Lelaki itu berdiri tepat di depan matamu Nadia. Lelaki yang hampir setahun
lalu kau anggap bulan yang tak akan pernah kau gapai, lelaki yang ternyata menyimpan
perasaan padamu. Apalagi yang aku cari. He’s there, Nadia. Tell him!!
Tunggu, apa yang harus aku katakan? Seketika aku menjadi manusia paling
bodoh sejagad raya. Ya…bagaimana tidak bodoh jika dihadapkan pada kenyataan
ini, bahkan aku tak sanggup berlama-lama melihat kearahnya. Sekali mendongak,
aku langsung menunduk lagi karena aku selalu menemukan mata itu sedang melihat
tepat ke mataku. Semuanya berubah ketika aku tahu semuanya. Mengetahui bahwa
perasaanku berbalas. Ironisnya, aku bahkan menyadari perasaanku ketika dia
telah pergi dan meninggalkan kenyataan bahwa dia... Ah...
Rasanya waktu berjalan begitu cepat, aku harus bagaimana Tuhan. Kalau aku
bisa meminta, it’s not a big problem for standing here longer with him before
my eyes. Tapi, ini tidak akan berjalan sepanjang hari. Aku dan Zack pasti
segera akan berpisah lagi.
“Zack…”, kini kuberanikan diri mendongak.
Dan lagi-lagi mataku menemukan mata itu. Lelaki itu hanya tersenyum. Aku
grogi. Aku bahkan kehilangan semua pembedaharaan kata-kata. Dan itu berujung
pada salah tingkah. Aku memasukkan tanganku kekantong blezerku untuk mengurangi
rasa grogiku.
“Kenapa?”, kini Zack mulai bersuara.
Aku menggeleng. Haduuh…jangan-jangan dia tahu aku grogi.
“Why did you drop my handkerchief?”,
O…ow!!! salah duga.
Zack mengambil sapu tangan yang kujatuhkan karena “salah tingkah”
berlebihan.
Zack kemudian bangkit. Angin semilir membawa aroma harum menyentuh
hidungku. Ini aroma parfum Zack. Lihaat…bahkan aku masih ingat aroma ini.
“Kamu apa kabar?”, tanyanya kemudian dengan bahasa yang semakin kaku.
“Heh… Alhamdulillah aku baik…”, jawabku sedikit salah tingkah. Dia
lagi-lagi tersenyum, dan semuanya kembali kaku. Diam seribu bahasa (seperti
disinetron-sinetron, ternyata memang begini rasanya, hehe)
“Kamu ?”, tanyaku singkat berusaha mencairkan suasana. Ada perubahan padamu
Zack, kamu kelihatan kurus, wajahmu tirus. Kamu baik-baik saja kan Zack?
“Like you see, I am still good looking, aren’t I? hehe…”, ucapnya kemudian
sambil terkekeh. Aku mengangguk dan membalas dengan senyuman. Iyya,
bagaimanapun perubahan kamu saat ini, kamu tetap actor utama dimataku.
“Tapi kamu kurusan Zack… are you oke?”
“Heh? Ah… you’re kidding me! I am fine…hehe. Tell me the truth! You worry
about me, don’t you?”
Nah…kan, dia tetap saja tak bisa serius. Kali ini aku benar-benar tak bisa
tersenyum lagi.
“Zack… I am serious!”, ucapku tegas. Kulihat ada perubahan diwajahnya dan
kini lelaki itu kelihatan gundah, dia membuang pandangannya. Sebenarnya ada apa
Zack?
Suara panggilan penerbangan mengejutkanku. Kudengar baik-baik, dan
Alhamdulillah itu bukan nomor penerbanganku. Tentu, itu kan penerbangan ke
London. Namun… iyyaa, kenapa aku tak menduga sama sekali. Kulihat wajah yang kini
sedang menunduk itu tersenyum, namun kali ini aku tahu arti senyuman itu.
“I have to go now, Nadia...”, ucapnya kemudian. Dan itu memang sudah menjadi
dugaanku. Ada sedikit perih dihatiku. Apa ini saatnya? Kenapa begitu singkat,
Ya Rabb?
Tak ada respon yang keluar dari mulutku, bahkan ketika mata kami kemudian
bertemu. Aku tak tahu harus berkata apa. Zack masih menunggu respon dariku,
hingga...
“Mudah-mudahan kamu bahagia, Nadia. Say my love to Ayah and Mamak juga
Naisya. Good bye, Nadia! Assalamualaikum...”, ucapnya sambil berbalik dan
melangkah. Aku masih diam membisu. Apa ini ujung perjumpaan ini? Apa ini yang
kuharapkan? Zack, apa ini juga yang kamu harapkan? Apa sudah tidak ada lagi
perasaan yang tersisa untukku?
Tidak! Aku harus bisa memperjuangkan perasaanku, at least I try.
“Zack, tunggu!”, panggilku sambil menarik lengannya. Zack sedikit terpana,
dan kami kini kembali saling berpandangan.
“Nadia!!”, panggil Ummi dari kejauhan. Aku menoleh, namun hanya sepersekian
detik.
Buru-buru kuambil pulpen yang sangat aku syukuri berada di dalam tasku.
Kuraih tangan Zack yang kusadari sangat terkejut (mungkin karena dia menyadari
betapa beraninya aku memegang tangannya sekarang). Entahlah. Namun, itu lah
satu-satunya cara yang terlintas dipikiranku. Kutuliskan sederetan angka
disana, dan aku yakin dia mengerti. Kemudian aku memandangnya yang memang
sedang menatapku.
“Zack, I’ve got so much to tell you...”, ucapku. Pandangan itu kian
melembut tak seperti biasanya. Aku terpana. Apa aku salah bicara.
“Zack... We need to talk... Really!”, kuulangi lagi karena kurasa dia tak
mengerti perkataanku. Dan tak seperti dugaanku, kini lelaki itu sedikit
menunduk sehingga tinggi kami hampir sama. Kini mata kami seolah sangat dekat.
Detak jantungku sedikit lebih berirama dan wajahku menghangat tanda malu. Zack
menebar senyumnya yang semanis air tebu itu, sambil mengusap kepalaku lembut.
“I’m leaving, Nadia. Assalamualaikum...”, aku menjawab salamnya. That’s it.
Dan dia pergi.
***
“Itu Zack kan?”, tanya Bang Faisal ketika aku melewatinya menuju Ummi. Aku mengangguk
dan kembali melangkah.
“Kurasa kamu sudah berhasil menghapus kesedihan... semua karena lelaki
Chinese itu, ya kan?”, tanyanya dan kini membuat langkahku terhenti. Aku
tersentak. Satu suara dihatiku bersuara, Dan
itu bukan urusan anda, Faisal! Just enjoy your wedding wanna be! Namun, aku buru-buru beristighfar.
“Sebaiknya persoalan dahulu tidak perlu dibicarakan lagi, enggak ada
gunanya lagi kan...”, ucapku dan kembali melangkah. Kurasa Ummi mendengar
semuanya karena sekilas kulihat wajahnya berubah.
Hanya hitungan menit, namun bagiku itu merupakan anugerah luar biasa. Aku
tak henti-hentinya mengucap syukur. Allah tentu punya sesuatu yang aku tak
pernah tahu, dan kini aku benar-benar tak menyesali keberadaanku di Singapore.
Memoriku akan detik-detik bersamanya beberapa waktu lalu seolah berterbangan di
pikiranku.
***
“Aku ketemu Zack!”, ucapku ketika Naisya dan Kiki menjemputku di bandara.
Keduanya tampak terkejut namun hanya sejenak ketika ku ceritakan kronologisnya.
Asumsiku mulai bekerja, kecemasan melanda. Kenapa aku tak meminta nomor
telponnya? Kenapa aku hanya menuliskan di telapak tangannya? Bagaimana kalau
tinta itu kemudian menghilang? Bagaimana bisa Zack bisa menghubungiku. Gimana
ini, gimana itu...
Rasanya sangat bahagia memberitahukan berita ini ke mamak dan ayah, tapi
mengingat asumsiku yang memang kuanggap beralasan itu. Betapa sejuknya hati
melihat senyum yang tersungging di wajah orang tuaku mendengar nama “Dzaki
Ar-Rafa” kusebut.
“Zaki ke Aceh lagi Nadia? Kapan? Mamak pengen sekali ketemu...”
Deg... pertanyaan ini yang memang sudah aku duga akan keluar dari mulut
orang tuaku. Aku hanya tersenyum. Dan itu mungkin sudah cukup membuat mengerti
bahwa aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. See... aku sedikit
menertawakan diriku sendiri, kini kebiasaan Zack malah menular padaku.
Sehari setelahnya, aku mulai menunggu. Kemana aku pergi, senantiasa
handphone kubawa. Setiap dering aku berharap itu dia. Namun, hari itu
terlewatkan tanpa ada tanda-tanda Zack sama sekali. Aku masih berusaha berpikir
positif.
Seminggu pun berlalu. Masih dengan keadaan yang sama. Aku senantiasa
memandangi handphoneku itu. Jangan-jangan memang benar asumsiku itu benar, atau
kalau pun bukan itu, mungkin aku salah memberinya nomor...
“Hei...melamun aja, handphone itu gak akan lari kemana-mana, ngapain
dipandangin gitu...?”, kejut Naisya. Aku langsung meletakkan handphoneku diatas
meja kembali dan melanjutkan tontonanku.
“Ah...dia kan lagi nunggu telpon dari Zack... Tiap dering telpon berharap
itu adalah Zack...”, lanjut Kiki yang langsung berbuah sikutan dilengan oleh
Naisya. Aku menoleh. Sampai sekarang Kiki dan Naisya masih saja bisa membaca
pikiranku.
Aku benar-benar berusaha mengingat wajahnya, ada dimana aku begitu lemah.
Aku tahu itu salah, namun disatu sisi aku ketakutan ketika aku akan melupakan
wajah itu. Keadaan ini menjadi parah ketika Zack benar-benar tak menghubungiku.
Untaian kata dilirik “One and Only” milik Adele benar-benar menggambarkan
keadaanku.
You’ve been on my mind, I
grow fonder every day, lose my self in time.
Just thinking of your
face, God only knows.
Why it’s take me so long,
to let my doubts go.
You’re the only one that I
want.
Dan kini keadaan itu lebih parah ketika usaha meng”save” rupa itu didalam
memoriku malah berujung pada halusinasi. Beberapa kali aku hampir salah
memanggil orang karena aku merasa melihat Zack. Benar-benar memprihatinkan,
namun bukannya meratapi keadaan diri, aku tertawa. Mungkin ini ujian Allah
karena telah menduakanNya terang-terangan.
Time goes by, kini sudah dua minggu berlalu dan semuanya masih sama.
Sepertinya memang jodohku dengan Zack hanya sampai dipertemuan dibandara Chagi
aja. Mungkin Allah pun tidak tega melihat aku menangis hingga mengirimkan Zack
sejenak untuk bisa meredam kekecewaanku saat itu. Semuanya bisa terjadi. Atau
mungkin saja Allah merasa aku belum sanggup kalau saja mengetahui Zack sudah...
hmm.. Ya Rabb, kenapa aku tidak memeikirkan hal itu?? Jangan-jangan Zack sudah
berhasil menendangku dari hatinya, ada perih yang terasa di hati, namun aku
tetap berusaha berpikir positif.
Sebulan berlalu. Aku sudah mulai bisa menerima, ketika sebuah dering telpon
mengejutkanku...
“Assalamualaikum... halo...”
“Nadia...”
***
“Nak, ini udah jam berapa? Kamu gak siap-siap?”, tanya mamak didepan pintu
kamarku. Aku yang sedang melamun sedikit terhenyak.
Iyya, hari ini pernikahan Bang Faisal dan Vina.
“Mak... apa Nadia harus datang?”, tanyaku dan mamak hanya menjawab dengan
ekspresi wajahnya. Aku mendesah.
Dari tadi lamunanku adalah berpikir keras antara hadir atau tidak ke
pernikahan Bang Faisal dan Vina. Sejak seminggu lalu, dering telpon dari Ummi
senantiasa menghiasi hari-hariku. Ada sedikit perasaan kurang nyaman
menyerangku. Dan percaya atau tidak, Ummi sengaja mengirimkan seseorang untuk
menjahitkan gaun untuk menghadiri acara sakral itu. Jangan tanya, seluruh
keluargaku terhenyak. Dan kini aku termenung di depan gaun ungu pupus cantik
yang sedang menanti untuk dikenakan.
“Nak, hadir untuk mendoakan, terutama untuk memenuhi undangan... itu
kewajiban muslim terhadap muslim lain kan? Jangan mempertahankan ego, kamu
sudah dewasa... Toh, memang kamu tidak merasakan apa-apa kan...”
Aku terhenyak. Kalimat-kalimat itu sudah sangat cukup membuatku bangkit dan
mulai mempersiapkan diri. That’s mom. Kekuatan kata-kata yang limpahkan lewat
bibirnya memang terkadang sangat powerful.
Mamak tersenyum.
Suara klakson mengejutkanku. Mamak tersenyum. Aku mendelik, sudah bisa
ditebak siapa yang datang itu.
“Ngapain Kiki kes...”
“Dia datang jemput kamu, katanya mau datang sama-sama kesana...”, potong
mamak. Sebelum aku merespon, suara langkah kaki mendekat...
“Oh my God!! Udah jam segini kamu belum dandan?”, ucapnya sedikit
berlebihan. Mamak hanya bisa mengedikkan bahu dan pergi meninggalkan kami.
“Yuk...”, ucapku setelah selesai mengenakan jilbab dan menemukan Kiki
sedang “mengerjai” kulkas didapur. Aku geleng-geleng.
“Rabbii, dandananmu yang menor dan kaya’ tante-tante itu belum cukup bisa
membuatmu dewasa Ki, dan gadis cantik itu hanya terkekeh, namun hanya sejenak
karena selanjutnya dia sudah melotot dan berteriak...
“Nadiaaaa...”,
“Astagfirullahal’adhim... what’s up??”, tanyaku yang terkejut bukan
kepalang. Kini Kiki mendekat dan menyentuh pipi dan bibirku. Aku mundur.
Apa-apaan ini anak? Jangan-jangan dia sudah berubah orientasi, ngapain dia
nyentuh-nyentuh bibirku. Namun lagi-lagi dia mendekat, aku mundur lagi. Kini
sebelum sempat mundur, Kiki sudah memegang bahuku. Oh, tidak. Aku mau diapain
ini? Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku mencegah sesuatu buruk terjadi.
“Heh!! Kamu ngapain?”, tanya Kiki sambil memindahkan tanganku. Aku makin
cemas.
“Kamu itu yang ngapain aku? Ngapain nyentuh-nyentuh pipi sama bibirku?”,
tanyaku sambil melepaskan genggaman tangannya. Kiki tertawa terbahak.
“Kamu gak dandan?”, tanyanya polos dan dengan ekspresi datar. Aku
terhenyak. Jadi... sebelum aku tersadar akan kecemasan berlebihanku, Kiki sudah
terbahak.
“Haha... kamu kira aku udah gak normal?”, aku hanya bisa merespon
pertanyaannya dengan tatapan polos seperti seseorang yang masih mengumpulkan
roh yang tiba-tiba hilang.
“Eh, Non...kasihan bener gaun cantikmu itu kalau mukamu pucat gini..”,
ucapnya sambil mencolek pipiku. Dan detik selanjutnya Kiki sudah menarikku.
“Wait here!”, ucapnya sambil mendudukkanku di sofa. Aku menurut saja karena
memang aku masih terhenyak. Mamak hanya geleng-geleng sambil mengingatkan jam berapa
akad nikah akan dilangsungkan.
***
Ihh...ini gara-gara Kiki niyh, karena dia memaksa mendadaniku, akhirnya
kami hampir telat ke akad nikah. Aku bahkan tak sempat melihat bagaimana rupaku
sekarang, dan bisa dibayangkan aku tampil dengan gaun dan dandanan yang aku
sendiri tak tahu hasilnya, namun kakiku dengan sepatu karet yang sudah sangat
tipis telapaknya karena terlalu banyak kugunakan berjalan.
“Ah...kan kita ke mesjid, ngapain juga mesti pakai sepatu bagus-bagus, toh
entar dibuka juga...”, alasan Kiki ketika aku protes karena dia menarik paksa
aku ke dalam mobil.
“Lha, menurut kamu dandan begini penting?”, tanyaku sewot. Kiki tersenyum
sambil menyetel radio. Alunan “All the love in the world” miliknya The Corrs
cukup membuatku terdiam.
I'm not looking for someone to talk to
I've got my friend, I'm more than O.K.
I've got more than a girl could wish for
I live my dreams but it's not all they say
Still I believe (I'm missing) I'm missing
something real
I need someone who really sees me...
Ah...lagi-lagi aku teringat Zack. Aku mendesah. Seandainya saja bisa aku
request Rabb, inilah harapanku padanya. Zack, are you truly the one who really
can sees me? Dan memori tentangnya kembali datang.
“Kamu lagi apa?”
“Dengar musik, hehe...you
can see that, don’t you?”, ucapku sambil mencabut earphone dari telingaku. Zack
hanya tersenyum, dan tidak merasa sewot dengan kata-kataku sama sekali.
“Kamu suka musik gak?”
“Hmmm... yes! But I am not
like you who just like to listen...”
“Meaning?”, tanyaku sewot.
Malam ini Zack datang
hanya untuk mengantarkan coklat yang dikirim oleh orang tuanya, sebenarnya
untuk Vanessa, tapi hanya karena mamak juga sangat suka coklat, Zack datang
lagi-lagi sebagai seorang malaikat malam itu. Keluarga ku sedang shalat berjamaah,
dan aku sedang libur, jadi aku yang terpaksa menyambutnya (sebenarnya tidak
terpaksa siyh, hehe).
“Wait!”, ucapnya sambil
ngeloyor pergi dari kursi teras rumahku dan tidak memperdulikan pertanyaanku.
Aku sewot.
Dia kembali dengan membawa
sebuah benda yang selama ini menjadi obsesiku. A guitar. Aku bangkit dari
dudukku saking terpananya (entah apa yang merasukku, yang jelas itu hanya
sebuah gitar). Zack duduk kembali. Detik selanjutnya petikan-petikan gitar dari
tangannya yang putih itu mengalun. Aku yang masih berdiri kini semakin terpana.
He’s good in that, God.
Wait... lagu apa ini?
Ketika aku masih sibuk memikirkan lagu apa yang sedang dia mainkan...
Here we are in the arms of one another
And we still go on searching for each
other
Knowing that hate is wrong and love is
right for us tonight
When I look into your Spanish eyes
I know the reason why I am alive
And the world is so beautiful tonight
Yap… Spanish eyes nya Backstreet Boys. Jangan
tanya suaranya, I’m speechless. Allah, kenapa kau beri dia banyak kelebihan?
It's a place I've never been
And it comes from deep within
And it's telling me that I'm about to win first
prize
Knowing all I have to do
Is reach out my hand to you
Anytime I want to look into your Spanish
eyes
Mata itu menatap lembut
kearahku yang memang sudah tak bisa berkata apa-apa. Apa katanya tadi? Anytime
I want to look into your Spanish eyes? Waah... hehe... Detik selanjutnya dia
hanya menebar senyum semanis air tebunya, dan aku? Lagi-lagi masih terpana.
“Is my voice so impressive
that makes you at a loss for words like that!”, ujarnya masih dengan senyuman
mautnya itu. Aku langsung membuang muka.
“Haha...”,
“Is this what you meant? I
just can listen and you can play guitar and sing impressively? Sombong
banget...”, ucapku, lelaki itu terkekeh.
“Sini pinjam Mp3nya...”,
ucapnya sambil meminta MP3 ku.
“Kamu suka the Corrs juga?
All the love in the world?”
Ah..Zack, kini hanya mendengar lagu ini saja mengingatkanku padamu...
“Hei, Nape diam non?”
“Hah? Nothing...”, ucapku sedikit kaku. Dan mulai hari ini aku berjanji
pada diri sendiri kalau aku benar-benar akan melupakan sejenak wajah itu.
Kulirik jamku.
“Sepertinya kita gak akan sempat mendengarkan ijab qabul, ki”, ucapku.
“Ah, masa? Masih giliran kedua kan? Ini masih ada waktu sekitar dua menit
lagi kok...”, ucapnya sambil melirik jamnya.
“Jam kamu bener gak tuch?”, tanyaku sewot. Kiki tak merespon.
“Kenapa kamu gak nelpon ibunya Bang Faisal aja...”
“What is it for?”, tanyaku ketus.
“Bilangin suruh nungguin kita, heheheee... Ya, mastikan udah dimulai belum
acaranya. Lagian di rumah tadi, ha pe mu sibuk bunyi mulu, kaya’a Ummi gak
tenang kalau kamu belum datang..”, aku melirik Kiki. Dia tersenyum memaksa. Ada
perasaan resah menyerang, apa benar kata Kiki?
Ah, setidaknya aku memenuhi kewajibanku sebagai seorang muslim. Tiba-tiba
aku teringat sesuatu ketika akan berniat menelpon Ummi. Oh no!!
“Ki...”, panggilku dengan suara sedikit panik berlebihan.
“Nape? Kamu gak jadi nelpon Ummi?”, tanya Kiki disaat kami sudah
dipersimpangan lampu lalu lintas peniti. Bangunan cantik nan megah dan penuh
dengan aura positif, Mesjid Raya Baiturrahman sudah bisa terlihat dari sini.
“Gimana mau nelpon? Hape ku ketinggalan... Ah..”, aku benar-benar sewot.
Biasanya aku cuek saja kalau hape ku tertinggal atau silent, tapi kali ini aku
sedikit kesal dan merasa hape adalah barang penting detik ini. Entahlah.
***
Ijab qabul telah terucap. Aku menunduk dan mengucapkan seuntaian doa tepat
setelah ijab qabul terucap. Ada keharuan yang datang kedalam hatiku. Namun,
salah satu sisi hati yang lain mulai berontak, See Nadia!! Kalau saja semuanya tak terjadi, kini kamu sudah sah
menjadi istrinya... aku mengucapkan istighfar.
Satu tangan mengenggam erat tanganku. Aku berpaling. Ummi. Ada setetes
butiran jatuh kepipinya yang putih itu. Tak ada yang bisa aku katakan, aku
hanya tersenyum.
Setelah acara inti selesai, aku menarik Kiki dan buru-buru mengajaknya
pulang.
“Eh, gimana mau pulang? Tadi Ummi bilang kita diajak kerumahnya, ada acara
syukuran...”, ucap Kiki dan kemudian kembali asik menyapa kesana kemari. Ah, para bankers!! Anyway, aku tak lihat
Kak Dira. Dan mulailah aku menelusuri satu persatu tamu, namun nihil, tak ku
temui sepupuku itu.
Ku palingkan wajah kearah belakang, keluarga inti kedua belah pihak sedang
berfoto. Ah...ngapain aku disini? Sambil
menunggu Kiki, aku putuskan keluar dan menikmati udara. Setidaknya ada sesuatu
yang kulihat, juga aku ingin mengambil sekotak kue. Lapar. Karena terburu-buru,
akhirnya sarapan pun aku tak sempat.
Ku langkahkan kakiku menuju pintu keluar sebelah kanan Mesjid Raya, melalui
barisan shalat lelaki, karena itu pintu paling dekat dengan ruangan penyimpanan
kue untuk para tamu. Ada beberapa yang sedang shalat disana. Shalat tahiyatul
mesjid or dhuha, pikirku. Tiga orang lelaki paruh baya, seorang bapak juga dua
orang pemuda. Waah...alhamdulillah, at least pemuda aceh tak kalah ibadah
sunnahnya dengan para lelaki paruh baya. Tapi pemandangan itu sunggung menarik
perhatianku, karena aku jarang melihat hal ini dan asumsiku jarang ada lagi
pemuda yang mau meluangkan waktu untuk ibadah sunnah.
Yaah...akhirnya syukur yang senantiasa terucap. Pandanganku yang takjub
kini berubah terkejut. Benar-benar terkejut.
***
Aku benar-benar tak percaya dengan pandanganku. Lelaki yang dua menit lalu
sedang mengucap salam dan berdoa sejenak. Wajahnya khusyu’ sekali mengucapkan
doa. Apa aku kali ini benar-benar tak salah lihat. Rabb, am I day-dreaming
again? Ku kedip-kedipkan mataku berusaha memastikan, namun tetap rupa yang
sama. Kini sedikit berubah karena wajahnya berpaling dan kini mata kami
bertemu. Ada keterkejutan disana. Dia bangkit dan berjalan kearahku.
Kian mendekat. Aku? Jangan tanya, aku masih saja meragukan semuanya nyata,
ini hanya halusinasiku saja. I know, it’s just a dream. Aku terus mengucapkan
itu, hingga lelaki itu semakin dekat dan aroma khas yang masih sangat aku kenal
merasuk kedalam indera penciumanku, apa aku masih bermimpi? Dia sudah berdiri
gagah dan tak lupa dengan senyumnya yang selalu manis seperti air tebu itu
dengan tega menyapaku. Namun, keterkejutanku yang sangat membuat kata-kata yang
keluar dari mulutku 180 derajat berbeda dari hatiku.
“Ini beneran kamu kan?”
Detik selanjutnya diam mendera. Kami hanya saling memandang, aku dengan
tampangku yang masih terkejut sementara lelaki itu tersenyum. Lelaki dengan
penampilan sedikit berbeda hari ini. Dia berbalut batik man’s fit. Ah..Zack,
kamu selalu menjadi aktor disetiap scene.
“Mendoakan saudara yang menikah bukannya sesuatu yang baik?”, ucapnya
dengan bahasa yang sangat baik.
Aku hanya diam. Kini rasa haru menderaku. Aku benar-benar terharu. Ada
sesuatu yang melandaku. Rabb, ini pertanda apa? Apa ini jawaban doaku? Atau ini
hanya perjumpaan untuk kesekian kalinya, namun berakhir begitu saja...
Pandanganku masih kearahnya, kini wajah itu berubah serius. Dia melangkah
mendekat...
“Nadine...”, aku mendongak.
“Honestly, I came here to make sure that...”, kini suara itu terputus.
“Make sure?”
“That you are his bride or not...”, aku terpana. Jantungku berdetak sedikit
lebih cepat.
Sesuatu seperti melandaku. Namun, kini aku tersenyum dalam diamku... apa
ini pertanda baik Tuhan? Suasana seperti mendukung pertemuanku dengannya hari
itu. Hanya kami berdua di titik ini, semuanya terasa kabur.
“And Allah still gives me a chance...”, ucapnya. Aku mendongak kearahnya,
wajah itu terlihat berbeda, dia seperti sedang berpikir keras. Tidak... ini
berbeda, apa Zack sedang gugup?
“I am not a good in this, but I’ll try...”, ucapnya kemudian, dan aku masih
terpana melihat keadaan Zack sekarang. Dia mengucapkan basmallah sebelum
akhirnya bersuara lagi.
“Nadia, I dare you to let me be your, your one and only...”,
Deg...jantungku kini semakin berirama. Tapi...sepertiny kata-kata itu...
“Promise I’m worthy to hold in your arms... so come on and give me a chance
to prove that I’m the one who can walk that mile until the ends starts...”
“Zack…”, potongku. Sebenarnya ini..
“Nadia Humaira, I am now standing here to say…veux-tu
m'épouser?”
Veux-tu
m'épouser?, Will you marry me?
Semilir angin membuat kata-kata itu terus terngiang-ngiang
di telingaku. SubhanAllah, AllahuAkbar. Rabb, aku dilamar dirumahmu yang indah
ini.
***