“Tidak kembali lagi? Dalam rangka apa
pulang?”, Tanya mamak. Zack tersenyum.
“Visa saya sebagai visitor habis bulan
depan, Mak. Then I have to go back. Mungkin kalau kembali, tidak dalam waktu
dekat, karena harus mengurusi kerjaan juga…”
Aku hanya bisa diam. Ada sedikit rasa tidak
enak menyerang pikiranku. Zack yang selesai menyuapkan sendok selanjutnya kini
mendongak, dia seperti sadar bahwa aku sedang memperhatikannya. Zack tersenyum
sekilas dan kembali sibuk dengan makanannya.
***
“Eh kak! Kelihatan banget kan ayah senang
sama Zack, mamak juga…”
“Iya…”, jawabku seadanya ketika bersama
Naisya membereskan meja makan. Para lelaki sedang berwhudu untuk shalat
berjamaah.
“Hei, kamu kenapa Kak?”
“Heh? Enggak!”
“Yee..aku tahu,kamu pasti sedih kan karena
gak sempat ngundang Bang Faisal, hehe. Aku aja nyuri-nyuri tuch. Mamak sama
ayah kan memang sengaja mau ngundang Zack seorang”
“Ah, enggak kok! Biasa aja!”, kini Naisya
sedikit terpana.
“Jadi? Kok kamu kelihatan kurang semangat
gitu… Oh, aku tahu. Kamu sedih kan ketika tahu Zack mau balik ke Perancis? Ayo
ngaku!”, Naisya-Naisya, kapan siyh kamu gak baca pikiranku sekali saja. Aku
tersenyum.
“Udah ah! Whudhu sana!”
***
Kulihat Zack sedang asik bersama ayah di
kebun. Naisya sedang mengantar Evan ke depan. Aku pun duduk di pondok menikmati
udara sejuk di hari libur ini.
“Ini jambu!”, suara itu mengangetkanku.
“Dzaki Ar-Rafa!”, ucapku sedikit besar. Dia
terkekeh dan duduk disampingku. Aku mengambil jambu yang disodorkannya.
“Apa artinya?”
“Heh?”
“Namamu itu. Artinya apa?”
“Oh… kamu selalu ingin tahu yaa Nadine!
Dzaki Ar-Rafa artinya Lelaki yang pintar dan bermartabat…”
“Nice!”
“It is, hehe”, ucapnya sedikit kesusahan
karena sedang mengunyah jambu.
“Zack, kenapa tak bilang mau balik ke
Perancis?”, Zack kini menoleh.
“Kamu kan gak nanya, iya kan?”
“You’re not creative! The same answer for
different questions!”, Zack tertawa.
“That’s what we call creative and
efficient! Haha. Dulu aku kan pernah bilang kalau aku itu visitor, mungkin kamu
lupa or even you didn’t care when I told you…”
“Jadi benar bulan depan?”
“Iya, Nadine…”
“Oh…”
“Why? Kamu sedih gak? hehe”
“Sedikit”
“Oh…”
Kini jeda melanda kami. Aku hanya menunduk.
Zack sibuk dengan sebuah jambu ditangannya. Dua bulan ke depan aku juga akan
segera menikah. Zack pastinya tidak bisa hadir. Tunggu-tunggu, Zack tahu tidak
kalau aku…?
“Zack…”
“Nadia…”
Panggil kami
bersamaan. Kemudian saling menoleh dan tersenyum.
“Aku dulu yaa
yang bicara?”, pintaku kurang sopan, hehe.
“Impolite!
Biasanya menawarkan orang terlebih dahulu is better”, ucapnya sambil
geleng-geleng. Aku tertawa.
“Sama kamu aja
pun! Lagian, kalau gak langsung disampaikan nanti aku kelupaan… boleh yaa?”
“Oke, go
ahead!”
“Zack, apa
kepulanganmu tidak bisa ditunda?”
“Kenapa? Kamu
juga berangkat masih tiga bulan ke depan kan?”
“Bukan karena
itu…”
“Terus? Apa
kamu…?”, kini Zack sedikit memutar badannya hingga mengarah kepadaku.
“Zack, mungkin
aku akan menikah…!”, ucapku agak ragu-ragu dan sedikit menekankan dikata-kata
“mungkin”.
“Excuse me?”
“Aku menikah
bulan Oktober, apa kamu tidak bisa tunda kepulanganmu sampai aku menikah?”,
kini aku melihat kearah mata itu. Ada sedikit… apa aku? Tidak, itu bukan
karena…
“Jadi kamu
akan menikah?”, kini Zack sedikit menunduk.
“Iya…”
“Dengan?
“Kamu masih
ingat gak, lelaki yang kukenalkan padamu di toko buku beberapa waktu lalu?”
“Faisal?
Dengan lelaki itu?”, aku mengangguk. Tapi suara Zack sedikit meninggi.
“Kenapa?”,
tanyaku.
“Hmm…tidak!”,
kini Zack kembali ke posisi semula. Jambunya tak dipedulikannya lagi. Dia
kelihatan berbeda. Diam. Aku meliriknya, kenapa dia kelihatan tidak senang.
“Zack…”
“Iya…”
“Kamu tidak
apa-apa kan?”, kini wajah itu terlihat mengulum senyum. Jeda. Aku bahkan sudah
tak berani melihat kearahnya. Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini. Kenapa
Zack seperti…? Ah… perasaanku saja.
“Hehe…tapi
tadi kan katamu masih “mungkin”, jadi gak masalah donk kalau aku tak hadir…”,
ucap Zack. Aku tahu dia bercanda, tapi entah kenapa perasaanku langsung tidak
enak.
Ya Allah… apa
pernikahan itu masih mungkin kalau hanya dilandasi kebohongan? Entahlaah… aku
ini tercipta dari apa siyh? Kenapa bahkan untuk diriku sendiri saja aku tak
merasa kasihan. Ini pernikahan, dan semua orang mengharapkannya untuk sekali
seumur hidup. Apa aku masih terlalu takut ketika orang-orang merasa iba padaku?
Peranku benar-benar protagonist yang malang. Ah..Nadia.
“Hei… Nadine!
Sorry, I just make a joke…”, ucap Zack sambil melambai-lambaikan tangannya
didepan wajahku. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku melihat
kearahnya dan tersenyum.
“Jangan dianggap serius. Yang jelas, aku
selalu mendoakan yang terbaik untukmu… Kalau pun aku tak bisa hadir di hari
bahagiamu, aku selalu mendoakanmu…”, ucap Zack dengan mimik yang sangat serius.
“Zack… makasih
banyak yaa…”
“Makasih?
For?”
“Everything…”
“Haha… Do I
give you a lot? Ah…You put a little bit much on that, jadi gak enak…”, aku
terkekeh mendengar kata-kata Zack. Tapi Alhamdulillah, dia sudah bisa bercanda
lagi.
“Hei… pasangan
ini selalu saja berdua-duaan, pinter sekali memanfaatkan kesempatan, hati-hati jatuh
cinta lho!”, suara itu. Ihh… kata-katanya itu lho! Mesti diajarin redaksi
kata-kata nih anak. Dasar Naisya. Aku jutek namun sebaliknya Zack malah
tertawa.
“If we fall in
love, then what? Are you jealous?”, Tanya Zack. Dan kini giliranku yang
terkekeh sedikit mengejek. Dan kulihat Naisya tenang-tenang saja. Kok bisa?
“Waah… mohon
maaf ini Mr. Zaki, tapi anda sedikit telat hadir dalam kehidupan saya.
Terlanjur ada Evan disini…”, ucap Naisya sedikit sombong sambil menepuk-nepuk
dadanya.
“Yaah…walau
tak dipungkiri banyak perempuan, tua muda, kaya miskin yang mengagumimu, tapi
mohon maaf Zack, it’s been late for us…”, Hah?
“I am going
crazy!”, ucapku dengan ekspresi bengong dan sambil garuk-garuk kepala yang
tidak gatal sama sekali! Ke-pe-de-an amat si Naisya… Zack tertawa.
“I know…,
haha”, ucap Zack masih dengan sisa tawanya.
“Zack, besok
free gak? Kita tamasya yuk?”, ajak Naisya semangat sambil duduk disamping Zack.
Aku cekikikan, dasar Naisya.
“Tamasya??”,
Tanya Zack dengan mimik bingung dan lagi-lagi aku paling suka ekspresi dia
kalau lagi begini, menggemaskan. Zack pasti tidak tahu kosa kata itu.
“Ooh..kamu
tidak tahu yaa? Hmm…apa ya bahasa inggrisnya?”, Tanya Naisya pada dirinya
sendiri, aku masih terus cekikikan, karena sudah dua wajah yang kelihatan bingung
di depanku.
“Apa ya kak?”,
Tanya Naisya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Picnic…”
“Oh iya,
picnic Zack… will you?”, ucapnya dengan bahasa inggris dengan wajah yang sangat
percaya diri.
“Ooukey!”,
ucap Zack sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Lho??
Apa-apaan ini? Aku gak ditanya mau ikut atau enggak? Gak sopan!!
***
It’s 6.30 in the morning.
Zack… uupss, Zaki is coming. Oh
no! he is coming! Kami masih belum selesai. Kiki dan Evan juga belum sampai.
Zack datang bersama sepupunya
Vanessa. Ayah menyambut mereka. Zack mencium tangan Ayah. Ya
Allah...pemandangan itu sungguh menyejukkan perasaanku. Kulihat mereka menuju
ke kebun belakang dan itu kini juga telah menjadi tempat favorit lelaki
charming itu. Dia benar-benar telah membuat Ayahku benar-benar nyaman, dan
mungkin juga Mamak. Keduanya terlihat begitu sering menyebut namanya. Aku
terkadang merasa sedikit risih, mungkin aku juga menginginkan kejadian yang
sama pada Bang Faisal.
“Kak, jangan sering melamunkan
Zack, kadar perasaanmu bisa berubah drastis lho!”, bisik suara itu dan aku
sebel, ketika Naisya sudah mulai ikut campur dalam pikiranku.
“Sudah beres belum? Evan sudah
datang?”, tanyaku jutek dan berusaha tidak melihat kearahnya. Naisya terkekeh.
“Pinter sekali kamu mengalihkan...
Tapiiii...Evan udah dari datang tuch, kamu aja melamun...”
Dan benar saja kekasih adikku itu
sudah berada di pintu depan. Kenapa aku gak liat yaa?
***
Semua perlengkapan dan makan sudah
diangkat semua. Aku dan Naisya sedang beres-beres, ketika adikku itu dipanggil
Evan. Kiki sedang bermain dengan Vanessa didekat pantai. Berlari kesana kemari.
Satu hal yang membuatku haru, gadis ababil itu penyayang anak-anak. Semua
anak-anak senang bersamanya kecuali Aisha, hehe. Zaki?? Setelah selesai
angkat-angkat, dia langsung menuju pantai. Sibuk dengan kamera DSLRnya. Dia
pahatan sempurna yang serasi bersandingan dengan alam Tuhan yang indah itu.
Mungkin sudah biasa kalau kukatakan dia charming. But he’s more than that now.
Ya iyalah, dia memang bule, walaupun ayahnya Chinese tapi ibunya Perancis tulen. Tiba-tiba
seseorang merusak lamunanku…
“Hei, hati-hati! Jaga pandangan!
Peluang jatuh hati sama Zaki besar banget lho Kak! Hehe…”, aku sedikit
merengut. Dasar Naisya!!! Aku memang selalu kecolongan kalau sama dia.
“Kamu tuch yaa?? Gak pinter,
selalu kecolongan, syukur aku yang sadar, coba kalau Zaki, gimana coba?”
“Hehe…”, aku terkekeh. Naisya
geleng-geleng kepala.
“Kak, Sya sama Evan pergi sebentar
yaa?”
“Kemana?”
“Tadi kakaknya Evan yang di
Keudeubing telpon katanya ada banyak ikan dirumahnya, sekalian Binar mau ikut
kemari, kan pas banget ada kawannya Vanessa…”
“Oke, gimana perginya?”
“Tuch Evan lagi minjam mobilnya
Zaki…”
“Oke”
“Eh, kutinggalin sama Zaki, gak
apa-apa kan?”, tanya Naisya sambil mengedipkan matanya.
“Maksudnya?”
“Siapa tahu kamu nanti salah
tingkah sampai…”
“Hei, berapa lama kita sudah kenal
sama Zaki… memang baru sekali ini aku berdua dengannya?”
“Hehe, kamu kan terkadang tak bisa
diprediksi Kak, becanda ding!!”
Aku melotot. Naisya terkekeh.
***
Naisya dan Evan pergi. Kiki dan
Vanessa entah kemana. Waduu… tinggal aku dan Zaki. Dia masih sibuk dengan
DSLRnya, dalam hati aku bersyukur dan terus memohon, Zaki tidak kembali
kepondok sebelum yang lain nongol. Lha, kenapa aku jadi grogi sendiri begini
yaa??? Ini pasti gara-gara Naisya, jadinya aku jadi bersugesti macam-macam
gini. Kubuang perasaan dan pikiran tak beralasan itu jauh-jauh. Sementara itu
aku mulai menyibukkan diri mengupas buah-buahan.
Dua menit berlalu. Aku mendongak
mencari sosok itu, namun yang ketemui malah sesosok yang sedari tadi mulai ku
hindari sedang mengarahkan kameranya kearahku. Can you imagine, he is taking my
picture!!
“Eiits! Sekali potret, 5 juta!!”,
ucapku sambil memasang wajah dan ekspresi seolah selebritis yang tak mau
dipotret dengan tangan kearah muka. Zaki tertawa.
“Murah banget harga kamu!”
“Happpaaa?? 50 juta dech sekali
potret, hehe”, ujarku selanjutnya. Aku berusaha menutupi kenervousanku dengan
cara ini.
“Who is taking your picture?”
“Don’t you?”
“No way! It’s just an action, you
know, hehe!”
“Whatever!”
Kini Zaki duduk menghadap ke
pantai. Aku melanjutkan kegiatanku.
“Kamu ngapain?”, tanyanya tak
mengubah pandangannya kearah pantai.
“Ngupas buah! Just try some!”
“May I?”, aku mengangguk. Zaki
sengaja tak mengambil apel atau buah yang kurasa sudah sering dia temui.
Mangga, semangka, belimbing, Nenas. Dan yang paling dia suka mangga.
“How is it? Nice?”
“Great!”, ucapnya sambil
tersenyum. Aku dengan senang hati membalas senyuman itu.
Pagi itu memang pantai belum
kelihatan ramai. Apalagi pagi-pagi banget gini. Awalnya hanya kami yang berada
di pondok ini, namun berselang menit sepasang muda-mudi datang. Kulihat Zaki
memperhatikan mereka. Gimana enggak? Mesranya luar biasa, melebihi suami istri
dan aku dengan keyakinan sangat merasa mereka belum ada ikata apa-apa. Zaki
kemudian tersenyum. Aku selesai dengan kegiatanku dan mengelap tanganku.
“Kenapa senyam-senyum?”, tanyaku
dan sambil bersandar di pondok di sampingnya.
“Hah? Nothing!”
“Teringat masa remaja dulu yaa?”
“Pardon?”
“Masa-masa jatuh hati pertama
kalinya, pacaran dan …”
“Did you?”
“Lah, malah nanya…hehe. Enggak, I
have never had a date! Kasihan banget kan? Haha”, kini mata itu sedikit terpana
namun berakhir dengan senyum.
“Who says so? Bagus donk kalau gak
pernah!”, Hah? Apa aku gak salah dengar?
“Jadi penasaran, gimana kamu
ngungkapin perasaan…”, Zaki kini menoleh lagi.
“Gombal gak yaa?”, sambungku.
“Guess, how?”, tantangnya. Aku
tertawa.
“Hmm…gimana yaa? Ehem… Vous e’tes
beau. I can’t live without you. Je t’aime!”, ucapku dengan bahasa perancis
belepotan. Zaki tertawa renyah. Aku tahu banyak pengucapanku yang salah
pastinya.
“Haha, you put a little bit much
on that, you know!! Terlalu berlebihan, I can’t live without you? Jadi kalau kamu mati
aku juga ikut mati, Haha” ujarnya.
“Oia? Kalau gini… Vous e’tes beau.
Je t’aime. Serait ma fille?”, aku terlalu pe de dan bangga sendiri, ternyata
tak sia-sia les bahasa Perancisku selama 3 bulan lalu. Walaupun, aku tahu pasti
banyak kesalahan, terutama dalam pengucapan. Namun, lagi-lagi Zaki hanya
terkekeh.
“Yang itu biasa saja! Hehe”,
ucapnya kemudian.
“Oia? Terus gimana?”, Zaki kini
menoleh lagi. Senyumnya sedikit memudar.
“Really wanna know?”, tanyanya
kini sedikit serius. Aku mengangguk saja, toh, aku memang penasaran. Kini wajah
itu berubah serius, dia bergerak sedikit hingga kini sedikit berhadapan
denganku. Tatapannya yang lembut kini menjadi lebih intens. Dan bisa
dibayangkan sendiri, apa yang berkecamuk dalam hatiku sekarang. Aku grogi.
Sangat. Tapi, aku tak kuasa melepas pandanganku kearahnya.
“Quand je t’ai vu, j’ai dit a’ mon
auto que…”, ucapannya berhenti sebentar. Kini kami memang saling berpandangan.
Aku benar-benar merasakan aura dimana seseorang sedang mengungkapkan
perasaannya kepadaku, walaupun aku tak mengerti apa yang sedang diucapkannya.
“Mes yeux ne sont pas trop
etroites de vous voir…!”, sambungnya kemudian tersenyum sangat manis. Dalam
hatiku bersyukur, walaupun ini hanya sekedar reka ulang, yang jelas aku
merasakan suasana romantis disana. Aku tersenyum seolah aku tahu apa yang
diucapkannya.
“Artinya apa?”, tanyaku polos dan
kini senyum itu berubah tawa yang renyah.
“Waah, kalau begini ceritanya, romantisnya
bisa lenyap, hehe…”, ucapnya.
“Zack, seriously! Artinya apa?”,
paksaku. Zack yang kini sudah kembali menikmati pantai, menoleh kearahku lagi.
Dan lagi-lagi menatapku dengan pandangan yang sama.
“Artinya…”, ucapnya dan kini
pandangan itu semakin... aku benar-benar seperti seorang perempuan yang sedang
menunggu ungkapan kata-kata itu... I get that feeling, detakan jantungku kini
sedikit lebih berirama, namun aku tak ingin melepas pandanganku kearahnya...
“When I first saw you, I told
myself that…”, Zack kembali berhenti... dan aku semakin penasaran...
“That?”
“My eyes are not too narrow to see
you!”
Aku terpana...
Aku sangat mengerti ini bukanlah
sebuah drama romantis. Tapi aku merasakan suasana itu, aku merasakan seolah
waktu berjalan begitu lambat dan tentunya tatapan itu hanya milikku... Aku
benar-benar tak percaya dengan apa yang ku dengar...
Semuanya seolah mengabur, suara
angin seolah irama musik yang sangat romantis... deru ombak semakin mengikuti
irama yang beraturan, semuanya seolah dibayar oleh Zack untuk membuat suasana
yang luar biasa ini. Ada perasaan... yang aku sendiri tak mengerti... Is it
real? Apakah kata-kata itu untukku?
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar