Senin, 11 Juni 2012

Plot and Me 15 - Mr. Vanilla Mari and Me




“Bunda, kenapa harus orang luar?”, tanya kak Rahmi ketika kami rapat keluarga malam itu, sehari setelah aku bertemu Zack di Mesjid Raya Baiturrahman.
Setelah aku mengatakan semuanya kepada orangtuaku dan Zack juga datang mengutarakan niatnya tepat dimalam itu, ayah dan mamak langsung menelpon seluruh keluarga dan berdiskusi. Aku berpikir, apa mesti harus melibatkan semuanya? Ah, Nadia…kamu tau apa? Ini lah keluarga.
“Iyyaa kak, apalagi keturunan Chinese? Agamanya apa?”, sambung salah satu bundaku.
“Hmm…kalau pun dia mau merubah agamanya, jangan karena Nadia”, ucap adik ayahku.
Berbagai komentar baik juga meragukan keluar silih berganti.
“Namanya Dzaki Ar-Rafa, keturunan Chinese dan Perancis. Saya dan Azizah sudah kenal dekat dengannya. Dia pemuda santun dan berilmu. InsyaAllah bertanggung jawab, dan Nadia juga kelihatan nyaman. Satu hal yang paling penting adalah ketika dia sejak lahir adalah seorang muslim dan sejauh ini agamanya baik”, jelas ayahku.
Percakapan berjalan panjang lebar. Aku menghindar dan masuk kekamarku. I need to share to Allah. Di sujud istikharahku, aku masih senantiasa memohon petunjuk dariNya, walaupun sejauh ini, I am into him. Tetapi, semuanya bisa saja terjadi.
Kak Dira masuk.
“Kenapa Nadia?”
“Heh? Kenapa apa kak?”
“Kenapa terkesan menghindar? Kamu benar-benar berharap pada lelaki itu ya?”, aku hanya tersenyum.
“Lelaki itu namanya Dzaki Ar-Rafa, kak..”, jawabku singkat.
“Iya..Zaki. Hmm..Nadia, apa sebaiknya…”
“Kak Dira, kenapa memangnya kalau dia Chinese? Zaky juga seorang manusia, makhluk ciptaan Allah juga kan? Satu hal yang ayah juga sudah sebutkan, dia juga seorang muslim, dan perlu Nadia tegaskan… dia lebih dulu mendengarkan azan dari pada Nadia, karena dia dilahirkan dalam keluarga Muslim. Persoalan ras, Nadia tak pernah mempermasalahkan, belum tentu yang sama ras dan suku dengan kita, punya akhlak yang lebih baik kan…”, jelasku panjang lebar, Kak Dira diam sejenak dan kemudian tersenyum.
“Nadia, kamu memang sudah pantas menikah. Kamu sudah sangat dewasa. InsyaAllah kakak dukung!”, ucapnya sambil mengusap pipiku. Aku mengenggam tangannya seolah mengucap terima kasih.
Alhamdulillah ya Allah. Mudah-mudah ini juga tanda dariMu.
He's Chinese and I'm Acehnese... Then what?? We’re human and the most important point, we love the same One, Allah...


***

Keluarga Zack benar-benar datang dari Perancis. Malam itu, dua hari setelah Zack dengan, ehem…bagiku sangat romantic, melamarku di Mesjid Raya, kedua orangtuanya datang bersama Zack untuk berkunjung kerumah. Aku terpana. Ayahnya memang seorang Chinese, namun bisa berbahasa Indonesia sangat lancar. Ibunya, SubhanAllah. Cantik dan mempesona dengan balutan abaya batik dan hijab yang baik. Kalau Zack? Ah… apa mesti aku selalu mendescribsikannya? Kurasa kalian sudah bisa menebak apa kata-kataku. Ya… he keeps monopolizing the scene as the leading actor.
Ayah dan mamak menyambut ketiganya. Naisya duduk bersama dengan mereka. Orang tuanya sampai salah mengira kalau dia adalah aku. Awas saja dia kalau berani mengaku sebagai aku, hehe.
Ketika aku masuk membawa minuman, Zack dengan refleks bangun dari duduknya dan membuat yang lainnya terpana. Ah…aku kan jadi grogi.
“Ini Nadia Humaira?”, tanya ayah Zack. Dan ayah dan mamak mengiyakan. Kuletakkan nampan berisi air dan menyalami keduanya. Ibunya memelukku takjub, sambil membisikkan sesuatu hingga membuatku malu.
“Nadia, you’re so lovely!”, aku hanya tersenyum.
Zack masih berdiri dalam diamnya mengikuti segala gerakanku. Apa-apaan siyh dia? Bikin aku grogi saja. Ketika selesai dengan ibunya, aku kembali sibuk dengan gelas-gelas, sampai…
“You don’t say anything to me?”, suara itu membuat yang lainnya tersenyum. Aku mendelik. Zack apa-apaan siyh?
“Hai…”, ucapku kaku. Dan ini malah membuat yang lainnya kembali tersenyum.
Awas kamu Dzaki Ar-Rafa. Mempermalukanku.

***

Setelah bersilaturrahmi dua malam yang lalu, maka diputuskan acara lamaran ada malam ini, karena ayah Zack dan ibunya harus segera kembali ke Perancis karena pekerjaan sehari setelahnya. Pernikahan dan resepsi akan dibicarakan malam iini, dan kemungkinan besar tidak dalam waktu dekat, menunggu ayah dan ibu Zack bisa hadir. Malam ini yang  berkunjung kerumah adalah ayah, ibu dan beberapa orang saudara mereka juga beberapa orang yang berperawakan sama seperti ayahku, artinya orang Aceh, dan… Aku dilamar! Hihi… Alhamdulillah.
Seluruh saudaraku dan terutama sepupu-sepupuku begitu penasaran akan bentuk seorang Dzaki Ar-Rafa. Mereka mengira lelaki itu bermata sipit. Aku hanya tersenyum.
“Yang mana orangnya, Nad?”, tanya Kak Dira, ketika kami sedang berada di ruang tengah memberesi meja makan, sementara para tamu sudah mulai masuk. Kak Dira dan beberapa lainnya sudah celingak celinguk, aku hanya tersenyum tipis.
“Hah? Orang apa?”, tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Ah…Nadia payah. Kiki sama Naisya mana yaa?”, tanya Kak Dira dan aku yakin dia akan menginterograsi keduanya. Dan kedua gadis itu sedang sibuk didapur. Mereka memang ratu makanan. Haduu…
Bisik-bisik yang lain pun tak kalah ketinggalan, mulai menebak-nebak. Semuanya menunjukkan beberapa pemuda kadang lelaki yang sudah om-om sebagai Zack, dan tentu semuanya bermata sipit. Mungkin karena Ayahnya Zack memang bermata sangat sipit. Aku cekikikan. Tak ada yang tepat sasaran. For sure! Zack tidak ada diantara lelaki-lelaki itu. Toh, dari awal dia memang sebenarnya tidak bisa hadir karena ada pekerjaan di Ambon. Awalnya dia ingin sekali datang dan menunda pekerjaannya, namun kata orangtuaku persoalan lamaran, calon suami tidak harus datang.
Kiki mendekati Kak Dira, dan membisikinya…
“Kak, sini aku kasi tau yang mana Zack…”, Kak Dira mendekat. Aku dan Naisya cekikikan.
“Yang mana-yang mana?”, tanyanya semangat.
“Yang tidak ada disini, hehe…”, ucap Kiki sambil tersenyum jail.
“Maksudnya?”, tanya Kak Dira dengan suara sedikit membesar.
“Hehe… Zack lagi ada kerjaan diluar kak, jadi gak bisa hadir malam ini. Sabar yaa…”, sambungku dan diikuti cubitan ke lengannya Kiki.

***

Zack, besok ada acara kecil-kecilan dirumah. Datang ya!
Acara apa?
Maulid Nabi Muhammad SAW. Kamu bisa datang kan?
Do I need to come?
Zack… jangan mencari masalah denganku :-p
Haha.. I am so scared of you, Nadine! Of course I’ll come. For you, my…
My… what?
Isi sendiri, but is it ok if I come? May I?
For sure, Dzaki Ar-Rafa (anyway, I always love your name). I’ll be waiting.
Love my name? means è love me?
Dan dia benar-benar mempermalukanku. Tak kugubris lagi sms itu. Zack, apa harus aku ungkapan kan? Namun, beberapa detik kemudian sebuah sms lagi masuk. Zack.
Mukamu pasti sedang memerahkan. I always love to see your face that way, haha.
Dasaaar Zack! Tidak cukup dia mempermalukanku.
I don’t wanna respond anything like that. Just come, I’ll be waiting.

***
Menjelang jam 12 tamu sudah mulai berdatangan. Acara kali ini memang sedikit mewah karena sekalian memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan syukuran kelulusanku. Semua sepupu dan kerabat dekat memang telah datang sejak awal. Ini lah membuat aku rindu kampung halamanku, ikatan persaudaraan dan kekerabatan masih sangat terasa. Teman-temanku belum juga hadir, mungkin menjelang zuhur, pikirku. Zack juga belum hadir.

Mau datang jam berapa Dzaki Ar-Rafa?

Tak ada balasan. 15 menit kemudian juga taka da balasan. Zack, kamu pasti datang kan. Iya. Kamu pasti datang.
Satu jam berlalu. Aku kembali mengecek handphoneku dan memang belum ada balasan dari Zack. Tamu-tamu sudah mulai ramai, sekelompok teman dekatku sekolah sudah datang. Setiap sebuah mobil datang, aku selalu mendongak dan berharap itu Zack. Teman Naisya dan Evan sudah dari tadi datang dan masih menikmati hidangan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil lain masuk. Bukan Harrier. Zack kamu dimana siyh? Enggak, dia pasti datang. Zack selalu menepati janjinya. Mungkin dia shalat zuhur dulu. Rika dan beberapa teman sekelasku dikampus pun juga telah tiba. Aku mempersilahkan mereka menikmati hidangan. Tiba-tiba Naisya datang…
“Kak, mamak nanya Zack datang gak? Kamu ada undang dia kan?”
“Ada, dia pasti datang”
“Iyaa…mukamu keliatan cemas gitu. Coba hubungi lagi”
Aku pun menelponnya lagi, tapi tak diangkat. Zack, kamu kemana siyh? Aku pun bergegas masuk untuk shalat Zuhur, perasaanku cemas. Aku harus shalat.

***
“Nda Ya…mau buah!”, ucap Aisha setelah aku selesai shalat. Perasaanku kembali tenang. Dan aku masih yakin Zack pasti datang. Aku pun mengambilkannya sepotong semangka.
“Makannya jangan buru-buru yaa… ini tissue, jangan ngelap dibaju, iya sayang?”, Aisha mengangguk.
Tiba-tiba aku merasakan suasana agak sunyi. Suara-suara tamu agak meredam, tinggal bisik-bisik…
“Siapa itu?”
Aku pun berpaling dan Zack sudah disana. Dia baru saja sampai dan berdiri di gerbang sambil menenteng sekantong plastik hitam. Wajahnya menggemaskan, aku tersenyum, namun wajah itu masih melihat sekeliling. Dia mungkin belum terbiasa dengan acara begini. Kulihat sekeliling, semuanya seperti terhipnotis.
Aku akan melangkah menujunya, ketika Ayah menyambutnya…
“Zaki, masuk! Kenapa berdiri disana?”, ucap ayah dan Zack mulai melangkah masuk.
“Om… itu kan Om… anteng…”, ucap Aisha dan buru-buru berlari kearah Zack dan meninggalkanku dengan semangka bekas gigitannya.
“Om Jek…”, panggil gadis kecil itu dan langsung menggenggam tangan lelaki itu. Zack membungkuk dan menggendong Aisha. Aku pun melangkah kesana.
“Kenapa gak balas sms?”, ucapku mengejutkannya yang sedang menggoda Aisha.
Detik selanjutnya dia hanya diam melihat kearahku. Haduu…jangan-jangan Zack marah aku menanyakan itu padanya di depan semua orang. Uuuh…kekanak-kanakan sekali siyh Nadia.
“Nadia, ajak Zack makan dulu. Masa langsung di interogasi”, ucap Ayah sambil tersenyum. Zack kemudian juga tersenyum.
Aku mengantarnya ke bagian lelaki dan mengambil alih Aisha sementara dia mengambil makanannya.
“Makan yang banyak yaa? Gratis kok, hehe!”, ucapku sambil tersenyum dan langsung pergi meninggalkannya.
Aku baru tersadar, banyak yang masih berbisik-bisik, termasuk para sepupuku dan keluarga besarku yang secara mendadak keluar dari dalam rumah dan mengintip kearah Zack…
“Itu calonnya Nadia? Gak seperti Chinese kok? Ganteng malah…”
“Iyyaa… kalau yang gituan mah, kenapa harus di pertimbangkan lagi?”, aku tersenyum sendiri.
Aku juga melihat Naisya diinterogasi oleh Kak Dira ketika aku sedang menuju mereka, membawa Aisha…
“Sebenarnya Chinese bukan siyh? Aisha kok bisa kenal?”
“Keturunan Kak, jadi gimana? Ganteng kan? Islam juga kan?”
“Tapi kan…”
“Ah, kak! Dia juga keturunan Aceh. Ayahnya lahir di Aceh. Aisha aja suka…”
“Iyyya siyh, perkiraan kakak gak seperti ini rupanya…”, aku tersenyum.
“Jadi gimana? Kulitnya super putih dan matanya super sipit, gitu ya kak?”, ucapku tiba-tiba sambil mendudukkan Aisha dipangkuannya. Persis seperti perkiraanku terhadap semua Chinese dulu, tapi kehadiran Zack merubah semuanya. Kak Dira hanya tersenyum.
“Namanya beneran Zaki ya?”
“Enggak Ma! Nama Om ganteng… Jek!”
“Hah?”, kami tertawa.
“Kak, kasihan Zack yaa? Dia dipandangin terus dari tadi tuch… nyaman gak dia makannya tuch!”
“Nyaman! Zack kan cuek”, ucapku sambil melirik lelaki itu yang sedang menikmati makanannya. Dia terlihat santai dan sesekali mengumbar senyum ketika merasa orang sedang memandangnya.
“Dia tahu kalau dirinya itu adorable kali yaa? Akhirnya mimpimu jadi kenyataan kak, hehe”, ucap Naisya.
“Iyyya Nad, dimana kamu dapat kaya’ gituan? Ganteng amat”, Tanya Kak Dira. Aku hanya tersenyum.
“Lagian apa dia gak salah liat, kok bisa kamu ?”, sambungnya lagi. Aku kembali tersenyum. Aku juga gak ngerti Kak. Aku kan juga merasa kalau aku hanya “pungguk merindukan bulan”, tapi buktinya Allah menjadikan aku pungguk yang dicintai bulan.
“Tapi yang naksir duluan kan bukan aku, hehe…”, ucapku sedikit sombong. Yang lain geleng-geleng.
Kulihat ayah sudah duduk menemani Zack.
“Zaki sudah datang ya?”, tiba-tiba mamak sudah keluar dari rumah dan aku menunjukkan kearah lelaki itu dan ayah.
“Ini Mak!”, ucapku sambil menyerahkan sekantong plastic berisi beberapa kilo gula, teh dan biscuit (Kurasa Zaki berusaha keras mencari tahu tentang adat Maulid di Aceh).
“Ini apa?”
“Zaki yang bawa tadi..”, ucapku tersenyum dan yang lain juga ikut tersenyum. Aku tahu mereka punya pemikiran yang sama tentang Zaki yang berusaha mencari tahu tentang ini semua.
“Ehem… calon menantu idaman ini sepertinya, bunda!”, ucap Kak Dira. Kulihat mamak tersipu (Nah Lho?)

***
Zaki pamit. Dia menyalami kedua orang tuaku dan beberapa sepupu dan kerabatku. Dia juga berpamitan dengan Naisya yang sejak tadi cengar-cengir berusaha menggoda (dengan memanggilnya “hei calon abang ipar ganteng”) lelaki itu (dan Zack adalah orang yang sangat cuek, jadi dia biasa saja dan aku cekikikan). Zack tak lupa berpamitan pada si kecil Aisha yang sedari tadi menggenggam tangannya dengan mengusap rambut Aisha dan mengecup hidung mungil gadis cantik itu (they are cute together, syukur Aisha masih kecil, kalau tidak bakal jadi sainganku nih, hehe). Tapi, dia bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Aku terpana ketika dia langsung menuju mobilnya. Apa-apaan ini?
Sudah lupa dengan perempuan manis ini Mr. Zaki? Tega sekali kamu pergi tanpa salam perpisahan.  Send
Just because you’re so cute that makes me so nervous just to see your face and say good bye.
Aku tersenyum. Dia ternyata bisa menggombal.
Is it you that says me “so cute”? Unbelievable.  Send
 Tak ada balasan.
Dan setelah 5 menit tak ada balasan, aku mengurngkan niatku untuk menunggu.
Memang sudah biasa ketika Zack jarang membalas sms atau jarang menelpon, dari dulu juga dia begitu. Pengusaha. Sibuk. Kelupaan. Kata-kata itu mungkin sudah biasa bagi seorang cowok pekerja macam Zack. Tapi, terkadang bagiku tidak biasa, bahkan ketika akhirnya kami di titik ini. Aku kesal. Terkesan kekanak-kanakan memang, setiap aku mendapati diriku kesal akan sikapnya itu, aku malah menertawakan diri sendiri. Aku selalu menanyakan, what do I expect? Perhatian lebih? Smsan berlebihan? Apa tidak cukup kalau setiap dia punya waktu, dia datang berkunjung? Apa tidak cukup hubungan di titik ini? What do I expect?
Hmm…tapi kekesalanku lebih pada diri sendiri yang senantiasa bersikap kekanak-kanakan, alhasil tidak ada satupun pesan singkat dengan kata-kata “ngambek” disana atau telpon berlebihan kepadanya, karena semuanya bermula padaku dan akan berakhir padaku pula. Ada hal-hal tertentu dimana kita membutuhkan waktu dan belajra dari itu, dan aku belajar menjadi lebih sabar dan dewasa dari ini.
Overall, ketika aku sudah berhasil meredam kekesalanku sendiri, setiap kali itu pula Zack datang lagi dan dengan senyumnya yang semanis air tebu itu membuatku semakin merasa konyol.
“Assalamualaikum… Hi, Nadine!”, ucapnya malam itu selesai aku membereskan rumah selepas acara maulid dan syukuran wisudaku.
“Waalaikumussalam… hi!”, terkadang aku masih sangat konyol ketika harus berhadapan dengan pesonanya itu. Respon singkat inilah yang membuatnya senang menggodaku. Dan Naisya juga, huuuu…
“Ehem…apa kita akan terus berdiri disini sampai pagi?”, tanyanya dengan senyum licik. Menjatuhkanku.
“Heh?”
“Waah..wah…masa calon suami dibiarin kena angin siyh kak? Ayo calon kakak ipar masuk… Kak Nadia bahagia banget tuch, kamu datang… dari tadi nungguin sms balasan, tapi gak dibales, hehe”, ucap Naisya dan ngeloyor pergi. Zack hanya tersenyum.
“Mukamu tambah memerah, Nadine! Look so cheri (lovely)”, ucapnya sambil masuk dan meninggalkanku dengan tampang menyedihkan.
Setiap kali dia datang, Zack pasti lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah atau mamak. Dan aku?? Giliran belakangan. Dan itu pun kalau aku beruntung, karena kalau tidak, aku hanya kebagian mengantarnya keluar dan dia langsung ngeloyor pergi. But, that’s more than enough for me. Bagiku keluargaku hidupku kedua, jadi ketika dia mencintaiku, maka cintai keluargaku. That’s it.
Sesekali jika aku memang beruntung sekali, dia dengan sangat baiknya memainkan gitar yang selau dibawanya itu, tapi itupun ketika dia sadar aku tak ada bersama yang lain. Dan kalau aku lebih beruntung lagi, ketika tiba saatnya dia bisa menghubungiku, daripada membicarakan hal-hal yang tak berguna dan tak penting, dia akan mengantarku tidur dengan bacaan Al-Qur’annya. Dia memang bukan seorang Qari, tapi bagiku nilainya cukup untuk bisa menjadi imamku kelak. Itu lah Zack, ketika aku benar-benar merindukannya dan sebuah pesan singkat tak sanggup menghapus rasa gundahku, aku menelponnya.
“Hmm… do you miss me now?”, tanyanya.
“I do… why?”
“Tutup dulu telponnya, aku kirimkan sesuatu yaa?”
Semenit berselang, sebuah voice message masuk..
“Nadine, hope it can reduce your “rindu”, aku bacakan sesuatu untukmu yaa… Bismillahirrahmanirrahim, Yaa Allah! Janganlah Engkau hinakan aku karena perbuatan maksiat terhadap-MU, dan janganlah Engkau pukul aku dengan cambuk balasan-MU. Jauhkanlah aku dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan-MU, dengan anugerah dan bantuan-MU, Wahai puncak keinginan orang-orang yang berkeinginan! Nadine, I’m learning.
Then, what should I say? Bukannya ini sebuah hadiah yang Allah berikan untukku? Yes, he learns! Learn to be my imam. Dan sejak itu, aku tak henti-hentinya mengucap syukur, hingga hari itu datang…

***
Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi perasaanku padanya. Dzaki Ar-Rafa kini telah jadi imamku. Alhamdulillah.
Sebutir air mata jatuh ketika mendengarkan suara Zack dengan logatnya yang sangat khas berusaha dengan baik dan khusyu’ mengucapkan ijab qabul. Ucapan Hamdallah dari segenap kerabat dan teman yang hadir menjadi doa dan menghancurkan semua kegelisahan.
Ketika giliranku menyalaminya untuk pertama kali sebagai suami, ada desiran yang aku sendiri tak mengerti. Dzaki Ar-Rafa, suamiku, bukan lagi sebagai aktor utama dalam kisahku, tetapi seorang imam dan pemimpin dalam hidupku.

***
Note!
Tak ada yang lebih indah ketika sebuah hubungan terbangun atas izin Allah. Ini lah yang sekarang sedang aku jalani. Senyuman, lirikan, tatapan, perasaan dan sentuhan berbuah berkah dan pahala.
Seminggu usia pernikahan, tapi aku belum juga tahu apa harum khasnya Zack. Dan aku penasaran. Bukan merk parfumnya tapi aromanya. Pada bingung kan? Ini point penting dari kisah ini, haha.
Hingga weekend ini, ketika aku sedang membantu mamak didapur membuat kue persiapan Idul Adha, Zack datang dengan sedikit berpeluh. Hmm…pasti dia menawarkan diri memanjat pohon lagi di kebun bersama ayah. Ketika dia masuk, bahkan disaat berpeluh pun, aroma itu masih terasa. Hmm..wait, aku seperti familiar dengan harum ini…
“Nadia, ambilkan minum untuk suamimu…”, ucap mamak mengacaukan lamunanku. Aku bangkit dan mengambil sehelai tissue.
“Manjat lagi yaa?”, tanyaku sambil menyodorkannya tissue. Zack mengangguk semangat.
“Ini minumnya…”
“Merci, bien adore!!”, ucapnya sambil melempar senyum khasnya itu. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Jika saja semua tau, betapa kesulitan aku mencari arti dari kata-kata itu…
Tetapi rupanya seseorang sangat penasaran dengan kata-kata itu. Mamak.
“Zaki, mamak penasaran, artinya bien adore, apa siyh?”, dan aku langsung kelabakan. Malu. Zack mah tenang-tenang aja, hanya melempar senyum.
“Hehe…biasa mak, pasangan muda…”, ternyata ada orang lain disini yang mulai ikut campur. Dasar Naisya.
“Hehe… kata-kata biasa kok mak!”, ucapku gugup. Zack sampai melihat kearahku yang berdiri disampingnya.
“Your face’s becoming red, cheri femme!”, ucapnya cuek dan sekaligus membuatku tambah malu. Cheri femme??
“Waah… Cheri? pake nama buah lagi? Romantisnya kakak iparku, hehe…”, sambung Naisya, mamak hanya tersenyum.
“Arti bien adore itu “sayang”, Mak!”, ucap Zack yang kemudian berhasil mempermalukanku.
“Ooh… sayang!”, ucap mamak. See? That short respond embrasses me a lot! Namun Zack tetap dengan senyuman khasnya itu, sementara mata mamak dan Naisya mulai menggodaku.
“Terus cheri juga artinya sama yaa kakak ipar?’, tanya Naisya dan tega-teganya Zack mengangguk.
“Almost the same! Beloved wife…”
“Cuiit..cuiit..bikin iri..”, sambung Naisya.
“Kamu kenapa kak? Kenapa tak respond? Malu yaa?”, berondong Naisya dengan segala pertanyaannya yang tidak penting itu.
“Ah…males!! Mak, vanilinya udah dimasukin belum?”, tanyaku dan menghindar dari pertanyaan yang kuanggap tidak penting itu. Zack dan Naisya hanya terkekeh.
“Hmm… vanili itu vanilla ya?”, tanya Zack tiba-tiba.
“Iyya… kenapa?”
“My perfume…”, hanya jawaban pendek namun menjawab rasa penasaranku sejak dari awal aku mengenalnya. Aroma khasnya Dzaki Ar-Rafa.
“Vanilla??”, ucapku sedikit bersemangat. Yang lain terkejut.
Dan sejak itu ku panggil dia, Vanilla mari… alias lelaki beraroma vanilla. And that vanilla mari is my homme.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar