Jumat, 17 Februari 2012

Plot And Me 10 - "My Eyes are not too Narrow to See You"


“Tidak kembali lagi? Dalam rangka apa pulang?”, Tanya mamak. Zack tersenyum.

“Visa saya sebagai visitor habis bulan depan, Mak. Then I have to go back. Mungkin kalau kembali, tidak dalam waktu dekat, karena harus mengurusi kerjaan juga…”

Aku hanya bisa diam. Ada sedikit rasa tidak enak menyerang pikiranku. Zack yang selesai menyuapkan sendok selanjutnya kini mendongak, dia seperti sadar bahwa aku sedang memperhatikannya. Zack tersenyum sekilas dan kembali sibuk dengan makanannya.

***

“Eh kak! Kelihatan banget kan ayah senang sama Zack, mamak juga…”

“Iya…”, jawabku seadanya ketika bersama Naisya membereskan meja makan. Para lelaki sedang berwhudu untuk shalat berjamaah.

“Hei, kamu kenapa Kak?”

“Heh? Enggak!”

“Yee..aku tahu,kamu pasti sedih kan karena gak sempat ngundang Bang Faisal, hehe. Aku aja nyuri-nyuri tuch. Mamak sama ayah kan memang sengaja mau ngundang Zack seorang”

“Ah, enggak kok! Biasa aja!”, kini Naisya sedikit terpana.

“Jadi? Kok kamu kelihatan kurang semangat gitu… Oh, aku tahu. Kamu sedih kan ketika tahu Zack mau balik ke Perancis? Ayo ngaku!”, Naisya-Naisya, kapan siyh kamu gak baca pikiranku sekali saja. Aku tersenyum.

“Udah ah! Whudhu sana!”

***

Kulihat Zack sedang asik bersama ayah di kebun. Naisya sedang mengantar Evan ke depan. Aku pun duduk di pondok menikmati udara sejuk di hari libur ini.

“Ini jambu!”, suara itu mengangetkanku.

“Dzaki Ar-Rafa!”, ucapku sedikit besar. Dia terkekeh dan duduk disampingku. Aku mengambil jambu yang disodorkannya.

“Apa artinya?”

“Heh?”

“Namamu itu. Artinya apa?”

“Oh… kamu selalu ingin tahu yaa Nadine! Dzaki Ar-Rafa artinya Lelaki yang pintar dan bermartabat…”

“Nice!”

“It is, hehe”, ucapnya sedikit kesusahan karena sedang mengunyah jambu.

“Zack, kenapa tak bilang mau balik ke Perancis?”, Zack kini menoleh.

“Kamu kan gak nanya, iya kan?”

“You’re not creative! The same answer for different questions!”, Zack tertawa.

“That’s what we call creative and efficient! Haha. Dulu aku kan pernah bilang kalau aku itu visitor, mungkin kamu lupa or even you didn’t care when I told you…”

“Jadi benar bulan depan?”

“Iya, Nadine…”

“Oh…”

“Why? Kamu sedih gak? hehe”

“Sedikit”

“Oh…”

Kini jeda melanda kami. Aku hanya menunduk. Zack sibuk dengan sebuah jambu ditangannya. Dua bulan ke depan aku juga akan segera menikah. Zack pastinya tidak bisa hadir. Tunggu-tunggu, Zack tahu tidak kalau aku…?

“Zack…”

“Nadia…”

Panggil kami bersamaan. Kemudian saling menoleh dan tersenyum.

“Aku dulu yaa yang bicara?”, pintaku kurang sopan, hehe.

“Impolite! Biasanya menawarkan orang terlebih dahulu is better”, ucapnya sambil geleng-geleng. Aku tertawa.

“Sama kamu aja pun! Lagian, kalau gak langsung disampaikan nanti aku kelupaan… boleh yaa?”

“Oke, go ahead!”

“Zack, apa kepulanganmu tidak bisa ditunda?”

“Kenapa? Kamu juga berangkat masih tiga bulan ke depan kan?”

“Bukan karena itu…”

“Terus? Apa kamu…?”, kini Zack sedikit memutar badannya hingga mengarah kepadaku.

“Zack, mungkin aku akan menikah…!”, ucapku agak ragu-ragu dan sedikit menekankan dikata-kata “mungkin”.

“Excuse me?”

“Aku menikah bulan Oktober, apa kamu tidak bisa tunda kepulanganmu sampai aku menikah?”, kini aku melihat kearah mata itu. Ada sedikit… apa aku? Tidak, itu bukan karena…

“Jadi kamu akan menikah?”, kini Zack sedikit menunduk.

“Iya…”

“Dengan?

“Kamu masih ingat gak, lelaki yang kukenalkan padamu di toko buku beberapa waktu lalu?”

“Faisal? Dengan lelaki itu?”, aku mengangguk. Tapi suara Zack sedikit meninggi.

“Kenapa?”, tanyaku.

“Hmm…tidak!”, kini Zack kembali ke posisi semula. Jambunya tak dipedulikannya lagi. Dia kelihatan berbeda. Diam. Aku meliriknya, kenapa dia kelihatan tidak senang.

“Zack…”

“Iya…”

“Kamu tidak apa-apa kan?”, kini wajah itu terlihat mengulum senyum. Jeda. Aku bahkan sudah tak berani melihat kearahnya. Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini. Kenapa Zack seperti…? Ah… perasaanku saja.

“Hehe…tapi tadi kan katamu masih “mungkin”, jadi gak masalah donk kalau aku tak hadir…”, ucap Zack. Aku tahu dia bercanda, tapi entah kenapa perasaanku langsung tidak enak.

Ya Allah… apa pernikahan itu masih mungkin kalau hanya dilandasi kebohongan? Entahlaah… aku ini tercipta dari apa siyh? Kenapa bahkan untuk diriku sendiri saja aku tak merasa kasihan. Ini pernikahan, dan semua orang mengharapkannya untuk sekali seumur hidup. Apa aku masih terlalu takut ketika orang-orang merasa iba padaku? Peranku benar-benar protagonist yang malang. Ah..Nadia.

“Hei… Nadine! Sorry, I just make a joke…”, ucap Zack sambil melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku melihat kearahnya dan tersenyum.

 “Jangan dianggap serius. Yang jelas, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu… Kalau pun aku tak bisa hadir di hari bahagiamu, aku selalu mendoakanmu…”, ucap Zack dengan mimik yang sangat serius.

“Zack… makasih banyak yaa…”

“Makasih? For?”

“Everything…”

“Haha… Do I give you a lot? Ah…You put a little bit much on that, jadi gak enak…”, aku terkekeh mendengar kata-kata Zack. Tapi Alhamdulillah, dia sudah bisa bercanda lagi.

“Hei… pasangan ini selalu saja berdua-duaan, pinter sekali memanfaatkan kesempatan, hati-hati jatuh cinta lho!”, suara itu. Ihh… kata-katanya itu lho! Mesti diajarin redaksi kata-kata nih anak. Dasar Naisya. Aku jutek namun sebaliknya Zack malah tertawa.

“If we fall in love, then what? Are you jealous?”, Tanya Zack. Dan kini giliranku yang terkekeh sedikit mengejek. Dan kulihat Naisya tenang-tenang saja. Kok bisa?

“Waah… mohon maaf ini Mr. Zaki, tapi anda sedikit telat hadir dalam kehidupan saya. Terlanjur ada Evan disini…”, ucap Naisya sedikit sombong sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Yaah…walau tak dipungkiri banyak perempuan, tua muda, kaya miskin yang mengagumimu, tapi mohon maaf Zack, it’s been late for us…”, Hah?

“I am going crazy!”, ucapku dengan ekspresi bengong dan sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal sama sekali! Ke-pe-de-an amat si Naisya… Zack tertawa.

“I know…, haha”, ucap Zack masih dengan sisa tawanya.

“Zack, besok free gak? Kita tamasya yuk?”, ajak Naisya semangat sambil duduk disamping Zack. Aku cekikikan, dasar Naisya.

“Tamasya??”, Tanya Zack dengan mimik bingung dan lagi-lagi aku paling suka ekspresi dia kalau lagi begini, menggemaskan. Zack pasti tidak tahu kosa kata itu.

“Ooh..kamu tidak tahu yaa? Hmm…apa ya bahasa inggrisnya?”, Tanya Naisya pada dirinya sendiri, aku masih terus cekikikan, karena sudah dua wajah yang kelihatan bingung di depanku.

“Apa ya kak?”, Tanya Naisya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Picnic…”

“Oh iya, picnic Zack… will you?”, ucapnya dengan bahasa inggris dengan wajah yang sangat percaya diri.

“Ooukey!”, ucap Zack sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Lho?? Apa-apaan ini? Aku gak ditanya mau ikut atau enggak? Gak sopan!!


***

It’s 6.30 in the morning.

Zack… uupss, Zaki is coming. Oh no! he is coming! Kami masih belum selesai. Kiki dan Evan juga belum sampai.

Zack datang bersama sepupunya Vanessa. Ayah menyambut mereka. Zack mencium tangan Ayah. Ya Allah...pemandangan itu sungguh menyejukkan perasaanku. Kulihat mereka menuju ke kebun belakang dan itu kini juga telah menjadi tempat favorit lelaki charming itu. Dia benar-benar telah membuat Ayahku benar-benar nyaman, dan mungkin juga Mamak. Keduanya terlihat begitu sering menyebut namanya. Aku terkadang merasa sedikit risih, mungkin aku juga menginginkan kejadian yang sama pada Bang Faisal.

“Kak, jangan sering melamunkan Zack, kadar perasaanmu bisa berubah drastis lho!”, bisik suara itu dan aku sebel, ketika Naisya sudah mulai ikut campur dalam pikiranku.

“Sudah beres belum? Evan sudah datang?”, tanyaku jutek dan berusaha tidak melihat kearahnya. Naisya terkekeh.

“Pinter sekali kamu mengalihkan... Tapiiii...Evan udah dari datang tuch, kamu aja melamun...”

Dan benar saja kekasih adikku itu sudah berada di pintu depan. Kenapa aku gak liat yaa?


***

Semua perlengkapan dan makan sudah diangkat semua. Aku dan Naisya sedang beres-beres, ketika adikku itu dipanggil Evan. Kiki sedang bermain dengan Vanessa didekat pantai. Berlari kesana kemari. Satu hal yang membuatku haru, gadis ababil itu penyayang anak-anak. Semua anak-anak senang bersamanya kecuali Aisha, hehe. Zaki?? Setelah selesai angkat-angkat, dia langsung menuju pantai. Sibuk dengan kamera DSLRnya. Dia pahatan sempurna yang serasi bersandingan dengan alam Tuhan yang indah itu. Mungkin sudah biasa kalau kukatakan dia charming. But he’s more than that now. Ya iyalah, dia memang bule, walaupun ayahnya Chinese  tapi ibunya Perancis tulen. Tiba-tiba seseorang merusak lamunanku…

“Hei, hati-hati! Jaga pandangan! Peluang jatuh hati sama Zaki besar banget lho Kak! Hehe…”, aku sedikit merengut. Dasar Naisya!!! Aku memang selalu kecolongan kalau sama dia.

“Kamu tuch yaa?? Gak pinter, selalu kecolongan, syukur aku yang sadar, coba kalau Zaki, gimana coba?”

“Hehe…”, aku terkekeh. Naisya geleng-geleng kepala.

“Kak, Sya sama Evan pergi sebentar yaa?”

“Kemana?”

“Tadi kakaknya Evan yang di Keudeubing telpon katanya ada banyak ikan dirumahnya, sekalian Binar mau ikut kemari, kan pas banget ada kawannya Vanessa…”

“Oke, gimana perginya?”

“Tuch Evan lagi minjam mobilnya Zaki…”

“Oke”

“Eh, kutinggalin sama Zaki, gak apa-apa kan?”, tanya Naisya sambil mengedipkan matanya.

“Maksudnya?”

“Siapa tahu kamu nanti salah tingkah sampai…”

“Hei, berapa lama kita sudah kenal sama Zaki… memang baru sekali ini aku berdua dengannya?”

“Hehe, kamu kan terkadang tak bisa diprediksi Kak, becanda ding!!”
Aku melotot. Naisya terkekeh.


***

Naisya dan Evan pergi. Kiki dan Vanessa entah kemana. Waduu… tinggal aku dan Zaki. Dia masih sibuk dengan DSLRnya, dalam hati aku bersyukur dan terus memohon, Zaki tidak kembali kepondok sebelum yang lain nongol. Lha, kenapa aku jadi grogi sendiri begini yaa??? Ini pasti gara-gara Naisya, jadinya aku jadi bersugesti macam-macam gini. Kubuang perasaan dan pikiran tak beralasan itu jauh-jauh. Sementara itu aku mulai menyibukkan diri mengupas buah-buahan.

Dua menit berlalu. Aku mendongak mencari sosok itu, namun yang ketemui malah sesosok yang sedari tadi mulai ku hindari sedang mengarahkan kameranya kearahku. Can you imagine, he is taking my picture!!

“Eiits! Sekali potret, 5 juta!!”, ucapku sambil memasang wajah dan ekspresi seolah selebritis yang tak mau dipotret dengan tangan kearah muka. Zaki tertawa.

“Murah banget harga kamu!”

“Happpaaa?? 50 juta dech sekali potret, hehe”, ujarku selanjutnya. Aku berusaha menutupi kenervousanku dengan cara ini.

“Who is taking your picture?”

“Don’t you?”

“No way! It’s just an action, you know, hehe!”

“Whatever!”

Kini Zaki duduk menghadap ke pantai. Aku melanjutkan kegiatanku.

“Kamu ngapain?”, tanyanya tak mengubah pandangannya kearah pantai.

“Ngupas buah! Just try some!”

“May I?”, aku mengangguk. Zaki sengaja tak mengambil apel atau buah yang kurasa sudah sering dia temui. Mangga, semangka, belimbing, Nenas. Dan yang paling dia suka mangga.

“How is it? Nice?”

“Great!”, ucapnya sambil tersenyum. Aku dengan senang hati membalas senyuman itu.

Pagi itu memang pantai belum kelihatan ramai. Apalagi pagi-pagi banget gini. Awalnya hanya kami yang berada di pondok ini, namun berselang menit sepasang muda-mudi datang. Kulihat Zaki memperhatikan mereka. Gimana enggak? Mesranya luar biasa, melebihi suami istri dan aku dengan keyakinan sangat merasa mereka belum ada ikata apa-apa. Zaki kemudian tersenyum. Aku selesai dengan kegiatanku dan mengelap tanganku.

“Kenapa senyam-senyum?”, tanyaku dan sambil bersandar di pondok di sampingnya.

“Hah? Nothing!”

“Teringat masa remaja dulu yaa?”

“Pardon?”

“Masa-masa jatuh hati pertama kalinya, pacaran dan …”

“Did you?”

“Lah, malah nanya…hehe. Enggak, I have never had a date! Kasihan banget kan? Haha”, kini mata itu sedikit terpana namun berakhir dengan senyum.

“Who says so? Bagus donk kalau gak pernah!”, Hah? Apa aku gak salah dengar?

“Jadi penasaran, gimana kamu ngungkapin perasaan…”, Zaki kini menoleh lagi.

“Gombal gak yaa?”, sambungku.

“Guess, how?”, tantangnya. Aku tertawa.

“Hmm…gimana yaa? Ehem… Vous e’tes beau. I can’t live without you. Je t’aime!”, ucapku dengan bahasa perancis belepotan. Zaki tertawa renyah. Aku tahu banyak pengucapanku yang salah pastinya.

“Haha, you put a little bit much on that, you know!! Terlalu berlebihan,  I can’t live without you? Jadi kalau kamu mati aku juga ikut mati, Haha” ujarnya.

“Oia? Kalau gini… Vous e’tes beau. Je t’aime. Serait ma fille?”, aku terlalu pe de dan bangga sendiri, ternyata tak sia-sia les bahasa Perancisku selama 3 bulan lalu. Walaupun, aku tahu pasti banyak kesalahan, terutama dalam pengucapan. Namun, lagi-lagi Zaki hanya terkekeh.

“Yang itu biasa saja! Hehe”, ucapnya kemudian.

“Oia? Terus gimana?”, Zaki kini menoleh lagi. Senyumnya sedikit memudar.

“Really wanna know?”, tanyanya kini sedikit serius. Aku mengangguk saja, toh, aku memang penasaran. Kini wajah itu berubah serius, dia bergerak sedikit hingga kini sedikit berhadapan denganku. Tatapannya yang lembut kini menjadi lebih intens. Dan bisa dibayangkan sendiri, apa yang berkecamuk dalam hatiku sekarang. Aku grogi. Sangat. Tapi, aku tak kuasa melepas pandanganku kearahnya.

“Quand je t’ai vu, j’ai dit a’ mon auto que…”, ucapannya berhenti sebentar. Kini kami memang saling berpandangan. Aku benar-benar merasakan aura dimana seseorang sedang mengungkapkan perasaannya kepadaku, walaupun aku tak mengerti apa yang sedang diucapkannya.

“Mes yeux ne sont pas trop etroites de vous voir…!”, sambungnya kemudian tersenyum sangat manis. Dalam hatiku bersyukur, walaupun ini hanya sekedar reka ulang, yang jelas aku merasakan suasana romantis disana. Aku tersenyum seolah aku tahu apa yang diucapkannya.

“Artinya apa?”, tanyaku polos dan kini senyum itu berubah tawa yang renyah.

“Waah, kalau begini ceritanya, romantisnya bisa lenyap, hehe…”, ucapnya.

“Zack, seriously! Artinya apa?”, paksaku. Zack yang kini sudah kembali menikmati pantai, menoleh kearahku lagi. Dan lagi-lagi menatapku dengan pandangan yang sama.

“Artinya…”, ucapnya dan kini pandangan itu semakin... aku benar-benar seperti seorang perempuan yang sedang menunggu ungkapan kata-kata itu... I get that feeling, detakan jantungku kini sedikit lebih berirama, namun aku tak ingin melepas pandanganku kearahnya...

“When I first saw you, I told myself that…”, Zack kembali berhenti... dan aku semakin penasaran...

“That?”

“My eyes are not too narrow to see you!”

Aku terpana...

Aku sangat mengerti ini bukanlah sebuah drama romantis. Tapi aku merasakan suasana itu, aku merasakan seolah waktu berjalan begitu lambat dan tentunya tatapan itu hanya milikku... Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang ku dengar...

Semuanya seolah mengabur, suara angin seolah irama musik yang sangat romantis... deru ombak semakin mengikuti irama yang beraturan, semuanya seolah dibayar oleh Zack untuk membuat suasana yang luar biasa ini. Ada perasaan... yang aku sendiri tak mengerti... Is it real? Apakah kata-kata itu untukku?


to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar