Senin, 06 Februari 2012

Plot and Me 7 - Antara Ada dan Tiada



Galau.
Itulah kata yang bisa mengambarkan perasaanku beberapa hari ini dan tanpa kusadari ternyata kata-kata “galau” itu sebegitu happeningnya selama ini. Si olga malah jadi icon galau (penasaran dikit, emangnya sebegitu banyaknya orang yang patah hati sampai-sampai galau jadi begitu berkembang biak yaa?)

Aku juga merasa bingung dengan apa yang kurasakan sekarang. Galau? Memangnya apa alasannya aku bisa galau? Aku bahkan tak patah hati, malah sekarang adalah masa-masa dimana aku sedang menikmati indahnya jatuh hati. Tapi apapun yang kuucapkan, perasaanku tetap saja memilih untuk galau (dan ini suer bukan karena “galau” lagi happening dan aku ikut-ikutan).

Dan mulailah aku mencari tahu penyebab penyakit hatiku itu. Pertama, aku sedang tidak menjelang haidh, berarti alasan itu dicoret. Kedua, nafsu makanku baik-baik saja malah aku sangat bersemangat ketika jadwal makan datang, alasan itu pun dicoret. Ketiga, aku tak punya utang kesiapa pun. Naisya yang selalu menjadi tempat aku berhutang pun dengan tulusnya mengatakan aku tak berhutang kali ini. Selanjutnya, hubungan asmaraku juga just fine even better. Then what ? Naisya juga sepertinya kebingungan melihat tingkahku yang memang sedikit berlebihan.

“Kak, kenapa siyh? Ada masalah?”

“Heh?”

“Kamu aneh, tahu gak! Kelihatan galau...”

“Haha...ngikut tren donk Sya!”, ucapku dengan sedikit kaku menyembunyikan kegugupanku. Dan bisa kulihat mata Naisya sedikit curiga, adikku ini memang terkadang bisa membaca pikiranku.

“Jangan bilang kalau kamu lagi mikirin lelaki lain selain calon suamimu yaa? Jahat banget tahu gak siyh?”

“Hah? Ngomong apa?”, dan aku terkejut bukan kepalang. Tega-teganya Naisya menuduhku seperti itu. Mikirin lelaki lain?

“Yaaah...siapa tahu kamu lagi mikirin Zack... soalnya setelah kejadian dikampus saat Zack cuekin kamu, kak Nadia jadi aneh gini...”, dan aku ternganga. Bukan karena aku terkejut tapi aku terpana ketika pernyataan Naisya itu kini benar-benar tepat sasaran. Rasa aneh didalam hatiku tiba-tiba seperti berdenyut. Jangan-jangan...

“Kak! Kenapa diam? Jangan-jangan semua tebakanku bener ya?”

Aku menoleh, namun kembali diam seribu bahasa. Aku juga tak tahu apa yang harus aku jawab. Satu hal yang kuakui, setelah kejadian hari itu, terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku tentang Zack. Kenapa dia begitu tega mengacuhkanku? Apa itu bukan Zack? Atau dia sudah tak mengenaliku lagi? Yang lebih parah ketika dia pergi karena aku berbuat salah. Pertanyaan-pertanyaan itu yang datang setelah hari itu. Namun, satu sisi hatiku seolah berontak karena aku tak pantas memikirkannya.

“Kak!”, panggil Naisya lagi.

“Kenapa?”

“Kamu diam, jangan-jangan kamu beneran lagi mikirin Zack ya?”

“Ee..enggak kok! Kamu ngomong apa?”, jawabku kaku sambil berlalu menuju garasi dan menghidupkan scoopyku, kemudian berlalu pergi.

Beginilah kenyataan hidup, terkadang kita harus lari dari pertanyaan dan memilih menyimpan jawaban itu sendiri. Dan kini kenyataan itu malah membuatku lagi-lagi mengingat lelaki charming itu. Jadi beginilah yang sering dilakukan Zack, dia memilih tersenyum untuk menjawab sebuah pertanyaan karena ada alasan yang mungkin tak bisa dia ungkapkan. Zack... lagi-lagi Zack.

***

Dan kini aku benar-benar mengerti apa yang kurasakan. Aku merasa cemas atas sikap Zack. Kuakui Naisya benar-benar hebat, dia begitu tepatnya menebak perasaanku yang bahkan aku sendiri tak menyadari (mungkin seorang kembaran pun tak punya kemampuan seperti yang Naisya punya).
Disepanjang perjalanan aku merasa sangat berdosa, begitu teganya aku memikirkan lelaki lain bahkan ketika aku sudah bertunangan seperti ini. Tetapi aku meyakinkan diri sendiri kalau ini bukanlah perasaan “in love”, ini hanya perasaan cemas. Ya, itu saja. No more that that. I can guarantee that. Really.

Aku berhenti di pinggir jalan didepan Museum. Ku parkirkan scoopy ku dipinggir jalan itu dan berlalu menuju pinggiran sungai kecil (entah ini sungai atau hanya sebuah selokan besar)yang mengarah dari pendopo dan bermuara di bawah jembatan dekat Pante Pirak swalayan. Aku duduk disana dan mulai memandangi aliran air disungai kecil itu (sedikit beruntung karena air yang mengalir hari itu begitu jernih). Bunga Aulia memang sedang bermekaran dan menebarkan harumnya(Pohon dipinggiran jalan menuju pendopo yang mempunyai bunga seperti bunga kol, ketika dia mulai bermekaran, seolah sakura. Menebarkan harum, apalagi dimalam hari. Dan aku menyebutnya bunga Aulia karena aku sangat menyukai harumnya).

15 menit kemudian aku masih saja termenung didepan sungai itu.
Aku kenapa siyh? Kenapa aku melarikan diri? Dan kenapa aku harus memikirkan Zack? Ya Allah, apa ini? Beri hamba petunjuk.
Dering handphone mengangetkanku. Dan nama yang tertampil disana cukup membuat jantungku berdegup dan refleks aku bersyukur akan getaran jantungku itu. Dan aku membuktikan bahwa aku memang sedang jatuh hati, bukan pada Zack tapi pada calon suamiku sendiri. Iya, bang Faisal menelponku.

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumussalam, Nadia dimana?”

“Hmm..ini..e..lagi di luar, kenapa bang?”

“Hmm..enggak, cuma teringat aja. Nadia baik-baik aja kan?”. Aku terpana. Dia mengkhawatirkanku. Apa dia juga bisa merasakan kegalauanku. Aku begitu merasa bersalah padanya.

“Iyya, I am just fine”

“Oke, Alhamdulillah. Jangan kesorean pulangnya ya? Text me when you’re home”.

Telpon pun berakhir. Aku masih terpana. Allah, apa ini jawabanMu. Iya, benar, aku seharusnya tak terlalu mengkhawatirkan hubunganku dengan Zack, aku punya seseorang yang kini harus lebih aku jaga perasaannya.
Aku pun bangkit dan menuju scoopy mate ku. Ketika aku berjalan kearah motorku, entah kenapa mataku seperti terpancing melihat kearah lampu lalu lintas diseberang jalan. Dan lagi-lagi mobil yang sudah sangat kukenal itu menarik perhatianku. Not again, God!
Harrier putih itu begitu teganya berdiri gagah menunggu lampu merah berganti hijau. Aku pun dengan sangat tololnya berdiri terpana. Lelaki didalam itu terduduk manis dengan gayanya yang sangat khas. Kedua bibirnya ditekan bersama hingga pipinya menyembulkan lesung pipi yang sangat dalam. Ah...Zack! apa tidak ada aktor utama lainnya hari ini. Kenapa harus kamu yang memonopoli.

“No, Nadia! Ini bukan waktu yang tepat mencoba-coba hatimu!”, ucapku pada diri sendiri dan bergegas menghidupkan scoopy ku dan melaju dan sekilas kulihat lampu lalu lintas diseberang pun telah berganti.

***

“Kenapa lari kak? Pertanyaanku padahal mudah kan? Atau...”, tanya Naisya ketika aku memasuki gerbang. Dan aku sudah sangat yakin Naisya akan menungguku untuk di interogasi.

Aku pun hanya tersenyum dan melangkah masuk meninggalkan adikku itu dengan wajah yang penuh selidik.

“Hei... dia malah lari lagi...”, ujarnya sedikit keras dan langsung mengikutiku ke kamar.

“Ada apa siyh kak?”

Dan lagi-lagi aku hanya menjawab dengan senyuman.

“Eh, pertanyaanku gak bisa dijawab dengan senyuman saja...”, Naisya sedikit kesal. Aku terkekeh.

“Sya, gak semua pertanyaan itu harus dijawab kan? Ada hal-hal tertentu itu yang hanya bisa kita simpan karena alasan-alasan kuat... daripada sebuah jawaban akan bermuara pada malu or dusta”

“Waaah!! Kamu belajar dari mana teori itu?”, dan mendengar pertanyaan Naisya aku tersentak. Belajar dari mana? Itu kan teori’a... Zack. Dia yang begitu sering melakukan hal ini dan kini aku sadari aku mulai melakukannya juga. Ah... Zack! Bisa gak, hari ini kamu enyah dulu dariku!
“Hei! Masih gak bisa jawab juga?”, tanya Naisya selanjutnya dan membuyarkan lamunanku.
Dan lagi-lagi aku memberinya sebuah senyuman. Well done, Zack!

***
Mendung menyelimuti kota Banda Aceh. Aku buru-buru melajukan motorku ketika kulihat langit semakin gelap dan petir mulai bersuara. Aku terus-terusan berdoa agar hujan tak turun paling tidak hingga aku sampai dirumah (doa yang egois tanpa memikirkan orang lain, hehe). Dan Allah tentu tahu betapa egoisnya doaku, maka ketika tepat berada di persimpangan lamprit hujan turun tak tanggung-tanggung. Deras. Aku pun dengan refleks berhenti tepat di bawah jembatan penyeberangan untuk berlindung.

10 menit berlalu.
Hujan tak kunjung reda, malah bertambah deras. Beberapa orang pemuda dan beberapa orang gadis remaja juga berlindung ditempat yang sama denganku.

Aku mulai menikmati suara hujan yang kusadari semakin mereda. Kupandangi arah jalan, hanya beberapa kendaraan beroda empat yang lewat sedang hanya satu dua motor yang menerobos hujan. Dari seberang jalan, seorang pemuda menarik perhatianku (tidak-tidak, bukan aku saja tapi beberapa orang disekelilingku juga merasa tertarik), dia menerobos hujan dengan mengendarai sepedanya. Pemuda itu berpakaian serba kuning seolah ingin mencocokkan dengan sepedanya yang juga sangat eyecatching. Dia melaju dari arah lampu merah berlawanan dengan lampu lalu lintas persimpangan lamprit. Aku tersenyum ketika akhirnya si pengendara sepeda kuning melewati halte dan seseorang di halte yang juga hampir serupa dandanannya dihalte seberang mulai memotret sang lelaki. Jadi teringat Zack kalau melihat pemuda dengan sepeda kuningnya itu. Nah lho, kok Zack lagi? Eh...wait, wait... Aku seperti menyadari sesuatu. Kualihkan pandanganku segera dari si lelaki bersepeda kuning dan mengarah pada si pemuda  di halte itu yang sedang sibuk dengan DSLR nya. Walau dengan jarak yang cukup jauh tapi aku sangat bisa mengenalinya. Ya Allah, ini sebenarnya ada apa? Dua hari berturut-berturut aku melihatnya tapi ironisnya aku bahkan tak bisa menyapanya. Dengan helm dikepalanya, lelaki itu masih asik melihat-lihat hasil jepretannya. Zack... what are you doing there? Can you see me here?
Dan...

Wajah itu mendongak seolah dia mendengar ucapanku. Mata kami bertemu dengan jarak yang cukup jauh. Ini bukan sinetron, ini bukan drama korea dimana waktu seolah berjalan begitu lambat ketika dalam situasi seperti ini. Tapi, itulah yang aku rasakan saat itu, serasa tiap pergantian detik menjadi sangat lambat. Ah...mata itu, serasa begitu lama aku sudah tak melihatnya.
Zack kemudian tersenyum, namun keterpanaanku yang sangat keterlaluan membuatku hanya bisa membalasnya dengan sebuah tatapan tolol. Detik selanjutnya kulihat dia mengarahkan kameranya padaku dan... klik.

“Hai”, bisa ku lihat bibirnya berucap dari kejauhan. Tangannya kemudian sedikit melambai.

Kini kesadaranku sedikit pulih. Alhamdulillah, ternyata tak ada yang berubah dari lelaki itu. Dia masih mengenaliku. Aku pun kemudian membalas sapaannya dengan sebuah lambaian. Tiba-tiba sebuah dering ringtone mengejutkanku...

***
“Assalamualaikum...”

“Waalaikumussalam, dimana kamu Nad?”

“Kejebak hujan ni, ada apa Ki?”

“Temenin aku makan, pengen nasi goreng belacannya Kojex, hehe...”, mendengar nama menu favoritku itu disebut, air liurku seolah ingin menetes apalagi ditengah hujan deras ini. Cacing-cacing terlihat kian girang.

“Lha, aku masih di Lamprit ini kejebak hujan...”

“Aku jemput dech...”

“Yaelaah... jadi motorku mau diikat di atas Jazz merahmu itu?”

“Waaah...enak aja lu! Tinggalin aja dah, hehe...”

“Good idea! No way! Lu kira aku setega itu sama mateku... Ogah! Mending aku basah-basahan dari pada ninggalin motorku...”

“Yihiiii...marah ni yee... scoopy mu itu semacam kekasihmu Nad, hehe... Oke-oke, aku jemput nanti malam yaa?”

“Nah gitu donk!”

Telpon berakhir dan cepat-cepat aku alihkan pandanganku kearah depan. Yaah... Kiki siyh. Lelaki itu sudah tak berada disana. Dia mungkin sudah pergi dengan sepedanya itu, lagian hujan pun kian mereda. Ah...Zack, sudah lama sekali aku tak mendengar suaramu itu. Kamu apa kabar yaa?

***
“Eh..tunggu-tunggu, tadi bunda nitip jus guava...”, ucap Kiki ketika kami akan menuju mobilnya setelah selesai menyantap menu favorit kami berdua itu, kebetulan Naisya tidak bisa datang. Dia masih setia dengan tugas SPA-nya. Calon Arsitek euy! Menu favorit Naisya lain lagi, Nasi goreng pete, asik kan? Haha... siapa yang ngiler?

Kiki pun kembali ke dalam.
Aku bersandar pada tubuh mungil si Jazz merah dan mulai melihat sekeliling. Eh...bukannya Zack tinggal di rumahnya Joan yaa? Dekat-dekat sini kan. Aku terkekeh sendiri. Namun, itu hanya berlangsung sebentar karena sesosok tubuh ideal dengan wajah yang cantik yang sedang keluar dari Purnama menarik perhatianku (waah...jangan pada curiga yaa? Pikiran dan hatiku masih sehat kok, orientasiku masih pada pria). Itu kan kalau tidak salah Vina. Iyaa...beneran Vina, cewek yang pernah berada diantara hubunganku dan bang Faisal. Vina memang cantik. Dia itu perempuan berkelas dengan dandanan yang rapi dan feminine. Selain cantik dia terlihat menarik. Aku kemudian melihat kearah diri sendiri dan mulai geleng-geleng. Kalau pun aku harus dibandingkan dengan gadis itu, tak perlu dikomentari, aku sendiri yang akan mundur teratur. Pantas saja Bang Faisal tak kuasa menolaknya. Kemudian aku hanya terkekeh dan kembali memasang mata kearah Vina. Tetapi dia malah sudah tak disana, sepertinya dia didalam sebuah mobil yang kutahu sebuah Vitara black. Aku mulai mencari-cari sosok itu, tetapi malah yang aku temukan...

“Itu kan...”,

Postur tubuhnya persis lelaki itu. Cara berjalannya juga sama. Tetapi aku tak bisa melihatnya dengan jelas, selain karena lampu temaram juga karena dia sedikit membelakangiku. Tunggu-tunggu, dia juga masuk ke mobil yang sama dengan Vina. Hatiku langsung merasa seperti sesak luar biasa. Ya Allah, apa lelaki itu? Tak kusadari kakiku melangkah menuju mobil itu, aku benar-benar ingin tahu. Namun, sesuatu menghalangi langkahku...

“Hei, mau kemana?”, tanya Kiki sambil menarik lenganku.

“Heh?”, aku menoleh.

Detik selanjutnya aku hanya diam. Apa aku harus beri tahu Kiki? Tapi perasaanku langsung kacau. Tetapi gimana kalau ini terjadi lagi untuk kedua kalinya? Tidak...tidak Nadia, mungkin ini hanya perasaanmu saja. Kiki sebaiknya tidak tahu, dan aku memutuskan untuk memastikannya sendiri. Aku masih sangat pengecut jika saja semuanya benar dan semua orang tahu. Akhirnya berujung pada rasa iba padaku. Aku tak mau. Kutelan ludahku dan kuucap istighfar berulang kali.

“Kenapa siyh?”, tanyanya lagi menyadarkanku.

“Eh...enggak Ki, tadi kirain ada teman yang kukenal saja disana...”

“Dimana?”, tanya Kiki sambil mendongak kearah Purnama, namun...

“Tapi bukan kok! Ayo pulang!”, ucapku sambil langsung menarik tangannya dan masuk ke mobil. Kulirik sekilas, Black Vitara itu sudah berlalu.

***
Dimana?


Ini lagi di Tower dekat Taman Sari, kenapa Nadia?


Oh...enggak! Tadi perasaan Nadia liat Bang Faisal, udah lama di Tower?


Oh ya? Where are you? Di tower juga? Selepas magrib sudah disini.


Enggak, hehe

Dia di Tower. Apa aku yang salah lihat ya? Iya... mungkin ini hanya prasangkaku saja karena melihat Vina dan kuanggap lelaki itu adalah Bang Faisal. Aku mulai menenangkan diri. Tapi kan...bisa saja ini hanya taktik atau alasannya. Tiba-tiba saja kecurigaan menguasai hati dan pikiranku. Kecemburuanku membuat sinyal-sinyal negative thinking menyerang otakku dan kalau sudah begini, pikiran yang sehat akan cepat sekali tersingkir. Dan itu fakta yang sering terjadi.

“Nad, kita singgah ke suatu tempat sebentar ya? Aku mau ngembaliin hard disk temenku”

“Oke, dimana?”

“Di Tower”
Mendengar nama sebuah modern coffee shop itu disebut, jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Sinyal-sinyal kecurigaanku mulai aktif kembali. Aku ingin tahu. Aku ingin membuktikan semuanya. Dan ketika Kiki berbelok ke kanan dari jalan didepan gedung tua Genta Plaza menuju Tower, detakan jantungku semakin menjadi-jadi. Tanganku mulai kedinginan, dan perutku sedikit mulas. Ya Allah, ternyata tidak enak sekali kecurigaan itu. Aku menyadarinya sekarang, tetapi itu sudah terlanjur menyerangku.
Kiki memarkir mobilnya dijalan kecil itu karena kalau malam begini, parkiran Tower begitu padat.

“Nad, ikut yuk!”

“Ah, enggak Ki, aku disini aja, gak pake lama ya?”, ucapku kaku sambil tersenyum.

“Oke, aku bentaran aja...”

Kiki berlalu dan aku mulai mengambil langkah. Aku keluar dari mobil dan mulai memeriksa parkiran. Kebetulan mobil-mobil terpakir di jalanan dan... Ah...ada perasaan sejuk luar biasa. My distrustful feeling is releasing soon. Alhamdulillah Ya Allah, semoga ini memang yang sebenarnya. Kulihat sebuah Jazz silver dengan plat number 414 JO berdiri dibawah sebuah pohon asam. Aku berjanji dalam hati untuk tidak membahas ini lagi dan berusaha untuk tidak curiga lagi karena aku tahu betapa tak enaknya rasa curiga dan buruk sangka itu. Namun ketika aku hendak kembali ke mobil, seseorang yang aku sama sekali tak kenal dengan sangat sadarnya masuk ke mobil bang Faisal dan melaju tenang. Siapa dia? Kenapa dia mengendarai mobil Bang Faisal? Apa ini hanya trik? Atau... apa Bang Faisal setega itu?

Dan lagi-lagi sejuta pertanyaan mulai menyerangku. Kecurigaanku yang tadi telah ku lepaskan kini memaksa masuk kembali kedalam pikiranku. Namun, buru-buru aku beristighfar dan berbalik menuju mobil.

Detak jantungku terus meningkat, perutku terasa mual karena perasaan yang kutahan, dan tentu saja jika semua rangsangan itu telah bereaksi, mataku akan mulai perih. Kubuka kaca jendela berusaha mencari udara segar dan melihat sekeliling. Taman Sari terlihat sedikit ramai, cahaya lampu yang temaram memuat suasana sedikit sendu (ini karena perasaanku sedang kacau, pada dasarnya lampu temaram malah membuat suasana semakin cantik dan romantis). Ada beberapa pasangan disana, ada juga orang tua bersama anak-anaknya. Sekelompok remaja-remaja putri duduk melingkar tepat dibawah lampu taman, dan ada juga seorang lelaki yang sedang asik dengan DSLRnya di dekat pergola bambu itu. Eittss... aku langsung memundurkan pandanganku dan benar saja, that’s the charming guy. Kenapa aku selalu melihat dia beberapa hari ini? Dia terlihat asik sekali dengan kegiatannya itu, memotret anak-anak kecil yang kulihat memang sedang tersenyum manis kepada lelaki itu. Detik selanjutnya kulihat dia berjongkok dan berbicara pada anak-anak itu sambil tertawa kecil. Zack, kamu juga suka anak-anak yaa? Seorang gadis Chinese kecil memeluk leher Zack dari belakang. Itu siapa? Vanessa ya? Anaknya Joan dan Edwin. Keduanya tersenyum dan lagi-lagi aku bersyukur disaat begini Allah masih memberiku berkah melihat senyuman manis itu. Zack, sudah lama sekali kita tak komunikasi. Aku sudah akan membuka pintu mobil dan berniat menyapanya ketika...

“Maaf Nad, agak lama, hehe”, ucap Kiki mengejutkanku ketika dia membuka pintu mobil.

Tak kurespon ucapannya karena aku buru-buru memalingkan wajah kearah Taman Sari. Dan bisa ditebak, lagi-lagi he disapears. Yaah...lagi-lagi Kiki niyh! What a miraculousness! Kenapa Zack bisa semisterius gini yaa?

***
Beberapa malam ini aku terus istikharah dan jawaban yang datang terus saja sama. Mimpi yang serupa terus datang menghampiri tidurku. Karena kejadian itu, keraguan yang besar datang menghampiriku. Namun sejak istikharah, perasaan itu berangsur-angsur pulih. Apalagi sejak beberapa kali, Ummi, ibunya bang Faisal datang mengunjungiku (jadi merasa tidak sopan, seharus yang lebih muda yang datang, tapi aku kan masih belum siapa-siapa).

Dan komunikasi yang ditawarkan oleh bang Faisal juga sangat baik. Tapi ada sedikit kekosongan dalam hatiku. Aku masih merasa ada yang tidak beres, namun semuanya hanya kupendam sendiri karena ini masih perasaanku. Yang jelas aku masih sangat ketakutan kejadian dulu terulang lagi. Logikaku mulai meragukannya, tapi hatiku tetap menginginkan dia menjadi pendampingku. Dan disaat begini, aku hanya bisa mengandalkan hasil istikharahku bahwa itulah jawaban yang Allah tunjukkan. Aku sempat berpikir, apa ada yang salah dengan istikharahku? Tapi mimpi itu begitu jelas.

I don’t feel good. Nadia baik-baik saja kan?

 Aku sedikit tersentak malam itu ketika keraguanku benar-benar di puncak, sebuah sms dari bang Faisal masuk.

“Iya, Alhamdulillah masih sehat. What’s happening?”


“Alhamdulillah. Still, I think something happens with you. Nadia masih menjaga perasaannya kan? Gak lagi mikirin yang lain, hehe”

Aku hanya bisa diam membaca sms itu. Satu sisi, aku memang salah, beberapa hari ini aku lebih banyak memikirkan Zack. Tetapi satu sisi lain kini malah berontak... rasanya aku ingin mengatakan kepadanya kalau aku kini sedang meragukannya.

Mudah-mudahan kita sama-sama bisa menjaga hati, good night ^_^

Dan inilah kenyataannya, ketika sebuah pertanyaan tak bisa dijawab dengan sebuah kejujuran, aku lebih memilih menghindarinya. Mudah-mudahan dia mengerti dan Tuhan memberkati karena aku hanya tak ingin menyakiti.

***
Kini hampir tiap hari aku melihat dia. Zack seolah benar-benar menghiasi hari-hariku. Tetapi dia seperti “Ada dan Tiada” (bahasa lainnya “hantu”, hehe). Aku selalu bisa melihatnya di titik tertentu, namun dia juga bisa menghilang tak berjejak. Percaya atau tidak, kali ini aku juga melihatnya. Sebenarnya Zack itu siapa siyh? Jangan-jangan dia mengikutiku lagi (haha...aku langsung tertawa sendiri, emang aku siapa mesti diikuti oleh lelaki charming, sekelas Zack lagi). Mudah-mudahan ini hanya tes yang Allah berikan agar aku bisa lebih bisa menjaga perasaanku.

Aku disini bersama mamak, dan aku sangat tidak menyangka akan bertemu Zack disini, tau gak dimana? Pasar Ikan Peunayong. Saat memasuki parkirannya saja, aroma amis ikan sudah menusuk-nusuk indera penciuman. Air tergenang hampir dimana-dimana, tong sampah emang tersedia, tetapi air yang tumpah darinya sudah seperti air selokan dengan aroma yang masyaAllah. Jangan tanya tentang sampahnya sendiri, disetiap sudut terbentuk sebuah tumpukan (bukannya aku ingin menghina kota kelahiranku sendiri, aku hanya prihatin). That’s why aku merasa heran saja, seorang Zack bisa berada disini? Yaah...dulu sebelum aku tahu siapa dia sebenarnya mungkin aku tak keberatan dia disini (keberatan?? Hah?). Namun ketika tahu dia sebenarnya, aku sedikit merasa surprised ketika dia berada disini.
Aku terus mengikuti mamak, namun mataku terus mengikuti lelaki itu yang keliatan sangat bersemangat melihat-lihat dan sesekali memotret. Selama ini aku sering sekali melihat dia bersama DSLRnya itu. Tapi ironis sekali, ketika aku bahkan begitu seringnya melihatnya, tapi tak sekali pun aku bisa berbicara dengannya.

“Zack!”, panggilku dengan suara seolah berbicara pada diri sendiri.
Berharap lelaki itu yang berpaling, malah mamak yang memandangku aneh.

“Kamu panggil siapa?”

“Hehe... Gak da Mak!”, ucapku sambil nyegir kuda. Dan tanpa sepengetahuanku ternyata lelaki itu menoleh, sampai akhirnya aku sadar, Zack sudah tersenyum dan memamerkan lesung pipinya itu.

“Ngapain?”, tanyaku dengan bahasa bibir. Dia lagi-lagi tersenyum dan tebakanku dia telah menjawab pertanyaanku dengan senyumannya.

“Pegang ini kak!”, ujar mamak mengejutkanku sambil menyodorkanku sebuah plastik yang telah berisi ikan-ikan yang sudah dimutilasi dengan rapi oleh si tukang ikan.

Dan lagi-lagi aku kehilangan Zack untuk kesekian kalinya ketika aku kembali mengalihkan pandangan padanya. Yaah... sejujurnya aku begitu penasaran kenapa malah semuanya terjadi begini. Ada yang aneh dengan Zack, kenapa sepertinya dia sengaja menghindar berbicara denganku (halaaah...penyakit pe de ku mulai menyerang ini). Sampai akhirnya aku menuju parkiran dan menunggu mamak membeli cabai dan kawan-kawan si cabai, sebuah sms masuk...

Kata private trainer fotografiku, walaupun Digital SLR ku itu hanya sebuah benda mati, tetapi biasakan diri dengannya karena pasti ke depan lebih baik. Just take some pictures! Anything you see on your walk! Akan ada hasil yang sempurna, walau hanya satu diantara seribu... that’s why I am here!

Sepertinya aku pernah tahu kata-kata itu. Tunggu-tunggu, itu kan kata-kataku dulu untuknya waktu dia meneponku tengah malam itu..

Plagiat kata-kata orang itu kriminal sepertinya kan? Hehe... May I see your pictures? Send.

Dan benar tebakanku, sms itu tak dibalas lagi olehnya. Dan ini tidak biasanya.

***
“Kak, ada kiriman ini!”, teriak mamak dari depan rumah. Aku yang sedang gosok gigi sedikit tersentak (syukur-syukur gak ketelan tuch sisa odol, hehe).

“Iyaaa..sebentar!”, aku pun buru-buru membersihkan mulutku dan bergegas menuju sang ibu tercinta.

“Dari siapa mak?”, mamak hanya menggeleng.

“Gak ada namanya, cuma nama penerima aja...”

Aku sedikit tersentak. Paket itu memang kecil, seperti sebuah buku. Waduuuh...perasaanku langsung tidak enak. Jangan-jangan ini bom buku yang dulu sempat marak. Emang aku siapa sampai dikirimi bom buku segala?

“Mak...”, panggilku dengan raut wajah cemas.

“Kenapa?”, tanya mamak dengan wajah bingung luar biasa melihat anak gadisnya pucat tak lagi berwarna pink.

“Jangan-jangan Bom, ini kan gak da pengirimnya... Nadia takut, kita buang aja yaa?”, dan respon yang malah tak kuharapkan dari ibuku membuatku terbelalak. Mamak terbahak-bahak. Aku jadi malu hati (aku tersadar, kecemasanku sangat berlebihan).

“Sini, kalau takut biar mamak aja yang buka...”, mamak hampir merebut kotak kecil itu, namun aku sudah memegangnya erat. Yaa..kalau pun ada apa-apa, biar aku saja yang jadi korban (suiit..suiit...terharu ni).

Namun aku masih sangat hati-hati ketika membuka paket itu. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Dan ketika akhirnya paket kecil terbuka. Sebuah buku yang akhirnya aku tahu sebagai sebuah album kini akhirnya menghancurkan kecurigaanku akan “bom buku”.

Iya, benar. Ini memang sebuah album foto. Ketika aku buka lembar pertama, tertempel disana tiga lembar foto. Sebuah caption tertera, “Pasar Penayong, Wednesday afternoon”. Seorang wanita paruh baya sedang memilih-milih tomat. Selanjutnya foto berbagai bumbu dapur dengan fokus sebuah lengkuas (kenapa lengkuas ya?) dan yang terakhir foto pasar secara keseluruhan. Ini sebenarnya kiriman dari siapa? Jangan-jangan Zack, iyaa..pasti Zack. Tapi, kenapa dia kirim ke aku? Aku pun meneruskan melihat album itu. Lembar selanjutnya tertulis caption disana, “Menemukan pagi dan matahari”, ini favoritku. Sebuah sepeda menjadi fokus disebuah jalan yang masih sangat sepi (angle pengambilannya bagus, tonenya juga pas). Tapi apa ini beneran Zack? Jauh sekali perbedaan hasil jepretannya dari yang dulu-dulu. Lembar selanjutnya, “Dunia Ikan”. Dan lembar ini membuatku sedikit lebih yakin kalau si pengirim adalah lelaki charming itu. Ini kan saat aku bertemu dia di pasar ikan Peunayong. Ikan-ikan yang berjejeran, seorang tukang ikan yan sedang menguliti sekaligus memutilasi seekor ikan besar dan foto terakhir dilembar itu adalah seorang ibu yang sedang memilih ikan. Aku tak sabar membuka lembar selanjutnya, “Under a Romantic Park Ligth”. Kali ini beberapa lembar foto cantik dengan angle yang bagus berjejer. Ada Vanessa disana dan ini adalah saat aku melihatnya malam itu di Taman Sari. Lembar terakhir yang sedikit membuatku surprised karena aku melihat wajah yang sangat aku kenal sedang bengong seperti terpana melihat sesuatu. Itu wajahku. Captionnya, “Through the Rain”.
Zack bisa jepret ini semua? Wow! Aku terkekeh kalau mengingat hasil fotonya beberapa waktu lalu, ketika kami baru berkenalan. Zack, your photography skill is improved a lot. Aku tersenyum teringat sms terakhirku untuknya.

May I see your pictures?

 Dan dia benar mengirimkanku.

***
Sudah menjadi kebiasaan di pagi minggu, Kiki menelpon dan tentu ngajakin jogging. Dan seperti biasa, dia dan Naisya hanya bertahan dua kali putaran hingga berakhir di jajanan pagi. Aku tentu terkadang ikut terlibat seperti hari ini (hehe..aku kan hanya manusia biasa yang terkadang lupa dan punya nafsu). Saat kami bertiga sedang menikmati makanan dimangkuk kami masing-masing, ada yang menelpon Kiki...

“Assalamalaikum Kak!”

“Waalaikumussalam, lagi dimana?”

“Di Blang Padang ini, ada apa?”

“Sama-sama dengan Nadia dan Naisya juga?”

“Iya, ada apa siyh?”
“Kebeneran, kalau udah selesai jogging langsung ke rumah kakak ya? Kita makan-makan...”

“Waah...mantaap! kita segera meluncur kesana Kak!”

Telpon pun berakhir.

“Siapa Ki?”, tanyaku ketika sendok terakhir bubur ayamku akan meluncur ke dalam mulutku.

“Kak Dira, dia ngundang kita makan-makan hari ini”

“Sekarang?”, tanya Naisya sedikit kesulitan karena mulutnya sedikit penuh dengan makanan. Kiki mengangguk.

“Aneh! Ini kan masih jam 10. Makan-makan apa ya? Aku jadi curiga...”, ujar Naisya kini sedikit lebih jelas. Aku dan Kiki melihat kearahnya. Iya juga ya, makan-makan apa diwaktu tanggung gini.

“Ah...jangan buruk sangka sama sepupu sendiri. Yang jelas, kita sekarang langsung meluncur kesana”

***
Dan benar saja kecurigaan kami (terutama Naisya yang mempengaruhi otak kami). Memang akan ada acara makan-makan santai (bakar-bakar ikan-fish grilled yaa bahasa inggrisnya? hehe), tapi ketika tiga gadis cantik ini muncul dirumah Kak Dira, malah tidak terlihat tanda-tanda itu. Dan...

“Yaah...makan-makannya kan udah gratisan, jadi prosesnya perlu bantuan donk. Lagian kalian masih muda-muda, perlu dibudidayakan, hehe. Lagian, kapan lagi belajar masak kan? Gimana coba baiknya kakak ni?”, aku terkekeh.

“Hehe...pinter kak! Tapi biasanya undangankan cuma makan aja...”, ujar Kiki.
“Siapa yang ngundang makan-makan, kakak gak bilang gitu kan?”, ucap Kak Dira dengan ekspresi sedikit usil. Kiki sewot.

“Anak-anak mana kak?”, tanyaku.

“Lagi beli ikan sama ayahnya, Aisha nanyain kamu Nadia, terakhir kesini malah kamu gak ketemu sama dia yaa? Langsung pulang aja...”, ucap Kak Dira, dan aku ingat hari dimana aku dibawa paksa kemari oleh Kiki bertemu Bang Faisal.

Aisha itu anak bungsu Kak Dira, usianya hampir dua tahun dan gadis kecil itu cantik luar biasa namun dia itu complicated sekali. Maksudnya dia susah sekali dekat bahkan mau digendong orang. Hanya orang-orang pilihan dia dan itu termasuk aku (aku juga heran, yang pasti aku jarang sekali bertemu tapi gadis kecil nan cantik itu mau denganku), bahkan dengan Kiki yang penyayang anak-anak, dia susah sekali dibujuk. Bundanya (Kak Dira), Neneknya dan aku yang dianggapnya cukup nyaman. Bang Ari saja selaku ayahnya sulit sekali mendapatkan perhatiannya, kecuali di weekend begini (maklum ayahnya super sibuk).

Maka ketika dia pulang, kami bertiga langsung berebutan mendekati dan sudah pasti aku yang jadi pemenang. Naisya mengalah, namun Kiki merasa terlecehkan olehku (hehe), jadi dia berusaha sangat keras merayu Aisha hingga gadis kecil yang sudah dalam gendonganku itu jenuh dan menangis.

“Tuu kan... ma anak kecil harus sabar Ki, gimana mau Aisha-nya kalau kamu maksa gitu...”

“Yaaa...tau laaah yang jadi pilihan Aisha... entah apapun daya tarikmu Nad”, ucap Kiki sewot. Aku terkekeh.

Namun ternyata Aisha benar-benar kesal pada Kiki, jadi dia terus-terusan menangis. Aku sampai kewalahan dan akhirnya Kak Dira turun tangan.

“Udah sayang, jangan nangis lagi. Auti Kikinya kan juga sayang Aisha, makanya pengen gendong Aisha... Diem..diem...”

***
Dan akhirnya aku mengajak Aisha keluar dan mencarikannya lollipop disalah satu swalayan di Neusu (ada beberapa swalayan dan aku tak ingat namanya) setelah cemas melihatnya menangis terisak. Kiki sedikit merasa bersalah. Ada yang perasaan aneh ketika aku memasuki swalayan itu, namun tak kugubris (ini mungkin karena aku belum mandi, kan baru pulang jogging, hehe). Ketika aku melangkah kekasir sambil menggendong Aisha, aku sedikit terkejut karena sang cashiernya itu teman SMA ku, Nana (sepertinya swalayan ini milik keluarganya). Dan aku berpikir, mungkin karena ini perasaanku sedikit aneh tadi. Nana seorang yang lumayan aktif disekolahan, jadi kesempatan hari itu dia mengingatkanku bahwa akan ada liburan bersama angkatan kami.
“Acaranya dimana emangnya?”

“Di Ie Suum daerah Krueng Raya Nad, kamu ikut juga kan? Tempatnya bagus  katanya, aku belum cek siyh, hehe..”, aku sedikit tersenyum mengingat terakhir kali aku kesana, betapa tragisnya tempat wisata Aceh itu.

“Belum tau Na... insyaAllah deh yaa..”, ucapku sambil memberikan sejumlah uang sesuai tertera di mesin kasir.

“Kamu tau wisata sauna Ie Suum, Nadine?”, tiba-tiba satu suara mengejutkanku, dan...bisa ditebak kan siapa yang memanggilku seperti itu? Zack lagi? Dan hari ini, dia tampak lebih gorgeous dengan jaket hitam berlengan kulit dan kaca mata hitam (kali ini dia jelas terlihat seperti orang asing yang adorable, heleeeh ^_^). Tas ransel dengan patuhnya tersangkut dilengan kirinya.

“Kamu? Ngapain kamu kemari?”, ceplosku. Ya Allah, ketika akhirnya aku bisa berbicara lagi dengannya, malah kata-kata ini yang keluar. Sedikit menyesal, hiks.

Nana sedikit terkejut dan Zack cuma terkekeh dan memamerkan lesung pipinya itu. Kemudian menunjukkan sebotol besar Aqua dan makanan kecil sambil tersenyum.

***
“Kamu ada waktu gak hari ini? Wanna go with me to Ie Suum?”, tanya lelaki itu ketika aku sedang membukakan lollipop untuk Aisha. Aku berpaling dan sedikit menatapnya bingung. Gak salah dengar, dia ngajak aku?

“Yaaa...if you don’t mind. Tapi kalau kamu gak bisa juga enggak apa-apa!”, ucap Zack dengan ekspresi sedikit..hmm..gimana yaa? Aku jadi susah nyebutinnya, agak grogi. Hah? Gak salah? Kepedean amat gue, jadinya malah aku yang salah tingkah sekarang.

“Hmm..ee..gimana yaa? Gak bisa kayanya Zack... You know, I need to go back soon, because I have a baby with me, hehe..”, ucapku sambil mengayunkan gengaman tanganku dan Aisha kemudian tersenyum dengan gadis kecil yang sedang asik dengan lollipopnya. Tapi, matanya yang cantik itu sesekali melirik Zack. Aku tersenyum (lihat kan Zack, malah mata sikecil pun bisa menilai betapa membuaikan wajahmu itu). Tapi jangan harap dia mau denganmu, dengan ayahnya saja dia ogah kalau sudah melihatku (sombong.com), hehe.
Zack kemudian mengalihkan pandangannya pada Aisha dan terlihat begitu kagum.

“Hei, cute little girl! Siapa namanya?”, ucap Zack sambil tersenyum kearah Aisha dan membuka kaca matanya. Gadis kecil itu tak bergerak sama sekali, dia dengan ekspresi dinginnya tetap berada diposisi yang sama, biasanya dia akan menghindar kebelakang jika merasa terganggu dengan orang lain. Aku sedikit terpana, apa ini artinya Aisha...

“Siapa namanya nak? Kasi tau Omnya..”, ucapku sambil menunduk dengan keinginan membuktikan keraguanku.

“Ai..cha”, jawab Aisa dan sekaligus mengejutkanku.

“Wow...nama yang cantik seperti orangnya. She is so lovely, isn’t she?”, ucap Zack kepadaku sambil menyentuh pipi Aisha dan lagi-lagi gadis kecil itu hanya diam saja. Tak biasanya! Maksudnya?

“Aisha, ikut Om yaa? Mau gak? Kita jalan-jalan...”, tanya Zack sambil membentangkan tangannya. Aku kini sudah tak bisa tersenyum, aku penasaran reaksi Aisha yang memang sangat sulit ikut dengan orang lain apalagi orang yang baru dikenalnya. Zack, kau boleh terlihat penyayang anak-anak seperti malam itu, tapi Aisha ini berbeda. Ayahnya saja harus berjuang keras mendapatkannya.

Dua detik berlalu dan detik ketiga merupakan saat dimana mataku terbelalak. Aisha dengan senangnya menyambut tangan Zack dan kini dia sudah tak digenggamanku, malah Zack sudah menggendongnya. Apa-apaan ini? Lelaki ini...

“Jadi gimana? Kamu ikut gak?”, tanyanya sambil tersenyum.

Maksudnya apa? Dia sengaja memikat Aisha agar aku bisa ikut dengannya. Haduuuh, Nadia kamu mikir apa siyh? Mana mungkin seorang Zack mempergunakan Aisha hanya untuk mengajakku kencan, haduuu...

“Zack, we gotta go back soon! Her mom will look for her...”, ucapku sambil membentangkan tanganku kepada Aisha yang masih asik dengan lollipopnya. Namun Aisha malah ogah. Iihh...kok malah aku kini yang dicuekin. Kamu pakai sihir apa siyh Zack?

“Promise you, kita kembali dalam waktu satu jam!”, ucap Zack selanjutnya.
“Zack, daerah itu jauh lho! Lewat Ujung Batee, Krueng Raya... kamu pernah ke Krueng Raya gak?”

“Pernah, aku bisa ke Krueng Raya dalam waktu 15 menit. Masalahnya I don’t know where the sauna is, I just wanna check something! Come on, just come! Aisha would be pleased too, iya kan cantik?”, ucap Zack sambil memainkan hidungnya di pipi Aisha. Gadis kecil itu cekikikan. Uh...dasar genit!

“Baiklaah!”, ucapku pura-pura formal dengan wajah yang sedikit terpaksa.
Aku mengikuti Zack yang sudah menggenggam tangan mungil Aisha.

***
“Nda Ya...cha mau buah!”, ucap Aisha (panggilannya untukku “Bunda Nadia” karena dia masih sulit mengucapkannya jadinya “Nda Ya”) ketika kami sedang berjalan di tepi air panas itu. Jangan tanya Zack kemana? Dia sudah menghilang entah kemana, katanya mau observasi dan memotret-motret.

Cuaca panas luar biasa, namun karena bukit yang hijau sedikit membuat perasaan adem. Aisha mungkin kegerahan.
Aku membelikannya pepaya dan bengkuang potong. Si penjual keliatan kagum melihat Aisha yang memang sangat cantik dan imut itu, soalnya dari tadi dia berusaha keras menyentuh-nyentuh pipi Aisha. Aku tersenyum (keponakanku, hhiihiii...).

“Cantik banget yaa Kak! Gemes liatnya...”, ucapnya dan aku kembali hanya tersenyum. Aisha sudah asik dengan buahnya. Aku kemudian mengucapkan terima kasih sebelum pergi.

“Lha Kak, untuk pacarnya gak dibeli sekalian?”, tanya si penjual mengejutkanku. Hah? Pacar? Siapa?

“Heh?”

“Itu...”, ucap si kakak yang kelihatan masih sangat muda itu sambil menunjuk ke belakangku. Dan Zack sudah berdiri disana sambil tersenyum. Dan aku agak salah tingkah. Pacar? Gak salah? Emang aku keliatan pantas menjadi pacar lelaki itu?

“Hehe...ee..kita enggak..pacaran kok kak!”, ucapku kaku.

“Upps, maaf...suaminya yaa? Ya Allah, kenapa gak sadar yaa? Pantes anaknya cantik begini, orang ayah ma ibunya aja ganteng dan cantik, hehe...”, ucapnya panjang lebar. Bukan kalimat panjangnya yang membuatku terpana, tapi pernyataannya yang mengejutkan itu. Emang aku sudah kelihatan emak-emak ya?

“Hheehe.. een..gak kok Kak, kita ini...”

“Waah, makasih buat pujiannya. Saya minta dibungkuskan ini, hmm...watermelon dan ini, hmm...nenas yaa?”, potong Zack sambil tersenyum. Dia malah mengacuhkan mataku yang sudah terlanjur melotot kearahnya.

***
Zack benar-benar telah merebut Aisha dariku. Lihat, gadis kecil itu dengan nyamannya duduk dipangkuan Zack sambil meletakkan tangannya dikemudi mobil. Tapi, mereka berdua memang perpaduan yang sempurna. Cocok. Hmm...aku jadi teringat sesuatu, ini saat yang tepat memastikan kenapa dia seperti menghindariku selama ini. Tapi bagaimana cara memulainya yaa? Saking kebingungannya aku tak menyadari bahwa aku sudah sangat lama memandanginya.

“Why are you lookin’ at me like that? Do I look so gorgoeus for you?”, ucap Zack mengejutkan dan aku buru-buru membuang muka. Kudengar Zack sedikit terkekeh.

Tiba-tiba dia berhenti tepat disebuah swalayan tepat didaerah Baet, Aceh Besar.

“Zack, kok berhenti lagi?”

“Kita beli minum sebentar, keliatannya Aisha haus...”, ucap Zack dan berlalu bersama Aisha.

“Tega! Masa aku tak ditanya haus apa enggak!”, ucapku pada diri sendiri.
Hmm...Bang Faisal lagi ngapain aja ya hari minggu ini? Aku pun mengambil handphoneku dan mulai mengetik sebuah pesan singkat. Betapa terkejutnya aku ketika tiba-tiba Zack sudah membuka pintu mobil dan sudah berdiri disampingku.

“This for you!”, ucapnya sambil menyodorkanku sekaleng Pocari Sweat.

“Makasih”, ucapku lirih.

Tiba-tiba sebuah Vitara Black masuk keparkiran swalayan yang sama. Seorang yang sangat ku kenal keluar dari pintu pengemudi, itu lelaki yang baru saja ingin aku kirimkan pesan singkat, Bang Faisal. Mobil ini kan mobil yang sama dengan mobil yang Vina naiki malam itu. Ya Allah, mudah-mudahan ini hanya dugaanku saja atau mataku yang salah. Aku begitu mengharapkan pintu sebelahnya terbuka dan membuktikan segalanya. Dan benar saja, detik selanjutnya pintu itu pun terbuka dan Vina keluar. Ada sesuatu yang perih dihatiku. Gengaman tanganku pada kaleng minuman tadi sedikit mengeras, namun aku tetap berusaha beristighfar. Keduanya akhirnya masuk ke swalayan itu. Ngapain mereka berdua? Apa ini? Aku terus berdoa semoga ini hanya penglihatanku yang salah.

Tiba-tiba Zack secara mendadak mendudukkan Aisha kepangkuanku dan aku menyambutnya dengan hati-hati. Ketika aku sedang membenarkan duduk Aisha, Zack sudah masuk dan terlihat buru-buru menghidupkan mobil dan memundurkannya kemudian melaju. Aku sedikit terkejut. Aku tetap berusaha melihat kearah Vitara dan kulihat pintu belakang juga terbuka. Ada orang lain rupanya. Perasaanku sedikit tenang, namun pertanyaan-pertanyaan bersifat curiga tetap saja muncul. Tapi kenapa Vina malah yang duduk didepan menemani Bang Faisal kalau ada teman lelaki yang lain? Dan kenapa Bang Faisal yang mengemudi? Sebenarnya ada apa? Tiba-tiba Zack meminggirkan lagi mobilnya. Aku berpaling kearahnya dan bertanya lewat mataku. Namun, dia hanya mengacuhkanku.

“Ehem... Aisha mau duduk disini sama Om?”, tanyanya pada Aisha sambil membentangkan tangannya dan tentu saja Aisha mau.

“Eeh...Aisha sini aja sama bunda ya?”, ucapku sambil menarik kembali tubuh Aisha. Tapi gadis itu sedikit berontak.

“Look at you! Gimana Aisha mau duduk dipangkuanmu, if you just ignore her like that!”

“Heh? Maksudnya?”

“Nadine, what happened? Aku berulang kali berbicara padamu tapi kamu hanya diam. Aisha berulang kali minta dibukakan makanannya, tapi kamu acuhkan...”, aku terkejut.

“Did I?”

Kini Zack hanya mendesah. Aisha sedikit berontak sehingga Zack benar-benar mengambilnya dari pangkuanku. Aku hanya diam.

“Sweet heart, bundanya lagi patah hati, kasihan sekali kita, cantik dan ganteng begini dicuekin yaa?”, ucap Zack pada Aisha yang memang mungkin tak mengerti. Aku menoleh dan tersenyum.

“Zack, maaf...”, lelaki itu kemudian memandangiku. Lama. Kemudian dia tersenyum dan itu cukup membuat perasaanku lebih baik.

***
Aku menangis sesenggukan diatas sajadah berusaha mengungkapkan segala apa yang aku rasakan. Apa salahku hingga kejadian ini terjadi lagi? Tapi hatiku masih sangat begitu tega mengharapkan lelaki itu dan seirama dengan hatiku seolah jawaban yang Allah berikan juga sama. Apa ada yang salah dengan istikharahku? Atau ada adab shalat istikharah yang aku terlupa? Hingga jawaban itu benar-benar jelas adalah dia. Mimpi yang sama dengan mimpi pertamaku. Ummi memelukku erat dan terus mengatakan bahwa aku akan jadi menantu yang paling ditunggu dikeluarga itu dan Bang Faisal juga disana. Dia tersenyum tipis.

Sebesar apapun keraguanku semuanya seperti terbantahkan ketika aku terus-menerus istikharah. Sebenarnya ini ada apa?

Dan akhirnya aku berinisiatif memberi waktu lagi untuk mencari jawaban sebenarnya. Lebih banyak belajar tentang adab shalat istikharah dan tentunya aku harus berusaha mencari kejelasan akan dia. Namun satu hal yang pasti, aku memutuskan untuk menyimpan ini semua hingga akhirnya aku bisa menjelaskan semuanya.

Selama seminggu selanjutnya aku berusaha untuk menetralkan perasaan, aku tersadar mungkin selama ini aku berusaha mencari jawaban lewat shalat istikharah, namun aku tetap mengharapkannya menjadi jawaban. Dan ternyata untuk dapat menetralkan perasaan itu bukan hal yang gampang apalagi ketika I fall with him.

Aku bersyukur ketika ada kegiatan yang bisa kulakukan hingga aku bisa sedikit menyibukkan diri, dan seperti weekend ini aku mengikuti seminar di kampus hingga menjelang sore.

Namun, ketika dijalan pulang semua beban itu datang lagi. Ada perih yang tiba-tiba melanda. Ya Allah, mudah-mudahan ini semua segera menemui solusi yang terbaik.

Ketika aku memasuki lorong rumahku aku melihat sebuah benda yang secara langsung membuatku surprised. Ada apa gerangan ini? Benda itu adalah sebuah mobil Toyota Harrier Putih dan iya, it belongs to Zack. Dan yang paling membuatku terkejut ketika benda itu terparkir didepan perkarangan rumahku. Zack kerumah? Mau apa dia?

Kulihat Naisya sedang duduk manis di pondok dekat kebun ayah. Adikku itu terlihat tersenyum-senyum sambil berteriak kecil. Aku pun langsung melangkahkan kakiku kesana. Dan betapa terkejutnya aku ketika akhirnya aku melihat lelaki itu disana. Ya Allah, ngapain dia disana?

“Zack, what are you doing there?”, teriakku refleks dan semua wajah melihat kearahku, termasuk lelaki charming itu yang selanjutnya langsung memamerkan lesung pipinya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar