Senin, 20 Februari 2012

Plot And Me 12 - The Moon is Gone and I am Alone...





Dalam mobil aku hanya diam. Seolah waktu berhenti, seolah suara apapun tak terdengar. Zack pergi. Dia akan pergi dan mungkin akan lama. Tidak Zack, kita belum berucap perpisahan. Zack. Memori beberapa waktu lalu seperti terangkai kembali, ketika Zack mengatakan bahwa dia akan kembali ke Perancis, tapi tidak hari ini. Kenapa semuanya tiba-tiba. Memori ketika… aku larut dalam pikiranku ketika tiba-tiba aku seperti dilemparkan kembali ke dunia nyata.

“Nadia, keliatannya kamu tertekan sekali? Ada apa? Kalau permasalahan Faisal, kakak minta maaf…”, aku terpana, apa rupaku sebegitu menderitanya. Tidak. Bukan karena Bang Faisal, bahkan aku lega. Tapi ada persoalan lain yang sangat menyita pikiranku sekarang.

“Heh?”

“Kamu keliatan resah, sebenarnya ada apa kita ke bandara?”

Tiba-tiba handphoneku berdering. Kiki.

“Assalamu’alaikum Ki…”

“Kamu dimana? Zack sebentar lagi boarding ini… tadi dia buru-buru check in, namun kupanggil dia berulang kali, katanya selesai check in dia usahakan keluar sebentar… kamu kemari kan?”, cerocos Kiki tanpa menjawab salamku.

“Lagi di jalan kesana ni. Zack masih lama gak?”

“Entah lah Nad, kamu dengan siapa?”

“Kak Dira…”

“Jangan buru-buru, mudah-mudahan masih sempat bertemu…”

Kututup pembicaraan  dengan perasaan makin gelisah. Zack, kumohon jangan pergi dulu. Tuhan, beri aku kesempatan bertemu Zaki sekali lagi. Sebenarnya kenapa begitu tiba-tiba. Apa salahnya memberitahuku. Apa kamu sudah tak punya nomorku? Ada apa Zack? Sebenarnya apa yang kau sembunyikan? Perasaanku kacau tiba-tiba. Ada rasa takut yang luar biasa di dalam hatiku, tapi aku tak mengerti rasa takut apa itu? Hatiku sesak, kalau begini aku tahu pasti stimulus itu akan segera terkirim ke mata. Aku menggigit bibir, usaha yang sangat sering dilakukan untuk menahan sesuatu akhirnya terjadi…

“Nadia…”, panggil Kak Dira, aku menoleh. Aku sudah tak sanggup berbicara, lidahku mulai kelu. Perasaan gelisahku semakin menjadi-jadi. Perjalanan yang sebenarnya sudah sangat cepat (Kak Dira mengemudi sudah hampir mencapai 100km/jam) bagiku masih 10km/jam.

“Ada apa siyh? Kamu mau ketemu siapa ke bandara?”

“Seseorang Kak! Dan dia…”, ucapku terputus begitu saja dan kemudian langsung larut lagi dalam diamku. Tak perlu ku jelaskan, Kak Dira bisa menarik kesimpulan dari pembicaraanku dengan Kiki tadi bahwa seseorang yang ingin pergi itu akan segera berangkat.

***

It’s 15 minutes to get the airport. Sebenarnya di hari biasa itu bisa sangat memecahkan rekor, tapi tidak hari ini. 15 menit bagiku sangat lama. Aku berlari turun dari mobil sementara kak Dira masih mencari tempat parkir. Kutelusuri dan kuperhatikan tiap wajah yang sedang terduduk dibangku bandara maupun yang sedang berdiri, siapa tahu ada Zack atau Kiki disana. Namun nihil. Tak ada tanda-tanda sosok-sosok itu. Aku terengah-engah, ketika pundakku disentuh seseorang…

“Zack!!”, ucapku sedikit keras sambil berpaling. Bukan. Itu Kak Dira.

“Nadia, tenang! Itu Kiki…”, ucap Kak Dira sambil menunjuk seseorang yang sedang berjalan semakin pelan kearahku sambil menatapku sangat iba. Perasaanku langsung kacau balau. Aku tahu ini pasti akan terjadi.

“Nadia, Zack sudah boarding… Baru saja…”, kalimat itu sedikitnya sudah cukup mengacaukan pertahanan airmataku. Kini entah mengapa airmataku seperti tak tertahankan. Aku tak mengerti mengapa aku harus menangis, toh Zack bukan siapa-siapa! Kutahan butiran bening itu agar tetap dimataku dan tidak terjatuh. Tapi, ini dia yang dinamakan rasa kehilangan. Ya Rabb, kini aku tahu rasa takut apa itu. Rasa takut kehilangan.

“Sebelum pergi, Zack sempat menitipkan ini…”, Kiki menyerahkan selembar kertas yang dilipat rapi. Aku mendongak, kulihat Kak Dira dan Kiki menatapku iba.

Hei Nadine…
Expectantly, it should shock you that I gotta go back to France sooner… so sorry enggak kabari kamu, but I think you have a lot of important things to be prioritized now (hei, you’re gonna get married soon).
I know, I couldn’t say this on this paper but…I have to (I feel like I am a kind of coward)
Nadine, maybe you know the truth but I don’t hope you do. Kamu terkadang terlalu polosJ.
I say, Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir …
One last words, this is not goodbye…
Wassalam,
Zaki

Seluruh tubuhku bergetar. Kini aku benar-benar kacau.

Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir… My eyes are not too narrow to see you

Ini pernyataan Zack. Ungkapan perasaannya. Dan itu untukku. Ini perasaan yang paling kutakuti selama ini. Perutku semakin tak enak karena sekuat tenaga aku masih berusaha menahan bening-bening itu. Aku berusaha keras menelan stimulus ingin berlinang airmataku dan berusaha menggigit bibir. Sakit yang kurasakan ketika bibirku berdarah tidak seperih rasa ini. Iya, kini aku tahu rasa apa ini. Rasa kehilangan.

“Benar! Zaki benar-benar telah pergi…”, ucapku dengan suara tak jelas.

“Nadia, jangan-jangan perkiraanku dan Naisya selama ini benar tentang Zack dan kamu...”, ucap Kiki dan aku hanya menjawab dengan diam.

Ternyata Kiki dan Naisya memang telah memprediksi semuanya. Dia raih kertas itu dan membacanya. Menit selanjutnya, dia hanya bisa menatapku. Sangat iba. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya sekarang, apa Kiki juga tahu tentang ini semua? Tentang perasaan Zack?

***

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya memilih diam. Kiki sangat mengerti. Mungkin selain Naisya, Kiki lah yang paling tahu bagaimana perjalananku dengan Zack. Aku memilih diantar pulang Kiki. Kak Dira yang sedari tadi penasaran, dijanjikan sebuah penjelasan oleh Kiki dan akhirnya dia dengan berat melepaskanku pulang dengan Kiki.
Diam mungkin yang paling bisa membuatku tenang sekarang.

“Nadia, kita udah sampai!”

Aku bahkan tak sadar kini kami sudah tepat berada di depan rumahku. Seluruh penglihatanku seperti sama dan pada satu titik. Betapa memprihatinkannya aku. Siapa lelaki itu? Hingga bisa membuatku merasa kehilangan begini? Calon suami yang berselingkuh saja tak kuhitung lagi dalam daftar orang yang paling penting, tapi Dzaki Ar-Rafa??

Kiki pulang setelah berpamitan dengan ayah dan mamak, sedang aku dengan tampang menyedihkan masuk ke kamar. Aku tahu, ayah dan mamak pasti sebelumnya menginterograsi Kiki terlebih dahulu sebelum membiarkannya pergi. Aku sudah tak bisa peduli.

Aku sangat bersyukur ketika akhirnya azan Ashar berkumandang. Aku benar-benar ingin menghadap padaMu Allah, ada sesuatu yang harus ku ungkapkan. Tepatnya aku ingin menangis. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku tersadar. Tuhan, aku sedang haidh. Bagaimana aku bisa menemuiMu. Ya Allah, seketika itu pertahananku roboh. Tubuhku bergetar hebat. Air mata yang sedari tadi tertahan dan menjadi bening-bening kaca di mataku kini mulai banyak. Aku menangis sejadi-jadinya. Sesenggukan aku menuju tempat tidurku.

Didalam tangisku aku memohon ampun. Aku begitu tak pantasnya menangisi ini semua. Dan diakhir tangisku aku pun terlelap dan bermimpi…

Sekilas aku melihat Zack. Benar itu Zack.

“Zack!! Tunggu!”, kupanggil dia.

Tapi Zack seperti tak mendengar. Dia acuh. Faktanya selama ini, dia begitu perhatian. Kuulangi terus menerus, tapi Zack terus berjalan meninggalkanku. Dia menggenggam tangan seseorang. Perempuan. Hatiku perih. Tapi apa pantas? Toh, selama ini kami hanya teman saja.

Aku berjalan cepat kearahnya.

“Zack!”, panggilku lagi ketika jarak kami tinggal beberapa langkah.

Lelaki yang kuanggap Zack itu berpaling, begitu juga si perempuan. Betapa terkejutnya aku. Itu Faisal dan Vina.

Dan aku terkejut. Terbangun dari tidurku. Aku haus.


***

“Kak Nadia udah pulang mak?”, itu suara Naisya.

“Udah! Tadi mamak liat ketiduran dikamarnya. Abis nangis sepertinya”, jawab mamak.

Ketika aku ingin mengambil air karena kehausan setelah menangis dan bermimpi lumayan aneh, aku mendengar percakapan itu. Biasanya aku hanya keluar saja dan ikut bergabung, namun kali itu kakiku seperti tercegah untuk melangkah.

“Oia? Ada apa mak?”

“Entahlah, kata Kiki ketika ketemu di bandara memang sudah agak terlihat kacau wajahnya…”

“Bandara? Ngapain?”

“Zaki pulang ke Perancis hari ini!”, itu suara ayah. Kenapa ayah bisa tahu?

“Bukannya bulan depan jadwalnya?”

“Ayahnya sakit, jadi harus segera terbang kesana…”, sambung ayah. Oia? Zack, kenapa tak beritahu aku?

“Ayah tahu banyak sepertinya…”, ujar Naisya.

“Sebenarnya tadi pagi Zaki datang untuk pamit sepersekian menit setelah Nadia pergi…”, sambung mamak. Aku terkejut. Dia pamit kepada orang tuaku tapi dia bahkan tidak menelpon atau sms aku. Zack, ada apa sebenarnya?

“Jadi gak sempat ketemu Kak Nadia?”

“Enggak, Zaki sepertinya memang tak beritahu Nadia…”

“Oia? Berarti tidak ketemu dibandara juga?”

“Kata Kiki begitu…”

“Ayah, mamak…sepertinya ada yang Naisya dan Kak Nadia enggak tahu ya? Apa itu yah?”, pertanyaan Naisya yang tiba-tiba itu mengejutkanku. Apa maksudnya? Apa dia tahu sesuatu? Apa ayah dan mamak menyembunyikan sesuatu? Jantungku mulai berdetak kencang lagi.

“Kamu ngomong apa?”jawab mamak. Jeda sejenak. Bagiku jeda itu begitu lama.

“Memang benar, Nak! Ada sesuatu yang kamu dan Nadia tidak tahu… Terlebih lagi Nadia ”, akhirnya ayah jujur.

“Boleh Naisya tahu, ayah?”

Jeda lagi.

“Ini tentang Zaki…”

***

Mungkin semua makhluk dijagad ini yang bisa melihatku sekarang akan mengasihaniku. Perempuan malang. Sangat malang. Aku yang dikhianati calon suami yang tega-teganya berselingkuh, kini harus menghadapi kenyataan ditinggal seorang teman baik. Lelaki charming yang selalu berusaha ada ketika aku butuh. Lelaki yang dulu diawal pertemuanku dengannya kuanggap seperti sebuah bintang yang tak akan pernah bisa kuraih. Dan kini, lelaki yang baru beberapa detik lalu kutahu ternyata menyimpan rasa padaku.

“Kamu mungkin masih ingat hari itu ketika Zaki datang dan dia berencana ingin bertemu Nadia, ingin berbicara serius tentang perasaannya”.

“Perasaannya? Jangan-jangan perkiraan Sya benar kalau Zaki…”

“Iyya Naisya, Zaki mencintai kakakmu, Nadia. Sejak diawal pertemuan mereka. Ayah tak tahu jelasnya kapan, dia menyinggung toko bahan kue, masjid lampineung bahkan di persimpangan BPKP… Zaki seolah menyimpan semua memori pertemuannya dengan Nadia.”

“Bagaimana ayah bisa tahu?”

“Zaki sebenarnya sudah akan pamit pulang ketika siang itu Nadia belum juga kembali. Namun, belum beberapa lama, dia kembali lagi. Ketika kami bertanya, dia berkata ada sesuatu yang ingin dia sampaikan serius ada kami…”

“Apa itu Ayah?”

 “Dia melamar kakakmu!”

“MasyaAllah.SubhanAllah! Serius ayah?”

“Iyya. Kami juga awalnya tak menganggapnya serius. Kata Zaki, memang rencana awal dia hanya ingin mengungkap niatnya pada Nadia dan setelah itu baru kepada ayah dan mamak, tapi entah mengapa dia merasa saat itu adalah saat yang tepat…Apalagi mungkin dia memang berniat pulang ke Perancis segera”

“Terus ayah dan mamak jawab apa?”

“Naisya, kakakmu dalam pinangan orang lain. Mungkin kalau lelaki itu bukan Zaki, ayah akan langsung berbicara blak-blakan, tapi ini Zaki…”

“Iya, mamak dan ayah seperti tertahan untuk berbicara sejujurnya. Karena sebenarnya kami tak tahu kalau Zaki tidak tahu Nadia sudah bertunangan dan akan segera menikah…”

“Jadi, Zaki tak tahu? Ayah dan mamak juga tak memberitahunya saat itu?”

“Memang salah dan sekarang ayah menyesal telah sangat menyakiti Zaki. Tapi ketika itu, kami tak sanggup mematahkan semangatnya… ayah bilang supaya Zaki mengatakannya dulu kepada Nadia…”

“Terus?”

“Tadi Zaki datang dan tanpa ditanya pun dia langsung bilang, “Ayah, mamak, Zaki telat!”. Rasanya begitu sakit melihat wajah dengan senyum perih itu”

“Ayah sampai memeluknya, meminta maaf…”

“Tak berapa lama, Zaki pamit…”

Kini bening-bening itu seperti air bah. Jatuh bukan dalam bentuk tetesan lagi. Airmataku kini sudah tak bisa diajak kompromi. Aku benar-benar sesenggukan kali ini. Aku menyesali perkiraanku. Aku menyesali hari itu keegoisanku ingin berbicara terlebih dahulu, membiarkan niatnya mengungkapkan perasaannya menguap dalam keperihan hatinya. Ya Allah, kini aku merindukannya. Aku mohon maaf, tapi aku… Kini aku menjadi pungguk yang tak merindukan bulan lagi, tapi pungguk yang telah kehilangan bulan… Zack… Iyya... The moon is gone, and I am alone...

***

“Kak, ada tamu tuch!”, ucap mamak selesai mengetuk pintu kamarku.

“Siapa mak?”

Mamak hanya tersenyum dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Kuraih jilbab dan mengikuti langkah mamak ke ruang tamu.

Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang. Galau. Ya, aku benar-benar sedang galau (dan kini aku tahu bagaimana rasanya galau itu, dan ternyata tidak enak sama sekali. Heran, kenapa bisa jadi happening ya kalau sama sekali tidak menyenangkan?).

Aku menuju ruang tamu dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat siapa tamu yang datang itu. Seseorang yang sudah sangat aku kenal dan aku sayangi. Ummi. Iya, Ummi datang bersama suaminya juga lelaki itu, Bang Faisal. Tak ada perasaan benci atau apalah ketika aku melihat lelaki itu, yang kurasakan hanya perasaan terbebas dari segala beban. Tak ada lagi yang perlu aku simpan sendiri, akhirnya semua mendapatkan solusinya. Kesedihanku bukan karena dia.

Mereka menoleh ketika aku sudah berdiri diruang tamu. Ketiganya bangun dengan wajah yang bisa kuanggap menyesal. Aku berjalan perlahan menuju mereka dan mulai menyalami satu persatu (beginilah adat kami memuliakan orang lain di Aceh). Dan aku sedikit terkejut, ketika akhirnya aku mencium tangan Ummi, wanita itu menarikku kedalam pelukannya. Tidak Allah, wanita ini menangis. Terisak-isak.

“Nadia… Ummi minta maaf… seandainya saja Um..Ummi tidak memaksakan pertunangan ini, kamu tentu tidak akan seperti ini…”, ucapnya sambil terus menangis.

Apa? Memaksakan? Jadi ini maksudnya? Akhirnya semua jawaban istikharahku jelas. Aku merasa sangat bodoh. Ternyata Allah sejak dulu telah memberiku jawaban, namun aku tidak bisa membacanya. Ummi yang begitu menginginkanku sebagai pendamping anaknya, bukan Bang Faisal sendiri. Iyya, selama ini dia yang begitu memperhatikanku dan menyayangiku, tidak anaknya.

Aku merasa sangat berdosa. Tak terasa butiran bening itu juga mulai menghiasi mataku. Kubelai punggung itu.

“Ummi, gak perlu minta maaf. Nadia enggak apa-apa kok Ummi, semuanya baik-baik saja. Allah memang sudah menggariskan seperti ini. Kalau pun akhirnya Nadia tidak berjodoh dengan Bang Faisal, kita tetap akan jadi saudara. Ummi tetap Nadia anggap seperti ibu Nadia sendiri…”, aku tak menyangka ucapanku yang kuniatkan agar wanita ini tenang malah semakin membuatnya terisak.

“Nadia… Kamu anak baik, Nak! Semoga kamu mendapatkan yang terbaik ya sayang. Ummi yakin dan selalu mendoakan Nadia…”, ucapnya sambil kemudian mencium pipi kanan dan kiriku. Ada rasa haru yang luar biasa.

Kulirik lelaki itu dan dia hanya menunduk. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Mungkin dia menyesal atau bahkan dia bahagia karena telah lepas dari beban ini. Ah…itu sudah bukan urusanku lagi. Yang jelas, aku tahu perasaanku padanya juga hanya sebuah fatamorgana yang menghalangiku akan perasaanku yang sebenarnya pada seseorang itu. Lelaki yang selama ini kuanggap sebagai “bulan” yang tidak akan pernah bisa kugapai, hingga aku benar-benar tak peduli dengan apa yang kurasakan padanya. Zack… maafkan aku. Aku tak menyalahkan siapa-siapa hingga aku harus kehilangan kesempatan itu. Iya, kehilangan kesempatan bersamamu.

***

Dua bulan berlalu…

I am leaving to the States.

Semuanya memang sudah berakhir. Pertunanganku putus. Pernikahanku gagal. Lelaki yang akhirnya kutahu menyimpan rasa padaku telah pergi. Tak ada kabar darinya.
 Dan sebelum aku pergi, aku berkata pada orang tuaku agar jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja, jika saja Naisya memang harus melangkahiku ketika aku masih di States, then just do it. I am fine. Really. Semuanya mengangguk dan aku tahu mereka hanya menjaga perasaanku. Semuanya masih sangat jelas bagiku. Aku hanya seperti pemeran protagonist dalam sebuah drama yang gagal bertemu seseorang yang dicintainya ketika dia pergi. Dan kini semua lebih terasa jelas ketika tak ada  kabar sama sekali dari lelaki itu. Aku telah benar-benar kehilangan dia.

Dan butiran bening itu seakan tak tertahan ketika akhirnya Garuda mengajakku membelah langit menuju the States...
To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar