Senin, 19 September 2011

Better In Time 7 - Kerudungku Adalah Aku




Hmm…oke-oke, kita memang belum ada hubungan apa-apa. Kita juga gak pacaran. Aku bukan kekasihmu, kamu juga bukan kekasihku. Tapi kita lebih dari itu kan, Sa? Mereka tidak akan mengerti, hanya kita berdua dan Tuhan yang mengerti. Nisa…aku punya keinginan. Hanya keinginan kecil saja kok. Adam kemudian tersenyum. Seolah menjawab pertanyaan Adam, Annisa menoleh ke belakang.

“What’s up?”, Adam hanya menggeleng polos dan mulai sibuk lagi dengan pikirannya sendiri.
Adam memang jarang mengendarai mobilnya karena letak kantornya hanya setengah jam berjalan kaki dari apartemennya. Apalagi Annisa, walaupun apartemennya sedikit lebih jauh, dia lebih suka bersepeda, roller blade atau berjalan kaki itu juga karena dia tidak punya mobil. 
Hari ini, Adam sengaja menunggu Annisa agar bisa pulang bersama. Yang ditunggu malah keliatan ogah karena dia merasa tidak enak diliat teman-teman yang lain, walaupun sebetulnya yang lain sudah dari tadi pulang. Jadi, seperti sekarang Nisa berjalan beberapa langkah lebih cepat. Adam memilih diam, karena memang sedang sibuk memikirkan sesuatu.
Keinginan kecil tapi sangat penting buatku. Aku pengen banget liat rambutmu. Rambutmu lurus kah? Ikal? Atau keriting? Hehehe, kalau keriting pasti lucu, imut.
Adam terkekeh. Merasa diperhatikan dari belakang, Annisa menoleh lagi. Memasang ekspresi seolah-olah bertanya, “Ada apa siyh? Merhatiin aku kan?”

Adam hanya tersenyum dan kemudian melangkah menuju Annisa, namun Annisa buru-buru melangkah juga. Hehe, jangan salahkan aku kalau aku memperhatikanmu lagi, Nisa. Rambutmu panjang gak? Atau sebahu? Atau bahkan pendek sama sekali? Warnanya apa? Hitam pekat kah? Kecoklatan or malah pirang? Hmm..kalau rambutmu panjang, bergelombang dan hitam kamu pasti cantik banget. Adam takjub membayangkan pikirannya. Tapi kalau rambutmu pendek, pirang dan keriting mie, pasti kamu jadi cute banget Sa, hehe. Sekarang dia malah terkekeh. Dan untuk kesekian kalinya Annisa yang merasa diperhatikan menoleh, dan kali ini Adam melangkah cepat dan berdiri tepat di depan Annisa. Memandangnya. Pandangan  yang paling dihindarinya. Annisa membuang muka dan melanjutkan langkahnya disusul Adam yang tersenyum. Hmm..gimana cara bilangnya yaa?? Dia marah gak yaa??

“Sa, may I ask you something?”, tanyanya dengan suara kecil.

“Hmm..what’s that?”.

Adam mulai berpikir keras. No, no. Sepertinya tidak mungkin. Adam mulai mengulang memori-memorinya. Beberapa kali mereka bertemu diluar tempat kerja, acara pertemuan santai atau arisan para pegawai dirumah masing-masing. Pertama di rumah Desy, ketika Desy tak segan hanya memakai selendang yang terkadang jatuh dan memperlihatkan rambutnya, Nisa tetap dengan jilbabnya begitu pun ketika dirumah Reni dan Lulu. Oke, mungkin itu bukan dirumahnya. Tapi, ketika giliran huniannya yang jadi tujuan. Tetap, Nisa dengan rapat dan konsisten menutup rapat rambutnya. Seolah-olah ada rahasia besar yang tidak boleh diketahui orang lain. Hmm..kaya’a gak akan berhasil.

Merasa Adam terlalu lama diam, Annisa menoleh..

“Mau minta apa siyh, Mr.Adam? lama banget mikirnya, gak minta macam-macam kan?”, tanyanya dengan mata penuh selidik. Adam terkekeh.

“Hmm…hanya mau minta jalannya jangan cepat-cepat. Kan gak ada yang mesti dikejar, hehehe”

“Maksudnya?”

“Yaa, kan kalau pagi ketika kamu ke kantor, kamu jalannya cepet karena kamu takut telat, kan? Kebiasaan siyh!”, Annisa tersipu namun mukanya langsung sewot.


Dia sedikit prihatin melihat perubahan wanita cantik itu. Mba Desy, dulu diawal kedatangannya ke Inggris, penampilannya cantik dan rapi. Sekarang bukan tidak rapi atau cantik, tapi ada perubahan. Tiga bulan lalu, jilbabnya rapi terpasang di kepalanya dan menutupi seluruh mahkotanya. Tapi beberapa minggu terakhir, satu persatu pin jilbabnya hilang. Dia juga menyadari tak sebaik wanita muslim lain dalam menggunakan jilbab, yang penting mahkotanya tertutup dan ujung jilbabnya di ikat ke belakang. Sesekali dia sesuaikan dengan bajunya. Tapi, yang membuatnya makin prihatin hari ini, malah semua pinnya hilang. Wanita itu jelas cuma mengenakan pasmina di atas kepalanya yang sesekali jatuh dan itu artinya rambutnya kelihatan seluruhnya. Duuuch...kalau udah begini bisa jadi besok pasmina pun akan tinggal sejarah. Tidak, masih ada waktu. Usaha, Nis!

“Mba Des... sehat?”, sapanya pagi itu. Pertanyaan konyol. Toh, tiap hari juga ketemu. Meja kerjanya pun tak seberapa jauh. Ke kantin selalu bareng. Shalat juga bareng. Yang ditanya bengong.

“Sehat, Sa! Kamu dech yang kaya’a agak sedikit kurang sehat”, candanya sambil tersenyum.

“Hehee, ko malah Nisa dibilang kurang sehat mba?”

“Abis, kita ketemu setiap hari dan kamu bisa liat aku sekarang sehat walafiat gini, malah nanya..ada apa siyh? Ada masalah sama si bos?”, kalimat tanya terakhir sengaja diucapkan sekecil mungkin. Desy tersenyum menggoda.

Annisa sewot. Beeuh, kenapa mesti dikait-kaitkan siyh? Selalu saja makhluk itu ada dihari-hariku.

“Abis Nisa liat, mba Desy berubah beberapa hari ini... apa kegerahan gitu ya mba?”

“Heh?”

“Itu-tu..”, ucap Nisa sambil menunjuk ke arah kepala Desy. Yang dituju merasa salah tingkah.

“Hehe, trus?”

“Lha, ko terus? Penitinya hilang ya mba? Atau uangnya gak cukup untuk beli peniti lagi?”, ucapnya polos dengan wajah serius. Bukan tersinggung, Desy malah terkekeh.

“Lagi nyaman gini, Sa. Gak apa-apa ya?”, ucapnya penuh permohonan. Lebai.

“Aneh, ko minta excuse ma Nisa siyh? Allah ngeliat lho mba? MalaikatNya juga liat, heheheee.. tapi ini serius lho mba, suami apa enggak apa-apa sama penampilan mba gini?”, tanyanya dengan mata memicing.

“Hehe, kena teguran siyh. Cuma mba bilang lagi nyaman gini, yah si mas cuma geleng-geleng. Pun, si mas lagi pulang ke Indonesia, hehehe”, ucapnya penuh kemenangan.

“Wadduch..malah udah kena tegur, tapi tetap juga. Ini serius yang kedua lho mba..”, Nisa memasang wajah serius.

“Takuuut..serius amat, Sa!”

“Mba tahu kan hukumnya memakai hijab atau jilbab?”, Mba Desy mengangguk.

“Apa hukumnya?”,

“Wajib kan?”, Annisa menggangguk.

“Dalam surat Al Ahzab.59 udah sangat jelas lho mba, sebentar, Nisa gak hafal”, Nisa buru-buru mengambil Al-Qur’an miliknya setelah membaca ayat yang dimaksud kemudian membaca terjemahannya.

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal karena itu mereka tidak di ganggu.Dan Allah adalah maha pengampun dan penyayang. (Al Ahzab.59)”.

Desy mengangguk tanda mengerti.

“Jadi Allah mewajibkan kita memakai jilbab bukan karena tidak ada alasan. Pertama karena itulah identitas wanita muslimah dan kita seharusnya patut berbangga karena dengan jilbab, kita dihargai dan dihormati. Karena dalam surat yang sama juga dikatakan dengan jilbab akan menghindari dari perlakuan tak senonoh,” ucap Nisa panjang lebar.

“Merasa bersalah!”, ucap mba Desy agak sedikit berlebihan dengan wajah yang terlalu dibuat-buat. Nisa merasa harus lebih membuatnya mengerti kalau ini tidak main-main. Hmm..gimana caranya yaa??

“Serius yang ketiga mba. Mba Desy pasti juga satu ayat dalam Al-Quran yang salah satu intinya menyinggung tentang terhapusnya pahala karena tidak menggunakan jilbab. Apalagi mba yang udah berjilbab rapi, sekarang malah jilbabnya mau hilang. Kasihan mba, udah beribadah banyak tapi gak ada pahalanya”, Desy mendongak dan mulai terpancing.

“Serius yang keempatnya mba, aurat kita kan hanya tak berdosa dilihat bagi mahram atau sedarah juga oleh suami. Nah, sepengetahuan Nisa niyh, kalau aurat kita terlihat atau dilihat oleh lelaki yang bukan mahram atau suami kita, maka tanggungjawabnya lelaki itu harus menikahi kita, setahu Nisa yaa!!”, Aku lupa pernah baca dimana, haddduuuuu...

“Really Sa?”, Nisa mengangguk mantap melihat si terdakwa mulai terpengaruh.

“Jadi coba hitung berapa lelaki yang udah liat auratnnya Mba Desy. Nino, Teguh, Mas Putra, sapa lagi?”

“Duuch Nisa, kan gak sampai segitunya juga”, Nisa terkekeh.

“Yang serius keempat Nisa lupa sumbernya, tapi kurang reliable sepertinya, heheheee”

“Huuuu...dasaaar Nisa!”

“Tapi mba, yang serius sebelumnya beneran lho! Nisa maunya aurat mba itu biarlah si mas mu yang punya mba, jangan laki-laki yang lain..”, ucap Nisa sambil melihat bergantian ke arah rekan lelaki lainnya. Yang dilihat hanya bengong.

Desy hanya tersenyum karena tak enak.

Namun tanpa disadari, si Bos yang tadinya sempat disebut-sebut menikmati diskusi santai pagi itu dibalik pintu masuk.

Seru juga Annisa... Ternyata Sedetail itu Al-Quranmu itu membahasnya. Pantas saja kau rahasiakan sekali rambutmu itu.

Hmm... jika aurat dilihat lelaki lain, makanya dia harus menikahi wanita itu.. heheheee

“Morning guys!”, sapanya dengan santai dan seperti tak mengetahui apa-apa, si Bos melangkah menuju ruangnya.

“Pagi Pak!”, ucap mereka serentak.

Para karyawan tergesa-gesa menuju meja kerja masing-masing. Termasuk Annisa yang berusaha tak melihat ke arah lelaki itu.



Seminggu berlalu...

“Mba, aku gerah niyh..temenin aku ke salon yuk, I want to have my hair cut!”, ucap Nisa sore itu pulang kantor pada Reni, teman dekatnya.

“Emangnya mau potong gmn?”


“Pendek dech, yang penting gak gerah lagi. Gak udah lah ikut model-model, aku biasa aja”

“Hmm..kalau gitu, daripada ke salon mending biar aku yang potong, gimana?”

“Mba Ren bisa ?”

“Bisa donk, telat banget siyh kamu!”


Ada yang aneh dengan penampilannya, pikir lelaki itu. Pagi itu, Annisa dan Nino bersama Adam akan pergi ke rumah keluarga Faresh di asal India. Memburu berita dan foto untuk profil kebiasaan keluarga india di Inggris. Sadar atau tidak, selain China, India adalah bangsa yang paling banyak menduduki setiap belahan dunia ini. Jadi, profilnya terkadang menarik untuk disimak.

Annisa terengah-engah karena sudah telat. Mobil Adam sudah terparkir tepat di depan kantor. Nino dan sang Bos sudah berada di dalam mobil dari 15 menit lalu.

“Hhhh..sorry Pak! Saya telat!”, ucapnya sedikit ketakutan.

“Tak perlu laporan!”, ucap Adam ketus. Menstarter mobilnya tanda Nisa harus segera masuk. Nino mengejeknya usil. Begitulah Adam, dia akan sangat professional mengenai pekerjaan, apalagi kalau kesalahan konyol masalah waktu.

“Tit..titit..tit..”, sms masuk. Nino.

[napa lu bisa telat non?].

[semalam nginap dirumah mba Ren, jadinya pagi ini mesti nunggu dia dulu, antar anaknya dulu ke penitipan di River Street. Lu tau kan, lumayan jauuh.. telat dah aku, si Bos marah bener yaa?]

[entah. Lu tau sendiri dia strict banget masalah waktu. Lu urus sendiri lah...hmm, kalian kan..ehem..bisa diaturlah kalau lu yang bikin salah, hehehee]. Nisa sewot. 

Tak dihiraukan sms itu lagi. Dia sibuk mengatur napasnya. Sesekali melihat ke arah depan tepatnya Adam yang sedang serius mengemudi. Lalu kembali sibuk memeriksa tas kerjanya. Tiba-tiba ada sesuatu yang nongol dari balik jilbabnya. Poni. Wadduuu...ngapain juga niyh poni muncul. Mba Ren siyh, dibilangin gak perlu potong poni. Huuuuuh..!!

Annisa sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Penjepit. Horrai, dapat!! Sementara sepasang mata sesekali memperhatikan gerak-geriknya yang dari tadi tak diam. Itu dia yang berbeda darimu hari ini, Nisa!

Station Avenue, kemudian melewati Hertz Rent-a-Car dan kemudian ke station Road. Jalan sudah mulai ramai, orang-orang berjalan kaki memulai aktifitas sehari-hari. Beberapa double decker terlihat mulai ramai penumpang. Musim gugur dipagi hari juga terasa sangat dingin. Daun-daun sudah mulai menguning. Sekarang telah mencapai Museum Street, melewati sebuah jembatan kecil dengan memotong sebuah sungai kecil nan cantik. Hmm..seandainya Indonesiaku bisa memanfaatkan sungai-sungainya, pasti akan lebih cantik dari ini. Kapal-kapal cantik juga sudah mulai beroperasi. York, salah satu kota cantik di Inggris. Rumah-rumah dan bangunan masih sangat menjaga bentuk bangunan jaman, batu-batu. Namun itu lah uniknya. Paling tidak tiap rumah tergantung sebuah vas bunga gantung di dinding luar. Asri. Jalanannya penuh dengan garis-garis lalu lintas dan tanda seperti “Keep Clear atau Bus Stop atau One Way”

***

Rumah itu memang besar. Keluarga Faresh adalah salah satu keluarga keturunan India yang memiliki usaha yang sukses di Inggris. Di York saja mereka punya beberapa cabang. Memasuki perkarangan rumah itu, suasana india langsung terasa, apalagi ketika masuk ke rumahnya. Banyak barang-barang berbau india di ruang tamunya, mulai dari lukisan Taj Mahal, patung-patung dewa. Di ruang tengah, terlihat beberapa foto terpampang dengan rangkaian buang melingkarinya, keluarga yang telah meninggal. Kini giliran mendokumentasikan kebiasaan-kebiasaan mereka. Nino kebagian mendokumentasikan kebiasaan anak-anak yang semuanya berkamar di lantai atas. Annisa menuju taman belakang, ada semacam ruang khusus disana. Hmm, ternyata ruang khusus untuk para dewa. Karena bergerak kesana kemari, tak disadarinya penjepit rambutnya jatuh, hingga poni menyembul keluar. Setelah selesai dia menuju gazebo tempat si Bos dan Pak Fijai dan istrinya sedang berbincang. Karena hari sudah menjelang siang, keluarga Faresh berniat menjamu mereka. 
Annisa yang tadinya menyimak pembicaraan si Bos dan keluarga Faresh dan sesekali juga bertanya, mulai menyibukkan diri dengan hasil jepretannya sesaat setelah Pak Faresh dan istrinya meninggalkan mereka berdua duduk di gazebo itu. Hening. Adam menoleh kearah Annisa. Tumben banget!!

“Ehem…kamu agak berbeda hari ini!”, Annisa menoleh. Bengong.

Tanpa memperdulikan wajah Annisa yang kebingungan, Adam berdiri dan mendekatinya. Sampai sangat begitu dekat. Annisa grogi sampai tak tahu harus apa. Wajah didepannya tersenyum.

“Tuch, rambutmu nongol!”, ucapnya serius diakhiri dengan senyum nakal. Aha! Ternyata lurus dan hitam. Pasti cantik, hehe. Tanpa merasa bersalah, Adam meninggalkan Annisa yang kelabakan merapikan poninya. Ihh..kan, niyh gara-gara Mba Ren!

***

Nino melihat ke belakang beberapa kali. Kebingungan melihat rekan cantiknya diam seribu bahasa seperti kehilangan setengah nyawanya.

“Heh, kenapa lu non?”, Annisa yang tadinya menatap keluar jendela mobil menoleh. Sesaat saja dan melanjutkan lagi kegiatannya. Aneh. Kenapa siyh tu anak! Adam melirik sekilas dan hanya tersenyum. Annisa merasa berdosa, padahal perasaannya terlalu berlebihan. Berdosa gak yaa?? Jangan ya wahai Allah, itu kan gak disengaja.



Rapat selesai. Para staf sibuk membereskan berkas-berkas rapat dan melangkah keluar. Annisa paling repot, karena Adam membebankannya membereskan semua bahan rapat mulai dari bahan presentasi dan lain-lain. Dan Adam sengaja memilihnya. Ketika semua telah melangkah keluar…

“Annisa…”, yang dipanggil menoleh.

“Iya, saya Pak!”

“Kapan kita menikah?”, Annisa shock, seluruh berkas rapat jatuh dari tangannya. Mimpi apa aku semalam? Gak salah dengar niyh?

Seseorang yang baru saja melangkah keluar, ternyata belum menutup rapat pintu ruang itu. Desy. Terpana. Wow! Berita hebat niyh! Pak Adam melamar Annisa. Tanpa menunggu detik selanjutnya, Desy melangkah penuh semangat ingin segera menyampaikan berita yang dianggapnya gembira itu.

Melihat Annisa diam dengan ekspresi terkejut, Adam merasa sedikit bersalah.

“Hmm..begini, beberapa waktu lalu saya sempat dengar pembicaraan kamu dengan Desy tentang aurat perempuan islam. Tentang mengenakan jilbab. Kamu bilang jika seorang lelaki melihat rambut wanita, harusnya lelaki itu menikahi wanita tersebut, iya kan?”, Annisa bengong. Lalu mengangguk tanpa berpikir lama.

“Jadi, kemarin kan saya sempat liat rambut kamu, so… saya harusnya menikahi kamu kan?”. Annisa tambah bengong. Jadinya gara-gara itu??

“Ehem..gini lho pak…”, selanjutnya panjang penjelasan dari Annisa. Adam mengangguk-angguk penuh arti. Sebenarnya aku sudah dengar semuanya Nisa. Hanya ingin melihat responmu.

“Jadi kerudung atau jilbab itu bukan hanya symbol agama islam. Lebih dari itu, kerudung itu adalah identitas saya, wanita muslim. Kerudung saya adalah saya.” Adam terpana mendengar kata-kata terakhir ini.



“Ciee.. yang udah dilamar…”, ucap mba Desy yang diikuti ejekan yang lain. Annisa bengong. Cepet banget beritanya. Seru juga niyh! Liat aja, kubuat penasaran. Hanya diam dan tersenyum misterius.

Annisa menuju meja kerjanya. Reni hanya tersenyum ke arahnya dari mejanya. Lulu dating tiba-tiba…

“Hei non, kapan lu jadiannya? Kok bisa secepat itu dilamarnya?, tanyanya penasaran. Nino yang mendengarnya sekilas langsung ikut-ikutan.

“Kaya’nya sejak menghilang di Switzerland berdua, ya non?”, Annisa melotot.

“Hmm… Pak Adam sengaja kejar  kamu kesana yaa? Pantes aja langsung balik kemari lagi sejak memutuskan pindah kembali ke kantor pusat, rupanya udah dapetin belahan jiwanya, cieee…”, Annisa makin tak enak hati. Tapi dia tetap diam. Dia meraih hanphonenya.

[Sepertinya jadi hot issue!]. Send

Adam yang membaca sms itu jadi bengong. Tapi karena dia masih sedikit sibuk dengan pekerjaan editingnya, dia tidak meresponnya dulu.

“Sa, kok diem aja siyh? Jawab donk!”, paksa Lulu.

“Iyya niyh Nisa, pake rahasia-rahasiaan lagi!”, Desy ikut-ikutan.
Annisa yang dari tadi sibuk mengotak-atik tulisannya mendongak dan tersenyum.

“Dari tadi yang tanya trus jawab sendiri siapa? Perasaan aku gak ada kesempatan ngomong dech..”

“Oke-oke, maaf-maaf. So..”, sekarang wajah-wajah itu menatapnya penuh arti. Menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Annisa mendesah. Ternyata beneran penasaran. Liat ini Mr. Adam yang terhormat akibat permainan anda!

Tiba-tiba suara pintu terbuka. Ruangan Adam. Semua menoleh. Annisa bersyukur dalam hati. Akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu akan berakhir. Dia pikir semuanya akan segera kembali ke meja masing-masing dan berhenti bertanya ketika si Bos datang.

“Ada apa ini? Kok pada kumpul?”, Tanya Adam tegas.

Bukannya ketakutan, karyawan-karyawannya itu malah kompak tersenyum. Adam bengong. Desy buka suara. Ada apa siyh? Apa mukaku kurang cool sekarang?

“Hmm..jadi kapan nikahnya, Pak? Kami di undang kan?”. Wajah tegas Adam tiba-tiba berubah drastis. Seriusly shocked. Adam melihat kearah Annisa dan ekspresinya seolah-olah bertanya, Jadi ini maksud sms tadi yaa? Annisa hanya mengedikkan bahunya. Adam mendesah.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar