Minggu, 19 Februari 2012

Plot and Me 11 - Pungguk itu Aku kah?




“Wow! That’s so romantic! Dapat banget Zack! I feel the atmosphere of romance. Kamu bisa dech jadi actor! Hehe”, ucapku dengan semangat dan mengalihkan pandanganku darinya segera. Aku merasakan sesuatu berkecamuk didalam hatiku dan aku benar-benar tak mau tahu itu apa. Ya Allah, mungkin ini memang salahku sendiri ketika rasa penasaranku melanda, seharusnya aku tak menantang Zack untuk melakukan itu.

“Really?”, aku sedikit terpana karena respon Zack tak sesuai harapanku. Ekspresinya sedikit berubah.

“Kenapa? Itu pujian loh Zack, hehe. You know, aku merasa tadi itu kalau kamu memang sedang mengungkapkan perasaan kepadaku… Wow! That’s really something!”, ucapku masih dengan sangat semangat, namun aku tetap tak melihat kearahnya lagi. Zack tertawa.

“Yang lain pada kemana yaa? Kok pada belum balik?”, tanyaku kaku sambil melirik jam tanganku, namun aku bahkan tak bisa melihat jarum jam. Something wrong with me, God!

“Nadine…”

“Iya..”

“How if…”

Deru Toyota Harrier mengejutkan kami. Aku berbalik.

“Akhirnya datang juga, hehe”, ucapku. Dan aku bersyukur dalam hati. Naisya turun sambil menggandeng Binar. Gadis itu tampak cantik dan imut.

“Oia Zack, tadi mau bilang apa? How if what…?”

“Heh? Oh…Did I say that?”, aku menggangguk. Zack kembali tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Aku bingung, namun dering telpon akhirnya membuatku melupakannya. Bang Faisal.

“Heh...kok handphonenya dibiarin? Dari siapa siyh?”, tanya Kiki yang akhirnya muncul bersama Vanessa. Aku juga bingung, entah kenapa aku seperti terhenti untuk menjawab telpon itu. Kiki merebut handphone dari tanganku.

“Oh... dari calon suami tercinta, angkat gih! Pantes wajahmu merona gitu, hehe...”, godanya.

“Ah... apaan siyh Ki?”, wajah-wajah itu tersenyum menggodaku, dan juga Zack. Namun, ada sedikit yang berbeda disenyum itu. Kenapa beberapa waktu ini aku merasa Zack seperti menyimpan sesuatu? Apa dia juga tahu yang aku lihat dan dia merasa kasihan padaku?

“Hei...malah melamun... Keburu putus itu kak!”, kejut Naisya selanjutnya dan memang akhirnya dering itu berhenti.

“Kenapa siyh Nad? Kamu baik-baik saja kan sama Bang Faisal?”, tanya Kiki.

“Hah? Hmm..I..iya, baik-baik saja kok, hehe...”

“Mencurigakan!”, ucap Naisya dan aku mulai risih ketika dia sudah mulai masuk kedalam pikiranku dan aku buru-buru mengalihkan.

“Hehee... nanti aku telpon balik dah! Ini, buahnya udah dikupasin...”, ucapku kaku. Kulihat sekilas Zack menoleh dan terlihat sedikit penasaran. Aku tersenyum padanya, namun dia membuang mukanya. Ada apa yaa? Tadi kok baik-baik saja.

***

Diperjalanan pulang, Kiki sedikit memaksa duduk didepan bersama dengan Zack. Sudah kuduga, dia pasti punya alasan cerdik untuk itu.

“Vanessa minta duduk dipangkuanku, hehe... Evan duduk  dibelakan aja biar dekatan sama Naisya...”, ucapnya sambil langsung masuk kedalam mobil dan tak membiarkan yang lain berargument. Zack hanya geleng-geleng kepala.

“Widiiih...pinter banget ya kamu Ki. Ngomong aja biar dekatan sama sepupunya Vanessa...”, ucapku dan Kiki hanya tersenyum menggoda.

Sepanjang perjalanan pulang Kiki nyerocos sana-sini. Klop banget sama Naisya. Aku dan Evan cuma cekikikan. Zack? Sesekali dia tersenyum. Hanya itu. Ada apa ya? Apa ada yang salah? Perasaanku benar-benar tidak enak. Dia keliatan berbeda sejak kami mengobrol tadi. Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Ah...semuanya biasa saja. Atau...jangan-jangan dia... Iih...aku mikir apa siyh. Kulirik wajah itu. Zack...kamu kenapa siyh? Sesekali dia menekan kedua bibirnya dan lubang yang sangat dalam muncul dengan indahnya dikedua pipi wajah tampan itu. Ya Allah, lelaki ini memang charming! Seberkas perasaan tak enak seolah menghilang sejenak karena itu dan aku hanya tersenyum.

“Ehem... jangan bilang gara-gara ini kamu gak angkat telpon Bang Faisal tadi ya? Bukan gara-gara Zack kan kak?”, bisik Naisya dan wajahku menghangat tanda merona. Sejak kapan makhluk ini memperhatikanku, bukannya dia sedang asik mengobrol dengan Kiki.

“Hei...ngomong apa siyh?”, ucapku kaku sambil membuang muka melihat ke kaca mobil.

“Kak... kamu...”, Naisya berhenti berucap dan aku menoleh padanya.

“Kenapa?”, tanyaku jutek.

“Kamu gak lagi jatuh hati sama Za..”, aku langsung menutup mulut Naisya dengan tanganku dan mendelik padanya.

“Naisya!! Jangan macam-macam mendoakan hal itu...”, bisikku.

“Hei...pada ngomongin apa siyh? Kok bisik-bisik gitu? Gak lagi ngegosipin aku dan Zack kan?”, potong Kiki dari bangku depan.

“Stress!! Siapa juga yang ngegosipin yang gak bener! Ge er banget lo, Ki”, ucap Naisya.

“Sejak kapan ada gosip yang bener neng?”, Kiki cekikikan. Aku hanya diam. Naisya kenapa bisa mengeluarkan statement begitu yaa? Apa jangan-jangan aku memang... dan tak sengaja mataku melihat kearah spion depan. Ternyata Zack...Dan mata kami bertemu disana. Seolah lama. Astagfirullahal’adhim...aku langsung membuang pandanganku. Enggak, ini pasti karena pengaruh kejadian tadi di pantai.

“Kapan ketemu lagi Zack?”, tanya Kiki ketika kami sampai dirumahnya.

“Hah? Hmm... insyaAllah...”

“InsyaAllahnya kapan?”, potongnya. Aku dan Naisya saling berpandangan dan terkekeh. Maksa benar tu anak! Kulirik Zack sedikit salah tingkah.

“Yaa...mudah-mudahan Allah masih...hmm...izinin kita ketemu dalam waktu dekat, kalau enggak, berarti...”, kalimat Zack membuatku sedikit terkejut. Kenapa dia seolah-olah...

“Heheee... serius amat Zack,hehe. Oke! Thanks ya udah ngajakin tamasya en dianterin segala...”

Mobil kembali berjalan, tetapi aku masih memikirkan kata-kata Zack tadi. Mungkin bagi yang lain ini hanya kalimat biasa, tapi entah kenapa Zack seolah sangat serius saat berkata itu. Aku tak sengaja meliriknya dan tak kusangka lelaki itu juga sedang melihat kearahku melalui spion depannya. Ya Allah, ini sebenarnya ada apa? Kenapa hatiku seperti berdesir? Aku memalingkan wajahku dan senantiasa mengucap istighfar dalam hati. Kenapa aku merasa Zack dari tadi memperhatikanku? Apa ada yang salah denganku? Konyolkah aku?

***

Aku buru-buru mengangkat barang sebanyak mungkin. Aku ingin segera masuk kerumah dan menghindari mata itu. Namun, saking banyaknya barang yang kubawa akhirnya beberapa terjatuh... Naisya membantuku.

“Kak, kenapa siyh? Kok keliatan buru-buru begitu?”

“Hah? i...ini, aku harus ke toilet, hehe...”

“Ya sudah, ke toilet sana. Biar ini kami yang beresin!”, ucap Naisya.

Aku buru-buru pun melangkah masuk ketika sekilas kulirik Zack akan melangkah menujuku. Aku tak mengerti kenapa, tak kupungkiri beberapa kali aku merasa nervous ketika bersamanya, namun saat ini aku bahkan tak sanggup lagi melihat matanya. Apa ini karena kejadian tadi? Apa sebesar itu pengaruh reka ulang tadi?
Inilah kenyataan yang terjadi, terkadang kita lebih memilih lari dari permasalahan. Aku melewati mamak dan ayah yang keluar menyambut kami. Keduanya terlihat kebingungan melihatku terburu-buru.

Tidak menuju kamar kecil karena aku memang sedang tak ingin ke toilet, aku malah menuju ruang tamu dan melihat keluar melalui gorden. Terlihat Zack sedang mengobrol dengan ayah dan mamak. Naisya juga ikut nimbrung. Namun, tiba-tiba aku melihat Zack melirik kearah pintu masuk dan yang lain ikut melihat, sepertinya dia mau pamit. Naisya buru-buru masuk, seperti ingin memanggilku. Aku berlari menuju kamar kecil dibawah tangga.

“Kak, Zack mau pamit itu... cepetan!”, ucap Naisya sambil mengetok pintu kamar kecil.

“Tumben banget dia pamitan ke aku...”

“Ya, mana Sya tahu! Dia katanya mau pamitan sama kakak. Kamu ngapain siyh Kak? Lama amat! Kasihan Zack nunggu...”, ucap Naisya kemudian. Zack mau pamitan padaku?

“Aku mules Sya...”

“Ya sudah...”

Tak ada lagi suara. Naisya sudah pergi. Faktanya aku bahkan tak sakit perut sama sekali, kenapa aku begini yaa? Kenapa aku menghindari Zack? Dan kenapa Zack harus berpamitan padaku? Oh...jangan-jangan... aku membuka pintu kamar kecil, kudengar deru mobil menjauh dan beberapa detik kemudian kulihat ayah, mamak dan Naisya baru masuk.

“Zack...”

“Baru saja pulang, kasihan Vanessa terlelap dimobil”, ucap mamak.

“Zack nungguin kamu tadi Kak, niatnya mau pamitan...”, ucap ayah dan kulihat ekspresi ayah sedikit kecewa. Tiba-tiba perutku yang tak bermasalah sama sekali, seperti mulas. Ada perasaan tidak nyaman menyerangku. Perkataan ayah sepertinya menyiratkan sesuatu...

“Iyya Kak, kasihan Zack...dia kelihatan banget pengen ketemu kamu tadi sebelum pulang... kamu kenapa siyh? Sakit yaa?”, tanya Naisya dan aku menggeleng lemah. Kini perasaanku benar-benar menyesal. Kenapa aku harus menghindarinya?


***


Dua hari berlalu...

Tak ada kabar. Iya, sepanjang perkuliahanku aku sesekali mengecek handphoneku dan berharap ada sebuah pesan singkat disana. Tidak, aku bahkan tidak mengharapkan dia menelponku. Hanya pesan singkat. Namun nihil. Sudah dua hari, tak ada kabar dari lelaki itu, bahkan sms dari calon suamiku sendiri tak begitu membuatku tertarik. Lho? Jadi siapa lelaki yang kumaksud? Iya, Zack. Lelaki yang telah tega membuatku cemas dua hari ini. Aku bahkan tak berani menanyakan kabarnya.

Weekend pun datang lagi dan masih tak ada kabar tentang Zack. Sudah seminggu juga dia tak nongol dirumah. Ayah dan mamak sepertinya juga mulai kehilangan lelaki charming itu karena beberapa hari ini aku selalu mendengar pertanyaan tentang Zack.

 Siang itu selepas dari rumah Rika, aku tak langsung pulang, aku menuju butiknya Kak Dira. Dijalan, aku tiba-tiba teringat Bang Faisal (sedikit merasa bersalah mungkin yaa? hehe).

Beberapa kali aku melihat dia bersama gadis itu. Awalnya aku berusaha positif thinking, namun belakangan ketika berulang kali kulihat dia bersama dengan gadis yang sama, hatiku sedikit perih. Aku sedih bukan karena cemburu, tapi sedih karena mengalami hal seperti ini. Namun, aku masih tetap berpositif thinking karena mengingat jawaban istikharahku dan juga betapa hubungan keluarga yang sudah terjalin sangat baik. Satu lagi, aku sangat menjaga perasaan orangtuaku juga orang tuanya bahkan ketika Umminya sudah sangat begitu menyayangiku. Aku merasa iba pada diri sendiri. Aku seperti tokoh protagonist yang sangat pasrah pada nasib dan senantiasa menyimpan permasalahan sendiri. Kesimpulannya, aku masih bertahan mempercayainya walaupun sudah diperlakukan seperti ini.

Zack juga seperti menyimpan sesuatu. See, Zack lagi? Ketika aku mengenalkan Faisal padanya beberapa waktu lalu, ada perubahan sikap padanya. Tatapannya seperti iba dan menyimpan sebuah rahasia besar. Aku mulai mengira-ngira ini tentang semua ini. Namun Zack hanya berusaha mengalihkah ketika kutanya berulang kali.

Hari ini aku keluar dengan Kak Dira. Dia mengajakku makan. Entah kenapa hari itu aku menurut saja ketika diajak makan ketempat favoritnya. Pizza.

“Kita makan siang bentar yaa?? Mau makan dimana?”, tanya Kak Dira.

“Terserah kakak aja…”

“Oke, Pizza yaa?”, aku mengangguk saja.

Kak Dira pun memarkirkan mobilnya dan kami pun bergegas masuk. Aku sedang sibuk dengan pikiranku, menu apa yang aku pesan nanti (walaupun, semuanya tak membantu meningkatkan nafsu makanku, pikiranku sedang terbagi-bagi begini).

“Selamat datang. Bersama saya Niken, makan disini atau bawa pulang?”

“Makan disini”

“Silahkan Mba, mau duduk dimana?”, aku terus mengikuti langkah Kak Dira. Kami memilih kursi diruang pertama…”

Setelah memesan menu dan si waitressnya mulai sibuk dengan piring dan menunya, aku mulai melihat sekeliling. Dan satu pasangan membuat selera makanku yang memang sudah tak ada, semakin memburuk. Itu lagi-lagi Bang Faisal dan gadis itu yang kutahu bernama Vina (gadis yang dia tinggalkan untuk melanjutkan proses denganku).  Mereka hanya berselang beberapa tempat duduk dari kami dan berada di sofa ruang ketiga, tapi pandanganku terlihat jelas. Pasangan itu terlihat begitu akrab, oh…tidak, mereka mesra. Hatiku seperti diremas-remas. Aku langsung membuang muka karena mulai cemas Kak Dira juga melihat hal yang sama. Tapi aku bersyukur, karena dia mulai sibuk dengan hpnya.

“Kak, kenapa kita gak makan di butik kakak aja? Kan lebih seru rame-rame..”

“Heh? Gimana siyh kamu ini, tadi malah ngajak makan diluar… ada apa siyh? Kenapa tiba-tiba berubah…”, tanyanya mulai curiga.

“Eh..en..nggak kok! Teringat pegawai kakak aja, kali mereka juga pengen Pizza kak, kita bungkus aja kali yaa?”

“Enggak, mereka sering kemari kok! Udah ah, jangan macam-macam. Herah dech, kamu kok jadi aneh gini…”, ucapnya sekilas melihatku dengan mata curiga namun detik selanjutnya sudah sibuk dengan hpnya lagi.

Aku mulai cenat-cenut bukan karena I heart “Smash”, tapi karena aku ketakutan Kak Dira melihat Faisal. Pasti akan terjadi perang (sedikit lebai, tapi bisa saja lebih dari itu. aku bergidik). Rasanya aku pengen segera keluar dari sini, dalam sekian detik menghabiskan pizza-pizza yang kebetulan belum disajikan. Perutku mulai mual, apalagi ketika…

“Kakak telponin Faisal ni, biar dia datang kemari. Ini kan weekend, dia pasti punya waktu. Heran, kalian kok bisa komunikasinya macet gini, padahal tanggal nikah sudah ditentukan…”, aku shock. Tak ada yang bisa kulakukan karena sepersekian detik selanjutnya sebuah dering handphone terdengar. Memang tidak begitu mencolok, tapi ak terlanjur dia juga berada di tempat yang sama. Kulirik lelaki itu dan wajah itu sedikit terkejut. Aku terus berdoa agar dia tak mengangkat telpon itun, namun…Aku tahu ini bakal terjadi, aku menunduk karena aku juga tahu Kak Dira pasti akan mengikuti suara itu. Toh, entah sengaja atau hanya kebetulan, Pizza Hut terlihat sedikit lebih sepi dari biasanya. Suara mereka pasti akan terdengar ke masing-masing.

 Kak Dira pun mulai menyusuri ruangan dan matanya kini tepat tertuju ke lelaki itu. Tatapannya yang awalnya begitu sendu, jadi sengit sekejap. Aku mulai ketakutan. Ku ikuti pandangannya dan terlihat Bang Faisal terkejut ketika mata mereka beradu. Aku mulai mengucap doa agar tak terjadi apa-apa, namun tiba-tiba dalam pandangan sengitnya Kak Dira bangun, aku mendongak. Detik selanjutnya dia sudah menarik tanganku.

Kukira aku akan diajak keluar dari ruang itu, namun aku terkejut ketika dia mengiringku ke meja Bang Faisal. Kami duduk tepat didepan mereka. Kak Dira tersenyum, tapi kutahu senyuman itu artinya apa…

Aku hanya bisa meremas tanganku.

“Kak, udah lama?”, ucap Faisal yang sedari tadi tak tahu kemana bersembunyi. Vina juga kelihatan cemas.

“Baru saja, kalian sudah lama donk? Berdua aja niyh, Sal?”, tanyanya sedikit menyindir.

“Iya Kak!”

“Ini pacarmu?”, tanyanya dengan wajah sedikit mengarah kepada Vina. Keduanya saling memandang, namun akhirnya menunduk. Perasaanku benar-benar tidak nyaman.

“Hmm…gak apa, gak usah dijawab. Oia, Vina ya namamu? Vina, kenalkan saya Dira, ini Nadia, kebetulan Nadia ini calon istrinya Faisal…”

“Kak…”, panggilku lirih. Namun it doesn’t work.

“Jadi semua karena ini… bisa kamu jelaskan Faisal?”

“Maaf Kak Dira…”, ucap Faisal selanjutnya, tak ada penjelasan lebih panjang. Hanya kata-kata maaf. Aku yang sedari tadi menunduk kini melihat kearah suara itu. Tak kupungkiri hatiku perih, tapi tidak seperih biasanya. Detik ini aku merasa ada beban yang terlepas dari pundakku. Iya, inilah jawaban Allah akan kegelisahanku. Aku sadar selama ini aku sedih, tertekan karena aku harus menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Menutupi segalanya dari orang-orang. Kini Allah menampakkannya sendiri tepat kepada Kak Dira. Lelaki itu, dia hanya bisa berucap maaf. Apa maksudnya, aku tak peduli tentangku, tapi bagaimana dengan Vina.

“Bang Faisal, sebaiknya jujur saja, Nadia tidak apa-apa kok! Kalau memang sedari dulu tidak memilih Nadia, kenapa harus mempermalukan diri sendiri…”, dan inilah ungkapan perasaanku.

“Begini rupanya seorang Faisal yang begitu kakak banggakan…”, potong Kak Dira. Kami terpana. Suaranya memang sedikit besar. Beberapa pengunjung lain dan para pelayan mulai melirik meja itu. Pizza yang kami pesan sudah sampai, dan si waitress mulai kebingungan.

“Kak Dira, aku…”

“Sudah jelas buat Kakak, Sal! Biasanya akan ada kesempatan ketiga, tapi kakak rasa kita sama-sama tahu itu sudah tak mungkin. Dari kata-katamu itu…”

“Sebenarnya ini hanya permintaan keluarga, aku sangat menghormati ayah dan ibuku. Dan mereka sangat menyukai Nadia, jadi…”

“Jadi kau pura-pura jadi anak berbakti dengan cara mempermalukan diri sendiri dan menipu banyak orang. Kamu tahu apa yang akan terjadi ketika orangtuamu tahu ini? Kamu menyakiti mereka lebih dalam Faisal, kenapa tak terpikirkan? Tanggal sudah ditentukan Faisal…”

“Kak, aku tidak akan…”

“Sudah cukup ! Tega sekali kau bicara seperti itu. Vina, kau bisa menilai seperti apa lelaki ini… terserah padamu. Faisal, everything’s over! Biar semuanya berakhir sekarang dari pada kedepan akan banyak yang lebih sakit…”

Ya Allah, betapa tragis kisahku. Aku menggigit bibir berusaha menahan perasaan. Aku merasa kesal pada diri sendiri kenapa begitu cepatnya menaruh hati. Aku merasa kasihan pada diri sendiri ketika harus bertahan dalam pengkhianatannya yang jelas sekali tampak dimataku. Sementara Kak Dira terus mengucapkan kalimat-kalimat yang sangat sopan saat seseorang sangat tersinggung atas perlakuan tak pantas, aku menunduk. Aku berusaha keras, agar airmataku tidak tumpah, hingga tiba-tiba sebuah sms masuk…

From: Kiki

Nad, kamu dimana? Zack pulang ke Perancis hari ini yaa? Tadi aku ketemu dia di bandara, dia kelihatan buru-buru…

Aku terkejut. Namun dengan refleks aku menatap Kak Dira dengan wajah yang sangat memprihatinkan.

“Kak…”, panggilku lirih ketika kudengar Kak Dira masih dengan semangatnya menginterogasi Bang Faisal. Mendengar panggilanku yang sangat tidak normal itu wajah cantik itu pun menoleh.

“Nadia… ada apa? Kamu kenapa?”, tanyanya iba.

“Bisa antarkan aku ke bandara sekarang gak?”


To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar