Rabu, 29 Februari 2012

The Very “Begining” Days in a New Home




08.47 WIB

Garuda akhirnya menjejakkan kakinya di tanah kelahiran Nicole Kidman ini. Aku melirik sekilas jamku dan ya… it’s nearly 9 in the morning and I realize my watch is still Indonesian time. Kami dijanjikan jemputan oleh Harlan (yang awalnya kami anggap sebagai nama seorang lelaki dan akhirnya kami menyebutnya “mas Harlan”, dan ujung-ujungnya kami ketahui sebagai nama sebuah perusahaan travel, haha…dan sebagian dari kami sudah terlanjur memanggil si penjemput dengan “Harlan” hingga dia tak merespon karena mungkin memang tak merasa mempunyai nama itu). Namun, awal permasalahan ketika pesawat delay dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Dan akhirnya berujung pada keterlambatan kami tiba di bandara …, Melbourne. Belum lagi kenyataan bahwa sebagian kecil dari kami harus menghadapi pemeriksaan “Quarantine check” dibandara karena membawa makanan yang kami takuti tak kami dapati dan kami dirindukan ketika di Melbourne (dan aku salah satu actor utama yang membawa banyak makanan, hehe, dendeng sapi adalah salah satu makanan yang dikarantina dan akhirnya tak diizinkan masuk). Beberapa jam kami habiskan mengantri mulai dari luggage claim, immigration sampai quarantine check hingga akhirnya si “Harlan” sudah kapok menunggu namun tetap sabar hingga akhirnya satu persatu hidung kami nongol di bandara international itu.

Kesan pertamaku ketika menginjakkan kaki ke kota Melbourne adalah, “the weather is still the same with my own home country, ooh…” namun, akhirnya aku melihat suatu yang berbeda, kebersihan dan keteraturan di jalanan dan bangunan-bangunan. Melbourne adalah kota yang kering, tumbuhan tidak begitu hijau disini dan terlihat sedikit gersang dan didukung dengan suhu yang sangat panas. Perasaanku mulai grogi mengingat aku akan segera bertemu “my new mom and dad”.

Kami sampai di Deakin University, entrance 1 roundbout Gymnasium dan kulihat beberapa orang yang sudah sangat kukenal menunggu kami (dan tentunya itu bukan my “homestay family”, karena aku sangat mengenal wajah itu. They are my friends, my ex-lecturer in undergraduate degree and Anne, pengurus mahasiswa baru di Deakin University). Oh, that’s they all, no others, hanya satu orang lelaki “bule” yang kukira suaminya Anne. Where’s the “homestay” family yang katanya akan menunggu kedatangan kami? Mataku mulai melirik sana-sini. Kami turun dan disambut hangat oleh Anne, Nadia dan beberapa kenalan lainnya. Pertanyaan tentang dimanakah para “homestay family itu masih terus berputar dalam ingatanku, apakah kami batal menumpang dirumah “Australians?”. Akhirnya jawabanku terjawab ketika Anne selesai menjelaskan beberapa hal tentang kegiatan pertama kami Senin mendatang, dia berkata,
“Your homestay family came one hour before and waited for you, but they went back after getting information that you’re gonna be late. They will come soon and pick you up”.
Aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati, “Ya Allah, jadi juga rupanya tinggal bersama Australian…”
Dan aku mulai sadar ketika beberapa orang “bule” telah datang dan tersenyum. Aku mulia menerka-nerka yang mana “homestay”ku. Hmm…tidak ada yang “elderly people” (sesuai dengan profile yang aku dapat, homestayku itu adalah Bill-76tahun dan Toula-69 Tahun). Sebuah mobil masuk dengan sangat cepat ke parkiran tepat dibelakang gedung kami berkumpul. Beberapa orang “bule” masuk dan mereka “elderly”. Aku masih belum merasa, mereka adalah salah satu dari “homestay”ku. Dan Anne benar-benar membuktikannya, ketika nama temanku yang dipanggil untuk pertama kalinya. Oke, that’s not me. Kemudian, yang kedua juga bukan namaku yang dipanggil, padahal that Australian is an elderly woman. Dan malah aku sempat mengejek seorang teman yang merasa namanya dipanggil, padahal jelas-jelas bukan. Aku cekikikan ketika akhirnya Anne dengan logatnya yang menggemaskan memanggil,
“And next is Ummi…”
I was so surprised and raised my hand immediately. Someone waved her hand to me. Oh…that must be “Toula” and she is my new mom in this new place.
Aku berjalan menuju Toula dan menyalaminya sambil berkenalan. Dia datang dengan temannya “Mary”. Dengan pedenya ketikika akhirnya aku akan melangkah pergi dan berkata,
“See you everyone”, sembari melambai kearah teman-teman yang sedang menunggu jemputan para “homestay” family.

Bertiga kami berjalan menuju mobilnya. Toula menyetir mobilnya sangat cepat, khususnya bagi seorang perempuan seusianya. Tapi memang semua orang di kota ini menyetir dengan sangat cepat. Dari Burwood High Way, kami memasuki Springvale Road dan akhirnya berbelok kiri ke Highbury Road, dan akhirnya aku memasuki sebuah perkarangan rumah yang kusebut “my new home”. Rumah yang kecil namun dengan taman yang cukup terawat.
“Oke, darling…come in. This is your new home now…”, ucap Toula ketika akhirnya ku melangkah memasuki rumah itu. Ada perasaan sedikit gugup karena aku mulai mengira macam-macam (tapi satu hal, no dog in this house karena jelas-jelas tertulis di profile mereka “pet type-bird and cat-outside only). Dan suhu sejuk mulai menyentuh kulitku ketika aku akhirnya masuk. Satu kata… Alhamdulillah.  Iya, the house is comfortable and clean. Seorang lelaki paruh baya terlihat berdiri dilorong kecil setelah ruangan kecil setelah pintu masuk (dan itu bukan ruang tamu seperti kebanyakan rumah di negeriku). Itu pasti Bill, ucapku dalam hati.
Lelaki itu langsung menyalamiku dan dia memang benar suaminya Toula and my new dad, Bill. Toula meraih sebuah gagang pintu tepat di lorong kecil itu,
“Darling, it’s your room! Come in and see…”, ucapnya sambil menarik koperku yang sangat berlebihan beratnya itu.

Aku masuk dan…

Ucapan syukur kedua keluar dalam suaraku yang sangat lirih. Kamar yang berukuran kecil itu sangat nyaman dan bersih. Sebuah jendela kaca besar tepat berada di depan pintu masuk dan cahaya yang masuk sangat menghangatkan suasana yang sejuk diruangan itu. Sebuah karpet berbulu yang bersih menutupi semua lantai ruangan itu. Sebuah dipan untuk single terletak disebelah kiri dengan bedcover biru lautnya, dan sebuah small buffet is right beside it. Dua langkah dari pintu masuk sebuah meja belajar putih kecil dengan lampu belajar terletak disana dan dihiasi dengan sebuah cermin cantik tepat tergantung didinding depannya.
“This is the desk and the lamp for you to study… that is the wardrobe for you to take your clothes, and this a sofa for you to enjoy your room and time…”, ucapnya sambil menunjuk satu persatu benda yang ada diruangan itu. Aku hanya mengangguk tanda “sangat setuju dan senang”.
“All stuff in this room are yours now. Please don’t mind using it and putting all your stuffs there… oke?”, aku mengangguk.

Setelah selesai dengan kamar, Toula mengajakku berkeliling dan menujukkanku beberapa tempat yang sepatutnya aku ketahui. Kami kembali menuju kearah depan dan kulihat disamping pintu masuk ada sebuah ruangan, dan itu kamarnya Toula dan Bill, tepat didepannya ada sebuah ruangan kecil. Toula membukanya dan… Oh, that’s the toilet!  Sesuatu yang sangat ingin kulihat selain kamarku. Tepat didepan pintu masuk ada shower dengan pintu kaca, disampingnya ada meja rias yang sangat besar dan sangat cantik. Didepan meja rias ada toilet duduk dan on the right side of those both furniture is a bath tub. Sebuah jendela kaca besar ada diatas bath tub dan tepat diatas kamar mandi itu ada sebuah cerobong dan ditutupi dengan kaca hingga cahaya matahari masuk kedalam.

Kamarku tepat terletak di lorong itu, dan setelahnya ada sebuah pintu yang menghubungkan dengan living room with some comfortable sofa and a big LCD TV. Tepat dibelakangnya ada sebuah kamar tamu disamping kanannya sebuah beranda yang bisa melihat kebelakang rumah. Living room berbatasan dengan dapur Toula yang kecil namun sangat bersih. Bersebelahan dengan kamarku, ada sebuah kamar lagi dan itu kamarnya Nao Ito, international student from Japan. Pintu kamarnya berhadapan dengan sebuah meja makan kecil yang akhirnya membawaku ke ruang kecil tempat Toula menyimpan mesin cuci dan menghubungkan dengan pintu ke taman belakang.

Toula menyediakanku makan siang (dan it’s nearly 2 waktu Melbourne and they do not have lunch yet because of waiting for me… Oh!!)
“Ummi, I know you love rice and I have rice for you!”, ucapnya dengan ekspresi bahagia sambil menunjukkanku semangkuk besar nasi putih yang telah dimasak, dan betapa terkejut namun bahagianya aku.
“Oh… big thanks Toula, how do you know that…”
“I read in your profile darling and no worries, we’ll have a small bag of the rice for you…”, aku langsung mengucap syukur.
“But for today’s lunch, we have pasta and cheese with tomato sauce and of course the rice for you! I do not know if you like it…”, Oh…Toula sudah sangat berusaha, jadi walaupun aku kurang suka dengan pasta dan keju…
“Oh… I like it, Toula! That’s fine!”
Dan inilah culture shock pertamaku, the food. Yaa..walaupun sudah ada nasi didepan mataku, namun tak ada lauk, hanya semangkuk besar pasta dengan keju parutan diatasnya dan semangkuk saus tomat, juga tak ketinggalan sepiring keju yang rasanya sangat aneh dilidahku (tapi Bill, Toula, Mary dan suami Mary, Leo sangat suka). Akhirnya aku makan nasi dengan lauk pasta keju dan saus tomat, haha. It’s quite good for my first meal. Alhamdulillah. Namun, kejutan lain akhirnya datang…
“Oh…your birthday is coming soon, isn’t it darling?”, aku yang sedang menyendokkan pasta kemulutku sedikit tersedak. How does she know that?
Toula tersenyum…
“Everything is in your profile… hmm, we plan to make a small barbeque party for you Ummi, with Helen, Collins and of course the twins, Stephanie and Sophie. My son, Paul, Jennifer and their children will also come…”

Aku terpana. Aku tak berharap secepat ini. Aku malah merasa menjelang usiaku yang seperempat abad, aku akan menjalaninya dengan biasa saja dengan beberapa teman di sebuah negeri “bule” bernama “Australia”. Aku sedikit terpana namun aku berusaha mengucapkan terima kasih. Allah benar-benar menjawab doaku tentang sebuah keluarga yang pengertian dan baik.

 Selesai mandi, tubuhku benar-benar ingin di istirahatkan. Dan aku tertidur selepas shalat zuhur yang aku jamakkan dengan ashar. Sorenya, Toula dan Mary mengajakku ke rumah anaknya, Helen. Dan disana, I met the twins, Stephanie and Sophie. They’re so cute. Keluarga besar ini seperti sudah sangat terbiasa dengan international students, aku disambut oleh pelukan oleh kedua dara manis itu. Keluarga Bill dan Toula benar-benar sebuah family oriented. Hampir setiap waktu bertemu keluarganya, setiap weekend selalu menyempatkan makan malam bersama, seperti hari ini ketika mereka menyambutku di rumah Helen. Makanan yang tersedia? Wow…jangan tanya…bejibun dan dalam porsi besar (aku lupa bawa kamera siyh…). Lamb and chicken are roasted with oil and some spices, olives, tomato salad; rice with vegetables, potato is roasted with oil, lotus salad, baked sweet potato, carrot and pumpkin and bread yang tidak pernah ketinggalan.

Selesai makan, sophie menarik tanganku dan mengajakku bermain 40:40 (hampir sama dengan main petak umpetnya Indonesia). Setelah beberapa sesi bermain, mobil Bill datang dan Nao ada didalamnya. Nao adalah international student dari Jepang yang sedang mengikuti kursus bahasa inggris di DUELI (lembaga bahasanya Deakin University).

Awal aku mengenal Nao, dia sedikit pendiam. Namun, akhirnya aku tahu memang watak kebanyakan orang Jepang begitu. Tapi, she’s so kind and helpful. She likes when I asked her so many questions.

And now, I realize that I am in a new family.

Get Lost...


Get Lost
28 February 2012

Sudah dua hari hujan deras mengguyur Melbourne dan cuaca pun semakin dingin. Hari itu hari kedua orientasiku di kampusku yang baru di Victoria States, Deakin University. Untuk pertama kalinya setelah tiga hari keberadaanku di kampong baruku ini, aku menaiki Tram, semacam kereta api listrik di Australia. Bersama dengan Nao, teman serumahku dari Jepang, kami diantar menuju pemberhentian terdekat Tram oleh Toula.

Dan ternyata naik Tram menyenangkan. Hari pertama jalan terlihat sibuk, namun hari ini lebih sibuk dan beberapa kali terlihat macet. Namun, karena Tram mempunyai jalur khusus, maka kami dengan lancarnya menuju kampus.

Orientasi kedua hanya seputar pengenalan lokasi-lokasi kampus. International student room, ruang shalat, pustaka, book store, ruang kelas, dan beberapa lokasi penting lainnya. Selesai dengan segala kegiatan orientasi, kami berencana pergi ke Box Hills. Beberapa teman malah berbelanja disana dan sekaligus mencari SIM card.

Ketika pulang, untuk pertama kalinya juga aku menaiki Bus dan Bus no. 903 menjadi pilihan. Bersama Nadia, Kak Khusna, Hija dan Bang Saiful, kami turun di Burwood Highway dan melanjutkan perjalanan menaiki Tram no.75. Nadia dan Kak Khusna turun di pemberhentian no.63 dan bang Saiful di pemberhantian no. 70, sedang aku akan turun di pemberhentian no. 74.

Semuanya lancar. Aku turun di halte yang benar, menyeberang jalan juga dengan cara yang benar (push the button on the traffic light sign before crossing the road). Aku berjalan dengan sangat baik menuju rumahku. Aku sangat yakin jalan yang ku pilih benar adanya, hingga suatu ketika, saat aku telah berjalan lumayan jauh, aku merasa ada yang salah. Jalan Shirewood Rise tidak sejauh ini, apa aku salah mengambil jalan. Aku pun mulai cemas dan mulai mencari sosok yang bisa kutanyakan, namun parahnya lagi it’s nearly 7 and it’s time for dinner dan sudah pasti orang-orang akan sangat jarang berada di luar rumah. Dan memang keadaan sangat sepi saat itu. Aku mengucap syukur ketika akhirnya aku melihat sepasang manusia bermata sipit sedang berjogging. Kudekati mereka dan bertanya…

“Excuse me, may I ask you something…”
dan betapa terkejutnya aku ketika mereka berdua menghindar dan mempercepat larinya. Apa ada yang salah denganku. Apa mereka ketakutan karena aku Muslim dan berjilbab?

“No, I just wanna ask about the address…”, ucapku meyakinkan mereka bahwa aku tidak lah membahayakan, aku ini manis, hehe

Tapi tetap saja keduanya menggeleng dan sediki memperlihatkan body language yang akhirnya kutahu mereka tak berbahasa Inggris…
“Oh…No English?”, tanyaku dan mereka mengangguk sambil tersenyum.

Akhirnya aku memutar kembali badanku dan berjalan kearah sebaliknya, karena aku sudah sangat yakin, ini jalan yang salah. Dua orang Korea, ibu dan anak akhirnya membantuku…

“Don’t go this left, but next left, ok…”

Aku pun menuruti mereka dan mulai berjalan lagi, ketika akhirnya aku menemukan “next left”, aku mulai melangkah turun. Dan karena daerah Melbourne adalah daerah berbukit, maka perjalanan pun bisa naik dan turun. Kini jalan semakin menurun, dan aku mulai cemas lagi ketika aku menyangsikan bahwa ini adalah jalan yang tepat. Aku sudah sangat lelah dan kalau aku sudah terlanjur turun, kemungkinan aku tak akan sanggup naik lagi. Kulihat sekeliling, taka da satu tanda pun yang bisa menjadi petunjuk keberadaanku ketika aku nanti menghubungi Toula dan mengatakan aku tersesat. Tapi tidak ada cara lain, hari makin gelap dan jalan memang sangat sepi. Ku ambil handphoneku dan memang mungkin ini adalah nasib burukku, benda itu berbunyi dan aku sangat tau itu nada apa, “Out of Battery” dan detik selanjutnya benda itu tewas ditanganku. Aku mendesah dan sedikit mulai ingin menangis.

Kuayunkan kaki menuju jalan pertama masuk dan akhirnya ketika aku kembali berhasil meraih persimpangan pertama itu, aku memberanikan diri berbelok kearah sebaliknya dan jalan itu juga menurun. Ya Allah, kalau pun ini juga bukan jalan yang benar dan aku sudah berada di bawah, kemungkinan aku tak akan sanggup untuk naik lagi dan aku sudah pasrah. Aku pun turun, dan ketika akhirnya aku berhasil melihat sebuah papan kecil tertancap disebuah tiang listrik dan bertuliskan, “Shirewood Rise”, aku mengucap syukur dalam hati dan mengikuti arah jalan itu.

Aku memasuki pintu pagar. Alhamdulillah, I am home. And it’s 7. 15. Aku lapar dan lelah, namun dinner time is over. Aku masuk dan kudengar suara Nao…

“Oh, that must be Ummi…”

Seseorang melangkah tergesa-gesa dan itu Toula…

“Oh Dear… where have you been darling?”

Ah…mereka juga mencemaskanku.

“I get lost…”, ucapku lirih dan sedikit malu.

Toula merangkulku.

“Listen, if you are lost and do not know where to go, give me a ring and don’t go anywhere, I’ll pick you up whenever you are…”



Tiba-tiba aku teringat ibuku, keluargaku dan kampong halamanku. Apa aku akan merasa seperti ini ketika aku dengan nyamannya hidup bersama keluargaku di tanah kelahiranku? Tentu tidak dalam sitauasi sesulit ini…

Aku tahu mungkin ini cara Allah mengajarkanku belajara dan bertahan di tempat baru ini. Tersesat ketika hari akan gelap, ketika handphone sudah tewas karena tak punya daya baterai dan ketika tubuh sudah mulai kelelahan…


Senin, 20 Februari 2012

Plot And Me 12 - The Moon is Gone and I am Alone...





Dalam mobil aku hanya diam. Seolah waktu berhenti, seolah suara apapun tak terdengar. Zack pergi. Dia akan pergi dan mungkin akan lama. Tidak Zack, kita belum berucap perpisahan. Zack. Memori beberapa waktu lalu seperti terangkai kembali, ketika Zack mengatakan bahwa dia akan kembali ke Perancis, tapi tidak hari ini. Kenapa semuanya tiba-tiba. Memori ketika… aku larut dalam pikiranku ketika tiba-tiba aku seperti dilemparkan kembali ke dunia nyata.

“Nadia, keliatannya kamu tertekan sekali? Ada apa? Kalau permasalahan Faisal, kakak minta maaf…”, aku terpana, apa rupaku sebegitu menderitanya. Tidak. Bukan karena Bang Faisal, bahkan aku lega. Tapi ada persoalan lain yang sangat menyita pikiranku sekarang.

“Heh?”

“Kamu keliatan resah, sebenarnya ada apa kita ke bandara?”

Tiba-tiba handphoneku berdering. Kiki.

“Assalamu’alaikum Ki…”

“Kamu dimana? Zack sebentar lagi boarding ini… tadi dia buru-buru check in, namun kupanggil dia berulang kali, katanya selesai check in dia usahakan keluar sebentar… kamu kemari kan?”, cerocos Kiki tanpa menjawab salamku.

“Lagi di jalan kesana ni. Zack masih lama gak?”

“Entah lah Nad, kamu dengan siapa?”

“Kak Dira…”

“Jangan buru-buru, mudah-mudahan masih sempat bertemu…”

Kututup pembicaraan  dengan perasaan makin gelisah. Zack, kumohon jangan pergi dulu. Tuhan, beri aku kesempatan bertemu Zaki sekali lagi. Sebenarnya kenapa begitu tiba-tiba. Apa salahnya memberitahuku. Apa kamu sudah tak punya nomorku? Ada apa Zack? Sebenarnya apa yang kau sembunyikan? Perasaanku kacau tiba-tiba. Ada rasa takut yang luar biasa di dalam hatiku, tapi aku tak mengerti rasa takut apa itu? Hatiku sesak, kalau begini aku tahu pasti stimulus itu akan segera terkirim ke mata. Aku menggigit bibir, usaha yang sangat sering dilakukan untuk menahan sesuatu akhirnya terjadi…

“Nadia…”, panggil Kak Dira, aku menoleh. Aku sudah tak sanggup berbicara, lidahku mulai kelu. Perasaan gelisahku semakin menjadi-jadi. Perjalanan yang sebenarnya sudah sangat cepat (Kak Dira mengemudi sudah hampir mencapai 100km/jam) bagiku masih 10km/jam.

“Ada apa siyh? Kamu mau ketemu siapa ke bandara?”

“Seseorang Kak! Dan dia…”, ucapku terputus begitu saja dan kemudian langsung larut lagi dalam diamku. Tak perlu ku jelaskan, Kak Dira bisa menarik kesimpulan dari pembicaraanku dengan Kiki tadi bahwa seseorang yang ingin pergi itu akan segera berangkat.

***

It’s 15 minutes to get the airport. Sebenarnya di hari biasa itu bisa sangat memecahkan rekor, tapi tidak hari ini. 15 menit bagiku sangat lama. Aku berlari turun dari mobil sementara kak Dira masih mencari tempat parkir. Kutelusuri dan kuperhatikan tiap wajah yang sedang terduduk dibangku bandara maupun yang sedang berdiri, siapa tahu ada Zack atau Kiki disana. Namun nihil. Tak ada tanda-tanda sosok-sosok itu. Aku terengah-engah, ketika pundakku disentuh seseorang…

“Zack!!”, ucapku sedikit keras sambil berpaling. Bukan. Itu Kak Dira.

“Nadia, tenang! Itu Kiki…”, ucap Kak Dira sambil menunjuk seseorang yang sedang berjalan semakin pelan kearahku sambil menatapku sangat iba. Perasaanku langsung kacau balau. Aku tahu ini pasti akan terjadi.

“Nadia, Zack sudah boarding… Baru saja…”, kalimat itu sedikitnya sudah cukup mengacaukan pertahanan airmataku. Kini entah mengapa airmataku seperti tak tertahankan. Aku tak mengerti mengapa aku harus menangis, toh Zack bukan siapa-siapa! Kutahan butiran bening itu agar tetap dimataku dan tidak terjatuh. Tapi, ini dia yang dinamakan rasa kehilangan. Ya Rabb, kini aku tahu rasa takut apa itu. Rasa takut kehilangan.

“Sebelum pergi, Zack sempat menitipkan ini…”, Kiki menyerahkan selembar kertas yang dilipat rapi. Aku mendongak, kulihat Kak Dira dan Kiki menatapku iba.

Hei Nadine…
Expectantly, it should shock you that I gotta go back to France sooner… so sorry enggak kabari kamu, but I think you have a lot of important things to be prioritized now (hei, you’re gonna get married soon).
I know, I couldn’t say this on this paper but…I have to (I feel like I am a kind of coward)
Nadine, maybe you know the truth but I don’t hope you do. Kamu terkadang terlalu polosJ.
I say, Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir …
One last words, this is not goodbye…
Wassalam,
Zaki

Seluruh tubuhku bergetar. Kini aku benar-benar kacau.

Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir… My eyes are not too narrow to see you

Ini pernyataan Zack. Ungkapan perasaannya. Dan itu untukku. Ini perasaan yang paling kutakuti selama ini. Perutku semakin tak enak karena sekuat tenaga aku masih berusaha menahan bening-bening itu. Aku berusaha keras menelan stimulus ingin berlinang airmataku dan berusaha menggigit bibir. Sakit yang kurasakan ketika bibirku berdarah tidak seperih rasa ini. Iya, kini aku tahu rasa apa ini. Rasa kehilangan.

“Benar! Zaki benar-benar telah pergi…”, ucapku dengan suara tak jelas.

“Nadia, jangan-jangan perkiraanku dan Naisya selama ini benar tentang Zack dan kamu...”, ucap Kiki dan aku hanya menjawab dengan diam.

Ternyata Kiki dan Naisya memang telah memprediksi semuanya. Dia raih kertas itu dan membacanya. Menit selanjutnya, dia hanya bisa menatapku. Sangat iba. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya sekarang, apa Kiki juga tahu tentang ini semua? Tentang perasaan Zack?

***

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya memilih diam. Kiki sangat mengerti. Mungkin selain Naisya, Kiki lah yang paling tahu bagaimana perjalananku dengan Zack. Aku memilih diantar pulang Kiki. Kak Dira yang sedari tadi penasaran, dijanjikan sebuah penjelasan oleh Kiki dan akhirnya dia dengan berat melepaskanku pulang dengan Kiki.
Diam mungkin yang paling bisa membuatku tenang sekarang.

“Nadia, kita udah sampai!”

Aku bahkan tak sadar kini kami sudah tepat berada di depan rumahku. Seluruh penglihatanku seperti sama dan pada satu titik. Betapa memprihatinkannya aku. Siapa lelaki itu? Hingga bisa membuatku merasa kehilangan begini? Calon suami yang berselingkuh saja tak kuhitung lagi dalam daftar orang yang paling penting, tapi Dzaki Ar-Rafa??

Kiki pulang setelah berpamitan dengan ayah dan mamak, sedang aku dengan tampang menyedihkan masuk ke kamar. Aku tahu, ayah dan mamak pasti sebelumnya menginterograsi Kiki terlebih dahulu sebelum membiarkannya pergi. Aku sudah tak bisa peduli.

Aku sangat bersyukur ketika akhirnya azan Ashar berkumandang. Aku benar-benar ingin menghadap padaMu Allah, ada sesuatu yang harus ku ungkapkan. Tepatnya aku ingin menangis. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku tersadar. Tuhan, aku sedang haidh. Bagaimana aku bisa menemuiMu. Ya Allah, seketika itu pertahananku roboh. Tubuhku bergetar hebat. Air mata yang sedari tadi tertahan dan menjadi bening-bening kaca di mataku kini mulai banyak. Aku menangis sejadi-jadinya. Sesenggukan aku menuju tempat tidurku.

Didalam tangisku aku memohon ampun. Aku begitu tak pantasnya menangisi ini semua. Dan diakhir tangisku aku pun terlelap dan bermimpi…

Sekilas aku melihat Zack. Benar itu Zack.

“Zack!! Tunggu!”, kupanggil dia.

Tapi Zack seperti tak mendengar. Dia acuh. Faktanya selama ini, dia begitu perhatian. Kuulangi terus menerus, tapi Zack terus berjalan meninggalkanku. Dia menggenggam tangan seseorang. Perempuan. Hatiku perih. Tapi apa pantas? Toh, selama ini kami hanya teman saja.

Aku berjalan cepat kearahnya.

“Zack!”, panggilku lagi ketika jarak kami tinggal beberapa langkah.

Lelaki yang kuanggap Zack itu berpaling, begitu juga si perempuan. Betapa terkejutnya aku. Itu Faisal dan Vina.

Dan aku terkejut. Terbangun dari tidurku. Aku haus.


***

“Kak Nadia udah pulang mak?”, itu suara Naisya.

“Udah! Tadi mamak liat ketiduran dikamarnya. Abis nangis sepertinya”, jawab mamak.

Ketika aku ingin mengambil air karena kehausan setelah menangis dan bermimpi lumayan aneh, aku mendengar percakapan itu. Biasanya aku hanya keluar saja dan ikut bergabung, namun kali itu kakiku seperti tercegah untuk melangkah.

“Oia? Ada apa mak?”

“Entahlah, kata Kiki ketika ketemu di bandara memang sudah agak terlihat kacau wajahnya…”

“Bandara? Ngapain?”

“Zaki pulang ke Perancis hari ini!”, itu suara ayah. Kenapa ayah bisa tahu?

“Bukannya bulan depan jadwalnya?”

“Ayahnya sakit, jadi harus segera terbang kesana…”, sambung ayah. Oia? Zack, kenapa tak beritahu aku?

“Ayah tahu banyak sepertinya…”, ujar Naisya.

“Sebenarnya tadi pagi Zaki datang untuk pamit sepersekian menit setelah Nadia pergi…”, sambung mamak. Aku terkejut. Dia pamit kepada orang tuaku tapi dia bahkan tidak menelpon atau sms aku. Zack, ada apa sebenarnya?

“Jadi gak sempat ketemu Kak Nadia?”

“Enggak, Zaki sepertinya memang tak beritahu Nadia…”

“Oia? Berarti tidak ketemu dibandara juga?”

“Kata Kiki begitu…”

“Ayah, mamak…sepertinya ada yang Naisya dan Kak Nadia enggak tahu ya? Apa itu yah?”, pertanyaan Naisya yang tiba-tiba itu mengejutkanku. Apa maksudnya? Apa dia tahu sesuatu? Apa ayah dan mamak menyembunyikan sesuatu? Jantungku mulai berdetak kencang lagi.

“Kamu ngomong apa?”jawab mamak. Jeda sejenak. Bagiku jeda itu begitu lama.

“Memang benar, Nak! Ada sesuatu yang kamu dan Nadia tidak tahu… Terlebih lagi Nadia ”, akhirnya ayah jujur.

“Boleh Naisya tahu, ayah?”

Jeda lagi.

“Ini tentang Zaki…”

***

Mungkin semua makhluk dijagad ini yang bisa melihatku sekarang akan mengasihaniku. Perempuan malang. Sangat malang. Aku yang dikhianati calon suami yang tega-teganya berselingkuh, kini harus menghadapi kenyataan ditinggal seorang teman baik. Lelaki charming yang selalu berusaha ada ketika aku butuh. Lelaki yang dulu diawal pertemuanku dengannya kuanggap seperti sebuah bintang yang tak akan pernah bisa kuraih. Dan kini, lelaki yang baru beberapa detik lalu kutahu ternyata menyimpan rasa padaku.

“Kamu mungkin masih ingat hari itu ketika Zaki datang dan dia berencana ingin bertemu Nadia, ingin berbicara serius tentang perasaannya”.

“Perasaannya? Jangan-jangan perkiraan Sya benar kalau Zaki…”

“Iyya Naisya, Zaki mencintai kakakmu, Nadia. Sejak diawal pertemuan mereka. Ayah tak tahu jelasnya kapan, dia menyinggung toko bahan kue, masjid lampineung bahkan di persimpangan BPKP… Zaki seolah menyimpan semua memori pertemuannya dengan Nadia.”

“Bagaimana ayah bisa tahu?”

“Zaki sebenarnya sudah akan pamit pulang ketika siang itu Nadia belum juga kembali. Namun, belum beberapa lama, dia kembali lagi. Ketika kami bertanya, dia berkata ada sesuatu yang ingin dia sampaikan serius ada kami…”

“Apa itu Ayah?”

 “Dia melamar kakakmu!”

“MasyaAllah.SubhanAllah! Serius ayah?”

“Iyya. Kami juga awalnya tak menganggapnya serius. Kata Zaki, memang rencana awal dia hanya ingin mengungkap niatnya pada Nadia dan setelah itu baru kepada ayah dan mamak, tapi entah mengapa dia merasa saat itu adalah saat yang tepat…Apalagi mungkin dia memang berniat pulang ke Perancis segera”

“Terus ayah dan mamak jawab apa?”

“Naisya, kakakmu dalam pinangan orang lain. Mungkin kalau lelaki itu bukan Zaki, ayah akan langsung berbicara blak-blakan, tapi ini Zaki…”

“Iya, mamak dan ayah seperti tertahan untuk berbicara sejujurnya. Karena sebenarnya kami tak tahu kalau Zaki tidak tahu Nadia sudah bertunangan dan akan segera menikah…”

“Jadi, Zaki tak tahu? Ayah dan mamak juga tak memberitahunya saat itu?”

“Memang salah dan sekarang ayah menyesal telah sangat menyakiti Zaki. Tapi ketika itu, kami tak sanggup mematahkan semangatnya… ayah bilang supaya Zaki mengatakannya dulu kepada Nadia…”

“Terus?”

“Tadi Zaki datang dan tanpa ditanya pun dia langsung bilang, “Ayah, mamak, Zaki telat!”. Rasanya begitu sakit melihat wajah dengan senyum perih itu”

“Ayah sampai memeluknya, meminta maaf…”

“Tak berapa lama, Zaki pamit…”

Kini bening-bening itu seperti air bah. Jatuh bukan dalam bentuk tetesan lagi. Airmataku kini sudah tak bisa diajak kompromi. Aku benar-benar sesenggukan kali ini. Aku menyesali perkiraanku. Aku menyesali hari itu keegoisanku ingin berbicara terlebih dahulu, membiarkan niatnya mengungkapkan perasaannya menguap dalam keperihan hatinya. Ya Allah, kini aku merindukannya. Aku mohon maaf, tapi aku… Kini aku menjadi pungguk yang tak merindukan bulan lagi, tapi pungguk yang telah kehilangan bulan… Zack… Iyya... The moon is gone, and I am alone...

***

“Kak, ada tamu tuch!”, ucap mamak selesai mengetuk pintu kamarku.

“Siapa mak?”

Mamak hanya tersenyum dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Kuraih jilbab dan mengikuti langkah mamak ke ruang tamu.

Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang. Galau. Ya, aku benar-benar sedang galau (dan kini aku tahu bagaimana rasanya galau itu, dan ternyata tidak enak sama sekali. Heran, kenapa bisa jadi happening ya kalau sama sekali tidak menyenangkan?).

Aku menuju ruang tamu dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat siapa tamu yang datang itu. Seseorang yang sudah sangat aku kenal dan aku sayangi. Ummi. Iya, Ummi datang bersama suaminya juga lelaki itu, Bang Faisal. Tak ada perasaan benci atau apalah ketika aku melihat lelaki itu, yang kurasakan hanya perasaan terbebas dari segala beban. Tak ada lagi yang perlu aku simpan sendiri, akhirnya semua mendapatkan solusinya. Kesedihanku bukan karena dia.

Mereka menoleh ketika aku sudah berdiri diruang tamu. Ketiganya bangun dengan wajah yang bisa kuanggap menyesal. Aku berjalan perlahan menuju mereka dan mulai menyalami satu persatu (beginilah adat kami memuliakan orang lain di Aceh). Dan aku sedikit terkejut, ketika akhirnya aku mencium tangan Ummi, wanita itu menarikku kedalam pelukannya. Tidak Allah, wanita ini menangis. Terisak-isak.

“Nadia… Ummi minta maaf… seandainya saja Um..Ummi tidak memaksakan pertunangan ini, kamu tentu tidak akan seperti ini…”, ucapnya sambil terus menangis.

Apa? Memaksakan? Jadi ini maksudnya? Akhirnya semua jawaban istikharahku jelas. Aku merasa sangat bodoh. Ternyata Allah sejak dulu telah memberiku jawaban, namun aku tidak bisa membacanya. Ummi yang begitu menginginkanku sebagai pendamping anaknya, bukan Bang Faisal sendiri. Iyya, selama ini dia yang begitu memperhatikanku dan menyayangiku, tidak anaknya.

Aku merasa sangat berdosa. Tak terasa butiran bening itu juga mulai menghiasi mataku. Kubelai punggung itu.

“Ummi, gak perlu minta maaf. Nadia enggak apa-apa kok Ummi, semuanya baik-baik saja. Allah memang sudah menggariskan seperti ini. Kalau pun akhirnya Nadia tidak berjodoh dengan Bang Faisal, kita tetap akan jadi saudara. Ummi tetap Nadia anggap seperti ibu Nadia sendiri…”, aku tak menyangka ucapanku yang kuniatkan agar wanita ini tenang malah semakin membuatnya terisak.

“Nadia… Kamu anak baik, Nak! Semoga kamu mendapatkan yang terbaik ya sayang. Ummi yakin dan selalu mendoakan Nadia…”, ucapnya sambil kemudian mencium pipi kanan dan kiriku. Ada rasa haru yang luar biasa.

Kulirik lelaki itu dan dia hanya menunduk. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Mungkin dia menyesal atau bahkan dia bahagia karena telah lepas dari beban ini. Ah…itu sudah bukan urusanku lagi. Yang jelas, aku tahu perasaanku padanya juga hanya sebuah fatamorgana yang menghalangiku akan perasaanku yang sebenarnya pada seseorang itu. Lelaki yang selama ini kuanggap sebagai “bulan” yang tidak akan pernah bisa kugapai, hingga aku benar-benar tak peduli dengan apa yang kurasakan padanya. Zack… maafkan aku. Aku tak menyalahkan siapa-siapa hingga aku harus kehilangan kesempatan itu. Iya, kehilangan kesempatan bersamamu.

***

Dua bulan berlalu…

I am leaving to the States.

Semuanya memang sudah berakhir. Pertunanganku putus. Pernikahanku gagal. Lelaki yang akhirnya kutahu menyimpan rasa padaku telah pergi. Tak ada kabar darinya.
 Dan sebelum aku pergi, aku berkata pada orang tuaku agar jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja, jika saja Naisya memang harus melangkahiku ketika aku masih di States, then just do it. I am fine. Really. Semuanya mengangguk dan aku tahu mereka hanya menjaga perasaanku. Semuanya masih sangat jelas bagiku. Aku hanya seperti pemeran protagonist dalam sebuah drama yang gagal bertemu seseorang yang dicintainya ketika dia pergi. Dan kini semua lebih terasa jelas ketika tak ada  kabar sama sekali dari lelaki itu. Aku telah benar-benar kehilangan dia.

Dan butiran bening itu seakan tak tertahan ketika akhirnya Garuda mengajakku membelah langit menuju the States...
To be continued...

Minggu, 19 Februari 2012

Plot and Me 11 - Pungguk itu Aku kah?




“Wow! That’s so romantic! Dapat banget Zack! I feel the atmosphere of romance. Kamu bisa dech jadi actor! Hehe”, ucapku dengan semangat dan mengalihkan pandanganku darinya segera. Aku merasakan sesuatu berkecamuk didalam hatiku dan aku benar-benar tak mau tahu itu apa. Ya Allah, mungkin ini memang salahku sendiri ketika rasa penasaranku melanda, seharusnya aku tak menantang Zack untuk melakukan itu.

“Really?”, aku sedikit terpana karena respon Zack tak sesuai harapanku. Ekspresinya sedikit berubah.

“Kenapa? Itu pujian loh Zack, hehe. You know, aku merasa tadi itu kalau kamu memang sedang mengungkapkan perasaan kepadaku… Wow! That’s really something!”, ucapku masih dengan sangat semangat, namun aku tetap tak melihat kearahnya lagi. Zack tertawa.

“Yang lain pada kemana yaa? Kok pada belum balik?”, tanyaku kaku sambil melirik jam tanganku, namun aku bahkan tak bisa melihat jarum jam. Something wrong with me, God!

“Nadine…”

“Iya..”

“How if…”

Deru Toyota Harrier mengejutkan kami. Aku berbalik.

“Akhirnya datang juga, hehe”, ucapku. Dan aku bersyukur dalam hati. Naisya turun sambil menggandeng Binar. Gadis itu tampak cantik dan imut.

“Oia Zack, tadi mau bilang apa? How if what…?”

“Heh? Oh…Did I say that?”, aku menggangguk. Zack kembali tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Aku bingung, namun dering telpon akhirnya membuatku melupakannya. Bang Faisal.

“Heh...kok handphonenya dibiarin? Dari siapa siyh?”, tanya Kiki yang akhirnya muncul bersama Vanessa. Aku juga bingung, entah kenapa aku seperti terhenti untuk menjawab telpon itu. Kiki merebut handphone dari tanganku.

“Oh... dari calon suami tercinta, angkat gih! Pantes wajahmu merona gitu, hehe...”, godanya.

“Ah... apaan siyh Ki?”, wajah-wajah itu tersenyum menggodaku, dan juga Zack. Namun, ada sedikit yang berbeda disenyum itu. Kenapa beberapa waktu ini aku merasa Zack seperti menyimpan sesuatu? Apa dia juga tahu yang aku lihat dan dia merasa kasihan padaku?

“Hei...malah melamun... Keburu putus itu kak!”, kejut Naisya selanjutnya dan memang akhirnya dering itu berhenti.

“Kenapa siyh Nad? Kamu baik-baik saja kan sama Bang Faisal?”, tanya Kiki.

“Hah? Hmm..I..iya, baik-baik saja kok, hehe...”

“Mencurigakan!”, ucap Naisya dan aku mulai risih ketika dia sudah mulai masuk kedalam pikiranku dan aku buru-buru mengalihkan.

“Hehee... nanti aku telpon balik dah! Ini, buahnya udah dikupasin...”, ucapku kaku. Kulihat sekilas Zack menoleh dan terlihat sedikit penasaran. Aku tersenyum padanya, namun dia membuang mukanya. Ada apa yaa? Tadi kok baik-baik saja.

***

Diperjalanan pulang, Kiki sedikit memaksa duduk didepan bersama dengan Zack. Sudah kuduga, dia pasti punya alasan cerdik untuk itu.

“Vanessa minta duduk dipangkuanku, hehe... Evan duduk  dibelakan aja biar dekatan sama Naisya...”, ucapnya sambil langsung masuk kedalam mobil dan tak membiarkan yang lain berargument. Zack hanya geleng-geleng kepala.

“Widiiih...pinter banget ya kamu Ki. Ngomong aja biar dekatan sama sepupunya Vanessa...”, ucapku dan Kiki hanya tersenyum menggoda.

Sepanjang perjalanan pulang Kiki nyerocos sana-sini. Klop banget sama Naisya. Aku dan Evan cuma cekikikan. Zack? Sesekali dia tersenyum. Hanya itu. Ada apa ya? Apa ada yang salah? Perasaanku benar-benar tidak enak. Dia keliatan berbeda sejak kami mengobrol tadi. Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Ah...semuanya biasa saja. Atau...jangan-jangan dia... Iih...aku mikir apa siyh. Kulirik wajah itu. Zack...kamu kenapa siyh? Sesekali dia menekan kedua bibirnya dan lubang yang sangat dalam muncul dengan indahnya dikedua pipi wajah tampan itu. Ya Allah, lelaki ini memang charming! Seberkas perasaan tak enak seolah menghilang sejenak karena itu dan aku hanya tersenyum.

“Ehem... jangan bilang gara-gara ini kamu gak angkat telpon Bang Faisal tadi ya? Bukan gara-gara Zack kan kak?”, bisik Naisya dan wajahku menghangat tanda merona. Sejak kapan makhluk ini memperhatikanku, bukannya dia sedang asik mengobrol dengan Kiki.

“Hei...ngomong apa siyh?”, ucapku kaku sambil membuang muka melihat ke kaca mobil.

“Kak... kamu...”, Naisya berhenti berucap dan aku menoleh padanya.

“Kenapa?”, tanyaku jutek.

“Kamu gak lagi jatuh hati sama Za..”, aku langsung menutup mulut Naisya dengan tanganku dan mendelik padanya.

“Naisya!! Jangan macam-macam mendoakan hal itu...”, bisikku.

“Hei...pada ngomongin apa siyh? Kok bisik-bisik gitu? Gak lagi ngegosipin aku dan Zack kan?”, potong Kiki dari bangku depan.

“Stress!! Siapa juga yang ngegosipin yang gak bener! Ge er banget lo, Ki”, ucap Naisya.

“Sejak kapan ada gosip yang bener neng?”, Kiki cekikikan. Aku hanya diam. Naisya kenapa bisa mengeluarkan statement begitu yaa? Apa jangan-jangan aku memang... dan tak sengaja mataku melihat kearah spion depan. Ternyata Zack...Dan mata kami bertemu disana. Seolah lama. Astagfirullahal’adhim...aku langsung membuang pandanganku. Enggak, ini pasti karena pengaruh kejadian tadi di pantai.

“Kapan ketemu lagi Zack?”, tanya Kiki ketika kami sampai dirumahnya.

“Hah? Hmm... insyaAllah...”

“InsyaAllahnya kapan?”, potongnya. Aku dan Naisya saling berpandangan dan terkekeh. Maksa benar tu anak! Kulirik Zack sedikit salah tingkah.

“Yaa...mudah-mudahan Allah masih...hmm...izinin kita ketemu dalam waktu dekat, kalau enggak, berarti...”, kalimat Zack membuatku sedikit terkejut. Kenapa dia seolah-olah...

“Heheee... serius amat Zack,hehe. Oke! Thanks ya udah ngajakin tamasya en dianterin segala...”

Mobil kembali berjalan, tetapi aku masih memikirkan kata-kata Zack tadi. Mungkin bagi yang lain ini hanya kalimat biasa, tapi entah kenapa Zack seolah sangat serius saat berkata itu. Aku tak sengaja meliriknya dan tak kusangka lelaki itu juga sedang melihat kearahku melalui spion depannya. Ya Allah, ini sebenarnya ada apa? Kenapa hatiku seperti berdesir? Aku memalingkan wajahku dan senantiasa mengucap istighfar dalam hati. Kenapa aku merasa Zack dari tadi memperhatikanku? Apa ada yang salah denganku? Konyolkah aku?

***

Aku buru-buru mengangkat barang sebanyak mungkin. Aku ingin segera masuk kerumah dan menghindari mata itu. Namun, saking banyaknya barang yang kubawa akhirnya beberapa terjatuh... Naisya membantuku.

“Kak, kenapa siyh? Kok keliatan buru-buru begitu?”

“Hah? i...ini, aku harus ke toilet, hehe...”

“Ya sudah, ke toilet sana. Biar ini kami yang beresin!”, ucap Naisya.

Aku buru-buru pun melangkah masuk ketika sekilas kulirik Zack akan melangkah menujuku. Aku tak mengerti kenapa, tak kupungkiri beberapa kali aku merasa nervous ketika bersamanya, namun saat ini aku bahkan tak sanggup lagi melihat matanya. Apa ini karena kejadian tadi? Apa sebesar itu pengaruh reka ulang tadi?
Inilah kenyataan yang terjadi, terkadang kita lebih memilih lari dari permasalahan. Aku melewati mamak dan ayah yang keluar menyambut kami. Keduanya terlihat kebingungan melihatku terburu-buru.

Tidak menuju kamar kecil karena aku memang sedang tak ingin ke toilet, aku malah menuju ruang tamu dan melihat keluar melalui gorden. Terlihat Zack sedang mengobrol dengan ayah dan mamak. Naisya juga ikut nimbrung. Namun, tiba-tiba aku melihat Zack melirik kearah pintu masuk dan yang lain ikut melihat, sepertinya dia mau pamit. Naisya buru-buru masuk, seperti ingin memanggilku. Aku berlari menuju kamar kecil dibawah tangga.

“Kak, Zack mau pamit itu... cepetan!”, ucap Naisya sambil mengetok pintu kamar kecil.

“Tumben banget dia pamitan ke aku...”

“Ya, mana Sya tahu! Dia katanya mau pamitan sama kakak. Kamu ngapain siyh Kak? Lama amat! Kasihan Zack nunggu...”, ucap Naisya kemudian. Zack mau pamitan padaku?

“Aku mules Sya...”

“Ya sudah...”

Tak ada lagi suara. Naisya sudah pergi. Faktanya aku bahkan tak sakit perut sama sekali, kenapa aku begini yaa? Kenapa aku menghindari Zack? Dan kenapa Zack harus berpamitan padaku? Oh...jangan-jangan... aku membuka pintu kamar kecil, kudengar deru mobil menjauh dan beberapa detik kemudian kulihat ayah, mamak dan Naisya baru masuk.

“Zack...”

“Baru saja pulang, kasihan Vanessa terlelap dimobil”, ucap mamak.

“Zack nungguin kamu tadi Kak, niatnya mau pamitan...”, ucap ayah dan kulihat ekspresi ayah sedikit kecewa. Tiba-tiba perutku yang tak bermasalah sama sekali, seperti mulas. Ada perasaan tidak nyaman menyerangku. Perkataan ayah sepertinya menyiratkan sesuatu...

“Iyya Kak, kasihan Zack...dia kelihatan banget pengen ketemu kamu tadi sebelum pulang... kamu kenapa siyh? Sakit yaa?”, tanya Naisya dan aku menggeleng lemah. Kini perasaanku benar-benar menyesal. Kenapa aku harus menghindarinya?


***


Dua hari berlalu...

Tak ada kabar. Iya, sepanjang perkuliahanku aku sesekali mengecek handphoneku dan berharap ada sebuah pesan singkat disana. Tidak, aku bahkan tidak mengharapkan dia menelponku. Hanya pesan singkat. Namun nihil. Sudah dua hari, tak ada kabar dari lelaki itu, bahkan sms dari calon suamiku sendiri tak begitu membuatku tertarik. Lho? Jadi siapa lelaki yang kumaksud? Iya, Zack. Lelaki yang telah tega membuatku cemas dua hari ini. Aku bahkan tak berani menanyakan kabarnya.

Weekend pun datang lagi dan masih tak ada kabar tentang Zack. Sudah seminggu juga dia tak nongol dirumah. Ayah dan mamak sepertinya juga mulai kehilangan lelaki charming itu karena beberapa hari ini aku selalu mendengar pertanyaan tentang Zack.

 Siang itu selepas dari rumah Rika, aku tak langsung pulang, aku menuju butiknya Kak Dira. Dijalan, aku tiba-tiba teringat Bang Faisal (sedikit merasa bersalah mungkin yaa? hehe).

Beberapa kali aku melihat dia bersama gadis itu. Awalnya aku berusaha positif thinking, namun belakangan ketika berulang kali kulihat dia bersama dengan gadis yang sama, hatiku sedikit perih. Aku sedih bukan karena cemburu, tapi sedih karena mengalami hal seperti ini. Namun, aku masih tetap berpositif thinking karena mengingat jawaban istikharahku dan juga betapa hubungan keluarga yang sudah terjalin sangat baik. Satu lagi, aku sangat menjaga perasaan orangtuaku juga orang tuanya bahkan ketika Umminya sudah sangat begitu menyayangiku. Aku merasa iba pada diri sendiri. Aku seperti tokoh protagonist yang sangat pasrah pada nasib dan senantiasa menyimpan permasalahan sendiri. Kesimpulannya, aku masih bertahan mempercayainya walaupun sudah diperlakukan seperti ini.

Zack juga seperti menyimpan sesuatu. See, Zack lagi? Ketika aku mengenalkan Faisal padanya beberapa waktu lalu, ada perubahan sikap padanya. Tatapannya seperti iba dan menyimpan sebuah rahasia besar. Aku mulai mengira-ngira ini tentang semua ini. Namun Zack hanya berusaha mengalihkah ketika kutanya berulang kali.

Hari ini aku keluar dengan Kak Dira. Dia mengajakku makan. Entah kenapa hari itu aku menurut saja ketika diajak makan ketempat favoritnya. Pizza.

“Kita makan siang bentar yaa?? Mau makan dimana?”, tanya Kak Dira.

“Terserah kakak aja…”

“Oke, Pizza yaa?”, aku mengangguk saja.

Kak Dira pun memarkirkan mobilnya dan kami pun bergegas masuk. Aku sedang sibuk dengan pikiranku, menu apa yang aku pesan nanti (walaupun, semuanya tak membantu meningkatkan nafsu makanku, pikiranku sedang terbagi-bagi begini).

“Selamat datang. Bersama saya Niken, makan disini atau bawa pulang?”

“Makan disini”

“Silahkan Mba, mau duduk dimana?”, aku terus mengikuti langkah Kak Dira. Kami memilih kursi diruang pertama…”

Setelah memesan menu dan si waitressnya mulai sibuk dengan piring dan menunya, aku mulai melihat sekeliling. Dan satu pasangan membuat selera makanku yang memang sudah tak ada, semakin memburuk. Itu lagi-lagi Bang Faisal dan gadis itu yang kutahu bernama Vina (gadis yang dia tinggalkan untuk melanjutkan proses denganku).  Mereka hanya berselang beberapa tempat duduk dari kami dan berada di sofa ruang ketiga, tapi pandanganku terlihat jelas. Pasangan itu terlihat begitu akrab, oh…tidak, mereka mesra. Hatiku seperti diremas-remas. Aku langsung membuang muka karena mulai cemas Kak Dira juga melihat hal yang sama. Tapi aku bersyukur, karena dia mulai sibuk dengan hpnya.

“Kak, kenapa kita gak makan di butik kakak aja? Kan lebih seru rame-rame..”

“Heh? Gimana siyh kamu ini, tadi malah ngajak makan diluar… ada apa siyh? Kenapa tiba-tiba berubah…”, tanyanya mulai curiga.

“Eh..en..nggak kok! Teringat pegawai kakak aja, kali mereka juga pengen Pizza kak, kita bungkus aja kali yaa?”

“Enggak, mereka sering kemari kok! Udah ah, jangan macam-macam. Herah dech, kamu kok jadi aneh gini…”, ucapnya sekilas melihatku dengan mata curiga namun detik selanjutnya sudah sibuk dengan hpnya lagi.

Aku mulai cenat-cenut bukan karena I heart “Smash”, tapi karena aku ketakutan Kak Dira melihat Faisal. Pasti akan terjadi perang (sedikit lebai, tapi bisa saja lebih dari itu. aku bergidik). Rasanya aku pengen segera keluar dari sini, dalam sekian detik menghabiskan pizza-pizza yang kebetulan belum disajikan. Perutku mulai mual, apalagi ketika…

“Kakak telponin Faisal ni, biar dia datang kemari. Ini kan weekend, dia pasti punya waktu. Heran, kalian kok bisa komunikasinya macet gini, padahal tanggal nikah sudah ditentukan…”, aku shock. Tak ada yang bisa kulakukan karena sepersekian detik selanjutnya sebuah dering handphone terdengar. Memang tidak begitu mencolok, tapi ak terlanjur dia juga berada di tempat yang sama. Kulirik lelaki itu dan wajah itu sedikit terkejut. Aku terus berdoa agar dia tak mengangkat telpon itun, namun…Aku tahu ini bakal terjadi, aku menunduk karena aku juga tahu Kak Dira pasti akan mengikuti suara itu. Toh, entah sengaja atau hanya kebetulan, Pizza Hut terlihat sedikit lebih sepi dari biasanya. Suara mereka pasti akan terdengar ke masing-masing.

 Kak Dira pun mulai menyusuri ruangan dan matanya kini tepat tertuju ke lelaki itu. Tatapannya yang awalnya begitu sendu, jadi sengit sekejap. Aku mulai ketakutan. Ku ikuti pandangannya dan terlihat Bang Faisal terkejut ketika mata mereka beradu. Aku mulai mengucap doa agar tak terjadi apa-apa, namun tiba-tiba dalam pandangan sengitnya Kak Dira bangun, aku mendongak. Detik selanjutnya dia sudah menarik tanganku.

Kukira aku akan diajak keluar dari ruang itu, namun aku terkejut ketika dia mengiringku ke meja Bang Faisal. Kami duduk tepat didepan mereka. Kak Dira tersenyum, tapi kutahu senyuman itu artinya apa…

Aku hanya bisa meremas tanganku.

“Kak, udah lama?”, ucap Faisal yang sedari tadi tak tahu kemana bersembunyi. Vina juga kelihatan cemas.

“Baru saja, kalian sudah lama donk? Berdua aja niyh, Sal?”, tanyanya sedikit menyindir.

“Iya Kak!”

“Ini pacarmu?”, tanyanya dengan wajah sedikit mengarah kepada Vina. Keduanya saling memandang, namun akhirnya menunduk. Perasaanku benar-benar tidak nyaman.

“Hmm…gak apa, gak usah dijawab. Oia, Vina ya namamu? Vina, kenalkan saya Dira, ini Nadia, kebetulan Nadia ini calon istrinya Faisal…”

“Kak…”, panggilku lirih. Namun it doesn’t work.

“Jadi semua karena ini… bisa kamu jelaskan Faisal?”

“Maaf Kak Dira…”, ucap Faisal selanjutnya, tak ada penjelasan lebih panjang. Hanya kata-kata maaf. Aku yang sedari tadi menunduk kini melihat kearah suara itu. Tak kupungkiri hatiku perih, tapi tidak seperih biasanya. Detik ini aku merasa ada beban yang terlepas dari pundakku. Iya, inilah jawaban Allah akan kegelisahanku. Aku sadar selama ini aku sedih, tertekan karena aku harus menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Menutupi segalanya dari orang-orang. Kini Allah menampakkannya sendiri tepat kepada Kak Dira. Lelaki itu, dia hanya bisa berucap maaf. Apa maksudnya, aku tak peduli tentangku, tapi bagaimana dengan Vina.

“Bang Faisal, sebaiknya jujur saja, Nadia tidak apa-apa kok! Kalau memang sedari dulu tidak memilih Nadia, kenapa harus mempermalukan diri sendiri…”, dan inilah ungkapan perasaanku.

“Begini rupanya seorang Faisal yang begitu kakak banggakan…”, potong Kak Dira. Kami terpana. Suaranya memang sedikit besar. Beberapa pengunjung lain dan para pelayan mulai melirik meja itu. Pizza yang kami pesan sudah sampai, dan si waitress mulai kebingungan.

“Kak Dira, aku…”

“Sudah jelas buat Kakak, Sal! Biasanya akan ada kesempatan ketiga, tapi kakak rasa kita sama-sama tahu itu sudah tak mungkin. Dari kata-katamu itu…”

“Sebenarnya ini hanya permintaan keluarga, aku sangat menghormati ayah dan ibuku. Dan mereka sangat menyukai Nadia, jadi…”

“Jadi kau pura-pura jadi anak berbakti dengan cara mempermalukan diri sendiri dan menipu banyak orang. Kamu tahu apa yang akan terjadi ketika orangtuamu tahu ini? Kamu menyakiti mereka lebih dalam Faisal, kenapa tak terpikirkan? Tanggal sudah ditentukan Faisal…”

“Kak, aku tidak akan…”

“Sudah cukup ! Tega sekali kau bicara seperti itu. Vina, kau bisa menilai seperti apa lelaki ini… terserah padamu. Faisal, everything’s over! Biar semuanya berakhir sekarang dari pada kedepan akan banyak yang lebih sakit…”

Ya Allah, betapa tragis kisahku. Aku menggigit bibir berusaha menahan perasaan. Aku merasa kesal pada diri sendiri kenapa begitu cepatnya menaruh hati. Aku merasa kasihan pada diri sendiri ketika harus bertahan dalam pengkhianatannya yang jelas sekali tampak dimataku. Sementara Kak Dira terus mengucapkan kalimat-kalimat yang sangat sopan saat seseorang sangat tersinggung atas perlakuan tak pantas, aku menunduk. Aku berusaha keras, agar airmataku tidak tumpah, hingga tiba-tiba sebuah sms masuk…

From: Kiki

Nad, kamu dimana? Zack pulang ke Perancis hari ini yaa? Tadi aku ketemu dia di bandara, dia kelihatan buru-buru…

Aku terkejut. Namun dengan refleks aku menatap Kak Dira dengan wajah yang sangat memprihatinkan.

“Kak…”, panggilku lirih ketika kudengar Kak Dira masih dengan semangatnya menginterogasi Bang Faisal. Mendengar panggilanku yang sangat tidak normal itu wajah cantik itu pun menoleh.

“Nadia… ada apa? Kamu kenapa?”, tanyanya iba.

“Bisa antarkan aku ke bandara sekarang gak?”


To be continued...