Minggu, 18 Maret 2012

Plot and Me 13 - Arrival, Regret and Pleasure





I am home.

Alhamdulillah. It’s been a year since I left for studying.
Akhirnya hari ini aku bisa menikmati udara di kota kelahiran tercinta.
Mamak dan Ayah berencana mengadakan sedikit syukuran kepulanganku, namun aku mengatakan pada mereka agar acaranya disatukan dengan wisudaku saja sekitar tiga bulanan ke depan, jadi tidak berulang dan merepotkan, kebetulan bulan Maulid juga akan segera datang.

Dan malam itu ternyata diluar pengetahuanku (dan sepertinya orangtuaku dan Naisya memang tak ingin memberitahuku), mamak dan ayah mengutarakan niat keluarga Evan (kekasih adikku) yang ingin meminang Naisya segera.

“Kak… apa Kakak ikhlas?”, Tanya mamak malam itu. Kami bertiga duduk di ruang keluarga. Naisya telah tidur dari tadi. Aku tersenyum.
“Mamak, Ayah… Dari dulu Nadia memang sudah ikhlas kok! Gak apa-apa mak, jangan ditunda lagi. Naisya sama Evan juga sudah lama punya hubungan, gak enak kalau digantung terus. Lagian ini bukti kalau Evan benar-benar serius. Nadia baik-baik saja kok. Mungkin Naisya akan melangkah terlebih dahulu, kita gak pernah tahu takdir Tuhan kan?”

Akhirnya orang tuaku benar-benar melakukan janjinya, ketika Naisya telah selesai kuliah, tak ada alasan untuk menunda lagi. Aku tahu terlalu banyak harapan padaku setahun yang lalu, tapi mungkin inilah jalannya. And I know that’s the best. Bagaimana mungkin aku menikah dengan orang yang sama sekali tak mengharapkanku.

Aku benar-benar tidak apa-apa, namun yang paling aku takutkan adalah ketika mamak yang merasa sedih atau Naisya yang merasa bersalah. Maka aku berusaha keras mengatakan kepada keduanya agar mempercayaiku bahwa aku benar-benar baik-baik saja. Satu hal lagi yang membuatku cemas, komentar keluarga besar, dan aku yakin hal itu pasti terjadi. Dan ujung-ujungnya yang tersakiti bukan cuma aku, tapi juga Naisya juga mamak.

***

Acara lamaran pun berlangsung. Ini sekaligus dengan pemberian tanda atau bahasa kerennya “pertunangan”. Ya, kini Naisya telah bertunangan dan selesai dia wisuda sekitar 4 bulan ke depan, pernikahan akan berlangsung. Aku bahagia. Dan aku berharap Naisya juga bahagia. Namun, ketika malam itu aku melihat wajahnya dan mamak seperti ada sedikit kegusaran disana dan aku tahu alasannya. Tatapan itu malah semakin terlihat ketika mata kami saling beradu. Ah…Naisya, kamu memang bukan sekedar saudaraku.

Dan seolah semua yang kucemaskan terjadi malam itu. Aku rasanya ingin pergi sejanak dari rumah karena aku tak sanggup mendengar komentar apapun, dan yang paling tak ingin kusaksikan adalah wajah mamak dan Naisya ketika mendengar komentar-komentar itu.

“Jadi gimana niyh, masa Nadia dilangkahi? Memang baiknya dia menikah dulu sebelum ngambil S2”, ucap salah satu bundaku.

“Kan benar kata Rahmi, memang ini akan terjadi… Naisya akan melangkahi Nadia…”, sepupuku Rahmi ikut berkomentar. Rasanya kalimatnya dulu seperti doanya buatku. Aku beristighfar dalam hati. Kami hanya diam.

“Ini lah akibatnya cut kak, ketika Nadia dibiarkan pergi ke negeri orang dulu, ngambil s2 laah… apa gak sulit ntar lelaki untuk datang lagi?”, komentar sepupu ibuku. Aku sedih bukan karena aku merasa dilangkahi, tapi aku sedih karena mereka tidak mengerti posisi kami. Memangnya kepergianku ke Amerika membuatku jauh dari jodoh? Apa akan menjamin jika aku tak melanjutkan studiku, tapi aku akan menikah?

Dan masih banyak komentar lainnya seolah aku tak disana, hingga Cecek Dewi, bundanya Kiki dan Kak Dira angkat bicara,

“Kenapa mesti berkomentar macam-macam, mungkin memang jalan begini. Naisya duluan yang melangkah kan tidak haram. Lagian Nadia juga masih muda…”

“Iyya, Kiki juga belum akan menikah dalam waktu dekat. insyaAllah semuanya sudah yang terbaik. Komentar-komentar seperti itu seharusnya dihilangkan, gimana perasaan Kak Azizah”, sambung bundanya Kiki. Mamak hanya tersenyum, namun aku tahu perasaannya gundah. Tapi beliau kembali hanya diam.

“Lagian mungkin ini salah Dira. Seandainya Dira gak mengenalkan Nadia dengan orang yang salah…”

“Udah Kak, itu gak usah diungkit lagi…”, ucapku sambil tersenyum.

Kiki yang duduk disampingku membelai pundakku. Aku tahu dia sedang menyelami perasaanku, jdai kupaksakan sebuah senyuman untuknya.

“InsyaAllah Nadia juga akan segera, mungkin sebelum Naisya menikah. Kita gak pernah tahu takdir Allah. Jadi, kami mohon doanya saja…”, akhirnya mamakku bersuara dan aku mengaminkan dalam hati. Mamak juga Naisya, aku tahu sekali perasaan mereka. Biar aku saja yang menanggung ini semua, jangan ada kesedihan di hari bahagia ini. Rasanya aku benar-benar ingin menangis.

Acara selesai. Para kerabat telah pulang. Kiki memohon pada bundanya untuk menginap. Aku akan memasuki kamar, ketika mamak kembali memanggilku…

“Nadia, adikmu ingin bicara…”, kulihat wajah mamak dan ada gurat kesedihan disana dan ini yang paling aku takutkan. Sebenarnya ada apa? Kiki menanyakan lewat matanya, aku hanya menggeleng.

Ketika aku duduk di sofa ruang keluarga itu, kulihat Naisya sedang menunduk dan badannya sedikit bergetar. Naisya menangis. Ada apa? Ketika dia menyadari kehadiranku, dia bangkit dan langsung memelukku. Tangisnya pecah dipundakku. Seolah bersambut, sebulir air mata jatuh. Tangis yang sedari tadi aku tahan akhirnya tumpah bersamaan dengan isak Naisya.

“Kee…e..napa Sya? Kenapa nangis?”, tanyaku.

“Kak… maafin Sya yaa? Ma..aa..af? hu…huuu…”, ucapnya kesulitan didalam tangisnya. Aku menarik nafas panjang, mencoba menelah ludah yang terasa sulit sekali. Tenggorokanku terasa berat karena aku benar-benar berusaha menelan tangis itu. Kulihat Mamak mulai terisak dan Kiki juga sudah berlinang air mata. Ayahku hanya menunduk. Aku tak mungkin menambah sendu suasana, aku tak boleh menangis.

“Gak ada yang perlu dimaafkan Dik! Ini jalan Allah… Udah, berhenti nangisnya, nanti aku juga ikut nangis… Dengar Naisya, kakak udah pernah bilang kalau kakak gak apa-apa dilangkahi sama kamu. Toh, usia kita gak jauh berbeda. Mungkin yang terbaik ketika kamu harus menikah sebelum aku, ada hikmah Dik”.

***

Aku terisak dalam sujudku malam itu. Aku benar-benar ikhlas kan Tuhan? Aku ikhlas. Tapi, ada kesedihan yang luar biasa disalah satu sudut hatiku. Hanya padaMu aku bisa jujur kalau aku sedih akan semua ini. Aku mohon kesabaran.

Selesai melipat mukena. Aku terduduk di tepi ranjang. Kiki bangkit dari tidurnya yang memang mungkin tak nyenyak dari tadi. Aku tahu sekali, sepupuku itu mengkhawatirkanku.

“Aku gak tahu gimana perasaan kamu sekarang Nad, yang jelas kamu sedih kan? Kamu yang tahu seikhlas apa kamu sebenarnya. Kamu menjadi sangat sedih lagi ketika mendengar komentar-komentar itu kan? Nad, mungkin perkataanku memang tak berarti sama sekali karena aku memang tak sedewasa kamu dan Naisya. Siapa siyh yang ingin dilangkahi? Siapa juga yang ingin anak-anaknya mengalami ini, aku bisa ngerti perasaan bunda tadi. Tapi Nad, Naisya masih bertunangan, belum menikah dan itu masih beberapa bulan ke depan. Aku berdoa dan yakin seribu persen Allah sedang menyiapkan sesuatu untukmu.”

Aku menatap sepupu itu. Sejak kapan kamu sedewasa ini gadis ababil? Kamu berubah banyak sejak delapan bulan kita tak bertemu. Aku tersenyum padanya dan mengaminkan kata-katanya.

***

Belum habis drama “pertunangan Naisya”, hari ini ketika aku sedang membantu Ayah di kebunnya, seorang datang. Dengan mobil Vitara silvernya, dia memasuki perkarangan rumahku.

“Kak… ada Ummi!”, panggil ibuku.

Ummi? Akhirnya beliau datang. Aku memang berjanji menghubunginya ketika aku telah pulang. Ummi sepertinya memang sangat menyayangiku, awalnya kukira ini hanya rasa penyesalannya akan kejadian setahun lalu. Namun, bahkan ketika aku di States beliau selalu menghubungiku, menanyakan kabar, mengirimiku makanan dan bahkan melalui suadaranya di Eropa mengirimiku Jaket untuk persiapan Winter. Dan yang paling aku tak mengerti sebulan sekali mengirimiku uang. Aku sudah berusaha mengembalikannya, namun Ummi merasa sedih. Orangtuaku saja tak sebegitunya, namun beliau begitu memanjakanku.

Ummi memelukku erat ketika aku masuk (sedikit risih karena tubuhku sedikit berkeringat karena asik membantu ayah di kebun), dan wanita itu harum sekali.

“Nadia, Ummi kangen sekali sama Nadia, apa kabar nak?”

“Alhamdulillah sehat Ummi…”

“Makanan yang ummi kirim sampai kan? Kamu gemukan, Alhamdulillah…”, aku hanya tersenyum ketika Ummi menyentuh pipiku yang sedikit berpeluh.

“Ummi apa kabar?”, tanyaku saat dia dengan sangat intensnya memandangku.

“Sehat Nak, Alhamdulillah…”, ucapnya dan tersenyum.

Mengalirlah pembicaraan dengan wanita cantik itu. Awalnya hanya seputar kegiatanku setelah pulang. Tiba-tiba satu pertanyaan muncul dikepalaku ini, Bang Faisal apa kabar? Sudah menikah belum? Sepertinya sudah… Ah, sudahlah, sudah bukan urusanku. Dan akhirnya pertanyaan itu menghilang begitu saja sampai…

“Nadia…”

“Tuan, Ummi…”

“Nadia mau gak bantuin ummi, nak?”

“InsyaAllah kalau Nadia sanggup, pasti Nadia bantu…ada apa Ummi?”

“Ummi mau ngajak Nadia ke Singapore… Nadia ada waktu minggu depan? Hanya tiga hari ketika weekend…”

Hah? Ke Singapore? Ngapain? Waah…kalau diposisi normal, siapa yang akan menolak ajakan itu, tapi ini aku baru pulang dan berangkat lagi…sepertinya tidak..

“Tapi Ummi…”

“Nadia, Ummi mungkin terlalu egois, tapi Ummi sangat berharap kalau kamu bisa temanin Ummi…”, potongnya sambil mengambil sesuatu dari tas. Dan betapa terkejutnya aku ketika akhirnya wanita itu menyerahkan sebuah amplop kecil, aku membukanya dan itu sebuah tiket pulang pergi Singapore atas namaku.

Aku hanya bisa diam. Kumpulan kertas berjudul “Tiket” itu kini juga hanya bisa menjadi saksi bisu betapa bimbangnya aku.

***

Singapore, I am here now.

Yaaa…negeri dengan sebuah patung unik penuh makna, Merlion, yang kutahu sebagai singkatan dari Marmalade dan Lion. Aku berdiri tepat didepan patung itu, menikmati sejuknya udara di Merlion Park.

Setelah dua hari keberadaanku disini, akhirnya aku tahu kenapa Ummi mengajakku kemari. Berbelanja. Yaa…itu mungkin kata biasa saja, namun itu akan berubah drastic ketika kata itu kemudian disandingkan dengan kata-kata yang lain. Saat itu aku sedang di ION Orchard menemani Ummi berbelanja, beliau memintaku memilih semua barang, seperti tas, sepatu, pakaian. Warna, bentuk dan gaya semuanya diserahkan kepadaku. Awalnya aku biasa saja, namun ketika hitungan benda yang dibeli semakin tak karuan aku sedikit curiga apalagi ketika Ummi senantiasa mendoublekan belanjaannya…

“Nadia suka warna merah atau Ungu?”

“Hmm…Merah cantik Ummi…”

“Oke, kita ambil dua-duanya. Satu untuk Nadia yang merah, dan ungu untuk Ummi…”
Aku mulai curiga. Sebenarnya apa tujuan Ummi? Kenapa malah benda yang dibeli itu sesuai dengan usiaku dan…

“Ummi, kenapa kita belanja sebanyak ini? Untuk Ummi semua benda ini?”, tanyaku kemudian, kuberanikan diri ketika akhirnya perasaanku mulai tak enak. Wajah itu kini sedikit terkejut. Beliau hanya diam.

“Ummi…”

“Nadia, kita lanjut lagi yaa…disebelah sana ada Prada. Kita liat-liat yaa…mungkin ada tas bagus…”, ucapnya mulai mengalihkan.

Aku pun kembali hanya diam saja. Ada perasaan tak enak terus menyerang. Aku semakin tak bersemangat, awalnya hanya karena semua benda-benda disini bermerek dan kedua karena ketidakjelasan ini semua. Ummi terlihat semangat memilih-milih dan sesekali mengangkat telpon.

***

Aku duduk termenung disalah satu bangku taman memandangi si patung Merlion itu. Sebelah kanan dan kiriku penuh dengan kantong belanjaan. Ku alihkan pandanganku ke satu persatu kantong itu yang bertuliskan berbagai macam merek terkenal. Tak ada yang bisa menghapus kegundahanku. Ada yang salah dengan semua ini.

“Ini minum dulu Nadia… kamu pasti capek!”, ucap Ummi mengejutkanku.
Aku mendongak. Apa mungkin kalau aku menanyakannya sekarang. Tapi sepertinya Ummi menghindari segala pertanyaanku. Ummi duduk disampingku.

“Ummi…”

“Ya…”

“Sebenarnya ini ada apa? Untuk apa kita belanja sebanyak ini?”, tanyaku dan lagi-lagi wajah itu menyiratkan sesuatu. Wanita itu terdiam.

“Nadia… sebenarnya… hmm… apa kamu benar-benar ingin tahu?”, aku kini menghadapnya dan mengangguk. Benar perkiraanku, memang Ummi menyimpan sesuatu dariku.

“Nadia… begini, hmmm… semua ini untuk persiapan pernikahan…”, kini wajah itu menunduk. Pernikahan? Pernikahan siapa? Tidak mungkin ini untuk pernikahanku kan?

“Ummi…”, sebuah panggilan mengejutkanku. Dan aku masih kenal suara itu. Aku berpaling, dan memang benar dugaanku.

Lelaki itu kini mendekat. Aku kini menoleh kembali kepada Ummi dan kini wajah cantik itu sudah menatapku kembali. Dan pandangan itu… sendu.

“Maafkan Ummi, Nak! Ummi hanya ingin melibatkan Nadia, Ummi terlalu sedih kehilangan kamu…”

Ku lihat lagi kearah semua belanjaan itu. Iyaa…kenapa aku tak kepikiran sama sekali. Ya Allah…ini semua untuk “bawaan” ke calon menantu saat resepsi nanti. Ada seberkas rasa perih dihatiku. Jadi semua pilihanku, akan diberikan kepada…

“Ini bawaan untuk Vina nanti Nadia. Ummi ingin semuanya kamu yang memilih. Terlalu egois memang, tapi…”

Kini tangan lembut Ummi sudah menggenggam tanganku. Aku menatapnya. Ya Allah, apa aku sanggup merasa kecewa pada wanita ini? Tidak. Aku tahu, semua ini karena beliau menyayangiku. Tapi, tak kupungkiri ada sedikit rasa perih dihatiku.

“Nadia… Maafkan Ummi yaaa…”, aku hanya diam, namun…

“Ummi… gak ada yang mesti dimaafkan…”, ucapku berusaha tegar.

Namun, aku hanya manusia biasa. Di situasi biasa, aku benar-benar tak merasa sedih, namun di posisi ini ada perasaan perih menyerang. Dan aku tahu persis ini bukan rasa cemburu atau semacamnya, aku merasa… Ah, semua pilihanku ternyata hanya jadi “hadiah” dari calon suami untuk si calon istri pada hari resepsi, dan diperparah calon suami itu adalah…

“Assalamualaikum…”

Lelaki itu adalah dia. Bang Faisal. Lelaki yang dulunya pernah sedikit memanipulasi hatiku, namun dia juga akhirnya yang menyadarkanku akan… perasaanku pada lelaki charming itu. Zack… kenapa aku harus mengingatmu ketika aku diposisi sulit begini.

Kurasakan perih dibibirku, yaa…sedari tadi aku berusaha menahan rasa perih hatiku agar tidak mengirimkan respon ke otak hingga bening-bening air mata tak memaksa keluar. Aku bangkit, menyalami lelaki itu dan berusaha keras tersenyum. Dia menggenggam tanganku sedikit lama dan… Ah, ada sesuatu di mata itu. Aku terhenyak.

***

Bening-bening akhirnya jatuh ketika aku menghadapNya. Aku keluar dan duduk di lobi penginapan dan menikmati pemandangan kota yang indah dimalam hari.

Aku merasa kecewa pada diri sendiri, kenapa tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, kenapa menerima penawaran Ummi untuk mengikutinya kesini. Kini aku benar-benar menyadari bahwa semua yang aku lakukan disini hanya sia-sia. Aku memilih semua barang sesuai keinginan dan seleraku dan semuanya itu akan diberikan untuk “hantaran” perempuan lain. Dan sudah jelas perempuan itu yang pernah berada di dalam hubunganku dengan Bang Faisal. Bukan karena aku cemburu. Bukan.

Toh, semua benda itu juga sebagian besarnya aku punya, Ummi senantiasa membeli double. Tapi, ada perasaan yang sangat tidak nyaman menyerang, bagaimana perasaan Vina jika tahu bahwa semua barang-barang itu adalah pilihanku? Karena jika aku diposisinya, aku pasti akan sangat kecewa.

Ah…aku kini mulai menertawakan diri sendiri. Aku merasa seperti malaikat yang sangat konyol, mengkhawatirkan seseorang yang… Ah, sudah laah!
Ya Allah, aku ingin pulang. Perih hati karena persoalan Naisya belum sembuh total, kini aku dicoba lagi dengan hal ini.

“Kamu bahagia, Nadia?”, suara itu bukan hanya menghancurkan lamunanku, namun dengan secara langsung menghancurkan moodku yang memang sudah jelek.

Aku bangkit dan tak ingin berusaha menjawab pertanyaan yang bagiku tak bermakna itu.

“Kenapa kamu pergi? Apa kamu masih terlalu sakit hati?”

Langkahku sedikit terhenti. Apa katanya? Sakit hati? Aku hembuskan nafas dan berusaha melangkah lagi.

“Nadia, apa masih ada kesempatan untukku?”

Dan kata-katanya kini benar-benar menghancurkan keangkuhanku. Kakiku seperti kaku. Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apa? Aku merasakan tubuhku menghangat. Respon yang sedari tadi aku tahan kini malah secara langsung terkirim ke syaraf-syarafku.

Aku marah.

Namun aku berusaha sangat keras agar kekesalanku tertahan. Kuucap istighfar berulang kali, dan dengan sangat susah payah aku berucap…

“Bang Faisal… jangan pernah mengulang kesalahan yang sama. Jaga apa yang sudah anda punya. Dan satu hal lagi, bukan urusan anda tentang kebahagian saya…”
Aku melangkah dengan terburu-buru. Tak ada alasan bagiku untuk tinggal dan merespon segala ucapan dan tingkah lelaki itu. Jantungku berdetak cepat bukan karena aku bahagia tapi karena aku marah.

***

Akhirnya hari ini kami pulang. Hanya tiga hari, namun aku begitu rindu rumah. Kulangkah kan kakiku dengan semangat menuju terminal 3. Saking semangatnya aku hampir tersandung kakiku sendiri.

“Ah…”, ucapku dan baru kusadari aku tak jadi terjatuh karena lenganku ditahan seseorang.
Nadine… Itu… Zack!! Aku langsung mengalihkan pandanganku mencari arah suara itu.

“Hati-hati…”, setelah menyadari bahwa lelaki itu yang menahanku, kulepaskan lenganku dari genggamannya.

“Nadia, kamu gak apa-apa nak?”, tanya Ummi cemas, namun pandangan itu langsung berubah manis ketika dia menyadari apa yang telah dilihatnya. Ah… Ummi, ternyata masih berharap.

“Makasih…”, ucapku kaku.

“Kamu gak apa-apa kan?”, tanyanya, aku menggeleng.

Apa tadi hanya halusinasiku saja. Suara itu sangat jelas dan aku masih ingat panggilan itu. Ya Allah, aku merindukannya lagi hingga aku berhalusinasi lagi. Ummi dan Bang Faisal melanjutkan langkahnya. Aku merapikan blezerku dan bersiap melangkah lagi, namun… apa mungkin aku berhalusinasi? Suaranya sangat jelas.

Kupalingkan wajahku melihat sekeliling, namun sepertinya memang angan-anganku saja. Tak ada satu pun yang menunjukkan lelaki itu, kecuali…

Eh…tunggu-tunggu… tiba-tiba jantungku berdegup kencang…

Aku tinggalkan koperku dan berjalan tergesa-gesa. Aku tak memperdulikan ketika Bang Faisal memanggil-manggil namaku. Aku terus berjalan, sampai aku merasa yakin suaraku sudah cukup jelas untuk didengar untuk memanggil nama itu…

“Zack!”, panggilku. Dan tak ada respon sama sekali. Postur tubuhnya serupa. Tinggi menjulang dengan ukuran tubuh yang tepat. Namun, satu hal yang membuatku ragu, gaya rambutnya yang berubah total, dan sepertiny lelaki ini memakai kacamata. Dan aku jarang sekali melihat Zack memakai kaca mata.

Namun sepertinya aku keliru, seorang yang kucurigai sebagai Zack itu terus berjalan terburu-buru dan tak berpaling sama sekali. Aku terdiam, ada rasa putus asa. Kukira ini saatnya Zack… Aku menunduk dan perasaan bahagia yang tadinya kurasakan karena akan segera pulang kini malah berujung air mata yang tak kusadari telah jatuh dipipiku. Dan ini konyol, hanya karena lelaki itu. Hanya karena Zack. Ada perasaan menyesal yang luar biasa menyerangku. Luka lama yang selama hampir setahun aku kunci rapat, kini seperti berdarah lagi. Aku menyesal telah mengabaikannya.

“Dzaki Ar-Rafa…”, ucapku lirih dalam tangisku. Ini konyol, aku menangis di tempat umum seperti ini. Kudengar suara langkah kaki mendekat disela-sela tangisku.

“Why are you crying here? Ini…”, suara itu mengejutkanku. Satu tangannya menyodorkan sebuah sapu tangan. Kuraih sapu tangan itu dan mendongak…

“What..hh.. are you doing..hh.. here?”, tanyaku masih dalam tangisku. Pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut seseorang yang sedang bahagia sepertiku. Yaa…aku bahagia sekarang, tangisku tangis kebahagiaan.

Namun wajah itu hanya tersenyum.

“You called my name, didn’t you?”

Dan detik ini aku mulai mensyukuri keberadaanku di Singapore. Alhamdulillah, Thanks Ya Rabbii…





Tidak ada komentar:

Posting Komentar