Senin, 19 September 2011

Better In Time 9 - Selamat Tinggal Masa Lalu...



Beberapa minggu pun berlalu…

Perasaannya tidak enak pagi itu. Mungkin karena memang jadwal datang bulannya datang lagi. Tapi ini sudah memasuki hari ke tujuh bulan Oktober. Sedang perkiraannya sekitar 3-4 hari lalu haidhnya datang. Perutnya juga belum terserang nyeri. Dia pun mulai menyibukkan diri dengan laptopnya. Mereka sedang sibuk sekali mempersiapkan edisi selanjutnya, dan ini edisi menyambut bulan suci Ramadhan. Annisa begitu bersemangat.

Pintu kaca itu terbuka. Seseorang masuk dan tersenyum. Nino yang paling awal menyadari kedatangannya…

“Hei Bro! kapan sampai?”

“Kemarin sore aku sampai, beberapa kali tersesat juga nyari kantor ini…”, Annisa yang cuek terpaksa harus terganggu dengan suara itu. Karena suara itu… Enggak! Itu gak mungkin dia… 
Dia mendongak dan benar saja lelaki yang sedang berbicara dengan Nino itu adalah Rizal. Dia datang ! Dia benar-benar datang. Ternyata ini yang membuat perasaanya pagi ini tak enak.Tanpa disengaja, Rizal pun seperti merasa diperhatikan dan… Pandangan mereka pun bertemu. Rindu yang kian membuncah di dadanya menguap begitu saja ketika dia melihat wajah itu. Wajah Annisa. It’s been so long, Annisa!

Tiba-tiba pintu ruang Bos terbuka. Lelaki itu bergegas sekali. Sepertinya dia buru-buru ingin ke toilet jadi sampai tak sempat memperhatikan sekeliling. Oh, itu rupanya Pak Adam! Dia kah Nisa yang membuatmu berpaling? Atau itu cuma pelarian saja? Aku akan cari tau...

“Duduk dulu Bro!”, Nino mempersilahkan Rizal duduk di sofa.

“Ada acara apa ke York?”

“Hmm…Cuma jalan-jalan, gak lama Nin. Hanya ingin memastikan sesuatu”, ucapnya sambil melirik Annisa.

Adam kembali. Dia mulai berjalan normal dan mulai sadar akan lingkungannya. Dia akan masuk keruangannya ketika sadar ada seseorang di sofa tamu…

“Pak Adam, ini Rizal Aulia dari kantor pusat. Fotografer juga…”, ucap Nino ketika sadar Adam sedikit bertanya lewat matanya. Adam tersentak dan secara tak sengaja menoleh kearah Annisa. Wanita yang dari pura-pura cuek itu tiba-tiba menoleh ketika nama itu disebut dan pandangan mereka bertemu. Adam seolah bertanya lewat matanya Jadi ini Rizal Aulia itu? Annisa hanya menjawab lewat matanya. Rizal mengamati itu. ada sedikit perasaan aneh menjalar keseluruh tubuhnya. Dia cemburu.

***

Annisa benar-benar kedatangan tamunya. Dia dapat haidh. Dan secara tak sengaja juga Rizal datang bagai tamu tak diundang. Pulang kantor, dia terbaring lemah diatas sofa karena nyeri haidh telah menyerangnya. Ketika sudah akan terlelap, sebuah telpon mengejutkannya. 
Nomor tak dikenal.

“Halo…”

“Hai… ini aku! Masih ingat kan?”, Annisa langsung bangun dari baringannya.

“Ada apa Kak?”

“Aku diluar apartementmu… keluarlah, ada sesuatu yang ingin kubicarakan…aku tunggu!”. Telpon langsung ditutup. Aku sakit Kak, bahkan kau sudah lupa jadwal haidhku. Ah…sudahlah 
Nisa!

Dia melangkah keluar dan dilihatnya lelaki itu sedang bersandar disebuah pohon depan apartemennya… beberapa kali dia memegang perutnya. Perih.

***

Mereka hanya berjalan dalam diam. Annisa mengikuti langkah itu. Setelah hampir 20 menit berjalan, dia bingung. Dan berhenti.

“Kak Rizal!”, yang dipanggil menoleh.

“Sebenarnya ada apa?”

Rizal tersenyum.

“Aku kangen kamu!”, Annisa tersentak.

“You should not!”, ucapnya tegas.

Adam sedikit terkejut.

“Ada apa denganmu? Apa kamu enggak punya kangen aku?”

“Enggak!”

“Apa karena lelaki itu?”, Annisa kali ini benar-benar terkejut.

“Oke... If you just wanna talk about that, I’ll go!”, ucapnya sambil membalikkan badan dan melangkah.

“Sudah lah Annisa, apa begitu susahnya mengatakan kalau kau sudah mencintai lelaki lain. Lelaki Nasrani itu kan?”, ucap Rizal sambil mengejar langkah Annisa. Annisa berhenti dan berbalik.

“Dan kalau memang itu benar. I think it’s not your business!”, dia terkejut mendapati lelaki itu sangat dekatnya.

***

Perasaannya benar-benar tidak enak ketika melihat lelaki itu. Ada ketakutan sesuatu terjadi, terutama pada kekasihnya. Dia jelas melihat Annisa tidak nyaman dan sesuatu seperti sedang bergolak di hati Annisa. Dia keliatan pucat tadi pagi. Dia buru-buru mengambil jaketnya dan menuju apartement Annisa. Ketika sampai disana malah front girl bilang kalau Annisa sedang keluar.

“Kamu liat gak dia keluar sama siapa?”

“Hmm... it seemed that she was following a man kearah Queen Street!”, Adam seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Dia bergegas keluar dan menuju jalan yang disebutkan. Kekhawatirannya benar terjadi. Lelaki itu benar-benar ingin menemuinya.

Tak ada. Dimana kau Annisa? Apa kau baik-baik saja kekasih?

Adam terus menyusuri jalan itu pelan-pelan dengan mobilnya ketika dia mendengar suara orang sedikit berteriak. Dan itu...

“Kenapa kau berubah Annisa? Apa tidak ada lagi cinta untukku?Kenapa?”, ucapnya sambil mengguncangkan bahu Annisa. Kau berubah kan! Ini bukan Kak Rizal yang kukenal.

“Lepaskan aku!”, teriak Annisa.

“Gara-gara lelaki nasrani itu kan? Apa hebatnya dia? Karena dia bos, jadi kau goda dia lagi?”Annisa mencoba memberontak. Tapi tubuhnya lemah karena nyeri haidh yang diderita. 
Dia mulai terisak mendengar hujatan lelaki yang pernah sangat dicintainya itu.

“Cukup, kak! Lepaskan aku!”, ucapnya masih dengan terisak.

“Kau tega Annisa, kau buat aku jatuh cinta lalu kau campakkan aku begitu saja…”,

“Itu tidak benar! Aku pergi, biar kakak bisa kembali hidup bahagia dengan Mba Rara!”

“Cukup! Sekarang, kau mau lukai lelaki nasrani itu lagi? Terbuat dari apa hatimu, heh? Setelah kau buat jatuh hati, segera kau akan campakkan dia.”

“Cukup! Diam! Lepaskan aku”, teriaknya keras. Airmatanya mengalir deras. Suaranya serak dan seketika menghilang. Dia meronta keras dan Rizal melepaskannya. Annisa tersandung dan lututnya terjerembab keatas jalan berbatu itu. Berdarah.

“Wanita muslim macam apa kau, Annisa? Berapa lelaki yang sudah kau sakiti?”, Annisa hanya bisa terisak. Suaranya sudah tak ada bahkan untuk membela dirinya sendiri.

“Sudah! Diam!”, suara itu sangat dikenalnya. Itu Adam. Dia mendongak.

“Haha…panjang umurmu Tuan Adam yang sangat terhormat!”, ucap Rizal sekenanya.
Adam hanya diam. Dia menuju Annisa. Merangkulnya dan memapahnya pergi. Rizal tertawa mengejek.

“She won’t be yours! Ever!”, teriak Rizal.
Adam berhenti sejenak. Annisa hanya bisa menoleh melihat wajah itu.

“Tuan Adam yang terhormat, anda sadar tidak kalian itu berbeda. Berbeda agama. Annisa sudah pasti tidak akan memilih anda, jadi lebih baik anda pergi saja dari hidupnya”, Adam masih diam. Setetes air mata mulai mengalir lagi dimata Annisa.

“Adam… Kalau kau yang tidak pergi menjauh, maka jangan menyesal ketika kau sudah betul-betul tergila-gila padanya, wanita itu yang akan pergi. Dia akan pergi meninggalkanmu, seperti yang dilakukannya padaku. Dia seperti tupai, lincah. Pergi jauh, dan membuat lelaki lain jatuh hati lagi  padanya.” Adam kini sudah tak tahan.

“Diam kau!”, teriak Adam. Annisa terkejut. Aku sudah tahu itu rizal, apa tak ada hal yang lain yang ingin kau katakan? Berulang kali dia menghindariku, tapi toh aku masih bersamanya saat ini.

“Annisa bukan wanita seperti itu…”

“Hahaha..seolah-olah kau lebih tahu tentangnya! Bagaimana Tuhan Yesus mu itu hah? Melihat kau tergila-gila pada wanita muslim ini? Apa dia tidak murka? Kau anggap apa Tuhanmu heh? Kau tega meninggalkan agamamu demi mengikuti keyakinan wanita ini?”, Adam sangat marah, namun dia berpikir tidak harus meladeni lelaki itu. Dia memapah Annisa lagi. Annisa menunduk.

“Hahaha..kamu memang hebat Annisa! Setelah membuatku jatuh cinta dan berniat meninggalkan istriku. Kini, kau juga telah berhasil menghasut lelaki itu mengkhianati Tuhannya!”, Annisa terisak. Itu tidak benar! Allahku, itu tidak benar! Namun, dia sudah tidak punya kekuatan bahkan untuk membela diri sendiri. Genggaman Adam kian keras dibahu Annisa. Dia mulai meringis. Adam marah! Ya Allah, jauhkanlah kami dari celaka! Jauhkan dari godaan syeitan, jagalah emosi Adam!

“Diam kau!”, ucap Adam sambil membalikkan badannya juga tubuh Annisa dengan keras.

“Jangan menyalahkan Annisa untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Kau sendiri yang mengejar-ngejar dia. Kau paksa dia berdekatan denganmu juga dengan istri dan anakmu, agar bisa kau jadikan istri keduamu, iya kan?”, Rizal diam.

“Cintaku padanya tidak menyakiti siapapun termasuk Tuhanku, karena Dia yang menganugerahkannya, tapi coba kau pikir, cintamu itu menyakiti tak hanya Annisa tapi istri dan anakmu, apa kau pernah berpikir itu? Kurasa tidak! Pergilah rizal, jauhi Annisa… kembali ke keluargamu!”, diujung kalimatnya dia haluskan suaranya. Annisa mendongak.

“Adam, kita pergi!”, ucapnya terbata dengan wajah yang penuh kesedihan. Adam menatapa iba.

“Dengar Adam! Untuk terakhir kali kukatakan, apapun yang kulakukan, kuakui salah. Tapi, kau harus sadar, Annisa tidak akan memilihmu juga. Perbedaan kalian sangat besar!”

“Sudah cukup! Tak perlu kau ajari aku tentang hal itu”, Mereka pun pergi menjauh. Annisa melirik wajah yang sedang serius memapahnya. Dia sakit, bukan karena perutnya, bukan karena kakinya yang terluka. Tapi karena merasakan kegalauan hati Adam. Dia sangat mengerti perasaan Adam sekarang. Detakan jantungnya begitu cepat. Maafkan aku Adam!

Mereka sampai dimobil Adam. Memapahnya masuk.

“Minumlah!”, ucapnya lembut sambil memberikan Annisa sebotol air mineral. Tatapannya begitu lembut.

“Udah tenang?”, ucapnya lembut. Annisa menoleh dan mengangguk.

“Kakimu berdarah, kita ke hospital terdekat yaa?”, Annisa menggeleng lemah.

“Mba Ren..tolong antarkan aku kesana saja..”, ucapnya dengan suara serak.

“Oke-oke!”

Adam menelpon Reni memberitahu keadaan Annisa dan tujuan mereka kesana. Sepanjang jalan, Adam hanya diam. Wajahnya kaku. Dingin. Ada banyak beban disana. Tak ada satu kata pun bahkan sampai mereka tiba di kediaman Reni. Adam memapah Annisa. Reni menunggu didepan pintu rumahnya dengan cemas.

Adam pergi setelah mendudukkan Annisa di sofa. Dia pergi. Begitu saja tanpa berkata apapun. Setelah pintu tertutup, Annisa kembali terisak. Reni hanya bisa terdiam. Dia mengerti luka sahabatnya itu.

***

Kaki Annisa hanya cidera biasa. Nyeri haidhnya pun berangsur pulih. Setelah terisak, Annisa tertidur. Tapi tidurnya tak pulas, dia terjaga beberapa kali. Sampai jam 10 malam itu dia terjaga lagi. Dia teringat Adam. Dia cek hpnya, tak ada satu pesan atau pun panggilan dari 
Adam. Bahkan, dia tak menanyakan keadaanku.

[Dia pergi. Begitu saja]. Send.

Belum semenit satu pesan masuk. Adam.

[I Love You. Dan akan selalu, sampai Tuhan membalikkan hati ini. Aku mencintaimu, Annisa Namira.]

Dan itu cukup membuat airmatanya jatuh lagi. Bukan kata-kata ini yang kuharapkan, Adam. 
Kau selalu begitu tega…

[Adam…]. Send.

[Tidurlah].

[Aku hanya ingin tahu keadaanmu]

[Aku baik. Tidurlah. I love you]

[Adam, I love you too. Too much!]. Tapi sms ini hanya diketik dan kemudian tersimpan didraftnya. Annisa membolak-balikkan badannya. Dia tidak bisa tidur. Adam kamu lagi apa? 
Apa kamu bisa tidur malam ini?

Jam 3.30 pagi.

Annisa masih belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih dipenuhi wajah Adam terakhir kali tadi.

[Adamku… saat diri penuh dengan gelimang dosa, maka minta ampun pada Tuhan. Saat diri penuh dengan kebimbangan, Tuhanlah yang dengan tulus membimbing kita. Dan saat derita dan kepedihan menusuk hati, Tuhan juga yang hanya bisa menenangkannya. Berdoalah]. Send.

Dan setelah mengirim pesan singkat itu, dia memejamkan matanya dan tertidur pulas hingga menjelang subuh. Annisa terjaga. Adam.

***

Hatinya terasa begitu sakit. Lelaki itu begitu khusyu’ berdoa dan tersenyum begitu sumringah ketika keluar dari gedung itu. Gereja. Sengaja pagi ini Annisa mengikutinya. Kemarin sore, lelaki itu terlihat begitu kacau. Mukanya memerah setelah kejadian kemarin. Dan sekarang, wajah itu berubah begitu tenang. Ya Allah, kenapa harus dia yang menjadi pilihan hatiku? Apa masih bisa hati ini berubah? Kenapa aku tidak boleh memilih? Kenapa hatiku selalu memilih seseorang yang salah? Bahkan dulu di masa lalu...seseorang yang sudah tak sendiri...hati ini malah memilihnya dan sekarang lelaki ini. Yang berbeda denganku. Perbedaan besar itu. Keyakinan. Dan tak akan ada kompromi masalah itu.

Dia harus pergi. Pergi menjauh dari lelaki itu. Dia tahu, kata-kata rizal memang benar.
Dia tertuduk lemas, berjalan menyusuri jalan kecil itu. Hatinya kacau. Menangis. Rabb, aku ingin bertemu. Tapi aku sedang kotor. Tidak Nisa, Allah tak pernah membatasi. Tapi rumahMu begitu jauhnya dari sini. Tidak! Seharusnya ke luar angkasa pun aku harus sanggup menujuMu.

Dia mulai berjalan dengan semangat, ketika suara klakson menghentikan langkahnya. Sebuah mobil yang sangat dia kenal menghampirinya. Mobil Adam. Kaca terbuka.

“Nisa, dari mana?”, Annisa menoleh, rasanya sakit sekali menatap wajah itu. Lelaki yang menjadi pilihan hatinya. Lelaki yang juga disaat yang sama dirinya menolak. Dia menunduk, terisak.

Adam terpana. Tadi aku bilang apa? Sampai dia menangis? Dia melangkah keluar dari mobilnya.

“Annisa..”, panggilnya lembut sambil menyentuh jemari Annisa lembut.

“Don’t touch me!,” ucap Annisa lemah sambil menghempaskan tangan Adam. Dia makin terisak. Hatinya sakit apalagi berhadapan dengan lelaki itu. Sepasang muda-mudi yang duduk santai di halte terdekat menatap heran mereka. Adam mulai merasa risih. Aku salah apa siyh? Pagi-pagi udah dikira bikin nangis anak orang?

“Oke-oke, masuk mobil dulu, gak enak diliat orang kamu nangis disini”. Annisa menggeleng lemah.

“Annisa, jangan keras kepala. Kita cuma masuk mobil, aku gak kan ngapa-ngapain kamu.” Ucapnya mulai keras. Annisa mendongak dan melihat tajam.

“Silahkan bapak pergi dari sini, saya gak butuh bantuan anda!”, ucap nisa sambil melangkah pergi. Dasar keras kepala! Mau dikasi tumpangan malah...ya sudah, selesaikan saja masalahmu sendiri!



Sekeras apapun dia menolak, tapi tetap tanpa dia sadari dirinya mengikuti wanita itu. Dia meninggalkan mobilnya di pinggiran sebuah toko roti, setelah membeli beberapa potong roti dengan tergesa-gesa, dia berjalan mengikuti wanita yang tak pernah menoleh ke belakang itu.

Setengah jam berlalu...

Mau kemana siyh kamu sayangku? Lihat, sampai-sampai aku tak bisa menolak keinginan hati untuk bisa terus melihatmu.

Setengah jam lagi berlalu...

Sayup-sayup terdengar suara azan.

Ternyata tempat itu tujuanmu. Engkau lebih memilih bercerita kepada Tuhanmu disaat engkau pilu. Aku mengerti. Malah aku menjauh dariNya, tak peduli padanya kalau saja tadi pagi aku tak membaca smsmu. Apa sebegitu dekatnya kamu denganNya sayang?

Dua jam berlalu. Lelaki itu masih saja setia menunggu di bawah pohon meaple yang telah berguguran daunnya itu. Angin musim gugur semakin menjadi-jadi karena akan segera memasuki musim dingin. Akhirnya wanita itu keluar. Dengan senyum yang tersungging di wajah cantiknya. Engkau memang bidadariku, Annisa. Adam berdiri dari duduknya, Annisa terpana dan berhenti sejenak dari langkahnya. Menatap lelaki itu. Namun yang di tatap malah salah tingkah...

“Sarapan roti...hehehe,” ucapnya kaku sambil mengangkat bungkusan berisi roti.

***

Mendengar sayup-sayup kumandang azan membuat Annisa semakin ingin melangkah kedalam. Tapi sayang, dia tidak bisa menghadap Tuhannya secara langsung. Dia mengambil wudhu, dan duduk di teras masjid. Tak terhingga rasa syukur dalam hatinya ketika sujudnya dirumah suci itu. Mesjid. Aku memang tak bisa menghadapmu langsung, tapi begitu indah ketika aku bisa ikut mengucap namaMu.

“Ya Rabb, betapa engkau yang paling mengerti dan mengetahui segala yang terbaik bagi hambaMu. Hati ini, jiwa ini serta raga ini sepenuhnya milikMu. Seandainya hamba tidak kuat akan sesuatu yang telah Engkau gariskan, yakinkan diri ini, kekuatan yang Engkau kirim pasti tak terkira. Limpahkan kesabaran...”

Tak disadarinya 2 jam telah berlalu sejak kedatangannya tadi. Memakai syal dan jaketnya lagi. 
Dia melangkah keluar. Dengan keyakinan sesuatu yang baik akan selalu ada di depannya. Hanya butuh berpikir positif, terutama untuk Allah. Senyum pun tersungging di wajahnya.
Melihat kedepan itu yang dilakukannya. Biarlah masa lalu jadi pelajaran. Dan ketika usahanya itu dilakukan, menatap ke depan dan itu... lelaki itu. Adam menunggunya.

“Sarapan roti, hehehe”, Annisa hanya bisa menyunggingkan senyum.

Ya Rabb, apa mungkin ini jawabanMu? Tapi...

***

“Aku lapar niyh, temenin aku makan yaa?”

“Gak cukup rotinya?”, Adam menggeleng polos.

“Ya iyalah, udah tahu siang saatnya lunch tapi bawanya roti”, ucap Annisa tersenyum.

Mereka pun berjalan menuju Jill’s. Restaurant kecil itu sangat nyaman. Ada di 76 Fourth Avenue dekat dengan Mesjid tempat Annisa biasa sering berkunjung. Dua sejoli itu duduk diluar menikmati udara sejuk musim gugur. Seseorang yang sedari tadi juga mengikuti Annisa tersenyum pahit melihat wanita itu tersenyum begitu bahagia. Bukan lagi bersamanya. Tapi bersama lelaki lain. Dia melangkah mendekat. Adam menyadari kehadiran Rizal…

“Sepertinya ada seseorang yang ingin berbicara denganmu. Aku pindah kedalam sebentar yaa…”, Adam mengangkat piring makanannya beserta gelas juicenya dan pindah ke meja didalam. Annisa menoleh dan sedikit terkejut.

Lelaki itu duduk di depannya. Beberapa menit hanya menatap wajah di depannya. Annisa menunduk. Tatapan itu masih tetap intens. Tatapan yang sangat disukainya.

“Annisa, maafkan soal kejadian semalam…”, kali ini Annisa baru mengangkat wajahnya.

“Iyya, sudah kulupakan Kak! Nisa tahu itu bukan Kak Rizal…”

“Sejujurnya, sudah sejak aku melihatmu menangis dibandara tiga tahun lalu aku putuskan tidak mengejarmu lagi. Tapi kau tahu, Rara membuka jalan untuk itu. Dia selalu berkata dia ikhlas kalau wanita itu kau…”, Annisa terpana.

“Tapi aku tetap tak mau mengikuti keinginannya. Walaupun aku tahu, dia berkata seperti itu karena dia sering melihatku melamun, terkadang salah memanggil namanya dengan namamu…”, Annisa mendesah. Pantas saja! Dia terluka Kak..

“Awalnya aku tetap tidak ingin kesini, tapi sejak aku mendengar berita kalau Pak Adam menyukaimu, aku cemburu. Iya, aku sangat cemburu. Lalu, Rara juga memaksaku untuk segera bertemu dan mengajakmu kembali. Aku pun setuju…”, Annisa hanya diam.

“Kukira aku bisa mengontrol emosi dan rasa cemburuku. Tapi ketika pertama kali kulihat kalian dikantor dua hari lalu. Ada perasaan marah. Aku kesal karena perasaanmu bukan untukku lagi karena sejak dulu aku yakin kamu pasti akan selalu menjaga perasaanmu…”Aku tak meminta rasa ini Kak, Allah yang mengaturnya.

“Jadi…sudah kau maafkan aku kan?”

“Sudah kak! Nisa juga memohon, tolong jangan menyakiti Mba Rara. Dia wanita yang sangat baik, tak pantas disakiti…”

“Dari awal aku memang tak berniat meninggalkannya Annisa… well, aku akan kembali dan mulai berusaha mencintainya…”, ucapnya tersenyum. Annisa juga tersenyum.

“Anyway, gimana kelanjutan kisahmu bersama Pak Adam? Apa kau akan lari juga?”, Annisa agak tersentak.

“No one knows, Kak! Aku hanya bisa berusaha dan berdoa. Kami tak ada hubungan apa-apa, tapi kelak jika Allah memang punya cerita lain, aku hanya bisa menjalani…”

“Apa Pak Adam tak bisa…”

“Nisa gak mau mengorbankan keyakinannya. Biarlah Allah yang menuntun Kak!”

Beberapa menit kemudian Rizal pamit setelah meminta maaf kepada Adam juga. Dia ingin segera kembali kepada istri dan anak-anaknya.

Selamat tinggal masa lalu… selamat tinggal Kak Rizal, batinnya. Kemudian melirik ke samping. Lelaki itu sedang melihat kedepan, juga melepas Rizal pergi. Adam, apa aku pantas berkata, Selamat datang Adam! Apa aku pantas Allah? Dia tersenyum pahit.
Masih banyak hal yang mesti dia benahi sambil menunggu kisah ini berujung. Entah kemana…




Tidak ada komentar:

Posting Komentar