kisah pertama, kisah kedua gimana? Apa dramatis juga?”, Annisa mulai mengalihkan.

Jeda sejenak. Adam tersenyum. Pertanyaan itu mungkin biasa saja, tapi baginya itu adalah pertanyaan besar, karena itu artinya dia harus memulai mengatur kata-kata mengakui perasaannya pada wanita yang sedang menunggu jawabannya itu.

“Hmm…”

Jeda lagi. Adam mulai meremas tangannya. Mulai kebingungan mencari kata. Annisa memperhatikan itu.

“Pak, kalau memang sulit diceritakan, tak apa! saya juga mengerti”,

“Bukan itu…”, ucapnya segera.

“Wanita itu…”

Jeda lagi. Ini pun agak lama.

“Dia cantik. Dia cuek, apa pun yang terjadi dia tak peduli. Dia paling suka matanya, karena menurutnya matanya indah.” Adam kemudian menoleh. Apa kamu bisa menebak siapa dia Annisa? Tentu tidak! Annisa kemudian tersenyum penuh arti. Lihat mba Ren, aku benar kan? Pak Adam tidak mungkin mencintai aku. Wanita itu bukan aku.

“Dia paling suka di foto, karena dia sangat percaya diri kalau dia bagus dipotret. Aku suka sekali motret dia… dan satu lagi dia benci warna ungu, karena menurutnya ungu membuat perasaannya sedih..” Annisa merasa hatinya sedikit perih.  Tapi aku suka sekali warna ungu dan aku tak suka dipotret. Bukan! Itu bukan aku! Wanita yang sedang dibicarakannya bukan aku! Ternyata semua perkiraannya benar. Memang bukan aku. Mba Reni, wanita itu bukan aku. Kamu salah. Aku terlalu percaya diri bahwa perkiraanmu benar Mba. Rabb, kuatkan aku.

“Tapi apapun dia, aku tertarik padanya bukan karena alasan-alasan itu. Entah kenapa diawal pertemuan kami, ada sesuatu yang menarik mataku untuk selalu melihatnya…”, sekarang Adam melihat kearah Annisa dan tersenyum. Dan sampai sekarang dan mungkin sampai nanti  mata ini akan selalu melihatmu saja.
Annisa diam. Dia benar-benar berusaha keras menahan perasaannya, dan tanpa disadari keluar pertanyaan itu…

“Siapa wanita itu, Pak?”, dia tetap tak menoleh.

“Hmm… kamu tak kenal dia.”

“Oia?”

Adam hanya diam. Adam berpikir keras. Mungkin ini memang saatnya. Dia pikir, kalau tidak sekarang, tidak ada waktu lagi.

“Kamu memang tak kenal dia, Nisa. Tapi kamu sangat mengenalnya…”, karena kamu adalah wanita itu. Sambungnya dalam hati. Annisa menoleh. Mukanya bingung. Kata-kata itu sangat membingungkan. Adam yang sedari tadi menggenggam suatu menyadari kebingungan di wajah Annisa.

“Annisa…”

“Iya, saya Pak!”, jawab Annisa. Dan Adam menyerahkan sesuatu yang dipegangnya.

“Aku mungkin bukan pujangga yang pintar merangkai kata-kata cinta, aku juga buka penyair yang ahli menulis lirik cinta tapi aku hanya seorang yang mencintai fotografi, jadi dengan inilah aku bisa mengungkap rasa itu…”, Annisa yang masih bingung menerima sesuatu dengan perasaan yang semakin bertanya-tanya. Kalimat itu mungkin terlalu panjang untuk dicerna apalagi disaat perasaannya kacau.

Sebuah album eliminating. Berkover hitam. Tak bertuliskan apa-apa. Annisa sejenak hanya memegang album itu. Kata-kata itu… kenapa malah album ini diserahkan padaku?

“Sebenarnya semua ciri wanita itu berbalik dengan apa yang sudah aku bilang tadi. Wanita itu tidak cantik, tapi dia luar biasa cantik dimataku. Dia sangat peduli dengan lingkungannya, pecinta anak-anak, suka berteman…”,  Apa sekarang sudah jelas Annisa? Sudah bisa kau tebak? Hmm… Sepertinya belum.

“Dia paling tidak suka matanya, karena bagi dia matanya tak indah, tapi bagiku matanya hidup dan penuh kasih sayang…dan dia paling suka warna ungu…” sesuatu terpancar dari mata Annisa, ada sedikit keterkejutan disana. Tapi logikanya masih sangat kuat untuk menolak suara hatinya bahwa wanita yang Adam maksud adalah dia. Adam bisa melihat itu.

“Kalau penasaran, bukalah…” Annisa membuka album itu.

Kesadarannya seperti hilang sesaat melihat gambar yang terpampang jelas dilembar pertama album itu. Seorang wanita dengan kerudung kuning pupusnya, blouse coklat tua bercorak bunga kecil kuning sedang tersenyum hingga menyembulkan lesung pipi kecil di pipinya, matanya menyipit. Annisa pangling. Itu wajahnya. Wanita itu dia. Annisa terpana, kekuatannya hilang segera bahkan untuk membalikkan kehalaman selanjutnya. Dia hanya bisa menoleh kearah Adam yang memang sedang memandangnya.

“Iya Sa. Wanita itu adalah kamu. Kamu yang tidak suka dipotret, padahal aku percaya kamu cantik apalagi hanya untuk dipotret dan aku membuktikannya sendiri…”, ucapnya sambil melihat kearah foto Annisa pertama yang sedang tersenyum sambil melambai kearah seseorang. Annisa juga ikut memandang. Kali ini sedikit kekuatannya muncul, dia balikkan satu persatu album yang tidak begitu tebal itu. Dan… Ya Allah, aku ingat semua moment ini. Iyya, aku ingat.

“Dan sudah jelas kan, kalau wanita yang sudah sangat tega mencuri hatiku itu adalah Annisa Namira, dan dia adalah kamu!”. Adam merasa seluruh beban dikepalanya hilang. Thanks God! Lega!

“Pak Adam, mohon maaf…”, ucap Annisa tapi langsung dipotong oleh Adam.

“Iyya Annisa, aku mengerti. Seharusnya aku yang minta maaf kalau perasaanku ini membuat tidak nyaman. Dari awal aku sudah tahu, kalau rasa ini tak berbalas…”, ucapnya sambil tertawa kecut. Annisa hanya bisa diam. Tidak Pak Adam! Anda salah, bukan maaf itu yang kumaksud…

“Sebenarnya kalau tak berbalas albumnya diambil aja, kalau berbalas aku berharap dikembalikan biar aku simpan, karena setelah dicetak semuanya filenya sengaja aku hapus… dan karena ini tak berbalas, simpanlah Sa! Aku minta maaf kalau secara diam-diam memotretmu. Dan itu kukembalikan semua, tak ada yang tinggal satu pun kok!”, ucapnya sambil tersenyum.

“Tapi kalau berbalas, yaah..mohon dikembalikan, hehehe…”, kini Annisa menatapnya. Adam berhenti tertawa. Jangan-jangan dia tersinggung.

Engga kok, saya bercanda. Kan kenyataannya tak berbalas, iya kan Nisa?”, kalimat terakhir terdengar sederhana tapi serius. Adam mencoba mencari jawaban terakhir kalinya di mata Annisa. Aha! Ada sesuatu disana. Suasana berubah. Jeda. Adam seperti mendapat kenyataan baru ketika mendapati mata Annisa dan diamnya, tapi buru-buru logikanya menolak itu semua. Dia takut berharap banyak, karena itu semua bisa sangat sakit.

“R..r..r.rr…”, Suara handphone Adam mengejutkan. Nino menelpon.

Halo Pak! Pak Faisal bersama istrinya sudah sampai ini”


“Oke, kami segera kesana!”

“Nino ?”

“Iyya, Pak Faisal sudah sampai, kita kesana sekarang?”, Annisa mengangguk masih dengan pikiran yang kacau. Perasaannya campur aduk antara senang dan terkejut atas pengakuan atasannya itu. Ternyata selama ini perkiraan Mba Reni memang benar. Tapi dia harus segera mengambil keputusan.

Adam bangkit, mengambil sepedanya saat sadar Annisa masih saja duduk. Annisa, maaf kalau ini membuatmu shock. Maaf kalau perasaanku menyulitkanmu tapi aku sungguh tak bermaksud. Andai kau kembalikan saja album itu dan membalas rasa itu. hmm…tidak, tidak. Inilah kenyataannya Adam.

“Annisa…”, panggilnya lembut. Annisa menoleh.

“Come on, they’re waiting…”, Annisa mengangguk. Adam sudah akan berjalan ketika…

“Mr.Adam yang terhormat…”, Adam menoleh dan sedikit terkejut dengan panggilan itu.

“I..iya..”

“Saya punya tiga hal yang ingin saya sampaikan, anda punya waktu? 10 menit saja?”, Adam makin terkejut.

“Te..tentu, what are you gonna say?”

“Well…”, Annisa berjalan kearahnya.

“Pertama, saya ingin serahkan kembali album ini…”, ucapnya sambil menyerahkan album itu. Adam mulai bodoh. Kepintarannya hilang seketika. Apa maksud semua ini? Apa ini berarti? Adam mengambil album itu ragu-ragu sambil menanyakan lewat mata dan mimiknya “Apa ini berarti kamu membalas perasaanku?” Annisa hanya tersenyum. Aku memang belum tahu pasti apa rasa itu? Tapi yang jelas naluriku membimbingku melakukan ini.

“Kedua, I don’t expect any relationship. Hope you can understand. Poinnya adalah kita sama-sama mengerti perasaan masing-masing dan kita sudah sangat cukup dewasa untuk hal ini. Kita juga makhluk bertuhan dan saya yakin prinsip kalau jodoh kemana pun pasti akan bertemu, anda juga punya, iya kan?”, Adam mengangguk. Kini pelan-pelan kepintarannya mulai kembali.

“Jadi tidak ada komitmen apa-apa… kecuali Tuhan telah mengarahkan kearah yang lebih baik…”. Adam tersenyum. Itulah kau, Annisa! Pertimbanganmu cukup berarti. Tidak apa, Tuhanku. Yang terpenting perasaanku berbalas oleh wanita ini. Yes! Kini 100% kesadarannya telah kembali. Hatinya membuncah bahagia. Dia menatap intens wanita didepannya mencoba meyakinkan hatinya. Annisa menunduk. Tuhan, mudah-mudahan ini bukan sekedar mimpi.

“Satu hal terakhir, may I ask for the album again?”, setelah bertanya baru dia berani menatap lelaki yang hampir 30 cm lebih tinggi itu. Wajahnya memelas menandakan, Aku mohon!
Adam yang awalnya terkejut dengan permintaan itu akhirnya hanya bisa tersenyum. Apapun untukmu, sayangku! Toh, masih banyak kesempatan untuk mengabadikan potretmu. Apalagi di hati dan pikiranku.

Dan senja di St. Moritz itu menjadi saksi bisu moment itu. Semuanya memang tak romantis. Burung-burung mungkin hanya bisa menertawakan cara Adam. Tapi akhirnya mereka juga bisa tersipu ketika perasaannya ternyata berbalas. Musim panas di Swiss tetap menyisakan hawa sejuk yang menutup senja itu. Kedua sejoli itu pun melangkah pergi tanpa melupakan saat-saat ungkapan rasa itu.

***

Mereka berjalan beriringan. Tak satu kata pun terucap. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Adam sesekali tersenyum dan melirik sang pujaan hati yang sedang berjalan disampingnya. Tuhan, aku tak peduli apa yang Annisa rasakan sekarang, yang aku percaya ada seberkas kesempatan besar buatku untuk memenangkan hatinya, walaupun semuanya masih belum jelas. Lihat, dia juga tersenyum. Aku yakin dan percaya, kekasihku itu juga bahagia.

Annisa sendiri begitu kuat mengenggam album itu. Betapa hatinya ingin melihat gambar-gambar itu lagi mengenang moment-moment didalamnya dan menanyakan pada diri sendiri, dari sudut mana Adam bisa mengabadikannya. Dia merasa sedikit tersipu. Pak Adam memotretku. It is a wow!

Mereka tiba di sebuah lobi hotel tempat mereka juga menginap. Hotel itu letaknya agak keatas bukit, lobinya menghadap kearah danau dan beberapa kamar ikut juga menampilkan keindahan sang danau. Sebagian yang lain disuguhi keindahan kota kecil itu dan pegunungan yang melingkarinya.

“Kamu kenal Pak Faisal gak?”, ucap Adam tiba-tiba membuyarkan lamunan Annisa. Wanita itu hanya menggeleng. Lalu, Adam menunjuk kearah jam 12, mata Annisa pun dengan sendirinya mengikuti telunjuk itu.

Seorang lelaki gagah. Masih muda. Tampan.

“SubhanAllah!”, ucapnya lirih. He’s goodlooking. Thanks God for the blessing look. Annisa masih menikmati pandangan pertamanya (padahal mana ada pandangan pertama berlangsung lama), ketika sebuah telapak tangan tepat menutupi pandangannya. Telapak tangan Adam. Annisa mencoba menepis tangan itu. Ih..ganggu aja!

Adam tersenyum nakal dan berbisik di dekat telinganya.

“Kekasihku, jangan pandangin lelaki lain lama-lama. Aku cemburu nih!”. Annisa langsung sewot.

“YOU ARE NOT MY BOY FRIEND!”, ucapnya tegas. Sewot. Adam merasa menang.

“Yes, I am not, but… YOU ARE MY GIRL!”, mata Annisa seketika membelalak. Senyum Adam hampir saja hilang. Wah..bahaya ini kalau dia marah. Susah banget dapetin hatinya sampai ke St. Moritz segala, hehe.

“Iya, aku becanda. Minta maaf bole donk! Lagian, aku kan lebih ganteng dari Faisal, coba dech kamu perhatikan seksama”, ucapnya lembut namun jenaka dengan senyum yang terlalu dibuat-buat. Dan bukan ucapan itu yang dihindari Annisa tapi pandangannya. Iyya, memang benar. Apapun bentukmu sekarang, kamu memang pahatan sempurna dimataku Adam.

“Hei, senyum donk Annisa! Kita mau ketemu klien ini, kamu gak mau kan gara-gara muka kamu yang udah kaya’ jeruk purut itu membuat klien kita lari pulang?”.

Senyum itu pun kembali mengembang.

***


“Pak Faisal, ini Annisa. Salah satu fotografer You & Me juga”, ucap Nino formal.
Annisa menjabat tangan itu. Kemudian dia diperkenalkan dengan istri si tuan muda yang kaya raya itu beserta adiknya. Tania, itu nama istrinya. Wanita berjilbab itu sangat luar biasa cantik. Annisa sampai mengucap syukur beberapa kali bisa melihat karya Allah itu. Mereka memang pasangan serasi. Fatia, itu adiknya Pak Faisal. Sepertinya berbeda jauh dari saudaranya. Cantik dan modern. High style. Jangan bayangkan dia berkerudung, karena memang tidak. Sangat kontras dengan kakak iparnya.

“Terus, pak Adamnya kemana?”, Tanya Pak Faisal.

“Hmm… itu beliau masih diluar, tadi ketika mau masuk ketemu teman lamanya. Katanya segera menyusul”, Faisal dan keluarganya mengangguk.
Nino memandang curiga kearah Annisa seolah-olah berkata, Ngapain kalian, heh? Sampai tega ninggalin aku! Kutunggu konfirmasimu, non! Annisa hanya membuang muka tanda cuek. Itu bukan urusanmu, Nin! Yang jelas senja ini milikku!

Dan benar saja sang Bos melangkah masuk. Semua mata tertuju padanya. Termasuk Annisa. Lelaki berkaos coklat tua itu melangkah. Tangannya sibuk dengan hpnya, sedang sebuah tas kamera tersangkut patuh dibahu kirinya. Tanpa senyum pun, lelaki itu terlihat begitu indah. Annisa bahkan masih saja terpesona, ketika dia cepat-cepat membuang muka dan mendapati gadis didepannya memandang takjub kearah yang sama. Fatia sepertinya menyukai Adam. Sedetik kemudian, sebuah perasaan tak nyaman menyerang Annisa. Ternyata bukan mataku saja yang terbuai. Iyalah, kamu memang membuaikan Adam! Tak salah mata Fatia juga sama terhipnotis. Dan dia juga berhak. Ya Tuhan, apa ini cemburu?

Obrolan mengenai rencana besok pun berjalan santai. Annisa mencoba menikmatinya, walaupun perasaan yang dianggapnya tak beralasan itu masih menyerangnya. Sesekali dia melirik Fatia. Fatia sangat menikmati pandangannya, kadang dia tersenyum. Lalu dia juga mencuri pandang kearah si Bos. Adam malah begitu serius berbicara dengan pasangan suami istri itu. Kamu sadar gak siyh ada yang sedang menikmati wajahmu Adam? Siapa suruh wajahmu seindah itu? Atau kamu pura-pura tak tahu? Huh!
Adam menikmati lirikan Annisa. Dia merasa hatinya begitu hangat ketika mata itu memandangnya. Annisa, kekasihku terima kasih atas pasokan ion cintamu. Walau hanya sebuah lirikan, tapi itu sangat cukup menghangatkan hatiku. Bahkan, dia tidak memperdulikan tatapan yang lain itu, karena memang dia tak menyadarinya.

***

Mereka berpamitan ketika lengan Annisa yang menggenggam album yang sedari tadi digenggamnya itu tersenggol lengang Nino dan album itu terpaksa terjatuh dan terbuka tepat di foto pertamanya. Semuanya terpana.

“Mba Nisa, cantik fotonya! Keliatan hidup! Itu album apa mba?”, Tanya Tania.

Annisa buru-buru mengambil album itu, namun tangan itu juga memegang ujung berlawanan. Tangan Adam.

“Ini…”

“Ini contoh foto-foto yang saya ambil mba!”, kata Adam mengangetkan semuanya. Mata Nino pun terbelalak.

“Enggak ko Mba, ini cuma koleksi pribadiku kok!”, ucap Annisa grogi. Keduanya terlihat saling menarik-narik album itu.

“Boleh kami lihat?”, Tanya Faisal.

“Tentu!”, ucap Adam yang berhasil merebut album itu. Akhirnya Annisa cuma bisa mengangguk dan tersenyum pahit.

Mereka menikmati gambar-gambar itu. Nino tersenyum misterius.

“Mba Nisa cantik sekali difoto… hmm, kalau ini koleksi pribadi, Pak Adam yang motret, jangan-jangan…”, Tania melihat bergantian Adam dan Annisa.


“Mohon didoakan saja Mba Tania!”, ucap Adam yang sukses membuat Annisa sewot. Apa-apaan siyh? Kontan senyum ramah Fatia tadi menghilang. Nino pun makin penasaran.

“Enggak ko Mba… kita gak…”, sambung Annisa.

“Iyya, kita gak main-main lagi… semuanya sedang dalam proses mengenal lebih dekat”, potong Adam.

Faisal dan Tania saling memandang dan tersenyum. Annisa hanya bisa mendesah. Kamu bilang apa siyh Adam? Kamu tahu tidak kita berbeda, dan perbedaan itu nanti akan sangat menyakiti kita.

Seketika lirik Rihanna feat Ne-Yo Hate That I Love You terngiang di telinga Annisa…
That’s how much I love you
That’s how much I need you
And I can’t stand ya
Most everything you do make me wanna smile
Can I not like it for a while?
But I hate it
You know exactly what to do
So that I can’t stay mad at you
For too long, that’s wrong

***

Dan ini lah saat-saat kembali ke York. Semua file akan segera diedit di York dan segera dikirimkan ke Indonesia. Faisal hanya mempercayakan proses editing pada Adam. Mereka menunggu sang Bos turun dari kamarnya. Selesai check out, Adam bergegas menuju mereka dan mereka bergegas menuju bandara. Annisa bimbang. Kapan bisa ketemu kamu lagi? Batinnya sambil sesekali melirik wajah itu. sedang yang diliriknya keliatan cuek tak memikirkan apa-apa. Dia malah sibuk dengan hpnya. Ah! Adam sepertinya biasa-biasa saja. Dia mulai menanyakan pada diri sendiri, apa kejadian senja itu benar terjadi.

Kini mereka sampai dibandara.

“Pak, kita pisah disini?”, Tanya Nino. Adam menoleh.

“Kenapa pisah disini?”, Tanya Adam polos.

“Lha, bapak kan penerbangan ke Indonesia, gatenya berbedakan kan?”, Adam tersenyum.

“Siapa bilang saya mau ke Indonesia? York pasti mengharapkan saya disana sekarang, kan Annisa?”, ucapnya sambil tersenyum sambil melirik Annisa yang tiba-tiba grogi. Tiket ditangannya hampir jatuh. Dia tahu.


Dan burung besi itu pun membelah langit menuju kota York… tak sabar menanti kisah sejoli ini…

***

Tunggu kisah selanjutnya…
Mudah-mudahan gak pada bosan ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar