Awalnya kisah berjalan seperti
biasa. Annisa pun bercerita dengan mimik biasa saja, walaupun disaat Adam
bertanya, wajahnya terlihat berpikir keras. Tapi ketika kisah itu terus
berlanjut, Adam hanya bisa terpana dan sesekali menatap wajah disampingnya yang
kini mulai terlihat menahan tangis. Tuhan,
ternyata kisahnya lebih pilu dari kisahku. Tak sepersekian persen dari kisahku
semiris kisah wanita yang kukira sangat kuat ini. Lihat, Tuhan, dia begitu kuat
menahan perasaannya, aku tahu dia sangat terluka ketika harus membuka luka lama
itu. Ada sebersit keinginan dalam hatinya menggenggam tangan itu,
menenangkannya, dan berkata sudah, jika
bercerita lagi malah membuatmu makin terluka, maka jangan bercerita lagi. Tapi,
dia ingin tahu. Benar-benar ingin tahu.
Akhirnya semua selesai (jangan pada
penasaran yaa?? Akan ada chapter khusus buat kisah Annisa dan lelaki di masa
lampaunya). Annisa selesai dengan kisahnya. Diakhir kata-katanya, dia murung
dan diam sejenak, namun kemudian tersenyum kearah Adam yang sedang melihat
penuh arti kearahnya.
“Hmm… gitu kisah saya Pak. Dramatis
yaa? Seharusnya cinta pertama itu indah. Tapi saya pertama kali jatuh hati
malah berbuah sakit hati… Yaah, tapi saya percaya Allah mengajari banyak hal
kepada saya melalui kisah hidup saya ini, mungkin saya menjadi lebih kuat dan
lebih bisa menjaga hati.”, ucapnya sambil menatap lurus kearah danau yang kini
tak lagi memancarkan warna birunya, tapi mengikuti warna senja.
Adam tersenyum. Benar,
kamu memang kuat.
“Hmm… gimana reaksi rizal ketika
kamu pergi?”
“Dia menolak. Dia ingin saya bisa
tetap seperti dulu dengannya, bahkan dia menarahkan saya agar bisa lebih dekat
dengan istri dan anaknya. Dia tak mengerti kalau itu menyakitkan”
“Apa Rizal masih mencintaimu sampai
sekarang?”, pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman. Adam langsung tahu
jawabannya. Iya…Rizal masih kan?
“Hmm…kamu sendiri?”, pertanyaan ini
membuat Annisa menoleh kearahnya dan kemudian hanya bisa menunduk. Adam
terpana. Betulkan, Ummi. Dia tidak bisa
mencitaiku karena dihatinya sudah terukir nama lelaki lain.
Kemudian Adam tersenyum.
“Sudah, tidak perlu dijawab lagi.”
Ucap Adam dan itu membuat Annisa kembali melihat kearahnya yang sekarang sudah
menatap lurus kedepan. Kamu tak mengerti
Adam. Sekarang rasa itu entah berada dimana. Yang kupunya hanya rasa hangat
dihati ini dan itu ketika bersamamu. Hangat sekali. Nyaman. Ya Rabb, mohon maaf
akan rasa itu.
“Hmm… tadi bapak janji mau cerita
lagi. Baru kisah pertama, kisah kedua gimana? Apa dramatis juga?”, Annisa mulai
mengalihkan.
Jeda sejenak. Adam tersenyum.
Pertanyaan itu mungkin biasa saja, tapi baginya itu adalah pertanyaan besar,
karena itu artinya dia harus memulai mengatur kata-kata mengakui perasaannya
pada wanita yang sedang menunggu jawabannya itu.
“Hmm…”
Jeda lagi. Adam mulai meremas
tangannya. Mulai kebingungan mencari kata. Annisa memperhatikan itu.
“Pak, kalau memang sulit
diceritakan, tak apa! saya juga mengerti”,
“Bukan itu…”, ucapnya segera.
“Wanita itu…”
Jeda lagi. Ini pun agak lama.
“Dia cantik. Dia cuek, apa pun yang
terjadi dia tak peduli. Dia paling suka matanya, karena menurutnya matanya
indah.” Adam kemudian menoleh. Apa kamu
bisa menebak siapa dia Annisa? Tentu tidak! Annisa kemudian tersenyum penuh
arti. Lihat mba Ren, aku benar kan? Pak
Adam tidak mungkin mencintai aku. Wanita itu bukan aku.
“Dia paling suka di foto, karena dia
sangat percaya diri kalau dia bagus dipotret. Aku suka sekali motret dia… dan
satu lagi dia benci warna ungu, karena menurutnya ungu membuat perasaannya
sedih..” Annisa merasa hatinya sedikit perih. Tapi aku
suka sekali warna ungu dan aku tak suka dipotret. Bukan! Itu bukan aku! Wanita
yang sedang dibicarakannya bukan aku! Ternyata semua perkiraannya benar. Memang bukan aku. Mba Reni, wanita itu bukan
aku. Kamu salah. Aku terlalu percaya diri bahwa perkiraanmu benar Mba. Rabb,
kuatkan aku.
“Tapi apapun dia, aku tertarik
padanya bukan karena alasan-alasan itu. Entah kenapa diawal pertemuan kami, ada
sesuatu yang menarik mataku untuk selalu melihatnya…”, sekarang Adam melihat
kearah Annisa dan tersenyum. Dan sampai
sekarang dan mungkin sampai nanti mata
ini akan selalu melihatmu saja.
Annisa diam. Dia benar-benar
berusaha keras menahan perasaannya, dan tanpa disadari keluar pertanyaan itu…
“Siapa wanita itu, Pak?”, dia tetap
tak menoleh.
“Hmm… kamu tak kenal dia.”
“Oia?”
Adam hanya diam. Adam berpikir
keras. Mungkin ini memang saatnya. Dia pikir, kalau tidak sekarang, tidak ada
waktu lagi.
“Kamu memang tak kenal dia, Nisa.
Tapi kamu sangat mengenalnya…”, karena
kamu adalah wanita itu. Sambungnya dalam hati. Annisa menoleh. Mukanya
bingung. Kata-kata itu sangat membingungkan. Adam yang sedari tadi menggenggam suatu
menyadari kebingungan di wajah Annisa.
“Annisa…”
“Iya, saya Pak!”, jawab Annisa. Dan
Adam menyerahkan sesuatu yang dipegangnya.
“Aku mungkin bukan pujangga yang
pintar merangkai kata-kata cinta, aku juga buka penyair yang ahli menulis lirik
cinta tapi aku hanya seorang yang mencintai fotografi, jadi dengan inilah aku
bisa mengungkap rasa itu…”, Annisa yang masih bingung menerima sesuatu dengan
perasaan yang semakin bertanya-tanya. Kalimat itu mungkin terlalu panjang untuk
dicerna apalagi disaat perasaannya kacau.
Sebuah album eliminating. Berkover
hitam. Tak bertuliskan apa-apa. Annisa sejenak hanya memegang album itu. Kata-kata itu… kenapa malah album ini
diserahkan padaku?
“Sebenarnya semua ciri wanita itu
berbalik dengan apa yang sudah aku bilang tadi. Wanita itu tidak cantik, tapi
dia luar biasa cantik dimataku. Dia sangat peduli dengan lingkungannya, pecinta
anak-anak, suka berteman…”, Apa sekarang sudah jelas Annisa? Sudah bisa
kau tebak? Hmm… Sepertinya belum.
“Dia paling tidak suka matanya,
karena bagi dia matanya tak indah, tapi bagiku matanya hidup dan penuh kasih sayang…dan
dia paling suka warna ungu…” sesuatu terpancar dari mata Annisa, ada sedikit
keterkejutan disana. Tapi logikanya masih sangat kuat untuk menolak suara
hatinya bahwa wanita yang Adam maksud adalah dia. Adam bisa melihat itu.
“Kalau penasaran, bukalah…” Annisa
membuka album itu.
Kesadarannya seperti hilang sesaat
melihat gambar yang terpampang jelas dilembar pertama album itu. Seorang wanita
dengan kerudung kuning pupusnya, blouse coklat tua bercorak bunga kecil kuning
sedang tersenyum hingga menyembulkan lesung pipi kecil di pipinya, matanya
menyipit. Annisa pangling. Itu wajahnya. Wanita itu dia. Annisa terpana,
kekuatannya hilang segera bahkan untuk membalikkan kehalaman selanjutnya. Dia
hanya bisa menoleh kearah Adam yang memang sedang memandangnya.
“Iya Sa. Wanita itu adalah kamu.
Kamu yang tidak suka dipotret, padahal aku percaya kamu cantik apalagi hanya
untuk dipotret dan aku membuktikannya sendiri…”, ucapnya sambil melihat kearah
foto Annisa pertama yang sedang tersenyum sambil melambai kearah seseorang.
Annisa juga ikut memandang. Kali ini sedikit kekuatannya muncul, dia balikkan
satu persatu album yang tidak begitu tebal itu. Dan… Ya Allah, aku ingat semua moment ini. Iyya, aku ingat.
“Dan sudah jelas kan, kalau wanita
yang sudah sangat tega mencuri hatiku itu adalah Annisa Namira, dan dia adalah kamu!”.
Adam merasa seluruh beban dikepalanya hilang. Thanks God! Lega!
“Pak Adam, mohon maaf…”, ucap Annisa
tapi langsung dipotong oleh Adam.
“Iyya Annisa, aku mengerti.
Seharusnya aku yang minta maaf kalau perasaanku ini membuat tidak nyaman. Dari
awal aku sudah tahu, kalau rasa ini tak berbalas…”, ucapnya sambil tertawa
kecut. Annisa hanya bisa diam. Tidak Pak
Adam! Anda salah, bukan maaf itu yang kumaksud…
“Sebenarnya kalau tak berbalas
albumnya diambil aja, kalau berbalas aku berharap dikembalikan biar aku simpan,
karena setelah dicetak semuanya filenya sengaja aku hapus… dan karena ini tak
berbalas, simpanlah Sa! Aku minta maaf kalau secara diam-diam memotretmu. Dan
itu kukembalikan semua, tak ada yang tinggal satu pun kok!”, ucapnya sambil
tersenyum.
“Tapi kalau berbalas, yaah..mohon
dikembalikan, hehehe…”, kini Annisa menatapnya. Adam berhenti tertawa. Jangan-jangan dia tersinggung.
“Engga kok, saya
bercanda. Kan kenyataannya tak berbalas, iya kan Nisa?”, kalimat terakhir
terdengar sederhana tapi serius. Adam mencoba mencari jawaban terakhir kalinya
di mata Annisa. Aha! Ada sesuatu disana. Suasana berubah. Jeda. Adam seperti
mendapat kenyataan baru ketika mendapati mata Annisa dan diamnya, tapi
buru-buru logikanya menolak itu semua. Dia takut berharap banyak, karena itu
semua bisa sangat sakit.
“R..r..r.rr…”, Suara handphone Adam
mengejutkan. Nino menelpon.
“Halo
Pak! Pak Faisal bersama istrinya sudah sampai ini”
“Oke, kami segera kesana!”
“Nino ?”
“Iyya, Pak Faisal sudah sampai, kita
kesana sekarang?”, Annisa mengangguk masih dengan pikiran yang kacau.
Perasaannya campur aduk antara senang dan terkejut atas pengakuan atasannya
itu. Ternyata selama ini perkiraan Mba Reni memang benar. Tapi dia harus segera
mengambil keputusan.
Adam bangkit, mengambil sepedanya
saat sadar Annisa masih saja duduk. Annisa,
maaf kalau ini membuatmu shock. Maaf kalau perasaanku menyulitkanmu tapi aku
sungguh tak bermaksud. Andai kau kembalikan saja album itu dan membalas rasa
itu. hmm…tidak, tidak. Inilah kenyataannya Adam.
“Annisa…”, panggilnya lembut. Annisa
menoleh.
“Come on, they’re waiting…”, Annisa
mengangguk. Adam sudah akan berjalan ketika…
“Mr.Adam yang terhormat…”, Adam
menoleh dan sedikit terkejut dengan panggilan itu.
“I..iya..”
“Saya punya tiga hal yang ingin saya
sampaikan, anda punya waktu? 10 menit saja?”, Adam makin terkejut.
“Te..tentu, what are you gonna say?”
“Well…”, Annisa berjalan kearahnya.
“Pertama, saya ingin serahkan
kembali album ini…”, ucapnya sambil menyerahkan album itu. Adam mulai bodoh.
Kepintarannya hilang seketika. Apa maksud
semua ini? Apa ini berarti? Adam mengambil album itu ragu-ragu sambil
menanyakan lewat mata dan mimiknya “Apa
ini berarti kamu membalas perasaanku?” Annisa hanya tersenyum. Aku memang belum tahu pasti apa rasa itu?
Tapi yang jelas naluriku membimbingku melakukan ini.
“Kedua, I don’t expect any
relationship. Hope you can understand. Poinnya adalah kita sama-sama mengerti
perasaan masing-masing dan kita sudah sangat cukup dewasa untuk hal ini. Kita
juga makhluk bertuhan dan saya yakin prinsip kalau jodoh kemana pun pasti akan
bertemu, anda juga punya, iya kan?”, Adam mengangguk. Kini pelan-pelan
kepintarannya mulai kembali.
“Jadi tidak ada komitmen apa-apa…
kecuali Tuhan telah mengarahkan kearah yang lebih baik…”. Adam tersenyum. Itulah kau, Annisa! Pertimbanganmu cukup
berarti. Tidak apa, Tuhanku. Yang terpenting perasaanku berbalas oleh wanita
ini. Yes! Kini 100% kesadarannya telah kembali. Hatinya membuncah bahagia.
Dia menatap intens wanita didepannya mencoba meyakinkan hatinya. Annisa
menunduk. Tuhan, mudah-mudahan ini bukan
sekedar mimpi.
“Satu hal terakhir, may I ask for
the album again?”, setelah bertanya baru dia berani menatap lelaki yang hampir
30 cm lebih tinggi itu. Wajahnya memelas menandakan, Aku mohon!
Adam yang awalnya terkejut dengan
permintaan itu akhirnya hanya bisa tersenyum. Apapun untukmu, sayangku! Toh, masih banyak kesempatan untuk
mengabadikan potretmu. Apalagi di hati dan pikiranku.
Dan senja di St. Moritz itu menjadi
saksi bisu moment itu. Semuanya memang tak romantis. Burung-burung mungkin
hanya bisa menertawakan cara Adam. Tapi akhirnya mereka juga bisa tersipu
ketika perasaannya ternyata berbalas. Musim panas di Swiss tetap menyisakan
hawa sejuk yang menutup senja itu. Kedua sejoli itu pun melangkah pergi tanpa
melupakan saat-saat ungkapan rasa itu.
***
Mereka berjalan beriringan. Tak satu
kata pun terucap. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Adam sesekali
tersenyum dan melirik sang pujaan hati yang sedang berjalan disampingnya. Tuhan, aku tak peduli apa yang Annisa
rasakan sekarang, yang aku percaya ada seberkas kesempatan besar buatku untuk
memenangkan hatinya, walaupun semuanya masih belum jelas. Lihat, dia juga
tersenyum. Aku yakin dan percaya, kekasihku itu juga bahagia.
Annisa sendiri begitu kuat
mengenggam album itu. Betapa hatinya ingin melihat gambar-gambar itu lagi
mengenang moment-moment didalamnya dan menanyakan pada diri sendiri, dari sudut
mana Adam bisa mengabadikannya. Dia merasa sedikit tersipu. Pak Adam memotretku. It is a wow!
Mereka tiba di sebuah lobi hotel
tempat mereka juga menginap. Hotel itu letaknya agak keatas bukit, lobinya
menghadap kearah danau dan beberapa kamar ikut juga menampilkan keindahan sang
danau. Sebagian yang lain disuguhi keindahan kota kecil itu dan pegunungan yang
melingkarinya.
“Kamu kenal Pak Faisal gak?”, ucap
Adam tiba-tiba membuyarkan lamunan Annisa. Wanita itu hanya menggeleng. Lalu,
Adam menunjuk kearah jam 12, mata Annisa pun dengan sendirinya mengikuti
telunjuk itu.
Seorang lelaki gagah. Masih muda.
Tampan.
“SubhanAllah!”, ucapnya lirih. He’s goodlooking. Thanks God for the
blessing look. Annisa masih menikmati pandangan pertamanya (padahal mana
ada pandangan pertama berlangsung lama), ketika sebuah telapak tangan tepat
menutupi pandangannya. Telapak tangan Adam. Annisa mencoba menepis tangan itu. Ih..ganggu aja!
Adam tersenyum nakal dan berbisik di
dekat telinganya.
“Kekasihku, jangan pandangin lelaki
lain lama-lama. Aku cemburu nih!”. Annisa langsung sewot.
“YOU ARE NOT MY BOY FRIEND!”, ucapnya
tegas. Sewot. Adam merasa menang.
“Yes, I am not, but… YOU ARE MY
GIRL!”, mata Annisa seketika membelalak. Senyum Adam hampir saja hilang. Wah..bahaya ini kalau dia marah. Susah
banget dapetin hatinya sampai ke St. Moritz segala, hehe.
“Iya, aku becanda. Minta maaf bole
donk! Lagian, aku kan lebih ganteng dari Faisal, coba dech kamu perhatikan
seksama”, ucapnya lembut namun jenaka dengan senyum yang terlalu dibuat-buat.
Dan bukan ucapan itu yang dihindari Annisa tapi pandangannya. Iyya, memang benar. Apapun bentukmu
sekarang, kamu memang pahatan sempurna dimataku Adam.
“Hei, senyum donk Annisa! Kita mau
ketemu klien ini, kamu gak mau kan gara-gara muka kamu yang udah kaya’ jeruk
purut itu membuat klien kita lari pulang?”.
Senyum itu pun kembali mengembang.
***
“Pak Faisal, ini Annisa. Salah satu
fotografer You & Me juga”, ucap Nino formal.
Annisa menjabat tangan itu. Kemudian
dia diperkenalkan dengan istri si tuan muda yang kaya raya itu beserta adiknya.
Tania, itu nama istrinya. Wanita berjilbab itu sangat luar biasa cantik. Annisa
sampai mengucap syukur beberapa kali bisa melihat karya Allah itu. Mereka memang pasangan serasi. Fatia,
itu adiknya Pak Faisal. Sepertinya berbeda jauh dari saudaranya. Cantik dan
modern. High style. Jangan bayangkan dia berkerudung, karena memang tidak.
Sangat kontras dengan kakak iparnya.
“Terus, pak Adamnya kemana?”, Tanya
Pak Faisal.
“Hmm… itu beliau masih diluar, tadi
ketika mau masuk ketemu teman lamanya. Katanya segera menyusul”, Faisal dan
keluarganya mengangguk.
Nino memandang curiga kearah Annisa
seolah-olah berkata, Ngapain kalian, heh?
Sampai tega ninggalin aku! Kutunggu konfirmasimu, non! Annisa hanya
membuang muka tanda cuek. Itu bukan
urusanmu, Nin! Yang jelas senja ini milikku!
Dan benar saja sang Bos melangkah
masuk. Semua mata tertuju padanya. Termasuk Annisa. Lelaki berkaos coklat tua
itu melangkah. Tangannya sibuk dengan hpnya, sedang sebuah tas kamera
tersangkut patuh dibahu kirinya. Tanpa senyum pun, lelaki itu terlihat begitu
indah. Annisa bahkan masih saja terpesona, ketika dia cepat-cepat membuang muka
dan mendapati gadis didepannya memandang takjub kearah yang sama. Fatia
sepertinya menyukai Adam. Sedetik kemudian, sebuah perasaan tak nyaman
menyerang Annisa. Ternyata bukan mataku
saja yang terbuai. Iyalah, kamu memang membuaikan Adam! Tak salah mata Fatia
juga sama terhipnotis. Dan dia juga berhak. Ya Tuhan, apa ini cemburu?
Obrolan mengenai rencana besok pun
berjalan santai. Annisa mencoba menikmatinya,
walaupun perasaan yang dianggapnya tak beralasan itu masih menyerangnya.
Sesekali dia melirik Fatia. Fatia sangat
menikmati pandangannya, kadang dia tersenyum. Lalu dia juga mencuri pandang
kearah si Bos. Adam malah begitu serius berbicara dengan pasangan suami istri
itu. Kamu sadar gak siyh ada yang sedang
menikmati wajahmu Adam? Siapa suruh wajahmu seindah itu? Atau kamu pura-pura
tak tahu? Huh!
Adam menikmati lirikan Annisa. Dia
merasa hatinya begitu hangat ketika mata itu memandangnya. Annisa, kekasihku terima kasih atas pasokan ion cintamu. Walau hanya
sebuah lirikan, tapi itu sangat cukup menghangatkan hatiku. Bahkan, dia
tidak memperdulikan tatapan yang lain itu, karena memang dia tak menyadarinya.
***
Mereka berpamitan ketika lengan
Annisa yang menggenggam album yang sedari tadi digenggamnya itu tersenggol
lengang Nino dan album itu terpaksa terjatuh dan terbuka tepat di foto
pertamanya. Semuanya terpana.
“Mba Nisa, cantik fotonya! Keliatan
hidup! Itu album apa mba?”, Tanya Tania.
Annisa buru-buru mengambil album
itu, namun tangan itu juga memegang ujung berlawanan. Tangan Adam.
“Ini…”
“Ini contoh foto-foto yang saya
ambil mba!”, kata Adam mengangetkan semuanya. Mata Nino pun terbelalak.
“Enggak ko Mba, ini cuma koleksi
pribadiku kok!”, ucap Annisa grogi. Keduanya terlihat saling menarik-narik album
itu.
“Boleh kami lihat?”, Tanya Faisal.
“Tentu!”, ucap Adam yang berhasil
merebut album itu. Akhirnya Annisa cuma bisa mengangguk dan tersenyum pahit.
Mereka menikmati gambar-gambar itu.
Nino tersenyum misterius.
“Mba Nisa cantik sekali difoto… hmm,
kalau ini koleksi pribadi, Pak Adam yang motret, jangan-jangan…”, Tania melihat
bergantian Adam dan Annisa.
“Mohon didoakan saja Mba Tania!”,
ucap Adam yang sukses membuat Annisa sewot. Apa-apaan
siyh? Kontan senyum ramah Fatia tadi menghilang. Nino pun makin penasaran.
“Enggak ko Mba… kita gak…”, sambung
Annisa.
“Iyya, kita gak main-main lagi…
semuanya sedang dalam proses mengenal lebih dekat”, potong Adam.
Faisal dan Tania saling memandang
dan tersenyum. Annisa hanya bisa mendesah. Kamu
bilang apa siyh Adam? Kamu tahu tidak kita berbeda, dan perbedaan itu nanti
akan sangat menyakiti kita.
Seketika lirik Rihanna feat Ne-Yo Hate That I Love You terngiang di
telinga Annisa…
That’s how much I love you
That’s how much I need you
And I can’t stand ya
Most everything you do make me wanna smile
Can I not like it for a while?
But I hate it
You know exactly what to do
So that I can’t stay mad at you
For too long, that’s wrong
***
Dan ini lah saat-saat kembali ke
York. Semua file akan segera diedit di York dan segera dikirimkan ke Indonesia.
Faisal hanya mempercayakan proses editing pada Adam. Mereka menunggu sang Bos
turun dari kamarnya. Selesai check out, Adam bergegas menuju mereka dan mereka
bergegas menuju bandara. Annisa bimbang. Kapan
bisa ketemu kamu lagi? Batinnya sambil sesekali melirik wajah itu. sedang
yang diliriknya keliatan cuek tak memikirkan apa-apa. Dia malah sibuk dengan
hpnya. Ah! Adam sepertinya biasa-biasa
saja. Dia mulai menanyakan pada diri sendiri, apa kejadian senja itu benar
terjadi.
Kini mereka sampai dibandara.
“Pak, kita pisah disini?”, Tanya
Nino. Adam menoleh.
“Kenapa pisah disini?”, Tanya Adam
polos.
“Lha, bapak kan penerbangan ke
Indonesia, gatenya berbedakan kan?”, Adam tersenyum.
“Siapa bilang saya mau ke Indonesia?
York pasti mengharapkan saya disana sekarang, kan Annisa?”, ucapnya sambil
tersenyum sambil melirik Annisa yang tiba-tiba grogi. Tiket ditangannya hampir
jatuh. Dia tahu.
Dan burung besi itu pun membelah
langit menuju kota York… tak sabar menanti kisah sejoli ini…
***
Tunggu kisah selanjutnya…
Mudah-mudahan gak pada bosan ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar