Dalam mobil aku hanya diam. Seolah waktu berhenti, seolah suara apapun tak terdengar. Zack pergi. Dia akan pergi dan mungkin akan lama. Tidak Zack, kita belum berucap perpisahan. Zack. Memori beberapa waktu lalu seperti terangkai kembali, ketika Zack mengatakan bahwa dia akan kembali ke Perancis, tapi tidak hari ini. Kenapa semuanya tiba-tiba. Memori ketika… aku larut dalam pikiranku ketika tiba-tiba aku seperti dilemparkan kembali ke dunia nyata.
“Nadia, keliatannya
kamu tertekan sekali? Ada apa? Kalau permasalahan Faisal, kakak minta maaf…”,
aku terpana, apa rupaku sebegitu menderitanya. Tidak. Bukan karena Bang Faisal,
bahkan aku lega. Tapi ada persoalan lain yang sangat menyita pikiranku
sekarang.
“Heh?”
“Kamu keliatan
resah, sebenarnya ada apa kita ke bandara?”
Tiba-tiba
handphoneku berdering. Kiki.
“Assalamu’alaikum
Ki…”
“Kamu dimana? Zack
sebentar lagi boarding ini… tadi dia buru-buru check in, namun kupanggil dia berulang
kali, katanya selesai check in dia usahakan keluar sebentar… kamu kemari kan?”,
cerocos Kiki tanpa menjawab salamku.
“Lagi di jalan
kesana ni. Zack masih lama gak?”
“Entah lah Nad,
kamu dengan siapa?”
“Kak Dira…”
“Jangan buru-buru,
mudah-mudahan masih sempat bertemu…”
Kututup
pembicaraan dengan perasaan makin
gelisah. Zack, kumohon jangan pergi dulu. Tuhan, beri aku kesempatan bertemu
Zaki sekali lagi. Sebenarnya kenapa begitu tiba-tiba. Apa salahnya
memberitahuku. Apa kamu sudah tak punya nomorku? Ada apa Zack? Sebenarnya apa
yang kau sembunyikan? Perasaanku kacau tiba-tiba. Ada rasa takut yang luar
biasa di dalam hatiku, tapi aku tak mengerti rasa takut apa itu? Hatiku sesak,
kalau begini aku tahu pasti stimulus itu akan segera terkirim ke mata. Aku
menggigit bibir, usaha yang sangat sering dilakukan untuk menahan sesuatu
akhirnya terjadi…
“Nadia…”, panggil
Kak Dira, aku menoleh. Aku sudah tak sanggup berbicara, lidahku mulai kelu.
Perasaan gelisahku semakin menjadi-jadi. Perjalanan yang sebenarnya sudah
sangat cepat (Kak Dira mengemudi sudah hampir mencapai 100km/jam) bagiku masih
10km/jam.
“Ada apa siyh? Kamu
mau ketemu siapa ke bandara?”
“Seseorang Kak! Dan
dia…”, ucapku terputus begitu saja dan kemudian langsung larut lagi dalam
diamku. Tak perlu ku jelaskan, Kak Dira bisa menarik kesimpulan dari
pembicaraanku dengan Kiki tadi bahwa seseorang yang ingin pergi itu akan segera
berangkat.
***
It’s 15 minutes to
get the airport. Sebenarnya di hari biasa itu bisa sangat memecahkan rekor,
tapi tidak hari ini. 15 menit bagiku sangat lama. Aku berlari turun dari mobil
sementara kak Dira masih mencari tempat parkir. Kutelusuri dan kuperhatikan
tiap wajah yang sedang terduduk dibangku bandara maupun yang sedang berdiri,
siapa tahu ada Zack atau Kiki disana. Namun nihil. Tak ada tanda-tanda
sosok-sosok itu. Aku terengah-engah, ketika pundakku disentuh seseorang…
“Zack!!”, ucapku
sedikit keras sambil berpaling. Bukan. Itu Kak Dira.
“Nadia, tenang! Itu
Kiki…”, ucap Kak Dira sambil menunjuk seseorang yang sedang berjalan semakin
pelan kearahku sambil menatapku sangat iba. Perasaanku langsung kacau balau.
Aku tahu ini pasti akan terjadi.
“Nadia, Zack sudah
boarding… Baru saja…”, kalimat itu sedikitnya sudah cukup mengacaukan
pertahanan airmataku. Kini entah mengapa airmataku seperti tak tertahankan. Aku
tak mengerti mengapa aku harus menangis, toh Zack bukan siapa-siapa! Kutahan
butiran bening itu agar tetap dimataku dan tidak terjatuh. Tapi, ini dia yang
dinamakan rasa kehilangan. Ya Rabb, kini aku tahu rasa takut apa itu. Rasa
takut kehilangan.
“Sebelum pergi,
Zack sempat menitipkan ini…”, Kiki menyerahkan selembar kertas yang dilipat
rapi. Aku mendongak, kulihat Kak Dira dan Kiki menatapku iba.
Hei Nadine…
Expectantly, it should shock you that I gotta go back
to France sooner… so sorry enggak kabari kamu, but I think you have a lot of
important things to be prioritized now (hei, you’re gonna get married soon).
I know, I couldn’t say this on this paper but…I have
to (I feel like I am a kind of coward)
Nadine, maybe you know the truth but I don’t hope you
do. Kamu terkadang terlalu polosJ.
I say, Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir
…
One last words, this is not goodbye…
Wassalam,
Zaki
Seluruh tubuhku
bergetar. Kini aku benar-benar kacau.
Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir… My
eyes are not too narrow to see you…
Ini pernyataan
Zack. Ungkapan perasaannya. Dan itu untukku. Ini perasaan yang paling kutakuti
selama ini. Perutku semakin tak enak karena sekuat tenaga aku masih berusaha
menahan bening-bening itu. Aku berusaha keras menelan stimulus ingin berlinang
airmataku dan berusaha menggigit bibir. Sakit yang kurasakan ketika bibirku
berdarah tidak seperih rasa ini. Iya, kini aku tahu rasa apa ini. Rasa
kehilangan.
“Benar! Zaki
benar-benar telah pergi…”, ucapku dengan suara tak jelas.
“Nadia, jangan-jangan perkiraanku dan Naisya selama ini
benar tentang Zack dan kamu...”, ucap Kiki dan aku hanya menjawab dengan diam.
Ternyata Kiki dan Naisya memang telah memprediksi
semuanya. Dia raih kertas itu
dan membacanya. Menit selanjutnya, dia hanya bisa menatapku. Sangat iba. Aku
tak tahu apa yang ada dibenaknya sekarang, apa Kiki juga tahu tentang ini
semua? Tentang perasaan Zack?
***
Sepanjang
perjalanan pulang aku hanya memilih diam. Kiki sangat mengerti. Mungkin selain
Naisya, Kiki lah yang paling tahu bagaimana perjalananku dengan Zack. Aku
memilih diantar pulang Kiki. Kak Dira yang sedari tadi penasaran, dijanjikan
sebuah penjelasan oleh Kiki dan akhirnya dia dengan berat melepaskanku pulang
dengan Kiki.
Diam mungkin yang
paling bisa membuatku tenang sekarang.
“Nadia, kita udah
sampai!”
Aku bahkan tak
sadar kini kami sudah tepat berada di depan rumahku. Seluruh penglihatanku
seperti sama dan pada satu titik. Betapa memprihatinkannya aku. Siapa lelaki
itu? Hingga bisa membuatku merasa kehilangan begini? Calon suami yang
berselingkuh saja tak kuhitung lagi dalam daftar orang yang paling penting,
tapi Dzaki Ar-Rafa??
Kiki pulang setelah
berpamitan dengan ayah dan mamak, sedang aku dengan tampang menyedihkan masuk
ke kamar. Aku tahu, ayah dan mamak pasti sebelumnya menginterograsi Kiki
terlebih dahulu sebelum membiarkannya pergi. Aku sudah tak bisa peduli.
Aku sangat
bersyukur ketika akhirnya azan Ashar berkumandang. Aku benar-benar ingin
menghadap padaMu Allah, ada sesuatu yang harus ku ungkapkan. Tepatnya aku ingin
menangis. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku tersadar. Tuhan, aku sedang
haidh. Bagaimana aku bisa menemuiMu. Ya Allah, seketika itu pertahananku roboh.
Tubuhku bergetar hebat. Air mata yang sedari tadi tertahan dan menjadi
bening-bening kaca di mataku kini mulai banyak. Aku menangis sejadi-jadinya.
Sesenggukan aku menuju tempat tidurku.
Didalam tangisku
aku memohon ampun. Aku begitu tak pantasnya menangisi ini semua. Dan diakhir
tangisku aku pun terlelap dan bermimpi…
Sekilas aku melihat Zack. Benar itu Zack.
“Zack!! Tunggu!”, kupanggil dia.
Tapi Zack seperti tak mendengar. Dia acuh. Faktanya
selama ini, dia begitu perhatian. Kuulangi terus menerus, tapi Zack terus
berjalan meninggalkanku. Dia menggenggam tangan seseorang. Perempuan. Hatiku
perih. Tapi apa pantas? Toh, selama ini kami hanya teman saja.
Aku berjalan cepat kearahnya.
“Zack!”, panggilku lagi ketika jarak kami tinggal
beberapa langkah.
Lelaki yang kuanggap Zack itu berpaling, begitu juga
si perempuan. Betapa terkejutnya aku. Itu Faisal dan Vina.
Dan aku terkejut.
Terbangun dari tidurku. Aku haus.
***
“Kak Nadia udah
pulang mak?”, itu suara Naisya.
“Udah! Tadi mamak
liat ketiduran dikamarnya. Abis nangis sepertinya”, jawab mamak.
Ketika aku ingin
mengambil air karena kehausan setelah menangis dan bermimpi lumayan aneh, aku
mendengar percakapan itu. Biasanya aku hanya keluar saja dan ikut bergabung,
namun kali itu kakiku seperti tercegah untuk melangkah.
“Oia? Ada apa mak?”
“Entahlah, kata
Kiki ketika ketemu di bandara memang sudah agak terlihat kacau wajahnya…”
“Bandara? Ngapain?”
“Zaki pulang ke
Perancis hari ini!”, itu suara ayah. Kenapa ayah bisa tahu?
“Bukannya bulan
depan jadwalnya?”
“Ayahnya sakit,
jadi harus segera terbang kesana…”, sambung ayah. Oia? Zack, kenapa tak
beritahu aku?
“Ayah tahu banyak
sepertinya…”, ujar Naisya.
“Sebenarnya tadi
pagi Zaki datang untuk pamit sepersekian menit setelah Nadia pergi…”, sambung
mamak. Aku terkejut. Dia pamit kepada orang tuaku tapi dia bahkan tidak
menelpon atau sms aku. Zack, ada apa sebenarnya?
“Jadi gak sempat
ketemu Kak Nadia?”
“Enggak, Zaki
sepertinya memang tak beritahu Nadia…”
“Oia? Berarti tidak
ketemu dibandara juga?”
“Kata Kiki begitu…”
“Ayah,
mamak…sepertinya ada yang Naisya dan Kak Nadia enggak tahu ya? Apa itu yah?”,
pertanyaan Naisya yang tiba-tiba itu mengejutkanku. Apa maksudnya? Apa dia tahu
sesuatu? Apa ayah dan mamak menyembunyikan sesuatu? Jantungku mulai berdetak
kencang lagi.
“Kamu ngomong apa?”jawab
mamak. Jeda sejenak. Bagiku jeda itu begitu lama.
“Memang benar, Nak!
Ada sesuatu yang kamu dan Nadia tidak tahu… Terlebih lagi Nadia ”, akhirnya
ayah jujur.
“Boleh Naisya tahu,
ayah?”
Jeda lagi.
“Ini tentang Zaki…”
***
Mungkin semua
makhluk dijagad ini yang bisa melihatku sekarang akan mengasihaniku. Perempuan
malang. Sangat malang. Aku yang dikhianati calon suami yang tega-teganya
berselingkuh, kini harus menghadapi kenyataan ditinggal seorang teman baik.
Lelaki charming yang selalu berusaha ada ketika aku butuh. Lelaki yang dulu
diawal pertemuanku dengannya kuanggap seperti sebuah bintang yang tak akan
pernah bisa kuraih. Dan kini, lelaki yang baru beberapa detik lalu kutahu
ternyata menyimpan rasa padaku.
“Kamu mungkin masih ingat hari itu ketika Zaki datang
dan dia berencana ingin bertemu Nadia, ingin berbicara serius tentang
perasaannya”.
“Perasaannya? Jangan-jangan perkiraan Sya benar kalau
Zaki…”
“Iyya Naisya, Zaki mencintai kakakmu, Nadia. Sejak
diawal pertemuan mereka. Ayah tak tahu jelasnya kapan, dia menyinggung toko bahan kue, masjid lampineung bahkan di persimpangan BPKP… Zaki seolah menyimpan
semua memori pertemuannya dengan Nadia.”
“Bagaimana ayah bisa tahu?”
“Zaki sebenarnya sudah akan pamit pulang ketika siang
itu Nadia belum juga kembali. Namun, belum beberapa lama, dia kembali lagi.
Ketika kami bertanya, dia berkata ada sesuatu yang ingin dia sampaikan serius
ada kami…”
“Apa itu Ayah?”
“Dia melamar
kakakmu!”
“MasyaAllah.SubhanAllah! Serius ayah?”
“Iyya. Kami juga awalnya tak menganggapnya serius.
Kata Zaki, memang rencana awal dia hanya ingin mengungkap niatnya pada Nadia
dan setelah itu baru kepada ayah dan mamak, tapi entah mengapa dia merasa saat
itu adalah saat yang tepat…Apalagi mungkin dia memang berniat pulang ke
Perancis segera”
“Terus ayah dan mamak jawab apa?”
“Naisya, kakakmu dalam pinangan orang lain. Mungkin
kalau lelaki itu bukan Zaki, ayah akan langsung berbicara blak-blakan, tapi ini
Zaki…”
“Iya, mamak dan ayah seperti tertahan untuk berbicara
sejujurnya. Karena sebenarnya kami tak tahu kalau Zaki tidak tahu Nadia sudah
bertunangan dan akan segera menikah…”
“Jadi, Zaki tak tahu? Ayah dan mamak juga tak
memberitahunya saat itu?”
“Memang salah dan sekarang ayah menyesal telah sangat
menyakiti Zaki. Tapi ketika itu, kami tak sanggup mematahkan semangatnya… ayah
bilang supaya Zaki mengatakannya dulu kepada Nadia…”
“Terus?”
“Tadi Zaki datang dan tanpa ditanya pun dia langsung
bilang, “Ayah, mamak, Zaki telat!”. Rasanya begitu sakit melihat wajah dengan
senyum perih itu”
“Ayah sampai memeluknya, meminta maaf…”
“Tak berapa lama, Zaki pamit…”
Kini bening-bening
itu seperti air bah. Jatuh bukan dalam bentuk tetesan lagi. Airmataku kini
sudah tak bisa diajak kompromi. Aku benar-benar sesenggukan kali ini. Aku
menyesali perkiraanku. Aku menyesali hari itu keegoisanku ingin berbicara
terlebih dahulu, membiarkan niatnya mengungkapkan perasaannya menguap dalam
keperihan hatinya. Ya Allah, kini aku merindukannya. Aku mohon maaf, tapi aku…
Kini aku menjadi pungguk yang tak merindukan bulan lagi, tapi pungguk yang
telah kehilangan bulan… Zack… Iyya... The moon is gone, and I am alone...
***
“Kak, ada tamu
tuch!”, ucap mamak selesai mengetuk pintu kamarku.
“Siapa mak?”
Mamak hanya tersenyum
dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Kuraih jilbab dan mengikuti langkah
mamak ke ruang tamu.
Jangan tanya
bagaimana perasaanku sekarang. Galau. Ya, aku benar-benar sedang galau (dan
kini aku tahu bagaimana rasanya galau itu, dan ternyata tidak enak sama sekali.
Heran, kenapa bisa jadi happening ya kalau sama sekali tidak menyenangkan?).
Aku menuju ruang
tamu dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat siapa tamu yang datang itu.
Seseorang yang sudah sangat aku kenal dan aku sayangi. Ummi. Iya, Ummi datang
bersama suaminya juga lelaki itu, Bang Faisal. Tak ada perasaan benci atau
apalah ketika aku melihat lelaki itu, yang kurasakan hanya perasaan terbebas dari
segala beban. Tak ada lagi yang perlu aku simpan sendiri, akhirnya semua
mendapatkan solusinya. Kesedihanku bukan karena dia.
Mereka menoleh
ketika aku sudah berdiri diruang tamu. Ketiganya bangun dengan wajah yang bisa
kuanggap menyesal. Aku berjalan perlahan menuju mereka dan mulai menyalami satu
persatu (beginilah adat kami memuliakan orang lain di Aceh). Dan aku sedikit
terkejut, ketika akhirnya aku mencium tangan Ummi, wanita itu menarikku kedalam
pelukannya. Tidak Allah, wanita ini menangis. Terisak-isak.
“Nadia… Ummi minta
maaf… seandainya saja Um..Ummi tidak memaksakan pertunangan ini, kamu tentu
tidak akan seperti ini…”, ucapnya sambil terus menangis.
Apa? Memaksakan?
Jadi ini maksudnya? Akhirnya semua jawaban istikharahku jelas. Aku merasa
sangat bodoh. Ternyata Allah sejak dulu telah memberiku jawaban, namun aku
tidak bisa membacanya. Ummi yang begitu menginginkanku sebagai pendamping
anaknya, bukan Bang Faisal sendiri. Iyya, selama ini dia yang begitu
memperhatikanku dan menyayangiku, tidak anaknya.
Aku merasa sangat
berdosa. Tak terasa butiran bening itu juga mulai menghiasi mataku. Kubelai
punggung itu.
“Ummi, gak perlu
minta maaf. Nadia enggak apa-apa kok Ummi, semuanya baik-baik saja. Allah
memang sudah menggariskan seperti ini. Kalau pun akhirnya Nadia tidak berjodoh
dengan Bang Faisal, kita tetap akan jadi saudara. Ummi tetap Nadia anggap
seperti ibu Nadia sendiri…”, aku tak menyangka ucapanku yang kuniatkan agar
wanita ini tenang malah semakin membuatnya terisak.
“Nadia… Kamu anak
baik, Nak! Semoga kamu mendapatkan yang terbaik ya sayang. Ummi yakin dan
selalu mendoakan Nadia…”, ucapnya sambil kemudian mencium pipi kanan dan
kiriku. Ada rasa haru yang luar biasa.
Kulirik lelaki itu
dan dia hanya menunduk. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Mungkin
dia menyesal atau bahkan dia bahagia karena telah lepas dari beban ini. Ah…itu
sudah bukan urusanku lagi. Yang jelas, aku tahu perasaanku padanya juga hanya
sebuah fatamorgana yang menghalangiku akan perasaanku yang sebenarnya pada
seseorang itu. Lelaki yang selama ini kuanggap sebagai “bulan” yang tidak akan
pernah bisa kugapai, hingga aku benar-benar tak peduli dengan apa yang
kurasakan padanya. Zack… maafkan aku. Aku tak menyalahkan siapa-siapa hingga
aku harus kehilangan kesempatan itu. Iya, kehilangan kesempatan bersamamu.
***
Dua bulan berlalu…
I am leaving to the
States.
Semuanya memang
sudah berakhir. Pertunanganku putus. Pernikahanku gagal. Lelaki yang akhirnya
kutahu menyimpan rasa padaku telah pergi. Tak ada kabar darinya.
Dan sebelum aku pergi, aku berkata pada orang tuaku
agar jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja, jika saja Naisya
memang harus melangkahiku ketika aku masih di States, then just do it. I am
fine. Really. Semuanya mengangguk dan aku tahu mereka hanya menjaga perasaanku.
Semuanya masih sangat jelas bagiku. Aku hanya seperti pemeran protagonist dalam
sebuah drama yang gagal bertemu seseorang yang dicintainya ketika dia pergi.
Dan kini semua lebih terasa jelas ketika tak ada kabar sama sekali dari lelaki itu. Aku telah
benar-benar kehilangan dia.
Dan butiran bening itu seakan tak tertahan ketika akhirnya Garuda mengajakku membelah langit menuju the States...
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar