“Bunda,
kenapa harus orang luar?”, tanya kak Rahmi ketika kami rapat keluarga malam
itu, sehari setelah aku bertemu Zack di Mesjid Raya Baiturrahman.
Setelah
aku mengatakan semuanya kepada orangtuaku dan Zack juga datang mengutarakan
niatnya tepat dimalam itu, ayah dan mamak langsung menelpon seluruh keluarga
dan berdiskusi. Aku berpikir, apa mesti harus melibatkan semuanya? Ah,
Nadia…kamu tau apa? Ini lah keluarga.
“Iyyaa
kak, apalagi keturunan Chinese? Agamanya apa?”, sambung salah satu bundaku.
“Hmm…kalau
pun dia mau merubah agamanya, jangan karena Nadia”, ucap adik ayahku.
Berbagai
komentar baik juga meragukan keluar silih berganti.
“Namanya
Dzaki Ar-Rafa, keturunan Chinese dan Perancis. Saya dan Azizah sudah kenal
dekat dengannya. Dia pemuda santun dan berilmu. InsyaAllah bertanggung jawab,
dan Nadia juga kelihatan nyaman. Satu hal yang paling penting adalah ketika dia
sejak lahir adalah seorang muslim dan sejauh ini agamanya baik”, jelas ayahku.
Percakapan
berjalan panjang lebar. Aku menghindar dan masuk kekamarku. I need to share to
Allah. Di sujud istikharahku, aku masih senantiasa memohon petunjuk dariNya,
walaupun sejauh ini, I am into him. Tetapi, semuanya bisa saja terjadi.
Kak
Dira masuk.
“Kenapa
Nadia?”
“Heh?
Kenapa apa kak?”
“Kenapa
terkesan menghindar? Kamu benar-benar berharap pada lelaki itu ya?”, aku hanya
tersenyum.
“Lelaki
itu namanya Dzaki Ar-Rafa, kak..”, jawabku singkat.
“Iya..Zaki.
Hmm..Nadia, apa sebaiknya…”
“Kak
Dira, kenapa memangnya kalau dia Chinese? Zaky juga seorang manusia, makhluk
ciptaan Allah juga kan? Satu hal yang ayah juga sudah sebutkan, dia juga
seorang muslim, dan perlu Nadia tegaskan… dia lebih dulu mendengarkan azan dari
pada Nadia, karena dia dilahirkan dalam keluarga Muslim. Persoalan ras, Nadia tak
pernah mempermasalahkan, belum tentu yang sama ras dan suku dengan kita, punya
akhlak yang lebih baik kan…”, jelasku panjang lebar, Kak Dira diam sejenak dan
kemudian tersenyum.
“Nadia,
kamu memang sudah pantas menikah. Kamu sudah sangat dewasa. InsyaAllah kakak
dukung!”, ucapnya sambil mengusap pipiku. Aku mengenggam tangannya seolah
mengucap terima kasih.
Alhamdulillah
ya Allah. Mudah-mudah ini juga tanda dariMu.
He's Chinese and
I'm Acehnese... Then what?? We’re human and the most important point, we love
the same One, Allah...
***
Keluarga
Zack benar-benar datang dari Perancis. Malam itu, dua hari setelah Zack dengan,
ehem…bagiku sangat romantic, melamarku di Mesjid Raya, kedua orangtuanya datang
bersama Zack untuk berkunjung kerumah. Aku terpana. Ayahnya memang seorang
Chinese, namun bisa berbahasa Indonesia sangat lancar. Ibunya, SubhanAllah.
Cantik dan mempesona dengan balutan abaya batik dan hijab yang baik. Kalau
Zack? Ah… apa mesti aku selalu mendescribsikannya? Kurasa kalian sudah bisa
menebak apa kata-kataku. Ya… he keeps monopolizing the scene as the leading
actor.
Ayah
dan mamak menyambut ketiganya. Naisya duduk bersama dengan mereka. Orang tuanya
sampai salah mengira kalau dia adalah aku. Awas saja dia kalau berani mengaku
sebagai aku, hehe.
Ketika
aku masuk membawa minuman, Zack dengan refleks bangun dari duduknya dan membuat
yang lainnya terpana. Ah…aku kan jadi grogi.
“Ini
Nadia Humaira?”, tanya ayah Zack. Dan ayah dan mamak mengiyakan. Kuletakkan
nampan berisi air dan menyalami keduanya. Ibunya memelukku takjub, sambil
membisikkan sesuatu hingga membuatku malu.
“Nadia,
you’re so lovely!”, aku hanya tersenyum.
Zack
masih berdiri dalam diamnya mengikuti segala gerakanku. Apa-apaan siyh dia?
Bikin aku grogi saja. Ketika selesai dengan ibunya, aku kembali sibuk dengan
gelas-gelas, sampai…
“You
don’t say anything to me?”, suara itu membuat yang lainnya tersenyum. Aku
mendelik. Zack apa-apaan siyh?
“Hai…”,
ucapku kaku. Dan ini malah membuat yang lainnya kembali tersenyum.
Awas
kamu Dzaki Ar-Rafa. Mempermalukanku.
***
Setelah
bersilaturrahmi dua malam yang lalu, maka diputuskan acara lamaran ada malam
ini, karena ayah Zack dan ibunya harus segera kembali ke Perancis karena
pekerjaan sehari setelahnya. Pernikahan dan resepsi akan dibicarakan malam iini,
dan kemungkinan besar tidak dalam waktu dekat, menunggu ayah dan ibu Zack bisa
hadir. Malam ini yang berkunjung kerumah
adalah ayah, ibu dan beberapa orang saudara mereka juga beberapa orang yang
berperawakan sama seperti ayahku, artinya orang Aceh, dan… Aku dilamar! Hihi…
Alhamdulillah.
Seluruh
saudaraku dan terutama sepupu-sepupuku begitu penasaran akan bentuk seorang
Dzaki Ar-Rafa. Mereka mengira lelaki itu bermata sipit. Aku hanya tersenyum.
“Yang
mana orangnya, Nad?”, tanya Kak Dira, ketika kami sedang berada di ruang tengah
memberesi meja makan, sementara para tamu sudah mulai masuk. Kak Dira dan
beberapa lainnya sudah celingak celinguk, aku hanya tersenyum tipis.
“Hah?
Orang apa?”, tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Ah…Nadia
payah. Kiki sama Naisya mana yaa?”, tanya Kak Dira dan aku yakin dia akan
menginterograsi keduanya. Dan kedua gadis itu sedang sibuk didapur. Mereka
memang ratu makanan. Haduu…
Bisik-bisik
yang lain pun tak kalah ketinggalan, mulai menebak-nebak. Semuanya menunjukkan beberapa
pemuda kadang lelaki yang sudah om-om sebagai Zack, dan tentu semuanya bermata
sipit. Mungkin karena Ayahnya Zack memang bermata sangat sipit. Aku cekikikan.
Tak ada yang tepat sasaran. For sure! Zack tidak ada diantara lelaki-lelaki
itu. Toh, dari awal dia memang sebenarnya tidak bisa hadir karena ada pekerjaan
di Ambon. Awalnya dia ingin sekali datang dan menunda pekerjaannya, namun kata
orangtuaku persoalan lamaran, calon suami tidak harus datang.
Kiki
mendekati Kak Dira, dan membisikinya…
“Kak,
sini aku kasi tau yang mana Zack…”, Kak Dira mendekat. Aku dan Naisya
cekikikan.
“Yang
mana-yang mana?”, tanyanya semangat.
“Yang
tidak ada disini, hehe…”, ucap Kiki sambil tersenyum jail.
“Maksudnya?”,
tanya Kak Dira dengan suara sedikit membesar.
“Hehe…
Zack lagi ada kerjaan diluar kak, jadi gak bisa hadir malam ini. Sabar yaa…”,
sambungku dan diikuti cubitan ke lengannya Kiki.
***
Zack, besok ada acara kecil-kecilan dirumah.
Datang ya!
Acara apa?
Maulid Nabi Muhammad SAW. Kamu bisa datang kan?
Do I need to come?
Zack… jangan mencari masalah denganku :-p
Haha.. I am so scared of you, Nadine! Of course
I’ll come. For you, my…
My… what?
Isi sendiri, but is it ok if I come? May I?
For sure, Dzaki Ar-Rafa (anyway, I always love
your name). I’ll be waiting.
Love my name? means è love
me?
Dan
dia benar-benar mempermalukanku. Tak kugubris lagi sms itu. Zack, apa harus aku
ungkapan kan? Namun, beberapa detik kemudian sebuah sms lagi masuk. Zack.
Mukamu pasti sedang memerahkan. I always love
to see your face that way, haha.
Dasaaar
Zack! Tidak cukup dia mempermalukanku.
I don’t wanna respond anything like that. Just
come, I’ll be waiting.
***
Menjelang
jam 12 tamu sudah mulai berdatangan. Acara kali ini memang sedikit mewah karena
sekalian memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan syukuran kelulusanku. Semua
sepupu dan kerabat dekat memang telah datang sejak awal. Ini lah membuat aku rindu
kampung halamanku, ikatan persaudaraan dan kekerabatan masih sangat terasa.
Teman-temanku belum juga hadir, mungkin menjelang zuhur, pikirku. Zack juga
belum hadir.
Mau datang jam berapa Dzaki Ar-Rafa?
Tak
ada balasan. 15 menit kemudian juga taka da balasan. Zack, kamu pasti datang
kan. Iya. Kamu pasti datang.
Satu
jam berlalu. Aku kembali mengecek handphoneku dan memang belum ada balasan dari
Zack. Tamu-tamu sudah mulai ramai, sekelompok teman dekatku sekolah sudah
datang. Setiap sebuah mobil datang, aku selalu mendongak dan berharap itu Zack.
Teman Naisya dan Evan sudah dari tadi datang dan masih menikmati hidangan.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil lain masuk. Bukan Harrier. Zack kamu
dimana siyh? Enggak, dia pasti datang. Zack selalu menepati janjinya. Mungkin dia
shalat zuhur dulu. Rika dan beberapa teman sekelasku dikampus pun juga telah
tiba. Aku mempersilahkan mereka menikmati hidangan. Tiba-tiba Naisya datang…
“Kak,
mamak nanya Zack datang gak? Kamu ada undang dia kan?”
“Ada,
dia pasti datang”
“Iyaa…mukamu
keliatan cemas gitu. Coba hubungi lagi”
Aku
pun menelponnya lagi, tapi tak diangkat. Zack, kamu kemana siyh? Aku pun
bergegas masuk untuk shalat Zuhur, perasaanku cemas. Aku harus shalat.
***
“Nda
Ya…mau buah!”, ucap Aisha setelah aku selesai shalat. Perasaanku kembali
tenang. Dan aku masih yakin Zack pasti datang. Aku pun mengambilkannya sepotong
semangka.
“Makannya
jangan buru-buru yaa… ini tissue, jangan ngelap dibaju, iya sayang?”, Aisha
mengangguk.
Tiba-tiba
aku merasakan suasana agak sunyi. Suara-suara tamu agak meredam, tinggal
bisik-bisik…
“Siapa
itu?”
Aku
pun berpaling dan Zack sudah disana. Dia baru saja sampai dan berdiri di
gerbang sambil menenteng sekantong plastik hitam. Wajahnya menggemaskan, aku
tersenyum, namun wajah itu masih melihat sekeliling. Dia mungkin belum terbiasa
dengan acara begini. Kulihat sekeliling, semuanya seperti terhipnotis.
Aku
akan melangkah menujunya, ketika Ayah menyambutnya…
“Zaki,
masuk! Kenapa berdiri disana?”, ucap ayah dan Zack mulai melangkah masuk.
“Om…
itu kan Om… anteng…”, ucap Aisha dan buru-buru berlari kearah Zack dan
meninggalkanku dengan semangka bekas gigitannya.
“Om
Jek…”, panggil gadis kecil itu dan langsung menggenggam tangan lelaki itu. Zack
membungkuk dan menggendong Aisha. Aku pun melangkah kesana.
“Kenapa
gak balas sms?”, ucapku mengejutkannya yang sedang menggoda Aisha.
Detik
selanjutnya dia hanya diam melihat kearahku. Haduu…jangan-jangan Zack marah aku
menanyakan itu padanya di depan semua orang. Uuuh…kekanak-kanakan sekali siyh
Nadia.
“Nadia,
ajak Zack makan dulu. Masa langsung di interogasi”, ucap Ayah sambil tersenyum.
Zack kemudian juga tersenyum.
Aku
mengantarnya ke bagian lelaki dan mengambil alih Aisha sementara dia mengambil
makanannya.
“Makan
yang banyak yaa? Gratis kok, hehe!”, ucapku sambil tersenyum dan langsung pergi
meninggalkannya.
Aku
baru tersadar, banyak yang masih berbisik-bisik, termasuk para sepupuku dan keluarga
besarku yang secara mendadak keluar dari dalam rumah dan mengintip kearah Zack…
“Itu
calonnya Nadia? Gak seperti Chinese kok? Ganteng malah…”
“Iyyaa…
kalau yang gituan mah, kenapa harus di pertimbangkan lagi?”, aku tersenyum
sendiri.
Aku
juga melihat Naisya diinterogasi oleh Kak Dira ketika aku sedang menuju mereka,
membawa Aisha…
“Sebenarnya
Chinese bukan siyh? Aisha kok bisa kenal?”
“Keturunan
Kak, jadi gimana? Ganteng kan? Islam juga kan?”
“Tapi
kan…”
“Ah,
kak! Dia juga keturunan Aceh. Ayahnya lahir di Aceh. Aisha aja suka…”
“Iyyya
siyh, perkiraan kakak gak seperti ini rupanya…”, aku tersenyum.
“Jadi
gimana? Kulitnya super putih dan matanya super sipit, gitu ya kak?”, ucapku
tiba-tiba sambil mendudukkan Aisha dipangkuannya. Persis seperti perkiraanku
terhadap semua Chinese dulu, tapi kehadiran Zack merubah semuanya. Kak Dira
hanya tersenyum.
“Namanya
beneran Zaki ya?”
“Enggak
Ma! Nama Om ganteng… Jek!”
“Hah?”,
kami tertawa.
“Kak,
kasihan Zack yaa? Dia dipandangin terus dari tadi tuch… nyaman gak dia makannya
tuch!”
“Nyaman!
Zack kan cuek”, ucapku sambil melirik lelaki itu yang sedang menikmati
makanannya. Dia terlihat santai dan sesekali mengumbar senyum ketika merasa
orang sedang memandangnya.
“Dia
tahu kalau dirinya itu adorable kali yaa? Akhirnya mimpimu jadi kenyataan kak,
hehe”, ucap Naisya.
“Iyyya
Nad, dimana kamu dapat kaya’ gituan? Ganteng amat”, Tanya Kak Dira. Aku hanya
tersenyum.
“Lagian
apa dia gak salah liat, kok bisa kamu ?”, sambungnya lagi. Aku kembali
tersenyum. Aku juga gak ngerti Kak. Aku kan juga merasa kalau aku hanya
“pungguk merindukan bulan”, tapi buktinya Allah menjadikan aku pungguk yang
dicintai bulan.
“Tapi
yang naksir duluan kan bukan aku, hehe…”, ucapku sedikit sombong. Yang lain
geleng-geleng.
Kulihat
ayah sudah duduk menemani Zack.
“Zaki
sudah datang ya?”, tiba-tiba mamak sudah keluar dari rumah dan aku menunjukkan
kearah lelaki itu dan ayah.
“Ini
Mak!”, ucapku sambil menyerahkan sekantong plastic berisi beberapa kilo gula,
teh dan biscuit (Kurasa Zaki berusaha keras mencari tahu tentang adat Maulid di
Aceh).
“Ini
apa?”
“Zaki
yang bawa tadi..”, ucapku tersenyum dan yang lain juga ikut tersenyum. Aku tahu
mereka punya pemikiran yang sama tentang Zaki yang berusaha mencari tahu
tentang ini semua.
“Ehem…
calon menantu idaman ini sepertinya, bunda!”, ucap Kak Dira. Kulihat mamak
tersipu (Nah Lho?)
***
Zaki
pamit. Dia menyalami kedua orang tuaku dan beberapa sepupu dan kerabatku. Dia
juga berpamitan dengan Naisya yang sejak tadi cengar-cengir berusaha menggoda
(dengan memanggilnya “hei calon abang ipar ganteng”) lelaki itu (dan Zack
adalah orang yang sangat cuek, jadi dia biasa saja dan aku cekikikan). Zack tak
lupa berpamitan pada si kecil Aisha yang sedari tadi menggenggam tangannya
dengan mengusap rambut Aisha dan mengecup hidung mungil gadis cantik itu (they
are cute together, syukur Aisha masih kecil, kalau tidak bakal jadi sainganku
nih, hehe). Tapi, dia bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Aku
terpana ketika dia langsung menuju mobilnya. Apa-apaan ini?
Sudah lupa dengan perempuan manis ini Mr. Zaki?
Tega sekali kamu pergi tanpa salam perpisahan. Send
Just because you’re so cute that makes me so
nervous just to see your face and say good bye.
Aku
tersenyum. Dia ternyata bisa menggombal.
Is it you that says me “so cute”? Unbelievable.
Send
Tak ada balasan.
Dan
setelah 5 menit tak ada balasan, aku mengurngkan niatku untuk menunggu.
Memang
sudah biasa ketika Zack jarang membalas sms atau jarang menelpon, dari dulu
juga dia begitu. Pengusaha. Sibuk. Kelupaan. Kata-kata itu mungkin sudah biasa
bagi seorang cowok pekerja macam Zack. Tapi, terkadang bagiku tidak biasa,
bahkan ketika akhirnya kami di titik ini. Aku kesal. Terkesan kekanak-kanakan
memang, setiap aku mendapati diriku kesal akan sikapnya itu, aku malah
menertawakan diri sendiri. Aku selalu menanyakan, what do I expect? Perhatian
lebih? Smsan berlebihan? Apa tidak cukup kalau setiap dia punya waktu, dia
datang berkunjung? Apa tidak cukup hubungan di titik ini? What do I expect?
Hmm…tapi
kekesalanku lebih pada diri sendiri yang senantiasa bersikap kekanak-kanakan,
alhasil tidak ada satupun pesan singkat dengan kata-kata “ngambek” disana atau
telpon berlebihan kepadanya, karena semuanya bermula padaku dan akan berakhir
padaku pula. Ada hal-hal tertentu dimana kita membutuhkan waktu dan belajra
dari itu, dan aku belajar menjadi lebih sabar dan dewasa dari ini.
Overall,
ketika aku sudah berhasil meredam kekesalanku sendiri, setiap kali itu pula
Zack datang lagi dan dengan senyumnya yang semanis air tebu itu membuatku
semakin merasa konyol.
“Assalamualaikum…
Hi, Nadine!”, ucapnya malam itu selesai aku membereskan rumah selepas acara
maulid dan syukuran wisudaku.
“Waalaikumussalam…
hi!”, terkadang aku masih sangat konyol ketika harus berhadapan dengan
pesonanya itu. Respon singkat inilah yang membuatnya senang menggodaku. Dan
Naisya juga, huuuu…
“Ehem…apa
kita akan terus berdiri disini sampai pagi?”, tanyanya dengan senyum licik.
Menjatuhkanku.
“Heh?”
“Waah..wah…masa
calon suami dibiarin kena angin siyh kak? Ayo calon kakak ipar masuk… Kak Nadia
bahagia banget tuch, kamu datang… dari tadi nungguin sms balasan, tapi gak
dibales, hehe”, ucap Naisya dan ngeloyor pergi. Zack hanya tersenyum.
“Mukamu
tambah memerah, Nadine! Look so cheri (lovely)”, ucapnya sambil masuk dan meninggalkanku dengan
tampang menyedihkan.
Setiap
kali dia datang, Zack pasti lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah atau
mamak. Dan aku?? Giliran belakangan. Dan itu pun kalau aku beruntung, karena
kalau tidak, aku hanya kebagian mengantarnya keluar dan dia langsung ngeloyor
pergi. But, that’s more than enough for me. Bagiku keluargaku hidupku kedua,
jadi ketika dia mencintaiku, maka cintai keluargaku. That’s it.
Sesekali
jika aku memang beruntung sekali, dia dengan sangat baiknya memainkan gitar yang selau dibawanya itu, tapi itupun ketika dia sadar aku tak ada
bersama yang lain. Dan kalau aku lebih beruntung lagi, ketika tiba saatnya dia
bisa menghubungiku, daripada membicarakan hal-hal yang tak berguna dan tak
penting, dia akan mengantarku tidur dengan bacaan Al-Qur’annya. Dia memang
bukan seorang Qari, tapi bagiku nilainya cukup untuk bisa menjadi imamku kelak.
Itu lah Zack, ketika aku benar-benar merindukannya dan sebuah pesan singkat tak
sanggup menghapus rasa gundahku, aku menelponnya.
“Hmm…
do you miss me now?”, tanyanya.
“I
do… why?”
“Tutup
dulu telponnya, aku kirimkan sesuatu yaa?”
Semenit
berselang, sebuah voice message masuk..
“Nadine,
hope it can reduce your “rindu”, aku bacakan sesuatu untukmu yaa… Bismillahirrahmanirrahim, Yaa Allah!
Janganlah Engkau hinakan aku karena perbuatan maksiat terhadap-MU, dan
janganlah Engkau pukul aku dengan cambuk balasan-MU. Jauhkanlah aku dari
hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan-MU, dengan anugerah dan bantuan-MU,
Wahai puncak keinginan orang-orang yang berkeinginan! Nadine, I’m learning.”
Then, what should I
say? Bukannya ini sebuah hadiah yang Allah berikan untukku? Yes, he learns!
Learn to be my imam. Dan sejak itu, aku tak henti-hentinya mengucap syukur,
hingga hari itu datang…
***
Sekarang
tidak ada lagi yang menghalangi perasaanku padanya. Dzaki Ar-Rafa kini telah
jadi imamku. Alhamdulillah.
Sebutir
air mata jatuh ketika mendengarkan suara Zack dengan logatnya yang sangat khas
berusaha dengan baik dan khusyu’ mengucapkan ijab qabul. Ucapan Hamdallah dari
segenap kerabat dan teman yang hadir menjadi doa dan menghancurkan semua
kegelisahan.
Ketika
giliranku menyalaminya untuk pertama kali sebagai suami, ada desiran yang aku
sendiri tak mengerti. Dzaki Ar-Rafa, suamiku, bukan lagi sebagai aktor utama
dalam kisahku, tetapi seorang imam dan pemimpin dalam hidupku.
***
Note!
Tak
ada yang lebih indah ketika sebuah hubungan terbangun atas izin Allah. Ini lah
yang sekarang sedang aku jalani. Senyuman, lirikan, tatapan, perasaan dan
sentuhan berbuah berkah dan pahala.
Seminggu
usia pernikahan, tapi aku belum juga tahu apa harum khasnya Zack. Dan aku
penasaran. Bukan merk parfumnya tapi aromanya. Pada bingung kan? Ini point
penting dari kisah ini, haha.
Hingga
weekend ini, ketika aku sedang membantu mamak didapur membuat kue persiapan Idul
Adha, Zack datang dengan sedikit berpeluh. Hmm…pasti dia menawarkan diri
memanjat pohon lagi di kebun bersama ayah. Ketika dia masuk, bahkan disaat
berpeluh pun, aroma itu masih terasa. Hmm..wait, aku seperti familiar dengan
harum ini…
“Nadia,
ambilkan minum untuk suamimu…”, ucap mamak mengacaukan lamunanku. Aku bangkit
dan mengambil sehelai tissue.
“Manjat
lagi yaa?”, tanyaku sambil menyodorkannya tissue. Zack mengangguk semangat.
“Ini
minumnya…”
“Merci,
bien adore!!”, ucapnya sambil melempar senyum
khasnya itu. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Jika saja semua tau,
betapa kesulitan aku mencari arti dari kata-kata itu…
Tetapi
rupanya seseorang sangat penasaran dengan kata-kata itu. Mamak.
“Zaki,
mamak penasaran, artinya bien adore, apa siyh?”, dan aku langsung kelabakan.
Malu. Zack mah tenang-tenang aja, hanya melempar senyum.
“Hehe…biasa
mak, pasangan muda…”, ternyata ada orang lain disini yang mulai ikut campur.
Dasar Naisya.
“Hehe…
kata-kata biasa kok mak!”, ucapku gugup. Zack sampai melihat kearahku yang
berdiri disampingnya.
“Your
face’s becoming red, cheri femme!”, ucapnya cuek dan sekaligus membuatku tambah
malu. Cheri femme??
“Waah… Cheri?
pake nama buah lagi? Romantisnya kakak iparku, hehe…”, sambung Naisya, mamak
hanya tersenyum.
“Arti bien adore itu “sayang”, Mak!”, ucap
Zack yang kemudian berhasil mempermalukanku.
“Ooh…
sayang!”, ucap mamak. See? That short respond embrasses me a lot! Namun Zack
tetap dengan senyuman khasnya itu, sementara mata mamak dan Naisya mulai
menggodaku.
“Terus
cheri juga artinya sama yaa kakak ipar?’, tanya Naisya dan tega-teganya Zack
mengangguk.
“Almost
the same! Beloved wife…”
“Cuiit..cuiit..bikin
iri..”, sambung Naisya.
“Kamu
kenapa kak? Kenapa tak respond? Malu yaa?”, berondong Naisya dengan segala
pertanyaannya yang tidak penting itu.
“Ah…males!!
Mak, vanilinya udah dimasukin belum?”, tanyaku dan menghindar dari pertanyaan
yang kuanggap tidak penting itu. Zack dan Naisya hanya terkekeh.
“Hmm…
vanili itu vanilla ya?”, tanya Zack tiba-tiba.
“Iyya…
kenapa?”
“My
perfume…”, hanya jawaban pendek namun menjawab rasa penasaranku sejak dari awal
aku mengenalnya. Aroma khasnya Dzaki Ar-Rafa.
“Vanilla??”,
ucapku sedikit bersemangat. Yang lain terkejut.
Dan
sejak itu ku panggil dia, Vanilla mari… alias lelaki beraroma vanilla. And that
vanilla mari is my homme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar