Al-Qur’an. Selalu kitab
itu yang dibawanya kemanapun dia pergi. Dia tak akan pernah lupa, seolah kitab
itulah penghubung paling dekat dirinya dan Tuhannya.
Memasuki bulan suci Ramadhan
yang kebetulan jatuh diakhir
musim gugur. Mungkin ini akan sedikit berat, karena menjelang musim dingin
waktu berpuasa pun semakin bertambah.
Seluruh umat islam bersuka cita
menyambutnya. Termasuk mereka yang ada di York. Hari pertama puasa mereka
berencana berbuka puasa bersama. Adam seperti terhipnotis suasana Ramadhan. Dia
sangat menghormati mereka-mereka yang sedang menjalankan ibadah dan mengajak
sekelompok yang lain yang bukan Muslim untuk menghormati mereka.
Annisa kelihatan begitu
bersemangat. Apalagi kata sang Bos, untuk edisi bulan ini bertepatan dengan
Ramadhan maka mereka akan meliput aktivitas Muslim di York.
Disuatu sore di bulan
Ramadhan di kota York. Hampir memasuki minggu-minggu menjalankan puasa dan di hari-hari terakhir itu,
Annisa kian mengacuhkan dia. Terutama hari ini, ketika tak satu tatapan pun dia
dapat. Annisa sibuk dengan meja kerjanya, jika pun istirahat dia memilih
berdiam diri di tempat ibadah dan lagi-lagi dengan kitab itu. Apa siyh isinya? Kamu terlalu asik kah
dengan itu? Tak cukup itu saja, ketika pulang dan para pegawai lain
buru-buru pulang, Annisa malah berlama-lama di meja kerjanya dan lagi dengan
pocket Al-qur’annya.
Ada rasa tersindir luar
biasa. Adam memang seorang katolik yang taat. Tapi hanya pada Tuhannya. Dia
bahkan sangat jarang membuka kitab injil. Kitab itu tak bisa menarik
perhatiannya. Tapi Annisa terlihat begitu asik membaca kitab itu. dan terkadang
dia takjub melihat Annisa bisa membaca tulisan Arab, bersambung pula. Suatu
hari, dia pernah membuka Qur’an milik Annisa.
“Kamu bisa baca ini?”,
Annisa mengangguk.
“Alhamdulillah bisa,
walaupun gak semahir para Qari-Qariah, hehe”
“Apa itu?”
“Orang-orang yang bacaan
Al-Qurannya bagus sekali”
“Ooh…”
“Berapa lama bisa baca
ini?”
“Hmm…lupa. Tapi karena
sejak kecil diajarkan, jadi kebiasaaan dan memang bisa…”
Adam berpikir keras. Dia
pernah mengalami ini. Ibunya pernah mengajarinya membaca Al-Quran dulu ketika
dia masih di bangku taman kana-kanak.
“Aku juga pernah bisa
baca kitab ini, tapi sekarang…entah laaah!”
“Benarkah?”
“Iyya..sebelum Ummi
pisah dengan Ayah, beliau sering mengajarkanku dan Nina baca kitab ini…”
Dan kini melihat wanita
itu asik membaca Al-Quran, ada rasa ingin belajar lagi memahami isi kitab itu.
Apa yang membuat kitab itu begitu sempurna sampai di masjid-mesjid pun berbagai
bentuk Al-Quran diletakkan banyak-banyak. Kenapa menjelang azan, juga ada
pembacaan Al-Qur’an. Kenapa saat ada acara-acara, selalu dibuka dengan membaca
Al-Quran. Banyak pertanyaan dikepalanya. Tak hanya Annisa, Reni dan beberapa
teman muslim lain seperti terjebak dalam bacaan kitab itu, bahkan Lulu pun yang
imannya naik turun, bisa-bisanya berlomba-lomba membaca Al-Quran dibulan suci
ini.
Tak ingin
pertanyaan-pertanyaannya menguap begitu saja. Dia ingin sekali bertanya banyak
pada ibunya. Namun ketika pagi itu dia bergegas masuk kantor, ada percakapan
yang menarik perhatiannya dan sedikit banyaknya menjawab pertanyaannya…
***
Dia merasa prihatin
mengetahui keadaan kampung halamannya. Aceh tercinta. Dia sangat rindu. Tadi
pagi sempat menelpon kerumah dan berbicara banyak dengan adiknya. Sekilas tahu
tentang keadaan remaja dan pergaulan di Aceh, selepas tsunami malah keadaannya
tambah parah. Bahkan kata adiknya, banyak teman-teman seangkatannya tertangkap
melakukan hubungan tak senonoh itu. penerapan syariat islam malah membuat
prilaku ini menjamur. Sangat ironis. Yang paling membuatnya sedih ketika
sebagian besar yang tertangkap malah wanita berpakaian muslimah. Entah apa yang
salah dengan serambi mekah itu. Pagi ini dia meminta bantuan Mr.Google untuk
mengetahui lebih banyak tentang hal itu.
Annisa sedang sangat serius ketika…
“Lagi baca cerita apa
Sa? Serius amat?”, Tanya Reni begitu melihat rekannya begitu focus ke
laptopnya.
Terjadilah diskusi
panjang mengenai pergaulan remaja, khususnya remaja muslimah.
“Pernah ada tuch, senior
aku di kampus. Orangnya alim banget, jilbabnya berkibar-kibar tapi tau-taunya
malam hari jadji wanita panggilan…” jelas Lulu.
“Makanya mending seperti
aku, biasa-biasa saja tapi masih tahu batasan…”, sambung Lulu diikuti
geleng-geleng kepala Annisa dan Reni.
“Memang lu masih tahu
batasan pacaran sama bule?”, Tanya Nino.
“Yaah…sekedar hmm… biasa
gitu, gpp laah… tapi paling enggak, aku masih menjaga kesucianku”, bela Lulu.
“Kalau kasus gituan mah
mungkin udah sering terjadi. Mungkin beberapa wanita-wanita hanya berkedok
muslimah untuk menyembunyikan wajah aslinya. Hanya sebagian yang betul-betul
terjerumus, itu juga karena pergaulan dan iman yang belum stabil. Kembali lagi
ke parenting style dan pergaulan…”, jelas Reni bijak. Annisa mengangguk setuju.
“Hmm…kasus lain,
yaah..tentang perbedaan agama. Banyak juga kan orang-orang islam yang juga
mudah meninggalkan agamanya demi pasangannya. Salah satunya tetanggaku, seorang
gadis muda berjilbab rapi tapi pacaran dengan seorang pemuda Nasrani, dia tega
ninggalin agama juga keluarganya…”, kisah Mas Putra. Mendengar kisah ini,
Annisa merasa sekarang dia sedang berjuang untuk tetap konsisten.
“Kalau kasus itu, teman
kita satu ini sedang menjalaninya niyh…hehe”,ucap Lulu.
“Jadi gimana kelanjutan
kisah kalian Sa? Siapa yang akan menyerah? Mba lihat malah belum ada titik
temu? Kamu malah lebih terlihat asik dengan Islam, eh…malah Pak Adam juga makin
lebih lengket dengan salibnya itu…”, Annisa hanya tersenyum pahit.
“Yang penting Sa, lu gak
bole berkorban demi Pak Adam, kalau dia cinta banget sama lu, biar dia aja
convert to islam”, ucap Lulu diikuti anggukan setuju beberapa rekan.
“Enggak akan ada yang
nyerah atau mengorbankan keyakinan kok! Toh, kami juga gak ada hubungan
apa-apa, jadi biarlah Allah yang menentukan yang terbaik. Gak ada yang siapa
ikut siapa…”, jelas Annisa. Adam yang sudah dari tadi mendengar percakapan itu
hanya terdiam. Iya, kau benar.
“Sa, bukannya mba
ragukan iman kamu. Tapi biasanya orang kalau sudah jatuh cinta, semuanya jadi
tak keliatan, apa kamu tidak takut?”, Tanya Desy lagi.
“Udah ah Des! Nisa kan
masih punya kita disini yang bisa selalu ngingatin dia…”, bela Reni. Namun
Annisa sepertinya perlu meyakinkan mereka tentang sesuatu…
“Mba, aku memang bukan
seorang yang ahli agama, tidak alim-alim banget tapi aku tidak akan pernah
takut selama aku punya ini”, ucapnya sambil mengacungkan Al-Quran miliknya yang
dibawanya kemana-mana. Adam tersentak. Ironis, dia sangat cinta Tuhannya tapi
memegang Bibel saja, bisa dihitung jari.
“Al-Quran yang akan
menuntunku untuk selalu mengingatNya…”, Reni tersenyum penuh arti. Yang lainnya
hanya diam.
“Hehe..mantap niyh si
Non Nisa. Udah cantik, agamanya juga bagus. Beruntung banget Pak Adam yaa? Coba
ketemu aku lebih dulu…”, ucap Mas Putra sambil mengedipkan mata kearah Annisa,
yang lain tertawa.
“Memangnya istrimu mau
dibawa kemana Mas?”
“Ke Indonesia, haha.
Yaah…lagian mana mau Annisa sama aku, perbandingannya Pak Adam? Aku mah enggak
ada apa-apanya…”, Annisa tersentak namun kemudian tersenyum.
“Maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan?”, Tanya Nisa mengutip sebuah ayat dalam
Al-Quran.
“Iyya..aku ingat. Itu
kan salah satu ayat Al-Quran. Surat Ar-Rahman kan Sa?”, Tanya Lulu semangat dan
Annisa mengangguk.
“Terlalu banyak Mas
berkah Allah. Mas sempurna, gak cacat. Mas punya istri yang baik, punya
pekerjaan yang baik, trus apa lagi?”, Mba Reni ikut nimbrung dan Lulu yang
keliatan sedang berpikir keras ikut mengiyakan.
“Hmm…fabi…, duuh gimana
lah isi ayatnya?”
“Fabiayyi Aalaa
irabbikumaa tukazzibaan…”, sambung Annisa.
“Iyya itu dia, hehe”
Putra hanya cecengesan.
Seseorang dibalik pintu itu lama terdiam. Itulah
kenapa kau begitu menspecialkan Al-Quranmu itu. Maka nikmat TuhanMu yang
manakah yang kamu dustakan? Kata-kata yang sangat bagus.
“Pagi semuanya!” , sapanya
diikuti tatapan sedikit terkejut para pekerjanya.
[Besok sore ada yang ingin aku diskusikan. Pulang
kerja. Tentang Al-Qur’anmu]
Annisa sedikit terkejut
dengan isi sms itu. Dia memperlihatkan sms itu pada Reni.
Dan sahabatnya itu berbisik…
“Saatnya dakwah Sa!”
Dakwah? Apa aku pantas? Ilmuku saja belum seberapa.
***
Dia melangkah masuk
rumah itu. Sayup-sayup terdengar suara ibunya sedang melantunkan Al-Quran. Dia
merasa seperti diikuti oleh hal-hal berbau kitab itu, kemana pun dia melangkah
selalu tentang kitab itu. Awalnya pikirannya negative tentang hal itu, tapi
tanpa dia sadari perasaan itu berubah seiring dia mengenal dan lebih tahu
tentangnya.
Malamnya selesai
menemani ibunya berbuka dia menanyakan pada ibunya tetang setiap
pertanyaan
yang muncul dikepalanya…
“Ummi, sepenting itukah
Al-Qur’an bagi umat islam?”, ibunya yang sedang melipat mukenanya terpana dan
mengangguk.
“Sama halnya seperti
orang Kristen terhadap Injil…”, Adam tersentak. Tapi sepertinya tidak bagiku, Ummi! Banyak hal yang aku pertanyakan
tentang kitab itu, makanya aku tak pernah dekat dengannya. Dia juga bingung
kenapa dia hanya bisa sangat mencintai Tuhannya ketika kitab suci yang penuh
esensi itu jarang digubrisnya. Maka ketika dia melihat fenomena Al-Qur’an
dengan Muslim di sekitarnya, dia merasa tersindir.
“Al-Qur’an itu pedoman
hidup kami, Nak! Mungkin kamu lupa, Ummi dulu pernah bilang kalau orang islam
akan selamat dunia akhirat jika dia berpegang teguh pada Kitab Suci ini…”
“Al-Qur’an juga kitab
sepanjang masa, mencakup segala kejadian dimasa lampau, sekarang, dan masa
depan. Maka Allah menjadikannya pedoman bagi kami, selain tentu berisi
hokum-hukum agama. Banyak hal yang terdapat dalam kitab itu… dan di bulan
Ramadhan ini, tepatnya hari ke 17 Al-Qur’an pertama kali diturunkan…”
Panjang diskusi malam
itu dan diakhiri dengan permintaan Adam untuk dibacakan salah satu Surat
Al-Qur’an. Ibunya sempat terkejut dan mengucap hamdallah. Mudah-mudahan Adam mendapat hidayah yang indah dariMu, Rabb. Amiin.
Adam tertidur pulas di sofa. Namun pagi harinya, sang bunda hanya bisa mendesah
mendapati anaknya tetap dengan ritualnya ketika akan sarapan.
***
Pagi itu dia tidak
langsung menuju kantor tapi singgah ke gereja. Dia merasa butuh berkomunikasi
dengan Tuhannya persoalan kebimbangan ini. Aku
tahu Tuhan, Engkau pasti tak akan menyesatkan aku ke dalam sesuatu yang tidak
baik. Aku mohon bimbinganMu agarku dapat menemukan jawaban. Amin. Ketika
dia selesai dengan doanya, dia menemui seorang pendeta. Mereka berdiskusi
banyak hal. Adam menanyakan tentang konsep pengakuan dosa. Konsep trinitas. Dia
juga sempat bingung, kenapa disaat sekarang dia malah bertanya tentang itu.
“Saya betul-betul tidak
paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?”, pendeta itu
terkejut mendengar pertanyaan Adam. Dan mukanya keliatan memerah. Tidak jelas
menahan marah atau malah menahan malu karena tak tahu menjawab apa.
“Sudah berapa lama kau
di agama ini?”
“Sejak usia 8 tahun?”
“Dan baru sekarang kau
tanyakan tentang Tuhan kita? Apa yang mempengaruhimu?”, suara itu sedikit meninggi. Adam bingung. Memangnya aku salah jika baru
sekarang ingin tahu?
“Karena rasa ingin tahu
saya baru ada sekarang! Bisa pendeta tolong jelaskan! Ini demi keimanan saya
juga!”
“Yakini saja! Tuhan
melihat dan mengetahui apa yang ada dihatimu, jadi yakini saja!”, Adam terperangah.
Sungguh jawaban itu tak memuaskannya.
Adam pamit. Awalnya dia
berniat melakukan pengakuan dosa. Tapi, sekejap seperti ada yang berbisik bahwa
pengakuan dosa hanya pantas dilakukan pada Tuhan, bukan manusia yang tidak
punya kuasa menghapus dosa. Tuhan, aku
masih sangat memohon bimbinganMu! Aku hanya ingin mencari jalan untuk lebih
dekat denganMu.
***
Dia melirik lelaki itu. Sepertinya Adam sedang sibuk bekerja.
Mungkin dia lupa, ya sudah lah. Dia juga sedikit penasaran kenapa Adam
masuk kantor telat hari ini dengan muka yang kurang segar. Dia pun memutuskan
pergi terlebih dahulu, menunggu anak-anak ditaman.
To :
Annisa
[Kamu dimana? Lupa janji kita]. Send.
Adam agak telat keluar
dari ruangannya. Dan ketika keluar sudah tak satu pun orang di kantor. Semua
sudah pulang. Oia, ini kan bulan puasa.
Tapi Annisa dimana? Apa dia lupa janji denganku.
Dia berjalan pulang
melewati taman di Museum Street dekat Sungai kecil cantik. Dia merasa Annisa
pasti disana. Sms tak dibalas dan telpon pun tak diangkat. Pasti dia sedang menikmati waktu dengan anak-anak. Dan benar saja,
yang dimaksud malah
sedang duduk santai bersama anak-anak kecil. Bukan Katharine, Ann and Carolyn,
tapi ini anak-anak kecil dari Indonesia. Dasar
Annisa! Teman kecilmu banyak sekali, pantas saja kamu banyak disayang orang.
Mereka duduk melingkar.
Sekitar 7 orang anak kecil disana ditambah Annisa sedang para orang tua
menunggu dibangku taman. Adam berjalan mendekat namun Annisa tak tahu
kehadirannya. Dia berdiri disamping pohon dan menunggu diskusi kecil itu selesai.
“Tuhan kita siapa,
haiyo? Siapa kenal?”
“Allah!”, ucap mereka
serentak.
“Pintar! Tuhan kita cuma
satu, yaitu Allah! Siapa cinta Allah?”, semuanya mengangkat tangan.
“Mba Nisa, kata Vinnie
temen sekelas Ola, dia punya tuhan tiga! Kenapa kita Cuma punya satu mba?”
“Iyya mba, kan tambah
banyak tambah seru. Coba Tuhannya 10”, ucap Shinta polos. Annisa tersenyum.
“Kita punya Tuhan hanya
satu karena Tuhan kita special. Hanya Allah saja. Itu berarti cinta kita hanya
untuk Allah gak dibagi-bagi…”,
semuanya mengangguk. Tapi Annisa merasa perlu meyakinkan bocah-bocah kecil itu.
“Tuhan kita hanya Allah,
itu berarti Allah lah yang punya kekuasaan menciptakan sesuatu. Nah, coba
adik-adik bayangin, kalau Tuhannya tiga atau lebih nanti bisa berbeda.
Contohnya, yang satu maunya kulit shinta putih, eh, yang satu malah maunya
kulit shinta hitam, gimana donks? Kan enggak mungkin sebelah hitam sebelah putih kan?”, semuanya cekikikan memandang
Shinta.
“Nah, karena Tuhan kita
hanya Allah saja, maka hanya Dia yang memutuskan, benar gak?”, semuanya
mengangguk.
Adam menyimak itu.
Sedikit terhenyak.
“Terus di Surat
Al-Ikhlas kan dibilang kalau Allah itu Maha Esa artinya apa?”
“Satu-satunya…”, ucap
anak-anak itu.
“Pinter! Terus angka
satu itu special lho! Mau tau apa specialnya?”
“Mau!”
“Dengan angka satu, kita bisa menciptakan angka lainnya.
Contohnya, satu ditambah satu jadi…”
“Dua!”
“Tambah satu lagi jadi
tii..”
“Tiga..”
“Nah, gitu seterusnya…
sedang kalau angka dua atau tiga itu hanya bisa menciptakan angka-angka
tertentu! Itu lah Allah! Dia special, punya kekuasaan yang tak terbatas dan
kita hanya cinta siapa?”
“Cinta Allah!”. Annisa
tersenyum. Adam juga tersenyum penuh arti. Penjelasan
yang bagus! Konsep Esa buat Tuhanmu!
“Berarti Ola special
donk Mba! Ola kan anak-anak satu-satunya, kalau Shinta punya kakak, Didi punya
adik. Mereka tidak special karena mereka lebih dari satu, iya kan Mba?”, Nah
lho!
“Aku juga mau jadi anak
satu-satunya kalau gitu Mba!”, rengek Shinta diikuti yang lainnya. Annisa mulai
kelabakan. Dia bingung mencari jawaban. Adam terkekeh. Lucu juga melihat kamu kelabakan seperti itu kekasih!
“Siapa bilang kalau
punya saudara tidak special?”, ucap Adam tiba-tiba mengalihkan semua pandangan
itu, termasuk Annisa. Kamu selalu muncul
tiba-tiba! Siapa siyh kamu sebenarnya?
Huh! Selalu saja tega mengacaukan perasaan dan konsentrasiku...
Adam berjalan mendekat.
Duduk tepat disamping Shinta.
“Kalau kita punya
saudara, kita bisa berbagi, juga bisa main sama-sama. Iya kan? Jadi gak
kesepian”, Anak-anak itu mengangguk.
“Mba Nisa kenal Om
itu?”, Tanya Didi. Annisa mengangguk.
“Yaa…kenal donk! Om pasti
pacarnya Mba Nisa kan?”, ucap Ola diikuti cekikikan dari yang lain. Adam dan
Annisa saling menatap dan tersenyum. Ya
Allah, anak-anak jaman sekarang!
***
Mereka berjalan melewati
jembatan kecil itu. Belum ada satu kata pun yang keluar dari mulut masing-masing.
Annisa melirik wajah disamping, wajah itu tampak biasa saja. Jadi mau diam aja niyh? Sampai kapan? Bentar
lagi udah mau nyampai rumah. Adam
ngomong sesuatu donk! Panggil namaku aja juga boleh...
Dan benar saja Adam
hanya diam. Tak satu kata pun keluar hingga Annisa sampai di depan
apartemennya. Annisa pamit dan berjalan masuk. Annisa merasa kurang enak hati, dia menoleh kebelakang dan benar saja,
lelaki itu masih berdiri disana menatapnya. Annisa berhenti sejenak dan kembali
berjalan menuju Adam. Sepertinya ada yang
dia sembunyikan.
“Kenapa kembali? Udah
hampir buka ini kan?”, Tanya Adam sambil melihat jam tangannya. Sudah hampir
setengah 8 malam.
“Kamu kenapa siyh?”
“Kenapa apanya?”
“Tidak semangat. Seperti
kehilangan setengah jiwa! What’s wrong Adam?”, tanyanya dengan suara lembut.
Wajah didepannya langsung tersenyum penuh arti.
“Sayang, aku tak
apa-apa! Kamu terlalu mengkhawatirkanku saja. Tapi terima kasih!”. Annisa
melotot.
“Jangan panggil aku
sayang! Ya sudah kalau tak apa-apa”, ucapnya sambil membalikkan badan dan
berjalan menuju apartemennya. Adam terkekeh namun kemudian berakhir dengan
senyum pahit.
Kamu tahu tidak kekasih! Hatiku sedang kacau. Aku
sedang mencari tahu sesuatu, tapi malah jawaban yang kuharapkan tak kutemui.
Malah darimu aku tahu sesuatu yang lain. Tentang
TuhanMu yang Esa itu. Tentang Al-Quranmu yang selalu kau
banggakan dan selalu menjadi referensi.
Tuhan, aku masih akan tetap percaya Engkau tidak akan
menyesatkanku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar