Selasa, 24 April 2012

Plot and Me 14 - The Proposal on The Wedding




Lelaki itu berdiri tepat di depan matamu Nadia. Lelaki yang hampir setahun lalu kau anggap bulan yang tak akan pernah kau gapai, lelaki yang ternyata menyimpan perasaan padamu. Apalagi yang aku cari. He’s there, Nadia. Tell him!!

Tunggu, apa yang harus aku katakan? Seketika aku menjadi manusia paling bodoh sejagad raya. Ya…bagaimana tidak bodoh jika dihadapkan pada kenyataan ini, bahkan aku tak sanggup berlama-lama melihat kearahnya. Sekali mendongak, aku langsung menunduk lagi karena aku selalu menemukan mata itu sedang melihat tepat ke mataku. Semuanya berubah ketika aku tahu semuanya. Mengetahui bahwa perasaanku berbalas. Ironisnya, aku bahkan menyadari perasaanku ketika dia telah pergi dan meninggalkan kenyataan bahwa dia... Ah...

Rasanya waktu berjalan begitu cepat, aku harus bagaimana Tuhan. Kalau aku bisa meminta, it’s not a big problem for standing here longer with him before my eyes. Tapi, ini tidak akan berjalan sepanjang hari. Aku dan Zack pasti segera akan berpisah lagi.

“Zack…”, kini kuberanikan diri mendongak.

Dan lagi-lagi mataku menemukan mata itu. Lelaki itu hanya tersenyum. Aku grogi. Aku bahkan kehilangan semua pembedaharaan kata-kata. Dan itu berujung pada salah tingkah. Aku memasukkan tanganku kekantong blezerku untuk mengurangi rasa grogiku.

“Kenapa?”, kini Zack mulai bersuara.

Aku menggeleng. Haduuh…jangan-jangan dia tahu aku grogi.

“Why did you drop my handkerchief?”,

O…ow!!! salah duga.

Zack mengambil sapu tangan yang kujatuhkan karena “salah tingkah” berlebihan.

Zack kemudian bangkit. Angin semilir membawa aroma harum menyentuh hidungku. Ini aroma parfum Zack. Lihaat…bahkan aku masih ingat aroma ini.

“Kamu apa kabar?”, tanyanya kemudian dengan bahasa yang semakin kaku.

“Heh… Alhamdulillah aku baik…”, jawabku sedikit salah tingkah. Dia lagi-lagi tersenyum, dan semuanya kembali kaku. Diam seribu bahasa (seperti disinetron-sinetron, ternyata memang begini rasanya, hehe)

“Kamu ?”, tanyaku singkat berusaha mencairkan suasana. Ada perubahan padamu Zack, kamu kelihatan kurus, wajahmu tirus. Kamu baik-baik saja kan Zack?

“Like you see, I am still good looking, aren’t I? hehe…”, ucapnya kemudian sambil terkekeh. Aku mengangguk dan membalas dengan senyuman. Iyya, bagaimanapun perubahan kamu saat ini, kamu tetap actor utama dimataku.

“Tapi kamu kurusan Zack… are you oke?”

“Heh? Ah… you’re kidding me! I am fine…hehe. Tell me the truth! You worry about me, don’t you?”
Nah…kan, dia tetap saja tak bisa serius. Kali ini aku benar-benar tak bisa tersenyum lagi.

“Zack… I am serious!”, ucapku tegas. Kulihat ada perubahan diwajahnya dan kini lelaki itu kelihatan gundah, dia membuang pandangannya. Sebenarnya ada apa Zack?


Suara panggilan penerbangan mengejutkanku. Kudengar baik-baik, dan Alhamdulillah itu bukan nomor penerbanganku. Tentu, itu kan penerbangan ke London. Namun… iyyaa, kenapa aku tak menduga sama sekali. Kulihat wajah yang kini sedang menunduk itu tersenyum, namun kali ini aku tahu arti senyuman itu.

“I have to go now, Nadia...”, ucapnya kemudian. Dan itu memang sudah menjadi dugaanku. Ada sedikit perih dihatiku. Apa ini saatnya? Kenapa begitu singkat, Ya Rabb?

Tak ada respon yang keluar dari mulutku, bahkan ketika mata kami kemudian bertemu. Aku tak tahu harus berkata apa. Zack masih menunggu respon dariku, hingga...

“Mudah-mudahan kamu bahagia, Nadia. Say my love to Ayah and Mamak juga Naisya. Good bye, Nadia! Assalamualaikum...”, ucapnya sambil berbalik dan melangkah. Aku masih diam membisu. Apa ini ujung perjumpaan ini? Apa ini yang kuharapkan? Zack, apa ini juga yang kamu harapkan? Apa sudah tidak ada lagi perasaan yang tersisa untukku?

Tidak! Aku harus bisa memperjuangkan perasaanku, at least I try.

“Zack, tunggu!”, panggilku sambil menarik lengannya. Zack sedikit terpana, dan kami kini kembali saling berpandangan.

“Nadia!!”, panggil Ummi dari kejauhan. Aku menoleh, namun hanya sepersekian detik.

Buru-buru kuambil pulpen yang sangat aku syukuri berada di dalam tasku. Kuraih tangan Zack yang kusadari sangat terkejut (mungkin karena dia menyadari betapa beraninya aku memegang tangannya sekarang). Entahlah. Namun, itu lah satu-satunya cara yang terlintas dipikiranku. Kutuliskan sederetan angka disana, dan aku yakin dia mengerti. Kemudian aku memandangnya yang memang sedang menatapku.
“Zack, I’ve got so much to tell you...”, ucapku. Pandangan itu kian melembut tak seperti biasanya. Aku terpana. Apa aku salah bicara.

“Zack... We need to talk... Really!”, kuulangi lagi karena kurasa dia tak mengerti perkataanku. Dan tak seperti dugaanku, kini lelaki itu sedikit menunduk sehingga tinggi kami hampir sama. Kini mata kami seolah sangat dekat. Detak jantungku sedikit lebih berirama dan wajahku menghangat tanda malu. Zack menebar senyumnya yang semanis air tebu itu, sambil mengusap kepalaku lembut.

“I’m leaving, Nadia. Assalamualaikum...”, aku menjawab salamnya. That’s it.

Dan dia pergi.

***

“Itu Zack kan?”, tanya Bang Faisal ketika aku melewatinya menuju Ummi. Aku mengangguk dan kembali melangkah.

“Kurasa kamu sudah berhasil menghapus kesedihan... semua karena lelaki Chinese itu, ya kan?”, tanyanya dan kini membuat langkahku terhenti. Aku tersentak. Satu suara dihatiku bersuara, Dan itu bukan urusan anda, Faisal! Just enjoy your wedding wanna be!  Namun, aku buru-buru beristighfar.

“Sebaiknya persoalan dahulu tidak perlu dibicarakan lagi, enggak ada gunanya lagi kan...”, ucapku dan kembali melangkah. Kurasa Ummi mendengar semuanya karena sekilas kulihat wajahnya berubah.

Hanya hitungan menit, namun bagiku itu merupakan anugerah luar biasa. Aku tak henti-hentinya mengucap syukur. Allah tentu punya sesuatu yang aku tak pernah tahu, dan kini aku benar-benar tak menyesali keberadaanku di Singapore. Memoriku akan detik-detik bersamanya beberapa waktu lalu seolah berterbangan di pikiranku.

***

“Aku ketemu Zack!”, ucapku ketika Naisya dan Kiki menjemputku di bandara. Keduanya tampak terkejut namun hanya sejenak ketika ku ceritakan kronologisnya.

Asumsiku mulai bekerja, kecemasan melanda. Kenapa aku tak meminta nomor telponnya? Kenapa aku hanya menuliskan di telapak tangannya? Bagaimana kalau tinta itu kemudian menghilang? Bagaimana bisa Zack bisa menghubungiku. Gimana ini, gimana itu...

Rasanya sangat bahagia memberitahukan berita ini ke mamak dan ayah, tapi mengingat asumsiku yang memang kuanggap beralasan itu. Betapa sejuknya hati melihat senyum yang tersungging di wajah orang tuaku mendengar nama “Dzaki Ar-Rafa” kusebut.

“Zaki ke Aceh lagi Nadia? Kapan? Mamak pengen sekali ketemu...”

Deg... pertanyaan ini yang memang sudah aku duga akan keluar dari mulut orang tuaku. Aku hanya tersenyum. Dan itu mungkin sudah cukup membuat mengerti bahwa aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. See... aku sedikit menertawakan diriku sendiri, kini kebiasaan Zack malah menular padaku.

Sehari setelahnya, aku mulai menunggu. Kemana aku pergi, senantiasa handphone kubawa. Setiap dering aku berharap itu dia. Namun, hari itu terlewatkan tanpa ada tanda-tanda Zack sama sekali. Aku masih berusaha berpikir positif.

Seminggu pun berlalu. Masih dengan keadaan yang sama. Aku senantiasa memandangi handphoneku itu. Jangan-jangan memang benar asumsiku itu benar, atau kalau pun bukan itu, mungkin aku salah memberinya nomor...

“Hei...melamun aja, handphone itu gak akan lari kemana-mana, ngapain dipandangin gitu...?”, kejut Naisya. Aku langsung meletakkan handphoneku diatas meja kembali dan melanjutkan tontonanku.

“Ah...dia kan lagi nunggu telpon dari Zack... Tiap dering telpon berharap itu adalah Zack...”, lanjut Kiki yang langsung berbuah sikutan dilengan oleh Naisya. Aku menoleh. Sampai sekarang Kiki dan Naisya masih saja bisa membaca pikiranku.

Aku benar-benar berusaha mengingat wajahnya, ada dimana aku begitu lemah. Aku tahu itu salah, namun disatu sisi aku ketakutan ketika aku akan melupakan wajah itu. Keadaan ini menjadi parah ketika Zack benar-benar tak menghubungiku. Untaian kata dilirik “One and Only” milik Adele benar-benar menggambarkan keadaanku.
You’ve been on my mind, I grow fonder every day, lose my self in time.
Just thinking of your face, God only knows.
Why it’s take me so long, to let my doubts go.
You’re the only one that I want.

Dan kini keadaan itu lebih parah ketika usaha meng”save” rupa itu didalam memoriku malah berujung pada halusinasi. Beberapa kali aku hampir salah memanggil orang karena aku merasa melihat Zack. Benar-benar memprihatinkan, namun bukannya meratapi keadaan diri, aku tertawa. Mungkin ini ujian Allah karena telah menduakanNya terang-terangan.

Time goes by, kini sudah dua minggu berlalu dan semuanya masih sama. Sepertinya memang jodohku dengan Zack hanya sampai dipertemuan dibandara Chagi aja. Mungkin Allah pun tidak tega melihat aku menangis hingga mengirimkan Zack sejenak untuk bisa meredam kekecewaanku saat itu. Semuanya bisa terjadi. Atau mungkin saja Allah merasa aku belum sanggup kalau saja mengetahui Zack sudah... hmm.. Ya Rabb, kenapa aku tidak memeikirkan hal itu?? Jangan-jangan Zack sudah berhasil menendangku dari hatinya, ada perih yang terasa di hati, namun aku tetap berusaha berpikir positif.

Sebulan berlalu. Aku sudah mulai bisa menerima, ketika sebuah dering telpon mengejutkanku...

“Assalamualaikum... halo...”

“Nadia...”

***

“Nak, ini udah jam berapa? Kamu gak siap-siap?”, tanya mamak didepan pintu kamarku. Aku yang sedang melamun sedikit terhenyak.

Iyya, hari ini pernikahan Bang Faisal dan Vina.

“Mak... apa Nadia harus datang?”, tanyaku dan mamak hanya menjawab dengan ekspresi wajahnya. Aku mendesah.

Dari tadi lamunanku adalah berpikir keras antara hadir atau tidak ke pernikahan Bang Faisal dan Vina. Sejak seminggu lalu, dering telpon dari Ummi senantiasa menghiasi hari-hariku. Ada sedikit perasaan kurang nyaman menyerangku. Dan percaya atau tidak, Ummi sengaja mengirimkan seseorang untuk menjahitkan gaun untuk menghadiri acara sakral itu. Jangan tanya, seluruh keluargaku terhenyak. Dan kini aku termenung di depan gaun ungu pupus cantik yang sedang menanti untuk dikenakan.

“Nak, hadir untuk mendoakan, terutama untuk memenuhi undangan... itu kewajiban muslim terhadap muslim lain kan? Jangan mempertahankan ego, kamu sudah dewasa... Toh, memang kamu tidak merasakan apa-apa kan...”

Aku terhenyak. Kalimat-kalimat itu sudah sangat cukup membuatku bangkit dan mulai mempersiapkan diri. That’s mom. Kekuatan kata-kata yang limpahkan lewat bibirnya memang terkadang sangat powerful.

Mamak tersenyum.

Suara klakson mengejutkanku. Mamak tersenyum. Aku mendelik, sudah bisa ditebak siapa yang datang itu.

“Ngapain Kiki kes...”

“Dia datang jemput kamu, katanya mau datang sama-sama kesana...”, potong mamak. Sebelum aku merespon, suara langkah kaki mendekat...

“Oh my God!! Udah jam segini kamu belum dandan?”, ucapnya sedikit berlebihan. Mamak hanya bisa mengedikkan bahu dan pergi meninggalkan kami.

“Yuk...”, ucapku setelah selesai mengenakan jilbab dan menemukan Kiki sedang “mengerjai” kulkas didapur. Aku geleng-geleng.

“Rabbii, dandananmu yang menor dan kaya’ tante-tante itu belum cukup bisa membuatmu dewasa Ki, dan gadis cantik itu hanya terkekeh, namun hanya sejenak karena selanjutnya dia sudah melotot dan berteriak...

“Nadiaaaa...”,

“Astagfirullahal’adhim... what’s up??”, tanyaku yang terkejut bukan kepalang. Kini Kiki mendekat dan menyentuh pipi dan bibirku. Aku mundur. Apa-apaan ini anak? Jangan-jangan dia sudah berubah orientasi, ngapain dia nyentuh-nyentuh bibirku. Namun lagi-lagi dia mendekat, aku mundur lagi. Kini sebelum sempat mundur, Kiki sudah memegang bahuku. Oh, tidak. Aku mau diapain ini? Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku mencegah sesuatu buruk terjadi.

“Heh!! Kamu ngapain?”, tanya Kiki sambil memindahkan tanganku. Aku makin cemas.

“Kamu itu yang ngapain aku? Ngapain nyentuh-nyentuh pipi sama bibirku?”, tanyaku sambil melepaskan genggaman tangannya. Kiki tertawa terbahak.

“Kamu gak dandan?”, tanyanya polos dan dengan ekspresi datar. Aku terhenyak. Jadi... sebelum aku tersadar akan kecemasan berlebihanku, Kiki sudah terbahak.

“Haha... kamu kira aku udah gak normal?”, aku hanya bisa merespon pertanyaannya dengan tatapan polos seperti seseorang yang masih mengumpulkan roh yang tiba-tiba hilang.

“Eh, Non...kasihan bener gaun cantikmu itu kalau mukamu pucat gini..”, ucapnya sambil mencolek pipiku. Dan detik selanjutnya Kiki sudah menarikku.

“Wait here!”, ucapnya sambil mendudukkanku di sofa. Aku menurut saja karena memang aku masih terhenyak. Mamak hanya geleng-geleng sambil mengingatkan jam berapa akad nikah akan dilangsungkan.

***

Ihh...ini gara-gara Kiki niyh, karena dia memaksa mendadaniku, akhirnya kami hampir telat ke akad nikah. Aku bahkan tak sempat melihat bagaimana rupaku sekarang, dan bisa dibayangkan aku tampil dengan gaun dan dandanan yang aku sendiri tak tahu hasilnya, namun kakiku dengan sepatu karet yang sudah sangat tipis telapaknya karena terlalu banyak kugunakan berjalan.

“Ah...kan kita ke mesjid, ngapain juga mesti pakai sepatu bagus-bagus, toh entar dibuka juga...”, alasan Kiki ketika aku protes karena dia menarik paksa aku ke dalam mobil.

“Lha, menurut kamu dandan begini penting?”, tanyaku sewot. Kiki tersenyum sambil menyetel radio. Alunan “All the love in the world” miliknya The Corrs cukup membuatku terdiam.

I'm not looking for someone to talk to
I've got my friend, I'm more than O.K.
I've got more than a girl could wish for
I live my dreams but it's not all they say
Still I believe (I'm missing) I'm missing something real
I need someone who really sees me...

Ah...lagi-lagi aku teringat Zack. Aku mendesah. Seandainya saja bisa aku request Rabb, inilah harapanku padanya. Zack, are you truly the one who really can sees me? Dan memori tentangnya kembali datang.
“Kamu lagi apa?”
“Dengar musik, hehe...you can see that, don’t you?”, ucapku sambil mencabut earphone dari telingaku. Zack hanya tersenyum, dan tidak merasa sewot dengan kata-kataku sama sekali.
“Kamu suka musik gak?”
“Hmmm... yes! But I am not like you who just like to listen...”
“Meaning?”, tanyaku sewot.
Malam ini Zack datang hanya untuk mengantarkan coklat yang dikirim oleh orang tuanya, sebenarnya untuk Vanessa, tapi hanya karena mamak juga sangat suka coklat, Zack datang lagi-lagi sebagai seorang malaikat malam itu. Keluarga ku sedang shalat berjamaah, dan aku sedang libur, jadi aku yang terpaksa menyambutnya (sebenarnya tidak terpaksa siyh, hehe).
“Wait!”, ucapnya sambil ngeloyor pergi dari kursi teras rumahku dan tidak memperdulikan pertanyaanku. Aku sewot.
Dia kembali dengan membawa sebuah benda yang selama ini menjadi obsesiku. A guitar. Aku bangkit dari dudukku saking terpananya (entah apa yang merasukku, yang jelas itu hanya sebuah gitar). Zack duduk kembali. Detik selanjutnya petikan-petikan gitar dari tangannya yang putih itu mengalun. Aku yang masih berdiri kini semakin terpana. He’s good in that, God.
Wait... lagu apa ini? Ketika aku masih sibuk memikirkan lagu apa yang sedang dia mainkan...

 Here we are in the arms of one another 
And we still go on searching for each other 
Knowing that hate is wrong and love is 
right for us tonight 
When I look into your Spanish eyes
I know the reason why I am alive 
And the world is so beautiful tonight 

Yap… Spanish eyes nya Backstreet Boys. Jangan tanya suaranya, I’m speechless. Allah, kenapa kau beri dia banyak kelebihan?
 

It's a place I've never been 
And it comes from deep within 
And it's telling me that I'm about to win first prize 
Knowing all I have to do 
Is reach out my hand to you 
Anytime I want to look into your Spanish eyes 

Mata itu menatap lembut kearahku yang memang sudah tak bisa berkata apa-apa. Apa katanya tadi? Anytime I want to look into your Spanish eyes? Waah... hehe... Detik selanjutnya dia hanya menebar senyum semanis air tebunya, dan aku? Lagi-lagi masih terpana.

“Is my voice so impressive that makes you at a loss for words like that!”, ujarnya masih dengan senyuman mautnya itu. Aku langsung membuang muka.

“Haha...”,

“Is this what you meant? I just can listen and you can play guitar and sing impressively? Sombong banget...”, ucapku, lelaki itu terkekeh.

“Sini pinjam Mp3nya...”, ucapnya sambil meminta MP3 ku.

“Kamu suka the Corrs juga? All the love in the world?”

Ah..Zack, kini hanya mendengar lagu ini saja mengingatkanku padamu...


“Hei, Nape diam non?”

“Hah? Nothing...”, ucapku sedikit kaku. Dan mulai hari ini aku berjanji pada diri sendiri kalau aku benar-benar akan melupakan sejenak wajah itu.

Kulirik jamku.

“Sepertinya kita gak akan sempat mendengarkan ijab qabul, ki”, ucapku.

“Ah, masa? Masih giliran kedua kan? Ini masih ada waktu sekitar dua menit lagi kok...”, ucapnya sambil melirik jamnya.

“Jam kamu bener gak tuch?”, tanyaku sewot. Kiki tak merespon.

“Kenapa kamu gak nelpon ibunya Bang Faisal aja...”

“What is it for?”, tanyaku ketus.

“Bilangin suruh nungguin kita, heheheee... Ya, mastikan udah dimulai belum acaranya. Lagian di rumah tadi, ha pe mu sibuk bunyi mulu, kaya’a Ummi gak tenang kalau kamu belum datang..”, aku melirik Kiki. Dia tersenyum memaksa. Ada perasaan resah menyerang, apa benar kata Kiki?

Ah, setidaknya aku memenuhi kewajibanku sebagai seorang muslim. Tiba-tiba aku teringat sesuatu ketika akan berniat menelpon Ummi. Oh no!!

“Ki...”, panggilku dengan suara sedikit panik berlebihan.

“Nape? Kamu gak jadi nelpon Ummi?”, tanya Kiki disaat kami sudah dipersimpangan lampu lalu lintas peniti. Bangunan cantik nan megah dan penuh dengan aura positif, Mesjid Raya Baiturrahman sudah bisa terlihat dari sini.

“Gimana mau nelpon? Hape ku ketinggalan... Ah..”, aku benar-benar sewot. Biasanya aku cuek saja kalau hape ku tertinggal atau silent, tapi kali ini aku sedikit kesal dan merasa hape adalah barang penting detik ini. Entahlah.

***
Ijab qabul telah terucap. Aku menunduk dan mengucapkan seuntaian doa tepat setelah ijab qabul terucap. Ada keharuan yang datang kedalam hatiku. Namun, salah satu sisi hati yang lain mulai berontak, See Nadia!! Kalau saja semuanya tak terjadi, kini kamu sudah sah menjadi istrinya... aku mengucapkan istighfar.

Satu tangan mengenggam erat tanganku. Aku berpaling. Ummi. Ada setetes butiran jatuh kepipinya yang putih itu. Tak ada yang bisa aku katakan, aku hanya tersenyum.

Setelah acara inti selesai, aku menarik Kiki dan buru-buru mengajaknya pulang.

“Eh, gimana mau pulang? Tadi Ummi bilang kita diajak kerumahnya, ada acara syukuran...”, ucap Kiki dan kemudian kembali asik menyapa kesana kemari. Ah, para bankers!! Anyway, aku tak lihat Kak Dira. Dan mulailah aku menelusuri satu persatu tamu, namun nihil, tak ku temui sepupuku itu.

Ku palingkan wajah kearah belakang, keluarga inti kedua belah pihak sedang berfoto. Ah...ngapain aku disini? Sambil menunggu Kiki, aku putuskan keluar dan menikmati udara. Setidaknya ada sesuatu yang kulihat, juga aku ingin mengambil sekotak kue. Lapar. Karena terburu-buru, akhirnya sarapan pun aku tak sempat.

Ku langkahkan kakiku menuju pintu keluar sebelah kanan Mesjid Raya, melalui barisan shalat lelaki, karena itu pintu paling dekat dengan ruangan penyimpanan kue untuk para tamu. Ada beberapa yang sedang shalat disana. Shalat tahiyatul mesjid or dhuha, pikirku. Tiga orang lelaki paruh baya, seorang bapak juga dua orang pemuda. Waah...alhamdulillah, at least pemuda aceh tak kalah ibadah sunnahnya dengan para lelaki paruh baya. Tapi pemandangan itu sunggung menarik perhatianku, karena aku jarang melihat hal ini dan asumsiku jarang ada lagi pemuda yang mau meluangkan waktu untuk ibadah sunnah.

Yaah...akhirnya syukur yang senantiasa terucap. Pandanganku yang takjub kini berubah terkejut. Benar-benar terkejut.

***

Aku benar-benar tak percaya dengan pandanganku. Lelaki yang dua menit lalu sedang mengucap salam dan berdoa sejenak. Wajahnya khusyu’ sekali mengucapkan doa. Apa aku kali ini benar-benar tak salah lihat. Rabb, am I day-dreaming again? Ku kedip-kedipkan mataku berusaha memastikan, namun tetap rupa yang sama. Kini sedikit berubah karena wajahnya berpaling dan kini mata kami bertemu. Ada keterkejutan disana. Dia bangkit dan berjalan kearahku.

Kian mendekat. Aku? Jangan tanya, aku masih saja meragukan semuanya nyata, ini hanya halusinasiku saja. I know, it’s just a dream. Aku terus mengucapkan itu, hingga lelaki itu semakin dekat dan aroma khas yang masih sangat aku kenal merasuk kedalam indera penciumanku, apa aku masih bermimpi? Dia sudah berdiri gagah dan tak lupa dengan senyumnya yang selalu manis seperti air tebu itu dengan tega menyapaku. Namun, keterkejutanku yang sangat membuat kata-kata yang keluar dari mulutku 180 derajat berbeda dari hatiku.

“Ini beneran kamu kan?”

Detik selanjutnya diam mendera. Kami hanya saling memandang, aku dengan tampangku yang masih terkejut sementara lelaki itu tersenyum. Lelaki dengan penampilan sedikit berbeda hari ini. Dia berbalut batik man’s fit. Ah..Zack, kamu selalu menjadi aktor disetiap scene.

“Mendoakan saudara yang menikah bukannya sesuatu yang baik?”, ucapnya dengan bahasa yang sangat baik.

Aku hanya diam. Kini rasa haru menderaku. Aku benar-benar terharu. Ada sesuatu yang melandaku. Rabb, ini pertanda apa? Apa ini jawaban doaku? Atau ini hanya perjumpaan untuk kesekian kalinya, namun berakhir begitu saja...

Pandanganku masih kearahnya, kini wajah itu berubah serius. Dia melangkah mendekat...

“Nadine...”, aku mendongak.
“Honestly, I came here to make sure that...”, kini suara itu terputus.
“Make sure?”
“That you are his bride or not...”, aku terpana. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.

Sesuatu seperti melandaku. Namun, kini aku tersenyum dalam diamku... apa ini pertanda baik Tuhan? Suasana seperti mendukung pertemuanku dengannya hari itu. Hanya kami berdua di titik ini, semuanya terasa kabur.

“And Allah still gives me a chance...”, ucapnya. Aku mendongak kearahnya, wajah itu terlihat berbeda, dia seperti sedang berpikir keras. Tidak... ini berbeda, apa Zack sedang gugup?

“I am not a good in this, but I’ll try...”, ucapnya kemudian, dan aku masih terpana melihat keadaan Zack sekarang. Dia mengucapkan basmallah sebelum akhirnya bersuara lagi.

“Nadia, I dare you to let me be your, your one and only...”, Deg...jantungku kini semakin berirama. Tapi...sepertiny kata-kata itu...

“Promise I’m worthy to hold in your arms... so come on and give me a chance to prove that I’m the one who can walk that mile until the ends starts...”

“Zack…”, potongku. Sebenarnya ini..

“Nadia Humaira, I am now standing here to say…veux-tu m'épouser?”

Veux-tu m'épouser?, Will you marry me?

Semilir angin membuat kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku. SubhanAllah, AllahuAkbar. Rabb, aku dilamar dirumahmu yang indah ini.


***



3 komentar:

  1. ini cerita nyata atau fiktif ya kak?it's so beautiful that almost makes me believe in hoping. Maybe ur hope ( even the impossible one), can turn into something real .

    BalasHapus
  2. heheheee...do you think it's real or not?? cuma fiktif belaka dex...kalau pun betolan gak tau dech cerita siapa, hehe... InsyaAllah hope kakak juga, hehe

    BalasHapus