“Kenapa tak pernah bilang?”
“Kamu tak pernah nanya kan, hehe?
Kami duduk di tangga Mesjid. Aku diam bukan karena tak tahu bertanya apa
lagi, toh memang dari awal perkiraanku Zack itu Non-Muslim. Aku diam karena
mengharap Zack bercerita. Entah tahu atau tidak, Zack yang akhirnya menyadari
kediamanku menoleh dan menatapku yang sedang memainkan jari-jariku (Serius…aku
grogi! Tatapan itu yang paling aku tak kuasa…!!).
“Ehem!! Maaf yaa saudara Zack, seorang Muslim seharusnya tahu tentang
ini, tapi kalau kau tak tahu, sini kuberi tahu…”, ujarku yang tak mengubah
kegiatan memainkan jariku.
“Heh?”, Zack sedikit terkejut. Wajahnya yang begini ini yang
menggemaskan, hehe.
“Kalau kita gak sedarah, kita harus menjaga pandangan. Jadi kamu gak
seharusnya menatapku seperti itu, hehe…”, kini aku baru berani melihatnya
karena tatapannya sudah agak berubah bingung. Zack terkekeh.
“I thought you were happy…”
“What?”
“Yep… when I looked at you that way. Weren’t you?”, tanyanya kini
sedikit menggoda.
Sebenarnya aku malu banget tuch ketahuan gitu, tapi aku tak mau merubah
suasana…
“Sedikit Zack, hehe”, ucapku jenaka.
“I am waiting for your explanation…”, sambungku.
“What explanation, I am not doing….”
“Ssst..ssst… kamu ini gak ngerti, apa pura-pura tidak mengerti. Kisah
kemuslimanmu Zack…”
Zack sedikit terpana. Detik selanjutnya dia tersenyum.
“Kamu berpikir kalau aku muallaf kan?”
Sure. Tepat sekali. Kenapa dia bisa baca pikiranku yaa?? Waah…gawat ini,
ketularan Naisya dia… aku memang berpikir Zack muallaf. Seorang pemuda
Non-Muslim, mendapat hidayah dalam perjalanan keyakinannya dan mulai menapaki
agama baru bernama Islam.
“But I am not, Nadine!”, aku terpana. Kini keingintahuannku sudah tak
terbendung. Pernyataannya barusan membuatku benar-benar ingin menapaktilas
perjalanan hidup seorang Zack.
“I was a Muslim since I was born. As other Muslim, my father said “azan”
when I was born… then I was a muslim, right?”, aku kini mendengarkan seperti
anak kecil yang sangat tertarik akan cerita dongeng. Suatu keberkahan yang
sangat luar biasa, aku mendengarkan cerita dari seroang storyteller yang
charming, hehe…
“My grandfather is a Chinese, he’s a businessman and very rich. You
know, most Chinese are businessmen, hehe. Ketika, anak-anaknya yang lain
mengikuti jejaknya berbisnis atau berdagang salah satu anaknya bernama Gabriel
malah punya keinginan kuat melanjutkan sekolah. He’s my father. Setelah tamat
sekolah menengah disini, ayah melanjutkan pendidikan ke Singapore, dia ambil
bidang kedokteran. Selesai sarjana, dia melanjutkan ke Jerman dan mengambil
profesi disana. Ahli bedah digestive, ahli bedah berkaitan dengan pencernaan.
He’s so genius but my father is a kinda humble man. Dia menjadi dokter ahli diusia
yang masih sangat muda, 28 tahun. Hidayahnya muncul ketika dia bertemu dengan
seorang dokter ahli kandungan beragama muslim dari India, I forget his name,
Ali…hmm, I really can’t remember his name, say Doctor Ali. Ayah seorang yang
sangat haus ilmu, apapun akan dipelajarinya bila dia anggap menarik dan masuk
akal. Doctor Ali is very genius. Yang membuat ayah tertarik mengenalnya lebih
dalam, Doctor Ali menyelesaikan setiap kasus kedokteran dengan tenang dan yang
setiap rekan-rekan menanyakan kenapa dia bisa, jawaban hanya satu…”
“Apa itu?”, tanyaku semangat.
“Al-Quran”, aku terpana.
“Menurutnya semua jawaban ada dalam Al-Quran, semua ilmu tercakup
disana. Pernah ketika ada kasus pertukaran bayi. Hari itu hampir diwaktu
bersamaan ada dua persalinan, bayi lelaki dan perempuan. Kecerobohan perawat
yang terlupa menulis nama ibu pada gelang yang akan dipasangkan di tangan si
bayi mengakibatkan ini. Di saat para dokter yang lain kewalahan, termasuk
dokter ahli lain juga ikut merasa cemas, dokter Ali dengan tenang mengatakan bahwa
kadar
banyaknya ASI pada payudara ibu si bayi laki-laki dua kali lipat kandungannya
dibanding ibu si bayi perempuan. Perbandingan kadar garam dan vitamin pada ASI
si ibu bayi laki-laki itu juga dua kali lipat dibanding ibu si bayi perempuan,”
“How did he know
that?”
“Bagi
laki-laki seperti bagian dua perempuan.(QS. An-Nisa:11), itu yang dia bacakan. Ayahku terpana saat itu,
beberapa dokter lain masih meragukan. Namun dokter Ali kemudian melakukan
diagnose dan ternyata benar… ayah semakin kagum. Dan mulai berteman dekat
dengan dokter Ali. Dia tak serta merta meninggalkan keyakinannya, dia berusaha
mencari kebenaran, dan selama setahun setelah itu dia mengucap syahadat…”
“SubhanaAllah!”
“Ayah kemudian
pindah ke Verona, Italy. Dia mengajar di salah satu universitas disana dan
kemudian bertemu seorang perempuan yang dengan senang hati menunjukkannya jalan
pulang ketika tersesat. Aisyah, she’s my mom. Perempuan keturunan Perancis and
surprisingly she’s muslim either. Keluarganya punya perkebunan dan peternakan
di Cantina di Soave. Keluarga yang sudah hampir tujuh turunan memeluk islam.
Then, setelah beberapa lama mereka berkenalan, ayah melamarnya dan menikah. Aku
hadir setelah 2 tahun Faridah lahir, my sister. She has just got married…dan
sekarang menetap di Perancis. Ayah dan ibuku juga sekarang di Perancis…”,
ceritanya panjang lebar. Aku masih saja menjadi pendengar yang baik.
“Hello!!! The story
ends!”, ucap Zack selanjutnya. Aku terkejut.
“Hmm… ayahmu tidak
pernah pulang kesini?”
“Sesekali…”
“Ketika memutuskan
memilih Islam, apa tidak ada tantangan apapun dari keluarga?”
“Tentu ada, tapi
Kakek cukup demokratis masalah keyakinan…”
“Ohh…
Alhamdulillah”
“Sure, Allah memang
punya plot yang unik. Pertemuannya dengan dokter Ali, tragedy pertukaran bayi,
keingintahuan ayah, pertemuan dengan ibu yang akhirnya menghadirkan kami…”,
sambung Zack dan menutupnya dengan senyumannya yang semanis air tebu itu
(kurasa ini senyuman andalannya karena dua lubang kecil di pipi kanan kirinya
itu menyembul dengan cutenya. Alhamdulillah).
“Wow!! Semuanya
indah dan menarik sekali untuk disimak…”, ucapku sedikit berlebihan dan Zack
tertawa.
Kupandangi wajah
yang sedang tertawa itu. Lelaki charming ini. Allah, apa dengan cara ini Engkau
bantu aku sedikit melupakan persoalan tadi? Kenapa hampir selalu lelaki ini
yang Kau selipkan dalam caraMu, tepat ketika aku butuh solusi dariMu? Dan
sangat tepat ketika hal-hal yang berhubungan dengan Bang Faisal?
“Kamu sedang tidak
mempertimbangkan untuk jatuh cinta padaku kan?”, ucapnya kemudian membuyarkan
lamunanku yang memang menjadikan wajahnya sebagai objek. Bisa dibayangkan
betapaa…
“Hehe…”, aku
tersenyum sambil membuang muka. Senyumku berakhir kaku dan aneh (tak bisa
kubayangkan bagaimana bentuk wajahku saat itu). Kudengar Zack sedikit terkekeh (kurasa
dia sedikit bangga telah mempermalukan, huh!)
“Zack, kalau ayahmu
dokter terus usaha property itu…”
“Usaha keluarga.
Just a small business. Sebenarnya ibuku keturunan Perancis dan usaha property
keluarga sudah berkembang disana…Aku kan tamatan business, jadi ibu
menyerahkannya padaku…”
“Oia? Kamu kuliah
dimana?”
“Disalah satu
universitas donk, hehe”
“Zack, seriously!
Dimana?”
“Hmm..oke-oke. Aku
mengalah kalau menghadapi rasa ingin tahumu”, aku tertawa.
“Columbia
University”
“In the United
States? Wow, itu kan salah satu kampus yang bergengsi”
“Kampusnya yang
bergengsi, bukan mahasiswanya, hehe”
“Zack…”
“Question again?”,
tanyanya dengan nada yang sedikit berlebihan. Aku terkekeh.
“Satu lagi yaa??
Hehe… Joan dan keluarganya gimana?”
“Kamu pasti lihat
donk, disalah sudut ruangan toko Joan ada apa?”, aku tersenyum. Iya, aku tahu.
Disana ada patung dewa mereka dengan nuansa merah dan dupa dan terkadang
kulihat ada sesajian berupa buah-buahan.
“Jadi selama ini
kamu tinggal dimana?”
“Hehe, aku nomaden.
Hmm… I sometimes stay at Joan’s, but I also stay at hotel… well, last week I
slept in the car, haha… dua hari lalu I stayed at my causin’s di merduati, last
night I stayed at another cousin’s di Jalan Tgk. Umar…nanti malam mungkin di
rumah Joan, hehe”
“Waah, haha… seru
yaa? Wait-wait… at hotel? Kenapa buang-buang uang? Mending kamu nyumbang ke
masjid? Kamu kan bisa stay at Joan’s… pasti muaahaaal bang..”
“Nadine, it’s for
free!”
“Heh? Are you
kidding me?”
“Nope, pemiliknya
kebetulan my father’s friend. Dulu ayah pernah bantu dia, so dia merasa sangat
menghargai itu…”
“Dimana? hotel
apa?”
“Dekat-dekat toko
Joan laah…You have bunch of questions, you know! hehe”, ucapnya dan kami
terkekeh.
“Zack…”, panggilku
lagi. Dan dengan memasang wajah sedikit berlebihan, Zack langsung bisa menebak…
“Nadine, would you
stop asking me questions?”, ujarnya dengan wajah serius namun jenaka. Aku
tertawa.
“Just one more left
question! Aku pernah lihat sebuah salib tergantung di mobil Jazzmu… what does
it mean?”
“Heh? Haha… I’ve
never told you that it’s mine! That car’s actually my causin’s and he’s
Chatolic! Saat aku menolongmu waktu itu, Harrier was in bengkel…”
“Ooh…”, aku
mengangguk sedikit berlebihan tanda mengerti.
“Hei, pasangan yang
disana, dilarang berduaan di teras mesjid!”, suara teriakan itu sedikit
mengejutkan kami. Aku yang merasa mengenal suara itu tak memperdulikan (mesjid
ini kan favoritnya, dia selalu bisa membaca pikiranku…pasti dia tahu aku sedang
kacau, perasaan tidak jelas antara bahagia atau duka), tapi tidak bagi Zack,
dia mulai mencari sumber suara itu…
“Naisya! Sejak
kapan disana? Come here!”, ucap Zack sambil menoleh ke belakang. Kudengar
Naisya tertawa.
***
Horee, weekend! Aku
mau masak ah! Besok jadwalku berjualan kan? Hmm…sejak pagi kulihat ada sedikit
kesibukan dirumahku. Hanya keuarga kecilku itu. Naisya selepas subuh sudah
tidak tidur lagi (kebiasaan kami kalau weekend, suka balas dendam, hehe… jangan
diikuti yaa?). Dia sudah sibuk bantuin mamak di dapur. Ada apa yaa?
“Masak apa
pagi-pagi mak?”
“Pepes Tiram”
“Oia? Asiiik!!”,
makanan khas Aceh ini memang kegemaran keluargaku. Sebagai informasi, Ibuku
aseli dari Aceh Rayeuk dan ayah dari Samalanga. Tapi tak ada masalah dalam
makanan khas, terutama ayahku. Beliau penyuka kuliner.
Aku selesai
belanja. Aku tak melihat Zack tadi di tokonya Aci, selama ini mungkin dia sibuk
yaa.
Aku dan Naisya
membantu mamak di dapur. Sejak kami remaja, mamak memang membiasakan kami
bersamanya di dapur di hari libur, sekedar melihat atau mengiris atau hanya
mengupas.
“Mak, Zack itu muslim lho!”, ucapku tiba-tiba.
“Lha, emang iya kan
Zaki Muslim? Memang kenapa?”, Nah lho? Jangan-jangan mamak dan ayah sudah dar
awal tahu.
“Mamak sudah tahu?
Ayah juga? Naisya?”
“Yaah, dari awal
Zaki kan memang ngakunya Muslim, beberapa kali malah shalat disini…”
“Zaki?”, tanyaku
sedikit heran. Kini Naisya terkekeh.
“Duuch, kasihan
banget yang baru tahu yaa? Nama Zack itu sebenarnya Dzaki Ar-Rafa kak! Disini
aja dia dipanggil Zack sama paman dan bibinya…”, Jadiii..aku yang paling akhir
tahu? Tega.
Zack, tidak ada
ampun!! Anyway, Dzaki Ar-Rafa. Bagus juga namanya, hehe. Ngomong-ngomong artinya
apa yaa?
***
Telur Asin, acar
timun, sayur lemak, pepes tiram, udang diolah dengan belimbing sayur (wow, itu semua makanan kesukaanku. Ngileer!!
Tumben banget, komplit begini malah berlebihan. Ini ada apa ya? Malah setelah
selesai masak begini, aku belum tahu kenapa mamak masak sebanyak ini).
It’s 12 already. Dengan
semua makanan sebanyak itu, aku merasa ayah mengundang makan temannya. Tapi
sudah jam segini, belum ada yang nongol. Dan kini aku lebih terkejut lagi,
melihat sebungkus besar kuah kambing ditenteng ayah.
“Ayah, ada acara
apa?”, tanyaku sambil menunjuk tentengannya. Ayah hanya tersenyum. Pantes saja
ada acar timun, ternyata mau makan kuah kambing.
Ketika aku sedang
menuangkan kuah kambing kedalam mangkok, suara deru mobil sedikit
mengejutkanku. Akhirnya datang juga. Tapi, tunggu-tunggu… sepertinya…
“Assalamualaikum…”,
seseorang mengucapkan salam. Nah kan? Benar perkiraanku.
“Wa’alaikumussalam,
masuk Zaki…”
Naisya yang sudah
kelihatan segar melirikku yang sedang di dapur.
“Jadi orang
terakhir lagi yang tahu ya Kak? Hehe”. Dasar Naisya. Aku menjulurkan lidah.
***
Dan ini lah kami,
keluarga sedikit besar yang sedang duduk dimeja makan. Ada Ayah, mamak, Aku dan
Naisya, juga lelaki charming yang memang sengaja diundang Ayah, Dzaki Ar-Rafa.
Dan, tunggu-tunggu masih ada seorang lagi. Teuku Raivan Iskandar. Yaa, kekasih
adikku dan kalau yang ini Naisya sengaja yang mengundang (sepertinya dia
beraksi didetik-detik terakhir, soalnya aku lihat dia sibuk menelpon tadi dan
sedikit memaksa Evan untuk datang. Aku menjadi yang paling kasihan, seharusnya
aku juga mengundang Bang Faisal biar semuanya sempurna. Aku jadi sedikit
merengut.
Ini seperti sebuah
keluarga yang sedang makan bersama bersama calon menantu-menantu mereka. Oh,
tidak! Bukan calon menantu-menantu tapi calon menantu. Naisya dan Evan tentunya
dan Aku?? Tidak ada Bang Faisal disini menemaniku (jadi lebai gak jelas). Tapi…
aha! Dzaki Ar-Rafa. Boleh juga. Tidak, ini sangat sempurna. Nadia dan Dzaki.
Aku tersenyum sendiri membayangkan itu semua. Walaupun kenyataannya aku masih
tetap menjadi pungguk yang merindukan bulan.
“Hei, senyum-senyum
sendiri?”, kejut Naisya yang memang duduk disampingku.
Mukaku langsung merona
karena lagi-lagi aku tertangkap basah. Kulihat semuanya sedang makan dengan
lahap. Termasuk lelaki charming yang sedang duduk tepat didepanku.
“Gimana nak?
Enak?”, Tanya mamak pada Zack.
“Incredible Mak!
Apalagi yang ini”, ucapnya semangat sambil menunjukkan ke sepiring kecil berisi
sesuatu seperti sambal.
“Itu namanya sambal
udang diolah dengan belimbing sayur dan cabe Dzaki!”, potongku dan dengan
sedikit menekankan pada namanya. Zack tersenyum.
“Hmm…sebenarnya
yang paling benar itu kita kenalkan dulu menunya pada Dzaki sebelum makan..”,
ucapku lagi-lagi sedikit menekankan pada namanya.
“Oia ya? Tadi
kelupaan, abis pada terlanjur lapar yaa? Coba Nadia aja yang ngomong…”
“Dzaki Ar-Rafa,
ini…”, kuawali dengan memanggil lengkap namanya dan memperkenalkan menu makanan
hari itu… Zack hanya bisa tersenyum. Beberapa kali Naisya menyenggol tanganku.
Tak ku peduli.
“Mak, kalau yang
ini bagaimana cara buatnya? Rasanya jadi sedikit kecut, padahal sebenarnya
cucumber rasanya agak tawar, ini juga ada chili yaa?”
“Oh, itu acar
mentimun namanya. Kamu suka?”, Zack mengangguk.
“Itu Nadia yang
buat”
“Oh…. Ternyata kamu
bisa masak juga? Tidak yakin, hehe”, ujarnya sedikit jenaka. Yang lain
tersenyum. Aku tertawa sedikit dipaksakan. Syukur kamu charming, tuan Chinese!
Syukur juga, ayah dan mamak kelihatan senang sama kamu. Kalau tidak…
“Jadi pulang ke
Perancis, nak?”, Aku terpana. Kenapa lagi-lagi aku tak tahu. Zack mau pulang ke
Perancis. Jeda. Zack tersenyum dalam diamnya sedang yang lain menunggu
jawabannya.
“InsyaAllah bulan depan”,
Benarkah? Zack mau
kembali ke Perancis? Bulan depan? Pernikahanku dua bulan ke depan. Zack tidak
ada disini. Kenapa aku jadi cemas begini, padahal dia kan sering pulang pergi.
Kenapa ada perasaan dia pergi akan lama. Dzaki Ar-Rafa…apa kamu akan kembali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar