Beberapa minggu pun
berlalu…
Perasaannya tidak enak
pagi itu. Mungkin karena memang jadwal datang bulannya datang lagi. Tapi ini sudah
memasuki hari ke tujuh bulan Oktober. Sedang perkiraannya sekitar 3-4 hari lalu
haidhnya datang. Perutnya juga belum terserang nyeri. Dia pun mulai menyibukkan
diri dengan laptopnya. Mereka sedang sibuk sekali mempersiapkan edisi
selanjutnya, dan ini edisi menyambut bulan suci Ramadhan. Annisa begitu
bersemangat.
Pintu kaca itu terbuka.
Seseorang masuk dan tersenyum. Nino yang paling awal menyadari kedatangannya…
“Hei Bro! kapan sampai?”
“Kemarin sore aku
sampai, beberapa kali tersesat juga nyari kantor ini…”, Annisa yang cuek
terpaksa harus terganggu dengan suara itu. Karena suara itu… Enggak! Itu gak mungkin dia…
Dia mendongak
dan benar saja lelaki yang sedang berbicara dengan Nino itu adalah Rizal. Dia datang ! Dia benar-benar datang. Ternyata
ini yang membuat perasaanya pagi ini tak enak.Tanpa disengaja, Rizal pun
seperti merasa diperhatikan dan… Pandangan mereka pun bertemu. Rindu yang kian
membuncah di dadanya menguap begitu saja ketika dia melihat wajah itu. Wajah
Annisa. It’s been so long, Annisa!
Tiba-tiba pintu ruang
Bos terbuka. Lelaki itu bergegas sekali. Sepertinya dia buru-buru ingin ke
toilet jadi sampai tak sempat memperhatikan sekeliling. Oh, itu rupanya Pak Adam! Dia kah Nisa yang membuatmu berpaling? Atau
itu cuma pelarian saja? Aku akan cari tau...
“Duduk dulu Bro!”, Nino mempersilahkan Rizal duduk di sofa.
“Ada acara apa ke York?”
“Hmm…Cuma jalan-jalan,
gak lama Nin. Hanya ingin memastikan sesuatu”, ucapnya sambil melirik Annisa.
Adam kembali. Dia mulai
berjalan normal dan mulai sadar akan lingkungannya. Dia akan masuk keruangannya
ketika sadar ada seseorang di sofa tamu…
“Pak Adam, ini Rizal
Aulia dari kantor pusat. Fotografer juga…”, ucap Nino ketika sadar Adam sedikit
bertanya lewat matanya. Adam tersentak dan secara tak sengaja menoleh kearah
Annisa. Wanita yang dari pura-pura cuek itu tiba-tiba menoleh ketika nama itu
disebut dan pandangan mereka bertemu. Adam seolah bertanya lewat matanya Jadi ini Rizal Aulia itu? Annisa hanya
menjawab lewat matanya. Rizal mengamati itu. ada sedikit perasaan aneh menjalar
keseluruh tubuhnya. Dia cemburu.
***
Annisa benar-benar
kedatangan tamunya. Dia dapat haidh. Dan secara tak sengaja juga Rizal datang
bagai tamu tak diundang. Pulang kantor, dia terbaring lemah diatas sofa karena
nyeri haidh telah menyerangnya. Ketika sudah akan terlelap, sebuah telpon
mengejutkannya.
Nomor tak dikenal.
“Halo…”
“Hai… ini aku! Masih
ingat kan?”, Annisa langsung bangun dari baringannya.
“Ada apa Kak?”
“Aku diluar
apartementmu… keluarlah, ada sesuatu yang ingin kubicarakan…aku tunggu!”.
Telpon langsung ditutup. Aku sakit Kak,
bahkan kau sudah lupa jadwal haidhku.
Ah…sudahlah
Nisa!
Dia melangkah keluar dan
dilihatnya lelaki itu sedang bersandar disebuah pohon depan apartemennya…
beberapa kali dia memegang perutnya. Perih.
***
Mereka hanya berjalan dalam diam. Annisa mengikuti langkah
itu. Setelah hampir 20 menit berjalan, dia bingung. Dan berhenti.
“Kak Rizal!”, yang dipanggil menoleh.
“Sebenarnya ada apa?”
Rizal tersenyum.
“Aku kangen kamu!”, Annisa tersentak.
“You should not!”, ucapnya tegas.
Adam sedikit terkejut.
“Ada apa denganmu? Apa kamu enggak punya kangen aku?”
“Enggak!”
“Apa karena lelaki itu?”, Annisa kali ini benar-benar
terkejut.
“Oke... If you just wanna talk about that, I’ll go!”,
ucapnya sambil membalikkan badan dan melangkah.
“Sudah lah Annisa, apa begitu susahnya mengatakan kalau kau
sudah mencintai lelaki lain. Lelaki Nasrani itu kan?”, ucap Rizal sambil
mengejar langkah Annisa. Annisa berhenti dan berbalik.
“Dan kalau memang itu benar. I think it’s not your
business!”, dia terkejut mendapati lelaki itu sangat dekatnya.
***
Perasaannya benar-benar tidak enak ketika melihat lelaki
itu. Ada ketakutan sesuatu terjadi, terutama pada kekasihnya. Dia jelas melihat
Annisa tidak nyaman dan sesuatu seperti sedang bergolak di hati Annisa. Dia
keliatan pucat tadi pagi. Dia buru-buru mengambil jaketnya dan menuju
apartement Annisa. Ketika sampai disana malah front girl bilang kalau Annisa
sedang keluar.
“Kamu liat gak dia keluar sama siapa?”
“Hmm... it seemed that she was following a man kearah Queen
Street!”, Adam seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Dia bergegas
keluar dan menuju jalan yang disebutkan. Kekhawatirannya benar terjadi. Lelaki
itu benar-benar ingin menemuinya.
Tak
ada. Dimana kau Annisa? Apa kau baik-baik saja kekasih?
Adam terus menyusuri jalan itu pelan-pelan dengan mobilnya ketika
dia mendengar suara orang sedikit berteriak. Dan itu...
“Kenapa kau berubah
Annisa? Apa tidak ada lagi cinta untukku?Kenapa?”, ucapnya sambil
mengguncangkan bahu Annisa. Kau berubah
kan! Ini bukan Kak Rizal yang kukenal.
“Lepaskan aku!”, teriak
Annisa.
“Gara-gara lelaki
nasrani itu kan? Apa hebatnya dia? Karena dia bos, jadi kau goda dia
lagi?”Annisa mencoba memberontak. Tapi tubuhnya lemah karena nyeri haidh yang
diderita.
Dia mulai terisak mendengar hujatan lelaki yang pernah sangat
dicintainya itu.
“Cukup, kak! Lepaskan
aku!”, ucapnya masih dengan terisak.
“Kau tega Annisa, kau
buat aku jatuh cinta lalu kau campakkan aku begitu saja…”,
“Itu tidak benar! Aku
pergi, biar kakak bisa kembali hidup bahagia dengan Mba Rara!”
“Cukup! Sekarang, kau
mau lukai lelaki nasrani itu lagi? Terbuat dari apa hatimu, heh? Setelah kau
buat jatuh hati, segera kau akan campakkan dia.”
“Cukup! Diam! Lepaskan
aku”, teriaknya keras. Airmatanya mengalir deras. Suaranya serak dan seketika
menghilang. Dia meronta keras dan Rizal melepaskannya. Annisa tersandung dan
lututnya terjerembab keatas jalan berbatu itu. Berdarah.
“Wanita muslim macam apa
kau, Annisa? Berapa lelaki yang sudah kau sakiti?”, Annisa hanya bisa terisak.
Suaranya sudah tak ada
bahkan untuk membela dirinya sendiri.
“Sudah! Diam!”, suara
itu sangat dikenalnya. Itu Adam. Dia
mendongak.
“Haha…panjang umurmu
Tuan Adam yang sangat terhormat!”, ucap Rizal sekenanya.
Adam hanya diam. Dia
menuju Annisa. Merangkulnya dan memapahnya pergi. Rizal tertawa mengejek.
“She won’t be yours!
Ever!”, teriak Rizal.
Adam berhenti sejenak.
Annisa hanya bisa menoleh melihat wajah itu.
“Tuan Adam yang
terhormat, anda sadar tidak kalian itu berbeda. Berbeda agama. Annisa sudah
pasti tidak akan memilih anda, jadi lebih baik anda pergi saja dari hidupnya”,
Adam masih diam. Setetes air mata mulai mengalir lagi dimata Annisa.
“Adam… Kalau kau yang
tidak pergi menjauh, maka jangan menyesal ketika kau sudah betul-betul
tergila-gila padanya, wanita itu yang akan pergi. Dia akan pergi
meninggalkanmu, seperti yang dilakukannya padaku. Dia seperti tupai, lincah.
Pergi jauh, dan membuat lelaki lain jatuh hati lagi padanya.” Adam kini sudah tak tahan.
“Diam kau!”, teriak
Adam. Annisa terkejut. Aku sudah tahu itu
rizal, apa tak ada hal yang lain yang ingin kau katakan? Berulang kali dia
menghindariku, tapi toh aku masih bersamanya saat ini.
“Annisa bukan wanita
seperti itu…”
“Hahaha..seolah-olah kau
lebih tahu tentangnya! Bagaimana Tuhan Yesus mu itu hah? Melihat kau
tergila-gila pada wanita muslim ini? Apa dia tidak murka? Kau anggap apa
Tuhanmu heh? Kau tega meninggalkan agamamu demi mengikuti keyakinan wanita
ini?”, Adam sangat marah, namun dia berpikir tidak harus meladeni lelaki itu.
Dia memapah Annisa lagi. Annisa menunduk.
“Hahaha..kamu memang
hebat Annisa! Setelah membuatku jatuh cinta dan berniat meninggalkan istriku.
Kini, kau juga telah berhasil menghasut lelaki itu mengkhianati Tuhannya!”,
Annisa terisak. Itu tidak benar! Allahku,
itu tidak benar! Namun, dia sudah tidak punya kekuatan bahkan untuk membela
diri sendiri. Genggaman Adam kian keras dibahu Annisa. Dia mulai meringis. Adam marah! Ya Allah, jauhkanlah kami dari
celaka! Jauhkan dari godaan syeitan, jagalah emosi Adam!
“Diam kau!”, ucap Adam
sambil membalikkan badannya juga tubuh Annisa dengan keras.
“Jangan menyalahkan
Annisa untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Kau sendiri yang
mengejar-ngejar dia. Kau paksa dia berdekatan denganmu juga dengan istri dan
anakmu, agar bisa kau jadikan istri keduamu, iya kan?”, Rizal diam.
“Cintaku padanya tidak
menyakiti siapapun termasuk Tuhanku, karena Dia yang menganugerahkannya, tapi
coba kau pikir, cintamu itu menyakiti tak hanya Annisa tapi istri dan anakmu,
apa kau pernah berpikir itu? Kurasa tidak! Pergilah rizal, jauhi Annisa…
kembali ke keluargamu!”, diujung kalimatnya dia haluskan suaranya. Annisa
mendongak.
“Adam, kita pergi!”,
ucapnya terbata dengan wajah yang penuh kesedihan. Adam menatapa iba.
“Dengar Adam! Untuk
terakhir kali kukatakan, apapun yang kulakukan, kuakui salah. Tapi, kau harus
sadar, Annisa tidak akan memilihmu juga. Perbedaan kalian sangat besar!”
“Sudah cukup! Tak perlu
kau ajari aku tentang hal itu”, Mereka pun pergi menjauh. Annisa melirik wajah
yang sedang serius memapahnya. Dia sakit, bukan karena perutnya, bukan karena kakinya yang terluka. Tapi karena merasakan
kegalauan hati Adam. Dia sangat mengerti perasaan Adam sekarang. Detakan
jantungnya begitu cepat. Maafkan aku
Adam!
Mereka sampai dimobil
Adam. Memapahnya masuk.
“Minumlah!”, ucapnya
lembut sambil memberikan Annisa sebotol air mineral. Tatapannya begitu lembut.
“Udah tenang?”, ucapnya
lembut. Annisa menoleh dan mengangguk.
“Kakimu berdarah, kita
ke hospital terdekat yaa?”, Annisa menggeleng lemah.
“Mba Ren..tolong
antarkan aku kesana saja..”, ucapnya dengan suara serak.
“Oke-oke!”
Adam menelpon Reni
memberitahu keadaan Annisa dan tujuan mereka kesana. Sepanjang jalan, Adam
hanya diam. Wajahnya kaku. Dingin. Ada banyak beban disana. Tak ada satu kata
pun bahkan sampai mereka tiba di kediaman Reni. Adam memapah Annisa. Reni
menunggu didepan pintu rumahnya
dengan cemas.
Adam pergi setelah
mendudukkan Annisa di sofa. Dia pergi.
Begitu saja tanpa
berkata apapun. Setelah pintu tertutup, Annisa kembali terisak. Reni hanya
bisa terdiam. Dia mengerti luka sahabatnya itu.
***
Kaki Annisa hanya cidera
biasa. Nyeri haidhnya pun berangsur pulih. Setelah terisak, Annisa tertidur.
Tapi tidurnya tak pulas, dia terjaga beberapa kali. Sampai jam 10 malam itu dia
terjaga lagi. Dia teringat Adam. Dia cek hpnya, tak ada satu pesan atau pun panggilan dari
Adam. Bahkan, dia tak menanyakan keadaanku.
[Dia pergi. Begitu saja]. Send.
Belum semenit satu pesan
masuk. Adam.
[I Love You. Dan akan selalu, sampai Tuhan membalikkan
hati ini. Aku mencintaimu, Annisa Namira.]
Dan itu cukup membuat
airmatanya jatuh lagi. Bukan kata-kata
ini yang kuharapkan, Adam.
Kau selalu begitu tega…
[Adam…].
Send.
[Tidurlah].
[Aku hanya ingin tahu keadaanmu]
[Aku baik. Tidurlah. I love you]
[Adam, I love you too. Too much!]. Tapi sms ini hanya diketik dan kemudian tersimpan
didraftnya. Annisa membolak-balikkan badannya. Dia tidak bisa tidur. Adam kamu lagi apa?
Apa kamu bisa tidur
malam ini?
Jam 3.30 pagi.
Annisa masih belum bisa
memejamkan matanya. Pikirannya masih dipenuhi wajah Adam terakhir kali tadi.
[Adamku… saat diri penuh dengan gelimang dosa, maka
minta ampun pada Tuhan. Saat diri penuh dengan kebimbangan, Tuhanlah yang
dengan tulus membimbing kita. Dan saat derita dan kepedihan menusuk hati, Tuhan
juga yang hanya bisa menenangkannya. Berdoalah]. Send.
Dan setelah mengirim
pesan singkat itu, dia memejamkan matanya dan tertidur pulas hingga menjelang
subuh. Annisa terjaga. Adam.
***
Hatinya terasa begitu sakit. Lelaki itu begitu khusyu’
berdoa dan tersenyum begitu sumringah ketika keluar dari gedung itu. Gereja.
Sengaja pagi ini Annisa mengikutinya. Kemarin sore, lelaki itu terlihat begitu
kacau. Mukanya memerah setelah kejadian kemarin. Dan sekarang, wajah itu
berubah begitu tenang. Ya Allah, kenapa
harus dia yang menjadi pilihan hatiku? Apa masih bisa hati ini berubah? Kenapa
aku tidak boleh memilih? Kenapa hatiku selalu memilih seseorang yang salah?
Bahkan dulu di masa lalu...seseorang yang sudah tak sendiri...hati ini malah
memilihnya dan sekarang lelaki ini. Yang berbeda denganku. Perbedaan besar itu.
Keyakinan. Dan tak akan ada kompromi masalah itu.
Dia harus pergi. Pergi menjauh dari lelaki itu. Dia tahu, kata-kata rizal memang benar.
Dia tertuduk lemas, berjalan menyusuri jalan kecil itu.
Hatinya kacau. Menangis. Rabb, aku ingin
bertemu. Tapi aku sedang kotor. Tidak Nisa, Allah tak pernah
membatasi. Tapi rumahMu
begitu jauhnya dari sini. Tidak!
Seharusnya ke luar angkasa pun aku harus sanggup menujuMu.
Dia mulai berjalan dengan semangat, ketika suara klakson
menghentikan langkahnya. Sebuah mobil yang sangat dia kenal menghampirinya.
Mobil Adam. Kaca terbuka.
“Nisa, dari mana?”, Annisa menoleh, rasanya sakit sekali
menatap wajah itu. Lelaki yang menjadi pilihan hatinya. Lelaki yang juga disaat
yang sama dirinya menolak. Dia menunduk, terisak.
Adam terpana. Tadi aku
bilang apa? Sampai dia menangis? Dia melangkah keluar dari mobilnya.
“Annisa..”, panggilnya lembut sambil menyentuh jemari Annisa
lembut.
“Don’t touch me!,” ucap Annisa lemah sambil menghempaskan
tangan Adam. Dia makin terisak. Hatinya sakit apalagi berhadapan dengan lelaki
itu. Sepasang muda-mudi yang duduk santai di halte terdekat menatap heran
mereka. Adam mulai merasa risih. Aku
salah apa siyh? Pagi-pagi udah dikira bikin nangis anak orang?
“Oke-oke, masuk mobil dulu, gak enak diliat orang kamu
nangis disini”. Annisa menggeleng lemah.
“Annisa, jangan keras kepala. Kita cuma masuk mobil, aku gak
kan ngapa-ngapain kamu.” Ucapnya mulai keras. Annisa mendongak dan melihat
tajam.
“Silahkan bapak pergi dari
sini, saya gak butuh bantuan anda!”, ucap nisa sambil melangkah pergi. Dasar keras kepala! Mau dikasi tumpangan
malah...ya sudah, selesaikan saja masalahmu sendiri!
Sekeras apapun dia menolak, tapi tetap tanpa dia sadari
dirinya mengikuti wanita itu. Dia meninggalkan mobilnya di pinggiran sebuah
toko roti, setelah membeli beberapa potong roti dengan tergesa-gesa, dia
berjalan mengikuti wanita yang tak pernah menoleh ke belakang itu.
Setengah jam berlalu...
Mau
kemana siyh kamu sayangku? Lihat, sampai-sampai aku tak bisa menolak keinginan
hati untuk bisa terus melihatmu.
Setengah jam lagi berlalu...
Sayup-sayup terdengar suara azan.
Ternyata
tempat itu tujuanmu. Engkau lebih memilih bercerita kepada Tuhanmu disaat
engkau pilu. Aku mengerti. Malah aku menjauh dariNya, tak peduli padanya kalau
saja tadi pagi aku tak membaca smsmu. Apa sebegitu dekatnya kamu denganNya
sayang?
Dua jam berlalu. Lelaki itu masih saja setia menunggu di
bawah pohon meaple yang telah berguguran daunnya itu. Angin musim gugur semakin
menjadi-jadi karena akan segera
memasuki musim dingin. Akhirnya wanita itu keluar. Dengan senyum yang
tersungging di wajah cantiknya. Engkau
memang bidadariku, Annisa. Adam berdiri dari duduknya, Annisa terpana dan
berhenti sejenak dari langkahnya. Menatap lelaki itu. Namun yang di tatap malah
salah tingkah...
“Sarapan roti...hehehe,” ucapnya kaku sambil mengangkat
bungkusan berisi roti.
***
Mendengar sayup-sayup
kumandang azan membuat Annisa semakin ingin melangkah kedalam. Tapi sayang, dia
tidak bisa menghadap Tuhannya secara langsung. Dia mengambil wudhu, dan duduk
di teras masjid. Tak terhingga rasa syukur dalam hatinya ketika
sujudnya dirumah suci itu. Mesjid. Aku
memang tak bisa menghadapmu langsung, tapi begitu indah ketika aku bisa ikut
mengucap namaMu.
“Ya Rabb, betapa engkau yang paling mengerti dan mengetahui
segala yang terbaik bagi hambaMu. Hati ini, jiwa ini serta raga ini sepenuhnya
milikMu. Seandainya hamba tidak kuat akan sesuatu yang telah Engkau gariskan,
yakinkan diri ini, kekuatan yang Engkau kirim pasti tak terkira. Limpahkan
kesabaran...”
Tak disadarinya 2 jam telah berlalu sejak kedatangannya
tadi. Memakai syal dan jaketnya lagi.
Dia melangkah keluar. Dengan keyakinan
sesuatu yang baik akan selalu ada di depannya. Hanya butuh berpikir positif,
terutama untuk Allah. Senyum pun tersungging di wajahnya.
Melihat kedepan itu yang dilakukannya. Biarlah masa lalu
jadi pelajaran. Dan ketika usahanya itu dilakukan, menatap ke depan dan itu...
lelaki itu. Adam menunggunya.
“Sarapan roti, hehehe”, Annisa hanya bisa menyunggingkan
senyum.
Ya
Rabb, apa mungkin ini jawabanMu? Tapi...
***
“Aku lapar niyh, temenin
aku makan yaa?”
“Gak cukup rotinya?”,
Adam menggeleng polos.
“Ya iyalah, udah tahu
siang saatnya lunch tapi bawanya roti”, ucap Annisa tersenyum.
Mereka pun berjalan
menuju Jill’s. Restaurant kecil itu sangat nyaman. Ada di
76 Fourth Avenue
dekat dengan Mesjid tempat Annisa biasa sering berkunjung. Dua
sejoli itu duduk diluar menikmati udara sejuk musim gugur. Seseorang yang
sedari tadi juga mengikuti Annisa tersenyum pahit melihat wanita itu tersenyum
begitu bahagia. Bukan lagi bersamanya. Tapi bersama lelaki lain. Dia melangkah
mendekat. Adam menyadari kehadiran Rizal…
“Sepertinya ada
seseorang yang ingin berbicara denganmu. Aku pindah kedalam sebentar yaa…”,
Adam mengangkat piring makanannya beserta gelas juicenya dan pindah ke meja
didalam. Annisa menoleh dan sedikit terkejut.
Lelaki itu duduk di
depannya. Beberapa menit hanya menatap wajah di depannya. Annisa menunduk.
Tatapan itu masih tetap intens. Tatapan yang sangat disukainya.
“Annisa, maafkan soal
kejadian semalam…”, kali ini Annisa baru mengangkat wajahnya.
“Iyya, sudah kulupakan
Kak! Nisa tahu itu bukan Kak Rizal…”
“Sejujurnya, sudah sejak
aku melihatmu menangis dibandara tiga tahun lalu aku putuskan tidak mengejarmu
lagi. Tapi kau tahu, Rara membuka jalan untuk itu. Dia selalu berkata dia
ikhlas kalau wanita itu kau…”, Annisa terpana.
“Tapi aku tetap tak mau
mengikuti keinginannya. Walaupun aku tahu, dia berkata seperti itu karena dia sering melihatku melamun, terkadang salah
memanggil namanya dengan namamu…”, Annisa mendesah. Pantas saja! Dia terluka Kak..
“Awalnya aku tetap tidak ingin kesini, tapi sejak aku mendengar berita kalau
Pak Adam menyukaimu, aku cemburu. Iya, aku sangat cemburu. Lalu, Rara juga
memaksaku untuk segera bertemu dan mengajakmu kembali. Aku pun setuju…”, Annisa
hanya diam.
“Kukira aku bisa
mengontrol emosi dan rasa cemburuku. Tapi ketika pertama kali kulihat kalian
dikantor dua hari lalu. Ada perasaan marah. Aku kesal karena perasaanmu bukan
untukku lagi karena sejak dulu aku yakin kamu pasti akan selalu menjaga
perasaanmu…”Aku tak meminta rasa ini Kak,
Allah yang mengaturnya.
“Jadi…sudah kau maafkan
aku kan?”
“Sudah kak! Nisa juga
memohon, tolong jangan menyakiti Mba Rara. Dia wanita yang sangat baik, tak
pantas disakiti…”
“Dari awal aku memang
tak berniat meninggalkannya Annisa… well, aku akan kembali dan mulai berusaha
mencintainya…”, ucapnya tersenyum. Annisa juga tersenyum.
“Anyway, gimana
kelanjutan kisahmu bersama Pak Adam? Apa kau akan lari juga?”, Annisa agak
tersentak.
“No one knows, Kak! Aku
hanya bisa berusaha dan berdoa. Kami tak ada hubungan apa-apa, tapi kelak jika
Allah memang punya cerita lain, aku hanya bisa menjalani…”
“Apa Pak Adam tak bisa…”
“Nisa gak mau
mengorbankan keyakinannya. Biarlah Allah yang menuntun Kak!”
Beberapa menit kemudian
Rizal pamit setelah meminta maaf kepada Adam juga. Dia ingin segera kembali
kepada istri dan anak-anaknya.
Selamat tinggal masa lalu… selamat tinggal Kak Rizal, batinnya. Kemudian melirik ke samping. Lelaki itu
sedang melihat kedepan, juga melepas Rizal pergi. Adam, apa aku pantas berkata, Selamat datang Adam! Apa aku pantas
Allah? Dia tersenyum pahit.
Masih banyak hal yang
mesti dia benahi sambil menunggu kisah ini berujung. Entah kemana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar