Perempuan
itu lebih memilih melepas gadis kecil nan cantik berkerudung merah muda itu,
dan memilih mengikuti lelaki yang secara agama dan hokum menjadi suaminya? Tapi
kenapa? Apa yang terjadi, ketika akhirnya dia begitu tega meninggalkan gadis
kecil yang mungkin pantas disebut balita itu.
Entahlah.
***
Perempuan
cantik itu terlihat sangat sibuk dengan handphonenya. Helena namanya. Dia
sengaja menghindar dari keluarganya yang sedang mengajak jalan-jalan sepupu
mereka yang datang dari Yunani. Saat yang tepat, pikirnya ketika dia sangat
tidak nyaman dengan suara teriakan anak-anaknya si sepupu. Yaa…dia salah satu
perempuan yang kurang suka dengan anak kecil. Bahkan ketika dia harus mengenal
Julian, anak Erick, kekasihnya. Seluruh tenaga dia kerahkan untuk mengubah
sikap jenuhnya dengan suara-suara riuh Julian.
Erick
menelponnya dari Jerman, betapa dia sangat bahagia setelah sehari sebelumnya
kekasihnya itu berangkat pulang kekampung halamannya untuk sesaat.
Ada
kebahagiaan yang luar biasa ketika menutup telpon. At least, kekasihnya selalu
menepati janji, walau terkadang sedikit terlambat. Dan itu sudah tidak menjadi
masalah, apalagi saat ini dering itu menyelamatkannya dari keramaian anak-anak
kecil. Dari awal dia tak ingin ikut, namun ibunya memaksa. Dan kini dia sedikit
kesal mengingat harus kembali ke tempat dimana ibu, sepupu dan anak-anaknya
berada. Mereka sedang menikmati matahari terbenam.
“No,
Helen! You’re growing up woman! Gimana Julian bisa sayang sama kamu, kalau kamu
tidak suka anak kecil seperti ini…”, ucapnya sendiri.
“But…
Oh, Gosh! Bisa gak Kamu jadikan mereka besar detik ini, I hate their noisy
voice!”, sambungnya.
Akhirnya
dia berhenti mengoceh dan melangkah menuju ibu dan keluarganya, ketika dia
merasa sesuatu seperti menahan langkahnya…
***
Helena
berdiri terkejut ketika sebelah kakinya seperti dipeluk sebuah tangan imut. Ada
suara isakan disana. Bukannya terkejut, perempuan cantik berdarah Yunani itu
mematung dan diam sejenak. Bukan karena dia marah, bukan karena dia tak tahu
harus melakukan apa, tapi isakan itu seperti memanggil nuraninya sebagai
seorang perempuan. Betapa terkejutnya dia akan perasaannya sendiri, seorang
Helena yang selama ini bahkan bersusah payah mendekat dengan Julian, anak dari
kekasihnya, kini malah terjebak dengan perasaan yang dia sendiri tak mengerti.
Hanya dengan sebuah isakan entah dari siapa, dia tak tahu. Dia tak juga
mengerti.
“Bunda…”,
ucap gadis kecil itu dengan suara khas anak usia 4 tahun. Dia masih terisak.
Tubuhnya bergetar.
Helena
menunduk dan melepas genggaman dikaki kanannya. Dia merasakan tangan mungil itu
dingin. Oh Gosh, she is frizzed! Tangan
itu seperti enggan melepas genggamannya, getaran sangat terasa. Helena tau,
kalau gadis ini seperti ketakutan. Dia sedikit memaksa melepas tangan kecil
itu. Tidak. Bukan karena marah, dia hanya ingin tahu. Siapa gadis kecil ini?
kenapa dia menangis? Kemana orang tuanya ketika malam menjelang di daerah
sejauh ini. Iya, dia sedang berada di Sky High, sebuah tempat pariwisata di
Victoria.
Ketika
akhirnya dia berhasil melepas genggaman itu, gadis itu masih menunduk, seperti
enggan melihat kearahnya. Helena bingung.
“Hi…!”,
ucapnya sambil menggenggam kedua pundak si gadis. Namun gadis itu tetap tak
bergerak, air matanya terus mengalir. Namun, satu hal yang membuat Helena
heran, gadis ini bahkan tidak bersuara. Dia seperti berusaha menahan tangis
yang memang sudah tak bisa ditahan. Hanya tubuh mungilnya yang bergetar hebat
dan suara sesenggukan karena menahan tangis.
“Bun..un..da..da!!”,
ucapnya sedikit kesusahan dalam sesenggukannya.
Pundaknya
semakin bergetar. Helena mulai kebingungan. Ketika akhirnya dia memeluk gadis
itu. Itu bukan dirinya, pikir Helena. Ini tidak mungkin, dia yang acuh kepada
anak-anak, kini malah terjebak dengan perasaan yang dia sendiri tak mengerti. Dia
yang sangat benci suara anak-anak, kini malah memeluk seorang anak tak
dikenalnya dan dalam keadaan menangis pula. Tuhan memang adil! Ada tarikan kuat
antara dia dan gadis berkerudung itu. Isakan itu kian mereda ketika Helena
terus-menerus mengusap punggung sigadis. Ketika akhirnya tangis itu reda,
Helena mulai melepas pelukannya dan menatap kearah mata itu. Iya, tepat kearah
mata itu.
Dia
pun tak mengerti, ada sesuatu dimata cantik itu. Dia merasa sangat tertarik
dalam perasaan sigadis itu. Gadis itu berkedip, berusaha mengenali perempuan
didepannya. Mungkin dia salah mengira
kalau aku ibunya, pikir Helen. Dan dia tersenyum. Perempuan itu kemudian
mengusap sisa air mata di sudut mata sigadis.
“Hallo!”,
tak ada tanggapan.
“What’s
your name love?”, dia mencoba tuk kedua kalinya, namun beberapa detik
berselang, tak ada respon. Hanya kedipan yang mungkin berarti tak mengerti. Oh Gosh, she’s got such a beautiful black
eyes!!
“Bun..da..dimana?”,
ucapnya dalam bahasa yang kini Helena tak mengerti. Dan pikirannya mulai
mendapati bahwa gadis kecil ini tak mengerti ucapannya, karena bahasa yang
mereka gunakan berbeda. Wajah didepannya kini mulai kembali berubah dan detik
selanjutnya isakan kecil mulai kembali terdengar. Namun kali ini gadis itu
menangis dalam tangannya, karena dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Sesuatu yang berbeda, pikir Helena. Gadis ini berusaha sangat tegar, tidak
pernah ditemuinya seorang gadis kecil menangis, namun berusaha menutupi.
Detik
selanjutnya, setelah lepas dari kekagumannya, Helen mulai cemas, dia tak tahu
harus berbuat apa.
“Sweet
heart, tell me where’s your mom!”, ucapnya dalam kegalauan sikapnya. Tak ada
respon. Tentu, dia tak mengerti ucapanku.
Also, if she does, dia tak mungkin menangis kalau dia tau ibunya kemana. Think,
Helen! Think! Ucap Helen dalam hatinya.
“Okei..okei..Helen,
do something! Oh, gosh!”
Dia
kemudian menyentuh pundak gadis itu…
“Love,
listen to me!”, kini kedua belah tangan itu mulai membuka.
“Hmm..oke,
I know you won’t understand what I tell you…hmm..”, ucapnya lembut seperti
berbicara sendiri. Gadis kecil itu berkedip.
“What’s
your name?”, tanyanya kemudian. Mata itu kembali berkedip. Dia kebingungan.
Dua-duanya kebingungan.
“Tan..te,
ngomong apa?”
“Pardon?”
“Aura..
hilang…bun..da, tante!!”, ucapnya lembut. Helen terdiam dalam bingungnya
menatap gadis itu. Dia jelas tak mengerti, tapi bukan karena itu. Dalam ucapan
lembutnya, ada ketegaran disana. Gadis itu dengan jelas berkata-kata, bahkan ketika
bening-bening air mata jatuh lagi di pipinya.
Aura, is that your name?
Jeda
melanda. Hanya tatapan masing-masing mereka.
“Aura..”,
panggil Helena selanjutnya. Gadis itu hanya menjawab dengan kedipan. Namun,
setetes airmata lain jatuh dipipi kanannya. Helen mengusap air mata itu.
“Listen,
I know we can’t understand each other!”, Helen kemudian menggenggam tangan
gadis itu dan mendudukkannya di bangku taman terdekat.
“I…
am…Helen!”, gadis itu menggeleng. Helen tau dia tak mengerti.
“Aura..!”,
kata Helen sambil menunjuk kearah sigadis.
“Helen!”,
ucapnya kemudian sambil menunjuk kearahnya sendiri.
“Tan..te,
Helien..”
“Helen,
love..”
“Helen…??”
“Yap,
good girl! Now… I will walk with you and try to catch your mom… maybe she’s
somewhere and is looking for you too… Maybe you’re lost…err..”, Helen tak
melanjutkan kata-katanya ketika gadis di depannya terlihat tersenyum hingga
menyembulkan lesung pipi dikedua belah pipinya. Beautiful girl!
“Aura…gak
nge..ti, tante! Tante Helen..ngomongnya an..neh!”, ucapnya dan kini Helen
benar-benar seperti orang asing. Namun anehnya, dia tersenyum.
“Love…let’s
find your mom!”, dia kemudian menurunkan Aura dan mulai mengitari jalan setapak
mencari tanda-tanda seseorang kehilangan.
***
Setelah
sedikit lama memutar-mutar arena Sky High yang memang sangat luas, Helen
sedikit menyerah. Aura hanya ikut dan diam.
“No,
it won’t work! I don’t even have the clue who her mom is! Damn…”, ucapnya pada
diri sendiri ketika dia akhirnya menunduk dan melihat gadis kecil itu. Yes, she puts hijab. Dalam hatinya bersorak,
ketika dia akhirnya tahu siapa yang harus dicari. Setidaknya
perempuan-perempuan berpostur dan berperawakan sepertinya bukan sasaran. Dan
satu hal yang penting, dia yakin 100%, pasti perempuan itu berhijab.
Helen
kemudian kembali berjalan, ketika dia merasakan gadis itu tak lagi mengikutinya
berjalan.
“Aura,
what’s happening? Are you tired?”, ucapnya sambil berjongkok menatap Aura.
“I..i..tu,
bunda!”, ucapnya sambil menunjuk kearah bawah. Helen mengikuti telunjuk itu dan
seketika melihat seorang perempuan berjilbab sedang melihat kearah mereka,
namun buru-buru melangkah pergi. Detik selanjutnya Aura sudah berlari menuruni
jalanan setapak menuju area parkir. Kaki mungilnya sedikit kesulitan berlari,
Helen hanya terhenyak. Dia masih shock melihat kearah perempuan yang sedang
berlari itu, hingga ketika Aura terjatuh, dia tersadar…
“Bun..da,
tunggu Aura…”, ucap gadis kecil itu dengan kesusahan dan bangkit sedikit
kesulitan.
“Aura!”,
panggil Helen dan menuju gadis itu.
Aura
bangkit dan kembali berlari, Helen mengikutinya. Namun, perempuan yang mereka
kejar kini telah menghilang dengan sebuah mobil Audy. Mobil itu sepertinya
dikemudikan dengan tergesa-gesa, Helen berusaha mengingat nomor flat, namun
keadaan yang sudah mulai gelap membuatnya kesulitan.
“Ah… what
the bloody… ibu macam apa..”, rutuknya.
Dia
kembali menuju Aura yang memang sedikit tertinggal dibelakangnya.
Aura
diam ditempat. Dia bahkan tak melangkah lagi. Helen terdiam, dia tahu betapa
gadis itu sangat terluka, ketika dia ditinggalkan seperti ini. Helen kembali
berjalan kearahnya…
“Aura…”,
panggilnya lembut. Diam. Gadis kecil itu terus menatap kearah depan. Tak ada
respon sama sekali... Helen terus melihat kearah wajah itu, wajahnya menyiratka
sesuatu. Tapi dia tak menangis. Itu yang membuat Helen seperti menemukan
sesuatu yang berarti pada gadis ini.
“Bun..da,
kenapa ninggalin Aura?”, ucapnya kemudian. Helen tak mengerti. Satu hal yang
dia mengerti, perempuan yang berstatus sebagai ibu sigadis ini, sangat
keterlaluan.
“Aura
salah apa? Bunda... Aura minta maaf, balik ya bunda...”, ucapnya seperti
memohon. Lagi-lagi Helen tak mengerti. Dia hanya diam mendengarkan.
“Bunda...Aura
nunggu!”, ucapnya lagi dan kini Helen terkenyak, ketika akhirnya sebutir air
mata jatuh dipipi kanannya. Ada perasaan haru menyerangnya. See, hanya sebutir air mata, namun hatinya
sangat sedih. God, gadis ini kau cipta dari apa?
“Ya
Allah, Aura mohon...bawa bunda kembali, amiin!”, ucapnya sambil menutup kedua
mukanya. Dan kembali menatap ke depan. Helen hanya diam. Dia bahkan tak tahu
apa yang harus dilakukannya. Aura tidak seperti gadis kecil lainnya yang akan
berteriak histeris hanya ketika tak dibelikan mainan, apalagi ketika orang tua
meninggalkannya seperti ini. Aura sangat berbeda. Helen seperti mencoba
memasuki relung hati gadis kecil itu.
Dering
telpon mengejutkannya.
Where are you?
Di dekat parkir, sudah selesai, Mom?
Sudah, kami segera kesana
Telpon
ditutup. Kini mata Helen kembali menatap gadis yang masih menatap ke depan itu.
***
“Where
have you been? Kenapa menghilang? Sebegitunya kamu tak suka anak-anak, heh?”
“I am
here, mom! Come on!”
“Erick
called you that long, huh?”, tanya ibunya dengan nada sedikit menyelidik.
“Mom,
come on! I am not a little girl...”, ibunya tersenyum.
“Let’s
come back. It’s dark now, mereka pun mulai kelelahan”, ucap ibunya sambil
melangkah meninggalkan Helen yang kini sudah kembali menatap Aura.
Merry,
wanita berusia hampir 70 tahun itu menyadari anaknya tak mengikuti langkahnya.
Dia berpaling.
“Helen,
come on!”
“Mom..!”
“What’s
wrong?”
Dia
kembali berjalan kearah Helen, dan melihat anaknya itu sedang melihat kesatu
arah. Merry mengikuti pandangan mata Helen. Betapa terkejutnya perempuan paruh
baya itu, ketika melihat objek yang jadi pandangan Helen. Seorang gadis kecil.
Merry menatap penuh tanya kearah Helen, dan dia bertambah terkejut ketika
melihat tatapan iba anaknya. Helen seperti memohon sesuatu. Apa yang terjadi
pada Helen?
***
“I am
not dreaming, am I?”
“Mom,
Please! I am serious now...”
“Helen,
kamu sakit? Ini bukan kamu...”
Merry
merasa sangat terkejut mendengar kisah sigadis kecil. Namun, yang lebih
membuatnya terkejut ketika Helen mengutarakan niatnya.
“Mom,
Ini sampai kita temui keluarganya saja. We can’t leave her alone here at night!
Please!”
“Helen,
kita harus pikir panjang? Mom tak mau berurusan dengan kepolisian, gimana kalau
keluarganya mencarinya dan mengira...”
“Mom,
her mommy is leaving her. I witnessed it”, potong Helen.
“Hmm,
oke..gimana kalau dia memang tak diinginkan oleh keluarganya? Apa kamu akan
menampungnya selamanya? Oh, come on!”, Helen mengangguk. Merry terkejut. Ada
yang salah dengan anaknya ini.
“Mom,
Helen memohon...please!”
“Bagaimana
dengan Erick? Does he know such thing?”
“Kita
pikirkan itu kelak...”
“Oke,
but...”
“But...”
“Kamu
bertanggung jawab atas semuanya, I bet you’ll give up soon. Come on, she’s a
little girl and needs a lot of care! Do you think, you can...”
“Mom,
just see...!”
Ucap
Helen dan kemudian meninggalkan ibunya yang hanya bisa terpana denga perubahan
tiba-tiba anaknya itu.
***
Helen berjongkok
dan menyentuh pundak Aura. Gadis itu melihat kearahnya, masih dengan wajah
penuh harapannya. Badannya bergetar karena mulai kedinginan.
“Love,
it’s dark now. We can’t stay here til longer. It’s freezing, you haven’t been
put warm enough jumper. Come with me, yes?”, gadis itu hanya berkedip tak
mengerti. Helen tersenyum.
“Go
with me to my home...”, ucapnya sambil sedikit berbahasa tubuh. Tak disangka
olehnya, gadis itu langsung berpaling.
“Aura...”
“Aura
ma..u nung..gu bunda, tante Helen... bunda pasti da..tang jem.put Aura..”,
ucapnya sambil tak membuang muka sama sekali dari pandangannya. Namun, kini dia
mulai meremas tangannya, tanda kedinginan. Helen menebak, bahwa dia tak mau
ikut dengannya.
“Aura...listen
to me!”, ucapnya sambil menggenggam tangan gadis itu. Kini Helen sudah berada
didepan Aura.
“Your
mom won’t come back. She’s leaving you here. She does not love...”
“Enggak...
Bunda sayang kok sa.ma Aura...”, potong Aura seolah mengerti apa yang akan
diucapkan Helen. Dan memang dia benar. Helen terpana.
“Bunda
se.lalu..bilang kalau bunda sayang sama Aura...”, sambungnya dan kini matanya
mulai berkaca-kaca lagi.
Helen
seperti kehilangan kata-kata. Ibunya dari jauh mulai bertanya dengan bahasa
tubuh, what’s wrong? Helen tak
merespon. Dia kembali menatap Aura. Namun, kini pandangannya tertuju di kantong
sweaternya Aura. Seperti ada sesuatu disana. Secarik kertas.
“Aura,
may I?”, tanyanya dan gadis itu tak merespon apa-apa.
Helen
mengambil secarik kertas itu. Terasa berat. Dia membukanya dan sebuah gelang
emas, jatuh ke tanah. Helen mengambilnya, dan melihat tulisan nama dibatangan
gelang itu, for my sweetest girl, Khanzaa
Haazimah Hauraa. Gelang itu terlihat sedikit besar untuk ukuran tangan
Aura, apa ini miliknya? Tanya Helen
pada dirinya sendiri? Lalu ini nama siapa? Khanzaa
Haazimah Hauraa. For my sweetest girl, tentu ini milik Aura. Iyaa, Aura
dari Hauraa. Helen berusaha menganalisis sampai akhirnya dia membaca tulisan di
secarik kertas itu, yang memang dia mengerti karena bertuliskan dalam bahasa
Inggris...
Please take care of my little girl. I love her so much,
but because of my condition, I must leave her. I don’t want her to be in
danger. I love her so much.
Helen
mengutuk perempuan itu. Bagaimana dia
mengatakan mencintai anaknya kalau dia tega meninggalkannya seperti ini, tak
bisa dimaafkan, pikirnya. Lalu dia beralih ke baris bawah. Ada beberapa
kata yang dia tak mengerti.
For Aura...
Sayang, kalau suatu saat kamu sudah dewasa dan membaca
surat ini. Bunda minta maaf, ada hal yang bunda tak bisa jelaskan. Tapi bunda
harus melakukan ini untuk kebahagiaan Aura. Ini berdosa, bunda tau. Kamu akan
sangat membenci bunda, bunda juga tahu itu. Tapi, bunda akan tetap sayang Aura.
You’re my little girl, the pleasure in my eyes, the color of my life, you’re
such a blessing Allah gives to me! Bunda akan menyesali seumur hidup semua ini.
I love you Aura, bunda selalu akan berdoa untuk Aura dunia dan akhirat. Ingat,
Allah is with you forever, mudah-mudahan Aura selalu dalam lindungannya dan
keyakinan akanNya ketika Aura kelak membaca surat ini. Itu, kalau Aura
membacanya.
Love,
Bunda.
Helen
sedikit tersentuh. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuatnya sedikit
memafkan perempuan itu. Namun, lagi-lagi rasa prihatin dia lenyap ketika
melihat Aura menggigil kedinginan, dan detik selanjutnya terduduk lemas.
“Aura...!!”,
Helen mengangkat tubuh mungil itu. Aura lunglai dalam pelukan Helen, matanya
terbuka, namun seperti mati. Tak ada respon apa pun. Helen mulai cemas.
“Aura,
bangun, sayang!! Mom!”, panggil Helen.
Kini
tubuh itu bergetar hebat, Aura menggigil.
“Bu...bun..daa..”,
ucap Aura diakhir sadarnya. Dia menutup mata dengan butiran bening di pipinya. Dan
kali ini, air mata pun menghiasi pipi Helen. Perempuan yang mungkin bisa
dihitung berapa kali menumpahkan air matanya ini, kini menangis. God, betapa terlukanya gadis ini! Namun, dia
bertahan dalam sedihnya, bahkan ketika dia pingsan pun, dia berusaha tak
menangis, hingga air mata sedih itu memaksa keluar. Aura, I promise. Kamu akan
bahagia. Batin Helen.
***
12
tahun berlalu.
“Khanza..
have you got your breakfast?”, tanya Merry sedikit berteriak.
“Nope,
Yaya! One second! I’ll be there soon...”
Suara
dering telpon membuat Khanza melompat dari sofa dan meraih gagang telpon.
“Mom!”
Hai sweetheart, how are you?
Good. Miss you so much. You’ll come here soon?
Soon, baby! Give to Yaya, I’ll call ya later. You gotta
go to school now, don’t ya?
Khanza
melahap toast dan peanut butter buatan Yayanya (Yunani-baca:nenek) sedikit
tergesa-gesa. Dia sedikit tersedak ketika hendak minum susu.
“Khanza...
sudah Yaya bilang, jangan terburu-buru...”, ucap neneknya dalam pembicaraannya
dengan Helen.
“I am
in hurry, Bye...! Say my love to Mom, I love you so much, Mommy!”
Khanza
melangkah terburu-buru mengejar train. East burton train station membutuhkan
waktu 10 jalan berjalan kaki. Dan kalau sudah kehilangan satu train, berarti
dia kemungkinan besar akan kehilangan tram juga.
Sementara
Merry terlihat serius berbicara dengan Helen.
“Mom,
I promised my self to tell the truth when Khanza get 17 years old... But I am
afraid I couldn’t be there!”
“What
are you talking about? You’ll be here when she celebrate ...”
“Mom...we
never know what will happen. Probably, I have work to do here in Berlin. And
you know, Erick masih sedikit sulit membiarkanku bertemu Khanza...”
“Let
me talk to him!”
“Mom,
come on! Sekarang Khanza tidak hanya milikku, Mom bisa lihat betapa dia dengan
mudahnya membuat Mom sangat sayang padanya. Bahkan ketika dua minggu
kehadirannya, Mom masih terasa menolaknya, setelah itu malah aku tak dibiarkan
dekat-dekat dengan Khanza...”
“Helen,
I didn’t mean that... I am so sorry!”
“Oh,
come on! That’s just kidding! I am grateful you love her that much!”
“Helen..”
“Mom,
you know everything about her, the letter, and the bracelet. Tell her
everything in case I am not there! Ok?”
“But...”
“Mom,
please!”
“Oke...”
“One
more thing, let her choose her own faith!”
“Helen,
dia terlihat sangat nyaman dengan keyakinan kita. Bahkan, dia selalu
bersemangat ke gereja, malah ketika Mom tidak berniat pergi...”
“But,
we promised we won’t make her! Let her decide! Mom, kalau Helen boleh meminta,
buka jalan bagi Khanza untuk mengenal islam...”
“Helen...”
“Yes,
that’s my hope. Jadi Khanza bisa melihat kearah masing-masing keyakinan, tidak
hanya satu agama, yang kita membiasakan dia akan itu...”
“Oke,
but not to do that! You will!”
“Mom...”
“Helen,
I said yes already for your first order, now...”
“Oke,
Thank so much for being with me and Khanza these couple years Mom..”
“Because
I love you both!”
“I
love you, too”
***
Khanzaa
Haazimah Hauraa...
Gadis yang detik ini sedang mengejar langkahnya sendiri menuju station kereta api.
Yaap,
she is Aura kecil nan teguh hatinya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar