I am home.
Alhamdulillah.
It’s been a year since I left for studying.
Akhirnya
hari ini aku bisa menikmati udara di kota kelahiran tercinta.
Mamak dan
Ayah berencana mengadakan sedikit syukuran kepulanganku, namun aku mengatakan
pada mereka agar acaranya disatukan dengan wisudaku saja sekitar tiga bulanan
ke depan, jadi tidak berulang dan merepotkan, kebetulan bulan Maulid juga akan
segera datang.
Dan malam
itu ternyata diluar pengetahuanku (dan sepertinya orangtuaku dan Naisya memang
tak ingin memberitahuku), mamak dan ayah mengutarakan niat keluarga Evan
(kekasih adikku) yang ingin meminang Naisya segera.
“Kak… apa
Kakak ikhlas?”, Tanya mamak malam itu. Kami bertiga duduk di ruang keluarga.
Naisya telah tidur dari tadi. Aku tersenyum.
“Mamak,
Ayah… Dari dulu Nadia memang sudah ikhlas kok! Gak apa-apa mak, jangan ditunda
lagi. Naisya sama Evan juga sudah lama punya hubungan, gak enak kalau digantung
terus. Lagian ini bukti kalau Evan benar-benar serius. Nadia baik-baik saja
kok. Mungkin Naisya akan melangkah terlebih dahulu, kita gak pernah tahu takdir
Tuhan kan?”
Akhirnya
orang tuaku benar-benar melakukan janjinya, ketika Naisya telah selesai kuliah,
tak ada alasan untuk menunda lagi. Aku tahu terlalu banyak harapan padaku
setahun yang lalu, tapi mungkin inilah jalannya. And I know that’s the best.
Bagaimana mungkin aku menikah dengan orang yang sama sekali tak mengharapkanku.
Aku
benar-benar tidak apa-apa, namun yang paling aku takutkan adalah ketika mamak
yang merasa sedih atau Naisya yang merasa bersalah. Maka aku berusaha keras
mengatakan kepada keduanya agar mempercayaiku bahwa aku benar-benar baik-baik
saja. Satu hal lagi yang membuatku cemas, komentar keluarga besar, dan aku
yakin hal itu pasti terjadi. Dan ujung-ujungnya yang tersakiti bukan cuma aku,
tapi juga Naisya juga mamak.
***
Acara
lamaran pun berlangsung. Ini sekaligus dengan pemberian tanda atau bahasa
kerennya “pertunangan”. Ya, kini Naisya telah bertunangan dan selesai dia
wisuda sekitar 4 bulan ke depan, pernikahan akan berlangsung. Aku bahagia. Dan
aku berharap Naisya juga bahagia. Namun, ketika malam itu aku melihat wajahnya
dan mamak seperti ada sedikit kegusaran disana dan aku tahu alasannya. Tatapan
itu malah semakin terlihat ketika mata kami saling beradu. Ah…Naisya, kamu
memang bukan sekedar saudaraku.
Dan seolah
semua yang kucemaskan terjadi malam itu. Aku rasanya ingin pergi sejanak dari
rumah karena aku tak sanggup mendengar komentar apapun, dan yang paling tak
ingin kusaksikan adalah wajah mamak dan Naisya ketika mendengar komentar-komentar
itu.
“Jadi
gimana niyh, masa Nadia dilangkahi? Memang baiknya dia menikah dulu sebelum
ngambil S2”, ucap salah satu bundaku.
“Kan benar
kata Rahmi, memang ini akan terjadi… Naisya akan melangkahi Nadia…”, sepupuku
Rahmi ikut berkomentar. Rasanya kalimatnya dulu seperti doanya buatku. Aku
beristighfar dalam hati. Kami hanya diam.
“Ini lah
akibatnya cut kak, ketika Nadia dibiarkan pergi ke negeri orang dulu, ngambil
s2 laah… apa gak sulit ntar lelaki untuk datang lagi?”, komentar sepupu ibuku. Aku
sedih bukan karena aku merasa dilangkahi, tapi aku sedih karena mereka tidak
mengerti posisi kami. Memangnya kepergianku ke Amerika membuatku jauh dari
jodoh? Apa akan menjamin jika aku tak melanjutkan studiku, tapi aku akan
menikah?
Dan masih
banyak komentar lainnya seolah aku tak disana, hingga Cecek Dewi, bundanya Kiki
dan Kak Dira angkat bicara,
“Kenapa
mesti berkomentar macam-macam, mungkin memang jalan begini. Naisya duluan yang
melangkah kan tidak haram. Lagian Nadia juga masih muda…”
“Iyya,
Kiki juga belum akan menikah dalam waktu dekat. insyaAllah semuanya sudah yang
terbaik. Komentar-komentar seperti itu seharusnya dihilangkan, gimana perasaan
Kak Azizah”, sambung bundanya Kiki. Mamak hanya tersenyum, namun aku tahu
perasaannya gundah. Tapi beliau kembali hanya diam.
“Lagian
mungkin ini salah Dira. Seandainya Dira gak mengenalkan Nadia dengan orang yang
salah…”
“Udah Kak,
itu gak usah diungkit lagi…”, ucapku sambil tersenyum.
Kiki yang
duduk disampingku membelai pundakku. Aku tahu dia sedang menyelami perasaanku,
jdai kupaksakan sebuah senyuman untuknya.
“InsyaAllah
Nadia juga akan segera, mungkin sebelum Naisya menikah. Kita gak pernah tahu
takdir Allah. Jadi, kami mohon doanya saja…”, akhirnya mamakku bersuara dan aku
mengaminkan dalam hati. Mamak juga Naisya, aku tahu sekali perasaan mereka.
Biar aku saja yang menanggung ini semua, jangan ada kesedihan di hari bahagia
ini. Rasanya aku benar-benar ingin menangis.
Acara
selesai. Para kerabat telah pulang. Kiki memohon pada bundanya untuk menginap.
Aku akan memasuki kamar, ketika mamak kembali memanggilku…
“Nadia,
adikmu ingin bicara…”, kulihat wajah mamak dan ada gurat kesedihan disana dan
ini yang paling aku takutkan. Sebenarnya ada apa? Kiki menanyakan lewat
matanya, aku hanya menggeleng.
Ketika aku
duduk di sofa ruang keluarga itu, kulihat Naisya sedang menunduk dan badannya
sedikit bergetar. Naisya menangis. Ada apa? Ketika dia menyadari kehadiranku,
dia bangkit dan langsung memelukku. Tangisnya pecah dipundakku. Seolah
bersambut, sebulir air mata jatuh. Tangis yang sedari tadi aku tahan akhirnya
tumpah bersamaan dengan isak Naisya.
“Kee…e..napa
Sya? Kenapa nangis?”, tanyaku.
“Kak…
maafin Sya yaa? Ma..aa..af? hu…huuu…”, ucapnya kesulitan didalam tangisnya. Aku
menarik nafas panjang, mencoba menelah ludah yang terasa sulit sekali.
Tenggorokanku terasa berat karena aku benar-benar berusaha menelan tangis itu.
Kulihat Mamak mulai terisak dan Kiki juga sudah berlinang air mata. Ayahku
hanya menunduk. Aku tak mungkin menambah sendu suasana, aku tak boleh menangis.
“Gak ada
yang perlu dimaafkan Dik! Ini jalan Allah… Udah, berhenti nangisnya, nanti aku
juga ikut nangis… Dengar Naisya, kakak udah pernah bilang kalau kakak gak
apa-apa dilangkahi sama kamu. Toh, usia kita gak jauh berbeda. Mungkin yang terbaik
ketika kamu harus menikah sebelum aku, ada hikmah Dik”.
***
Aku
terisak dalam sujudku malam itu. Aku benar-benar ikhlas kan Tuhan? Aku ikhlas.
Tapi, ada kesedihan yang luar biasa disalah satu sudut hatiku. Hanya padaMu aku
bisa jujur kalau aku sedih akan semua ini. Aku mohon kesabaran.
Selesai
melipat mukena. Aku terduduk di tepi ranjang. Kiki bangkit dari tidurnya yang
memang mungkin tak nyenyak dari tadi. Aku tahu sekali, sepupuku itu
mengkhawatirkanku.
“Aku gak
tahu gimana perasaan kamu sekarang Nad, yang jelas kamu sedih kan? Kamu yang
tahu seikhlas apa kamu sebenarnya. Kamu menjadi sangat sedih lagi ketika
mendengar komentar-komentar itu kan? Nad, mungkin perkataanku memang tak
berarti sama sekali karena aku memang tak sedewasa kamu dan Naisya. Siapa siyh
yang ingin dilangkahi? Siapa juga yang ingin anak-anaknya mengalami ini, aku
bisa ngerti perasaan bunda tadi. Tapi Nad, Naisya masih bertunangan, belum
menikah dan itu masih beberapa bulan ke depan. Aku berdoa dan yakin seribu
persen Allah sedang menyiapkan sesuatu untukmu.”
Aku
menatap sepupu itu. Sejak kapan kamu sedewasa ini gadis ababil? Kamu berubah
banyak sejak delapan bulan kita tak bertemu. Aku tersenyum padanya dan
mengaminkan kata-katanya.
***
Belum
habis drama “pertunangan Naisya”, hari ini ketika aku sedang membantu Ayah di
kebunnya, seorang datang. Dengan mobil Vitara silvernya, dia memasuki
perkarangan rumahku.
“Kak… ada
Ummi!”, panggil ibuku.
Ummi?
Akhirnya beliau datang. Aku memang berjanji menghubunginya ketika aku telah
pulang. Ummi sepertinya memang sangat menyayangiku, awalnya kukira ini hanya
rasa penyesalannya akan kejadian setahun lalu. Namun, bahkan ketika aku di
States beliau selalu menghubungiku, menanyakan kabar, mengirimiku makanan dan
bahkan melalui suadaranya di Eropa mengirimiku Jaket untuk persiapan Winter. Dan
yang paling aku tak mengerti sebulan sekali mengirimiku uang. Aku sudah
berusaha mengembalikannya, namun Ummi merasa sedih. Orangtuaku saja tak
sebegitunya, namun beliau begitu memanjakanku.
Ummi
memelukku erat ketika aku masuk (sedikit risih karena tubuhku sedikit
berkeringat karena asik membantu ayah di kebun), dan wanita itu harum sekali.
“Nadia,
Ummi kangen sekali sama Nadia, apa kabar nak?”
“Alhamdulillah
sehat Ummi…”
“Makanan
yang ummi kirim sampai kan? Kamu gemukan, Alhamdulillah…”, aku hanya tersenyum
ketika Ummi menyentuh pipiku yang sedikit berpeluh.
“Ummi apa
kabar?”, tanyaku saat dia dengan sangat intensnya memandangku.
“Sehat
Nak, Alhamdulillah…”, ucapnya dan tersenyum.
Mengalirlah
pembicaraan dengan wanita cantik itu. Awalnya hanya seputar kegiatanku setelah
pulang. Tiba-tiba satu pertanyaan muncul dikepalaku ini, Bang Faisal apa kabar?
Sudah menikah belum? Sepertinya sudah… Ah, sudahlah, sudah bukan urusanku. Dan
akhirnya pertanyaan itu menghilang begitu saja sampai…
“Nadia…”
“Tuan, Ummi…”
“Nadia mau
gak bantuin ummi, nak?”
“InsyaAllah
kalau Nadia sanggup, pasti Nadia bantu…ada apa Ummi?”
“Ummi mau
ngajak Nadia ke Singapore… Nadia ada waktu minggu depan? Hanya tiga hari ketika
weekend…”
Hah? Ke
Singapore? Ngapain? Waah…kalau diposisi normal, siapa yang akan menolak ajakan
itu, tapi ini aku baru pulang dan berangkat lagi…sepertinya tidak..
“Tapi
Ummi…”
“Nadia,
Ummi mungkin terlalu egois, tapi Ummi sangat berharap kalau kamu bisa temanin
Ummi…”, potongnya sambil mengambil sesuatu dari tas. Dan betapa terkejutnya aku
ketika akhirnya wanita itu menyerahkan sebuah amplop kecil, aku membukanya dan
itu sebuah tiket pulang pergi Singapore atas namaku.
Aku hanya
bisa diam. Kumpulan kertas berjudul “Tiket” itu kini juga hanya bisa menjadi
saksi bisu betapa bimbangnya aku.
***
Singapore,
I am here now.
Yaaa…negeri
dengan sebuah patung unik penuh makna, Merlion, yang kutahu sebagai singkatan
dari Marmalade dan Lion. Aku berdiri tepat didepan patung itu, menikmati
sejuknya udara di Merlion Park.
Setelah
dua hari keberadaanku disini, akhirnya aku tahu kenapa Ummi mengajakku kemari.
Berbelanja. Yaa…itu mungkin kata biasa saja, namun itu akan berubah drastic
ketika kata itu kemudian disandingkan dengan kata-kata yang lain. Saat itu aku
sedang di ION Orchard menemani Ummi berbelanja, beliau memintaku memilih semua
barang, seperti tas, sepatu, pakaian. Warna, bentuk dan gaya semuanya
diserahkan kepadaku. Awalnya aku biasa saja, namun ketika hitungan benda yang
dibeli semakin tak karuan aku sedikit curiga apalagi ketika Ummi senantiasa
mendoublekan belanjaannya…
“Nadia
suka warna merah atau Ungu?”
“Hmm…Merah
cantik Ummi…”
“Oke, kita
ambil dua-duanya. Satu untuk Nadia yang merah, dan ungu untuk Ummi…”
Aku mulai
curiga. Sebenarnya apa tujuan Ummi? Kenapa malah benda yang dibeli itu sesuai
dengan usiaku dan…
“Ummi,
kenapa kita belanja sebanyak ini? Untuk Ummi semua benda ini?”, tanyaku
kemudian, kuberanikan diri ketika akhirnya perasaanku mulai tak enak. Wajah itu
kini sedikit terkejut. Beliau hanya diam.
“Ummi…”
“Nadia,
kita lanjut lagi yaa…disebelah sana ada Prada. Kita liat-liat yaa…mungkin ada
tas bagus…”, ucapnya mulai mengalihkan.
Aku pun
kembali hanya diam saja. Ada perasaan tak enak terus menyerang. Aku semakin tak
bersemangat, awalnya hanya karena semua benda-benda disini bermerek dan kedua
karena ketidakjelasan ini semua. Ummi terlihat semangat memilih-milih dan
sesekali mengangkat telpon.
***
Aku duduk
termenung disalah satu bangku taman memandangi si patung Merlion itu. Sebelah
kanan dan kiriku penuh dengan kantong belanjaan. Ku alihkan pandanganku ke satu
persatu kantong itu yang bertuliskan berbagai macam merek terkenal. Tak ada
yang bisa menghapus kegundahanku. Ada yang salah dengan semua ini.
“Ini minum
dulu Nadia… kamu pasti capek!”, ucap Ummi mengejutkanku.
Aku
mendongak. Apa mungkin kalau aku menanyakannya sekarang. Tapi sepertinya Ummi menghindari
segala pertanyaanku. Ummi duduk disampingku.
“Ummi…”
“Ya…”
“Sebenarnya
ini ada apa? Untuk apa kita belanja sebanyak ini?”, tanyaku dan lagi-lagi wajah
itu menyiratkan sesuatu. Wanita itu terdiam.
“Nadia…
sebenarnya… hmm… apa kamu benar-benar ingin tahu?”, aku kini menghadapnya dan
mengangguk. Benar perkiraanku, memang Ummi menyimpan sesuatu dariku.
“Nadia…
begini, hmmm… semua ini untuk persiapan pernikahan…”, kini wajah itu menunduk.
Pernikahan? Pernikahan siapa? Tidak mungkin ini untuk pernikahanku kan?
“Ummi…”,
sebuah panggilan mengejutkanku. Dan aku masih kenal suara itu. Aku berpaling,
dan memang benar dugaanku.
Lelaki itu
kini mendekat. Aku kini menoleh kembali kepada Ummi dan kini wajah cantik itu
sudah menatapku kembali. Dan pandangan itu… sendu.
“Maafkan
Ummi, Nak! Ummi hanya ingin melibatkan Nadia, Ummi terlalu sedih kehilangan
kamu…”
Ku lihat
lagi kearah semua belanjaan itu. Iyaa…kenapa aku tak kepikiran sama sekali. Ya
Allah…ini semua untuk “bawaan” ke calon menantu saat resepsi nanti. Ada
seberkas rasa perih dihatiku. Jadi semua pilihanku, akan diberikan kepada…
“Ini
bawaan untuk Vina nanti Nadia. Ummi ingin semuanya kamu yang memilih. Terlalu
egois memang, tapi…”
Kini
tangan lembut Ummi sudah menggenggam tanganku. Aku menatapnya. Ya Allah, apa
aku sanggup merasa kecewa pada wanita ini? Tidak. Aku tahu, semua ini karena
beliau menyayangiku. Tapi, tak kupungkiri ada sedikit rasa perih dihatiku.
“Nadia…
Maafkan Ummi yaaa…”, aku hanya diam, namun…
“Ummi… gak
ada yang mesti dimaafkan…”, ucapku berusaha tegar.
Namun, aku
hanya manusia biasa. Di situasi biasa, aku benar-benar tak merasa sedih, namun
di posisi ini ada perasaan perih menyerang. Dan aku tahu persis ini bukan rasa
cemburu atau semacamnya, aku merasa… Ah, semua pilihanku ternyata hanya jadi
“hadiah” dari calon suami untuk si calon istri pada hari resepsi, dan diperparah
calon suami itu adalah…
“Assalamualaikum…”
Lelaki itu
adalah dia. Bang Faisal. Lelaki yang dulunya pernah sedikit memanipulasi
hatiku, namun dia juga akhirnya yang menyadarkanku akan… perasaanku pada lelaki
charming itu. Zack… kenapa aku harus mengingatmu ketika aku diposisi sulit
begini.
Kurasakan
perih dibibirku, yaa…sedari tadi aku berusaha menahan rasa perih hatiku agar
tidak mengirimkan respon ke otak hingga bening-bening air mata tak memaksa
keluar. Aku bangkit, menyalami lelaki itu dan berusaha keras tersenyum. Dia
menggenggam tanganku sedikit lama dan… Ah, ada sesuatu di mata itu. Aku
terhenyak.
***
Bening-bening
akhirnya jatuh ketika aku menghadapNya. Aku keluar dan duduk di lobi penginapan
dan menikmati pemandangan kota yang indah dimalam hari.
Aku merasa
kecewa pada diri sendiri, kenapa tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya,
kenapa menerima penawaran Ummi untuk mengikutinya kesini. Kini aku benar-benar
menyadari bahwa semua yang aku lakukan disini hanya sia-sia. Aku memilih semua
barang sesuai keinginan dan seleraku dan semuanya itu akan diberikan untuk
“hantaran” perempuan lain. Dan sudah jelas perempuan itu yang pernah berada di
dalam hubunganku dengan Bang Faisal. Bukan karena aku cemburu. Bukan.
Toh, semua
benda itu juga sebagian besarnya aku punya, Ummi senantiasa membeli double.
Tapi, ada perasaan yang sangat tidak nyaman menyerang, bagaimana perasaan Vina
jika tahu bahwa semua barang-barang itu adalah pilihanku? Karena jika aku
diposisinya, aku pasti akan sangat kecewa.
Ah…aku
kini mulai menertawakan diri sendiri. Aku merasa seperti malaikat yang sangat
konyol, mengkhawatirkan seseorang yang… Ah, sudah laah!
Ya Allah,
aku ingin pulang. Perih hati karena persoalan Naisya belum sembuh total, kini
aku dicoba lagi dengan hal ini.
“Kamu
bahagia, Nadia?”, suara itu bukan hanya menghancurkan lamunanku, namun dengan
secara langsung menghancurkan moodku yang memang sudah jelek.
Aku
bangkit dan tak ingin berusaha menjawab pertanyaan yang bagiku tak bermakna
itu.
“Kenapa
kamu pergi? Apa kamu masih terlalu sakit hati?”
Langkahku
sedikit terhenti. Apa katanya? Sakit hati? Aku hembuskan nafas dan berusaha
melangkah lagi.
“Nadia,
apa masih ada kesempatan untukku?”
Dan
kata-katanya kini benar-benar menghancurkan keangkuhanku. Kakiku seperti kaku.
Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apa? Aku merasakan tubuhku
menghangat. Respon yang sedari tadi aku tahan kini malah secara langsung
terkirim ke syaraf-syarafku.
Aku marah.
Namun aku
berusaha sangat keras agar kekesalanku tertahan. Kuucap istighfar berulang
kali, dan dengan sangat susah payah aku berucap…
“Bang
Faisal… jangan pernah mengulang kesalahan yang sama. Jaga apa yang sudah anda
punya. Dan satu hal lagi, bukan urusan anda tentang kebahagian saya…”
Aku
melangkah dengan terburu-buru. Tak ada alasan bagiku untuk tinggal dan merespon
segala ucapan dan tingkah lelaki itu. Jantungku berdetak cepat bukan karena aku
bahagia tapi karena aku marah.
***
Akhirnya
hari ini kami pulang. Hanya tiga hari, namun aku begitu rindu rumah. Kulangkah
kan kakiku dengan semangat menuju terminal 3. Saking semangatnya aku hampir
tersandung kakiku sendiri.
“Ah…”,
ucapku dan baru kusadari aku tak jadi terjatuh karena lenganku ditahan
seseorang.
Nadine… Itu…
Zack!! Aku langsung mengalihkan pandanganku mencari arah suara itu.
“Hati-hati…”,
setelah menyadari bahwa lelaki itu yang menahanku, kulepaskan lenganku dari
genggamannya.
“Nadia,
kamu gak apa-apa nak?”, tanya Ummi cemas, namun pandangan itu langsung berubah
manis ketika dia menyadari apa yang telah dilihatnya. Ah… Ummi, ternyata masih
berharap.
“Makasih…”,
ucapku kaku.
“Kamu gak
apa-apa kan?”, tanyanya, aku menggeleng.
Apa tadi
hanya halusinasiku saja. Suara itu sangat jelas dan aku masih ingat panggilan
itu. Ya Allah, aku merindukannya lagi hingga aku berhalusinasi lagi. Ummi dan
Bang Faisal melanjutkan langkahnya. Aku merapikan blezerku dan bersiap
melangkah lagi, namun… apa mungkin aku berhalusinasi? Suaranya sangat jelas.
Kupalingkan
wajahku melihat sekeliling, namun sepertinya memang angan-anganku saja. Tak ada
satu pun yang menunjukkan lelaki itu, kecuali…
Eh…tunggu-tunggu…
tiba-tiba jantungku berdegup kencang…
Aku
tinggalkan koperku dan berjalan tergesa-gesa. Aku tak memperdulikan ketika Bang
Faisal memanggil-manggil namaku. Aku terus berjalan, sampai aku merasa yakin
suaraku sudah cukup jelas untuk didengar untuk memanggil nama itu…
“Zack!”,
panggilku. Dan tak ada respon sama sekali. Postur tubuhnya serupa. Tinggi
menjulang dengan ukuran tubuh yang tepat. Namun, satu hal yang membuatku ragu,
gaya rambutnya yang berubah total, dan sepertiny lelaki ini memakai kacamata.
Dan aku jarang sekali melihat Zack memakai kaca mata.
Namun
sepertinya aku keliru, seorang yang kucurigai sebagai Zack itu terus berjalan
terburu-buru dan tak berpaling sama sekali. Aku terdiam, ada rasa putus asa.
Kukira ini saatnya Zack… Aku menunduk dan perasaan bahagia yang tadinya
kurasakan karena akan segera pulang kini malah berujung air mata yang tak
kusadari telah jatuh dipipiku. Dan ini konyol, hanya karena lelaki itu. Hanya
karena Zack. Ada perasaan menyesal yang luar biasa menyerangku. Luka lama yang
selama hampir setahun aku kunci rapat, kini seperti berdarah lagi. Aku menyesal
telah mengabaikannya.
“Dzaki
Ar-Rafa…”, ucapku lirih dalam tangisku. Ini konyol, aku menangis di tempat umum
seperti ini. Kudengar suara langkah kaki mendekat disela-sela tangisku.
“Why are
you crying here? Ini…”, suara itu mengejutkanku. Satu tangannya menyodorkan
sebuah sapu tangan. Kuraih sapu tangan itu dan mendongak…
“What..hh..
are you doing..hh.. here?”, tanyaku masih dalam tangisku. Pertanyaan bodoh yang
keluar dari mulut seseorang yang sedang bahagia sepertiku. Yaa…aku bahagia
sekarang, tangisku tangis kebahagiaan.
Namun wajah
itu hanya tersenyum.
“You
called my name, didn’t you?”
Dan detik
ini aku mulai mensyukuri keberadaanku di Singapore. Alhamdulillah, Thanks Ya
Rabbii…