Senin, 13 Februari 2012

Plot and Me 9 - The Real Name


“Kenapa tak pernah bilang?”

“Kamu tak pernah nanya kan, hehe?

Kami duduk di tangga Mesjid. Aku diam bukan karena tak tahu bertanya apa lagi, toh memang dari awal perkiraanku Zack itu Non-Muslim. Aku diam karena mengharap Zack bercerita. Entah tahu atau tidak, Zack yang akhirnya menyadari kediamanku menoleh dan menatapku yang sedang memainkan jari-jariku (Serius…aku grogi! Tatapan itu yang paling aku tak kuasa…!!).

“Ehem!! Maaf yaa saudara Zack, seorang Muslim seharusnya tahu tentang ini, tapi kalau kau tak tahu, sini kuberi tahu…”, ujarku yang tak mengubah kegiatan memainkan jariku.

“Heh?”, Zack sedikit terkejut. Wajahnya yang begini ini yang menggemaskan, hehe.

“Kalau kita gak sedarah, kita harus menjaga pandangan. Jadi kamu gak seharusnya menatapku seperti itu, hehe…”, kini aku baru berani melihatnya karena tatapannya sudah agak berubah bingung. Zack terkekeh.

“I thought you were happy…”

“What?”

“Yep… when I looked at you that way. Weren’t you?”, tanyanya kini sedikit menggoda.
Sebenarnya aku malu banget tuch ketahuan gitu, tapi aku tak mau merubah suasana…

“Sedikit Zack, hehe”, ucapku jenaka.

“I am waiting for your explanation…”, sambungku.

“What explanation, I am not doing….”

“Ssst..ssst… kamu ini gak ngerti, apa pura-pura tidak mengerti. Kisah kemuslimanmu Zack…”

Zack sedikit terpana. Detik selanjutnya dia tersenyum.

“Kamu berpikir kalau aku muallaf kan?”

Sure. Tepat sekali. Kenapa dia bisa baca pikiranku yaa?? Waah…gawat ini, ketularan Naisya dia… aku memang berpikir Zack muallaf. Seorang pemuda Non-Muslim, mendapat hidayah dalam perjalanan keyakinannya dan mulai menapaki agama baru bernama Islam.

“But I am not, Nadine!”, aku terpana. Kini keingintahuannku sudah tak terbendung. Pernyataannya barusan membuatku benar-benar ingin menapaktilas perjalanan hidup seorang Zack.

“I was a Muslim since I was born. As other Muslim, my father said “azan” when I was born… then I was a muslim, right?”, aku kini mendengarkan seperti anak kecil yang sangat tertarik akan cerita dongeng. Suatu keberkahan yang sangat luar biasa, aku mendengarkan cerita dari seroang storyteller yang charming, hehe…

“My grandfather is a Chinese, he’s a businessman and very rich. You know, most Chinese are businessmen, hehe. Ketika, anak-anaknya yang lain mengikuti jejaknya berbisnis atau berdagang salah satu anaknya bernama Gabriel malah punya keinginan kuat melanjutkan sekolah. He’s my father. Setelah tamat sekolah menengah disini, ayah melanjutkan pendidikan ke Singapore, dia ambil bidang kedokteran. Selesai sarjana, dia melanjutkan ke Jerman dan mengambil profesi disana. Ahli bedah digestive, ahli bedah berkaitan dengan pencernaan. He’s so genius but my father is a kinda humble man. Dia menjadi dokter ahli diusia yang masih sangat muda, 28 tahun. Hidayahnya muncul ketika dia bertemu dengan seorang dokter ahli kandungan beragama muslim dari India, I forget his name, Ali…hmm, I really can’t remember his name, say Doctor Ali. Ayah seorang yang sangat haus ilmu, apapun akan dipelajarinya bila dia anggap menarik dan masuk akal. Doctor Ali is very genius. Yang membuat ayah tertarik mengenalnya lebih dalam, Doctor Ali menyelesaikan setiap kasus kedokteran dengan tenang dan yang setiap rekan-rekan menanyakan kenapa dia bisa, jawaban hanya satu…”

“Apa itu?”, tanyaku semangat.

“Al-Quran”, aku terpana.

“Menurutnya semua jawaban ada dalam Al-Quran, semua ilmu tercakup disana. Pernah ketika ada kasus pertukaran bayi. Hari itu hampir diwaktu bersamaan ada dua persalinan, bayi lelaki dan perempuan. Kecerobohan perawat yang terlupa menulis nama ibu pada gelang yang akan dipasangkan di tangan si bayi mengakibatkan ini. Di saat para dokter yang lain kewalahan, termasuk dokter ahli lain juga ikut merasa cemas, dokter Ali dengan tenang mengatakan bahwa kadar banyaknya ASI pada payudara ibu si bayi laki-laki dua kali lipat kandungannya dibanding ibu si bayi perempuan. Perbandingan kadar garam dan vitamin pada ASI si ibu bayi laki-laki itu juga dua kali lipat dibanding ibu si bayi perempuan,”

“How did he know that?”

Bagi laki-laki seperti bagian dua perempuan.(QS. An-Nisa:11), itu yang dia bacakan. Ayahku terpana saat itu, beberapa dokter lain masih meragukan. Namun dokter Ali kemudian melakukan diagnose dan ternyata benar… ayah semakin kagum. Dan mulai berteman dekat dengan dokter Ali. Dia tak serta merta meninggalkan keyakinannya, dia berusaha mencari kebenaran, dan selama setahun setelah itu dia mengucap syahadat…”

“SubhanaAllah!”

“Ayah kemudian pindah ke Verona, Italy. Dia mengajar di salah satu universitas disana dan kemudian bertemu seorang perempuan yang dengan senang hati menunjukkannya jalan pulang ketika tersesat. Aisyah, she’s my mom. Perempuan keturunan Perancis and surprisingly she’s muslim either. Keluarganya punya perkebunan dan peternakan di Cantina di Soave. Keluarga yang sudah hampir tujuh turunan memeluk islam. Then, setelah beberapa lama mereka berkenalan, ayah melamarnya dan menikah. Aku hadir setelah 2 tahun Faridah lahir, my sister. She has just got married…dan sekarang menetap di Perancis. Ayah dan ibuku juga sekarang di Perancis…”, ceritanya panjang lebar. Aku masih saja menjadi pendengar yang baik.

“Hello!!! The story ends!”, ucap Zack selanjutnya. Aku terkejut.

“Hmm… ayahmu tidak pernah pulang kesini?”

“Sesekali…”

“Ketika memutuskan memilih Islam, apa tidak ada tantangan apapun dari keluarga?”
“Tentu ada, tapi Kakek cukup demokratis masalah keyakinan…”

“Ohh… Alhamdulillah”

“Sure, Allah memang punya plot yang unik. Pertemuannya dengan dokter Ali, tragedy pertukaran bayi, keingintahuan ayah, pertemuan dengan ibu yang akhirnya menghadirkan kami…”, sambung Zack dan menutupnya dengan senyumannya yang semanis air tebu itu (kurasa ini senyuman andalannya karena dua lubang kecil di pipi kanan kirinya itu menyembul dengan cutenya. Alhamdulillah).

“Wow!! Semuanya indah dan menarik sekali untuk disimak…”, ucapku sedikit berlebihan dan Zack tertawa.

Kupandangi wajah yang sedang tertawa itu. Lelaki charming ini. Allah, apa dengan cara ini Engkau bantu aku sedikit melupakan persoalan tadi? Kenapa hampir selalu lelaki ini yang Kau selipkan dalam caraMu, tepat ketika aku butuh solusi dariMu? Dan sangat tepat ketika hal-hal yang berhubungan dengan Bang Faisal?

“Kamu sedang tidak mempertimbangkan untuk jatuh cinta padaku kan?”, ucapnya kemudian membuyarkan lamunanku yang memang menjadikan wajahnya sebagai objek. Bisa dibayangkan betapaa…

“Hehe…”, aku tersenyum sambil membuang muka. Senyumku berakhir kaku dan aneh (tak bisa kubayangkan bagaimana bentuk wajahku saat itu). Kudengar Zack sedikit terkekeh (kurasa dia sedikit bangga telah mempermalukan, huh!)

“Zack, kalau ayahmu dokter terus usaha property itu…”

“Usaha keluarga. Just a small business. Sebenarnya ibuku keturunan Perancis dan usaha property keluarga sudah berkembang disana…Aku kan tamatan business, jadi ibu menyerahkannya padaku…”

“Oia? Kamu kuliah dimana?”

“Disalah satu universitas donk, hehe”

“Zack, seriously! Dimana?”

“Hmm..oke-oke. Aku mengalah kalau menghadapi rasa ingin tahumu”, aku tertawa.
“Columbia University”

“In the United States? Wow, itu kan salah satu kampus yang bergengsi”

“Kampusnya yang bergengsi, bukan mahasiswanya, hehe”

 “Zack…”

“Question again?”, tanyanya dengan nada yang sedikit berlebihan. Aku terkekeh.

“Satu lagi yaa?? Hehe… Joan dan keluarganya gimana?”

“Kamu pasti lihat donk, disalah sudut ruangan toko Joan ada apa?”, aku tersenyum. Iya, aku tahu. Disana ada patung dewa mereka dengan nuansa merah dan dupa dan terkadang kulihat ada sesajian berupa buah-buahan.

“Jadi selama ini kamu tinggal dimana?”

“Hehe, aku nomaden. Hmm… I sometimes stay at Joan’s, but I also stay at hotel… well, last week I slept in the car, haha… dua hari lalu I stayed at my causin’s di merduati, last night I stayed at another cousin’s di Jalan Tgk. Umar…nanti malam mungkin di rumah Joan, hehe”

“Waah, haha… seru yaa? Wait-wait… at hotel? Kenapa buang-buang uang? Mending kamu nyumbang ke masjid? Kamu kan bisa stay at Joan’s… pasti muaahaaal bang..”

“Nadine, it’s for free!”

“Heh? Are you kidding me?”

“Nope, pemiliknya kebetulan my father’s friend. Dulu ayah pernah bantu dia, so dia merasa sangat menghargai itu…”

“Dimana? hotel apa?”

“Dekat-dekat toko Joan laah…You have bunch of questions, you know! hehe”, ucapnya dan kami terkekeh.

“Zack…”, panggilku lagi. Dan dengan memasang wajah sedikit berlebihan, Zack langsung bisa menebak…

“Nadine, would you stop asking me questions?”, ujarnya dengan wajah serius namun jenaka. Aku tertawa.

“Just one more left question! Aku pernah lihat sebuah salib tergantung di mobil Jazzmu… what does it mean?”

“Heh? Haha… I’ve never told you that it’s mine! That car’s actually my causin’s and he’s Chatolic! Saat aku menolongmu waktu itu, Harrier was in bengkel…”

“Ooh…”, aku mengangguk sedikit berlebihan tanda mengerti.

“Hei, pasangan yang disana, dilarang berduaan di teras mesjid!”, suara teriakan itu sedikit mengejutkan kami. Aku yang merasa mengenal suara itu tak memperdulikan (mesjid ini kan favoritnya, dia selalu bisa membaca pikiranku…pasti dia tahu aku sedang kacau, perasaan tidak jelas antara bahagia atau duka), tapi tidak bagi Zack, dia mulai mencari sumber suara itu…

“Naisya! Sejak kapan disana? Come here!”, ucap Zack sambil menoleh ke belakang. Kudengar Naisya tertawa.

***

Horee, weekend! Aku mau masak ah! Besok jadwalku berjualan kan? Hmm…sejak pagi kulihat ada sedikit kesibukan dirumahku. Hanya keuarga kecilku itu. Naisya selepas subuh sudah tidak tidur lagi (kebiasaan kami kalau weekend, suka balas dendam, hehe… jangan diikuti yaa?). Dia sudah sibuk bantuin mamak di dapur. Ada apa yaa?

“Masak apa pagi-pagi mak?”

“Pepes Tiram”

“Oia? Asiiik!!”, makanan khas Aceh ini memang kegemaran keluargaku. Sebagai informasi, Ibuku aseli dari Aceh Rayeuk dan ayah dari Samalanga. Tapi tak ada masalah dalam makanan khas, terutama ayahku. Beliau penyuka kuliner.

Aku selesai belanja. Aku tak melihat Zack tadi di tokonya Aci, selama ini mungkin dia sibuk yaa.

Aku dan Naisya membantu mamak di dapur. Sejak kami remaja, mamak memang membiasakan kami bersamanya di dapur di hari libur, sekedar melihat atau mengiris atau hanya mengupas.

 “Mak, Zack itu muslim lho!”, ucapku tiba-tiba.

“Lha, emang iya kan Zaki Muslim? Memang kenapa?”, Nah lho? Jangan-jangan mamak dan ayah sudah dar awal tahu.

“Mamak sudah tahu? Ayah juga? Naisya?”

“Yaah, dari awal Zaki kan memang ngakunya Muslim, beberapa kali malah shalat disini…”

“Zaki?”, tanyaku sedikit heran. Kini Naisya terkekeh.

“Duuch, kasihan banget yang baru tahu yaa? Nama Zack itu sebenarnya Dzaki Ar-Rafa kak! Disini aja dia dipanggil Zack sama paman dan bibinya…”, Jadiii..aku yang paling akhir tahu? Tega.

Zack, tidak ada ampun!! Anyway, Dzaki Ar-Rafa. Bagus juga namanya, hehe. Ngomong-ngomong artinya apa yaa?

***

Telur Asin, acar timun, sayur lemak, pepes tiram, udang diolah dengan belimbing sayur  (wow, itu semua makanan kesukaanku. Ngileer!! Tumben banget, komplit begini malah berlebihan. Ini ada apa ya? Malah setelah selesai masak begini, aku belum tahu kenapa mamak masak sebanyak ini).

It’s 12 already. Dengan semua makanan sebanyak itu, aku merasa ayah mengundang makan temannya. Tapi sudah jam segini, belum ada yang nongol. Dan kini aku lebih terkejut lagi, melihat sebungkus besar kuah kambing ditenteng ayah.

“Ayah, ada acara apa?”, tanyaku sambil menunjuk tentengannya. Ayah hanya tersenyum. Pantes saja ada acar timun, ternyata mau makan kuah kambing.

Ketika aku sedang menuangkan kuah kambing kedalam mangkok, suara deru mobil sedikit mengejutkanku. Akhirnya datang juga. Tapi, tunggu-tunggu… sepertinya…

“Assalamualaikum…”, seseorang mengucapkan salam. Nah kan? Benar perkiraanku.
“Wa’alaikumussalam, masuk Zaki…”

Naisya yang sudah kelihatan segar melirikku yang sedang di dapur.

“Jadi orang terakhir lagi yang tahu ya Kak? Hehe”. Dasar Naisya. Aku menjulurkan lidah.

***

Dan ini lah kami, keluarga sedikit besar yang sedang duduk dimeja makan. Ada Ayah, mamak, Aku dan Naisya, juga lelaki charming yang memang sengaja diundang Ayah, Dzaki Ar-Rafa. Dan, tunggu-tunggu masih ada seorang lagi. Teuku Raivan Iskandar. Yaa, kekasih adikku dan kalau yang ini Naisya sengaja yang mengundang (sepertinya dia beraksi didetik-detik terakhir, soalnya aku lihat dia sibuk menelpon tadi dan sedikit memaksa Evan untuk datang. Aku menjadi yang paling kasihan, seharusnya aku juga mengundang Bang Faisal biar semuanya sempurna. Aku jadi sedikit merengut.
Ini seperti sebuah keluarga yang sedang makan bersama bersama calon menantu-menantu mereka. Oh, tidak! Bukan calon menantu-menantu tapi calon menantu. Naisya dan Evan tentunya dan Aku?? Tidak ada Bang Faisal disini menemaniku (jadi lebai gak jelas). Tapi… aha! Dzaki Ar-Rafa. Boleh juga. Tidak, ini sangat sempurna. Nadia dan Dzaki. Aku tersenyum sendiri membayangkan itu semua. Walaupun kenyataannya aku masih tetap menjadi pungguk yang merindukan bulan.

“Hei, senyum-senyum sendiri?”, kejut Naisya yang memang duduk disampingku. 

Mukaku langsung merona karena lagi-lagi aku tertangkap basah. Kulihat semuanya sedang makan dengan lahap. Termasuk lelaki charming yang sedang duduk tepat didepanku.

“Gimana nak? Enak?”, Tanya mamak pada Zack.

“Incredible Mak! Apalagi yang ini”, ucapnya semangat sambil menunjukkan ke sepiring kecil berisi sesuatu seperti sambal.

“Itu namanya sambal udang diolah dengan belimbing sayur dan cabe Dzaki!”, potongku dan dengan sedikit menekankan pada namanya. Zack tersenyum.

“Hmm…sebenarnya yang paling benar itu kita kenalkan dulu menunya pada Dzaki sebelum makan..”, ucapku lagi-lagi sedikit menekankan pada namanya.

“Oia ya? Tadi kelupaan, abis pada terlanjur lapar yaa? Coba Nadia aja yang ngomong…”

“Dzaki Ar-Rafa, ini…”, kuawali dengan memanggil lengkap namanya dan memperkenalkan menu makanan hari itu… Zack hanya bisa tersenyum. Beberapa kali Naisya menyenggol tanganku. Tak ku peduli.

“Mak, kalau yang ini bagaimana cara buatnya? Rasanya jadi sedikit kecut, padahal sebenarnya cucumber rasanya agak tawar, ini juga ada chili yaa?”

“Oh, itu acar mentimun namanya. Kamu suka?”, Zack mengangguk.

“Itu Nadia yang buat”

“Oh…. Ternyata kamu bisa masak juga? Tidak yakin, hehe”, ujarnya sedikit jenaka. Yang lain tersenyum. Aku tertawa sedikit dipaksakan. Syukur kamu charming, tuan Chinese! Syukur juga, ayah dan mamak kelihatan senang sama kamu. Kalau tidak…

“Jadi pulang ke Perancis, nak?”, Aku terpana. Kenapa lagi-lagi aku tak tahu. Zack mau pulang ke Perancis. Jeda. Zack tersenyum dalam diamnya sedang yang lain menunggu jawabannya.

 “InsyaAllah bulan depan”,

Benarkah? Zack mau kembali ke Perancis? Bulan depan? Pernikahanku dua bulan ke depan. Zack tidak ada disini. Kenapa aku jadi cemas begini, padahal dia kan sering pulang pergi. Kenapa ada perasaan dia pergi akan lama. Dzaki Ar-Rafa…apa kamu akan kembali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar