Minggu, 18 September 2011

Better In Time 5 - Masa Lalu, Syal Ungu dan Lelaki Itu...




Dia terbangun. Masih jam 06.00. Pesawatnya mendarat semalam menjelang tengah malam. Dia mencoba memejamkan lagi matanya, tapi tak bisa. Tadi malam dia kena haidh. Dan diawal bulan adalah jadwalnya datang bulan. Jadi Annisa berencana untuk tidur lebih panjang setelah perjalanan jauh. Nyeri haidhnya pun telah mulai menyerang. Namun, matanya sudah tak bisa terpejam. Pikirannya masih saja di Swiss mengenang senja itu. Annisa tersipu.

Dia meraih album liminating itu dan mencoba mengulang memori-memori tentang moment yang diabadikan Adam dalam fotonya. Moment pertama ketika melambaikan tangan pada Carolyn. Moment kedua paling dia suka, saat dimana dia dan Katharine mengucapkan salam perpisahan dengan saling menyentuhkan hidung mereka. Moment ketiga saat dia sedang ditaman, proyek pre-wedding. Annisa memakai baju ungu tua dengan cardigan ungu muda dan kerudung senada dan memegang balon ungu. Selanjutnya ketika Annisa sedang sibuk dengan kameranya. Disini wajahnya keliatan sedikit bodoh, tapi Adam paling suka yang ini. Moment terakhir dia kurang yakin kapan, tapi terlihat jelas yang jadi focus utamanya adalah matanya. Di salah satu sudut foto tertulis, kamu tak akan pernah menyadari bahwa matamu itu cantik karena kamu asik memandang yang lain, bukan matamu sendiri.

Seperti telepati sebuah sms masuk.
[Kekasih. Udah bangun kan? Kalau kamu ingat aku, lihat aja album itu]. Annisa tersenyum tipis. Aku bukan kekasihmu.

Akhirnya musim gugur datang. Udara terasa semakin sejuk. Daun-daun mulai berguguran. 

Hari ini dia malas keluar. Biasanya dia sering mengunjungi masjid dan melakukan apa yang bisa dilakukannya. Tapi hari ini dia lelah. Selain itu, nyeri haidh menyerangnya. Hmm… bagusnya ngapain yaa?? Bersih-bersih aja.

Akhirnya dia memulai harinya dengan membersihkan apartemennya. Gajinya lumayan besar menjadi staff You & Me sekaligus fotografer. Setidaknya dia bisa membeli sebuah apartement. Unitnya memang tak begitu besar. Hanya dapur, living room dengan sofa yang sangat nyaman dan TV lumayan besar. Small bar disulapnya menjadi ruang penuh foto-foto hasil karyanya. Di depannya dengan jendela kaca yang besar ruang kecil untuk shalat, sebuah meja kerja dan lemari kecil. Kamar ada disebelahnya.

Ketika sedang merapikan lemari bajunya di bath room. Dia mendapatkan sebuah kotak di laci paling atas. Sudah lama sekali! Kotak berisi semua kenangan cinta pertamanya. Dia buka kotak itu. Dia dapati sebuah buku diari tebal. Dia buka dan dia liat sebuah foto. Inilah bermula tragedy itu…

***

Sekitar tiga tahun lalu di awal bulan Maret…

“Annisa, sore ini ada waktu gak?”, Tanya Reni.

“Ada Mba! Kenapa?”,

“Temani aku kerumah Rara, yuks!”

“Oh, Mba Rara sahabat mba itu yaa? Yang suaminya juga pegawai You&Me?”

“Iyya… mba udah lama banget gak ketemu dia. Ini kan keberangkatan Mba belum jelas, bisa aja bulan depan, pengen banget ketemu dia, udah lama juga gak liat si kecil… gimana?”

“Oke Mba!”

Sore itu berangkatlah Annisa dan Reni menuju rumah Rara di Karawang.  Rumahnya tidak terlalu besar. Tapi sangat nyaman karena diurusi dengan begitu baik. Diawal pertemuannya, Annisa langsung suka dengan Rara. Annisa merasa nyaman sekali berbicara dengan wanita cantik itu. Rara seorang wanita lembut nan cantik. Seorang ibu rumah tangga yang tulen, pintar memasak dan dia begitu telaten. Seorang ibu yang terlihat begitu mencintai anaknya dan yang paling membuat iri, seorang istri yang keliatan sangat menghargai suaminya.

“Annisa udah lama kerja di You & Me?”

“Belum Mba, baru lulus juga. Kebetulan Annisa lulusan psikologi jadi dapat bagian tulis artikel remaja tapi Annisa lebih focus di fotografi…”

“Oia? Suami saya juga seorang fotografer di You & Me juga tapi dia sering ke luar daerah Asia…”

“Iya. Rizal kan lbih tepatnya staff di You & Me cabang Asia yang di Malaysia itu lho Sa!”, sambung Reni.

“Nisa kenal?”, Nisa menggeleng.

“Rizal jarang ke kantor pusat Ra! Tapi kudengar dia lagi disini…”

“Iyya, malam kemarin baru pulang. Kak Rizal lagi ngurus pindah kesini aja… anak masih kecil kan? Kasihan kalau jarang ketemu ayahnya…”, ucap Rara sambil mengusap rambut gadis kecilnya.

“Oia? Tapi belum ketemu siyh dikantor!”…

Dan inilah awal pertemuan mereka…

“Assalamualaikum…”, mereka menjawab salam. Lelaki itu masuk dengan senyum tersungging diwajahnya. Rara bangun dan menyalami sang suami.

“Apa kabar Ren?”

“Baik. Nisa, ini Rizal suaminya Rara. Rizal, ini Annisa teman kita di You & Me!”, keduanya berjabat tangan. Tak ada yang special. Tapi ada satu hal yang membuat Annisa sedikit terpesona, cara menatap lelaki itu. Intens.

“Oh…anak You & Me juga. Bagian apa?”

“Fotografer Kak!”

“Oh, anak fotografer juga. Sama kita. Ada ikut tes untuk short course ke Inggris?”

“Ada kak, kebetulan lagi nunggu keputusan atasan juga!”

“Wahh, sama saya juga ikut!”, ucapnya tersenyum. Kemudian mulai sibuk denga sikecil. Sesekali berbicara dengan istrinya. Annisa mengamati itu pasangan suami istri itu. Tatapan mereka satu sama lain penuh cinta, apalagi Rizal. Lelaki itu memang memiliki cara memandang yang lembut namun dalam. Annisa saja yang bukan siapa-siapa merasakan itu, apalagi istrinya. 
Dia menikmati itu semua. Ya Allah, aku juga ingin suatu saat ditatap penuh cinta seperti itu. Kita tak akan pernah tahu kapan doa kita terkabul, begitu pun Annisa.

Beberapa bulan berlalu. Hubungan pertemanan Annisa dan Rara semakin erat. Walaupun jarang bertemu tapi komunikasi lancar walau hanya dengan pesan singkat. Reni dan Nino baru saja  berangkat segera ke York. Mereka dipanggil untuk mengisi kantor cabang yang baru saja diresmikan di Eropa sana. Beruntung sekali. Aku juga pengen suatu hari nanti bisa kesana.

Hari itu dia dipanggil menghadap atasan. Dia sedikit grogi memasuki ruang itu. Ada beberapa orang disana. Yang dikenalnya hanya atasannya, kemudian Sarah seorang wanita lagi yang akhirnya dia tahu bernama Yuki. Dua orang lelaki itu tak pernah dilihatnya, mungkin fotografer bebas dan itu Rizal. Suaminya Rara. Bertemu lagi setelah pertemuan pertama dirumahnya beberapa bulan lalu. Lelaki itu tersenyum dan tatapan itu yang sangat dinikmati Annisa.

Mereka berenam akan menjalani short course fotografi di London selama tiga bulan setengah selama musim gugur dan awal musim dingin mereka pulang.

***

Di hari-hari pertama di London semua bercampur antara excited dan shocked. London kota yang indah. Annisa begitu bersyukur bisa melangkahkan kaki ke negeri bermusim empat ini tapi dilain sisi cuaca yang dingin menusuk tulang sangat mengganggunya, makanan juga kebiasaan yang sangat berbeda. Mereka tinggal didua flat yang mewah menurutnya. Satu untuk lelaki dan satu untuk wanita. Pertemanan pun berjalan lancar antara Annisa dan Sarah, sedang Yuki seorang yang kurang ekspresif.

Memasuki minggu kedua ada yang sedikit berubah. Mungkin cinta lokasi antara teman biasa terjadi. Itu juga yang terjadi pada Annisa. Eka salah seorang rekannya menaruh hati padanya. Masa dalam waktu dua minggu bisa jatuh hati. Batinnya. Dia pun dengan kata-kata yang halus menolak Eka. Menurutnya mereka lebih baik menjadi teman. Kenyataannya selama 23 tahun hidupnya dia belum pernah merasakan jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta.

“Mohon maaf ya Eka!”

“Hmm…sedikit kecewa siyh Nisa. Tapi tak apa lah. Kamu nolak aku bukan karena lelaki lain kan?”, tanyanya penuh selidik. What? Pertanyaan macam apa itu? lagian kalau pun iya, apa urusan dia?

“Enggak kok Eka, maksud kamu apa?”

“Mungkin kamu juga naksir sama Rizal?”, Annisa sedikit tersentak. Apa? Suka sama kak Rizal?

“Aku gak ngerti maksud kamu”

“Kamu gak perhatikan selama beberapa hari terakhir gimana Sarah sama Rizal begitu dekatnya? Keliatan Sarahnya siyh yang sedikit agresif, gak tahu apa dia si Rizal udah punya bini, lagi hamil pula! Mending dia sama aku, iya kan?”, Lelaki ini kurang sopan.

“Jangan sembarangan ngomong dong Eka! Mereka memang keliatan lebih akrab, tapi mungkin itu karena punya misi atau ide yang sama. Nyambung kalau bicara. Kedekatan mereka pun masih dalam tahap yang sangat wajar…”

“Yaah..terserah kamu laah! Tapi ini aku ingatin yaa! Rizal memang tampan, tapi kamu harus jaga diri. Jangan terlalu mendekatkan diri padanya. Dia itu pria yang sudah berkeluarga, bahaya kalau jatuh cinta, apalagi kalau berbalas!”. Annisa mengucap istighfar dalam hatinya.

Dia tidak memungkiri kedekatan Sarah dan Rizal terkadang membuatnya kurang nyaman. Satu sisi karena dia tahu Rizal adalah suami Rara. Dia juga tak memungkiri, Rizal punya kemampuan yang sangat bagus dalam fotografi. Dia belajar sangat cepat. Hasil fotonya bagus, bahkan sangat bagus. Menurutnya tak masalah jika Sarah ingin belajar. Toh, sesekali dia juga bertanya dan minta pendapat. Satu hal yang masih sangat dia nikmati, tatapan itu. Beda. Tanpa disadari pun Rizal merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama Annisa. Nyaman sekali saat berbicara dengan wanita itu. Dia memang ingin belajar, sangat focus dan professional. Rizal juga mendapati bahwa mereka punya ide yang sama tentang fotografi. Kalau pun berbeda pendapat, keduanya saling bisa memberi solusi. Tanpa disadarinya, lelaki itu mulai menyimpan rasa. Untuk Annisa. Wanita yang sudah dari awal membentengi diri.

***

Sebulan berlalu. Kini sesuatu malah berubah lagi. Sarah terlihat jauh dari Rizal. Mereka keliatan tidak baik, Sarah jarang mau berbicara dengan Rizal. Sore itu, dia lihat Sarah duduk sendiri dibangku taman dekat flat mereka.

“Ada apa Sar?”

Mengalirlah cerita dari bibir Sarah tanpa harus dia paksa bicara. Gadis cantik itu terlihat menangis. Ya Rabb, benar adanya! Dia mencintai lelaki itu! Annisa mengucap istighfar.

“Aku tahu dia sudah punya istri. Tapi aku tak bersalah kan Sa, jika aku punya rasa ini?”, Annisa menggeleng. Memang benar, kita tak bisa memutuskan kepada siapa hati ini akan memilih.

“Jadi kenapa kamu tertekan begini?”

“Aku sudah mengungkapkannya. Rizal hanya diam. Dia minta maaf kalau selama ini aku salah mengartikan perlakuannya. Dia menolakku Sa!”

“Sarah, apa yang dilakukannya benar! Dia seorang lelaki yang sudah punya keluarga, apa jadinya kalau dia menerima perasaanmu, semuanya akan tambah parah, iya kan?”

“Tapi, aku benar mencintainya…”, Annisa merangkul gadis cantik itu. Dia iba.

“Annisa, jangan terlalu dekat dengan Rizal. Jangan mengulang kesalahanku…”

Annisa tersentak. Dua orang sudah mengingatkannya. Wanita itu memang sudah berusaha melindungi hatinya dari segala kemungkinan. Tapi jalan Tuhan tidak ada yang tahu. Semakin hari, semakin dia mengenal lelaki itu, semakin dia tahu ada suatu kesamaan dan titik nyaman antara mereka. Diam-diam perasaan yang sangat dihindarinya itu pun dengan teganya bersemi dihatinya… untuk pertama kalinya.

***

Dia lihat lagi kedalam kotak itu. Scarf ungu itu.

***

Sudah dua bulan kursusnya berjalan.Weekend. Saatnya jalan-jalan. Annisa memakai sepatu bootnya dan keluar untuk mencari udara segar sekaligus mencari objek yang bagus. Sarah dan Yuki masih terlelap.

Ketika dia sedang menikmati udara pagi, seseorang menepuk bahunya…

“Hai, pagi!”, Suara itu Rizal.

“Hei, pagi kak! Mau kemana?”

“Jalan-jalan, kamu?”

“Sama”, mereka tersenyum. Dan mulai melangkah.

Hari itu mereka habiskan berdua menjelajahi sebagian kota London hanya berjalan kaki. Masuk toko ini dan itu. Memotret etalase. Ketika tiba disebuah toko aksesoris dan Annisa sedang asik melihat-lihat benda-benda kecil nan cantik. Rizal tertarik pada sehelai syal. Warnanya ungu, warna kesukaannya. Dia mengambil itu dan. Bukannya ingat untuk istrinya tapi…

“Annisa…”

“Iya…”, Annisa menoleh. Dan tiba-tiba Rizal langsung memasangkan syal itu ke lehernya. 
Annisa terkejut namun tidak berbuat apa-apa. Tiba-tiba hatinya berdegup kencang.

“Hmm…warnanya pas dengan kerudungmu. Juga sangat cocok dengan kulitmu”, ucap lelaki itu sambil memandang lembut tepat ke mata Annisa. Dan kini jantungnya berdegup tambah kuat.

Annisa tersenyum mengulang memori itu. Saat itu, moment itu memang sangat indah tapi sangat menyakitkan. Dia masukkan lagi syal itu dan beralih ke benda lain. Topi pantai dan Kaca Mata.

***

Nino datang berkunjung. Dia khusus datang dari York untuk bertemu Annisa. Nino memang sahabat cowok terdekatnya. Jangan Tanya apa Nino juga memiliki rasa untuk Annisa. Karena sebenarnya iya, tapi karena dia tahu perasaannya bertepuk sebelah tangan, dia lebih memilih memendam dan menjalani hubungan sebagai sahabat  dan kini dia everything is better in time. Nino sudah bertunangan dengan adik kelasnya dikampus dulu. Kebetulan saat kedatangan Nino, Sarah berulang tahun jadi mereka membuat acara barbeque. Mereka mengundang beberapa teman asing di kelas fotografi dan instructurnya. Dan sikap Rizal tak bisa lagi dibohongi. Annisa boleh mengelak, tapi tatapan dan juga perhatian tak bisa menyembunyikan rasanya terhadap wanita itu. Nino tersentak ketika menyadari itu. Awalnya dia tak percaya, namun semakin diperhatikan semakin terjawab dugaannya…

“Sa, kamu lagi jatuh cinta ya?”, Annisa terkejut.

“Iya Nin,benar sekali. aku lagi jatuh cinta sama kamu, hahaha… Ada-ada aja kamu. Jatuh cinta sama siapa?”

“Sama Rizal!”, jawaban singkat itu langsung membuat Annisa terdiam tanpa kata.

“Benar kan dugaanku. Dia juga mencintaimu kan?”

“Jangan ngomong sembarangan, Nin. Kak Rizal sudah berkeluarga…”

“Berkeluarga tak berarti dia tak bisa jatuh cinta lagi. Annisa, kamu harus hati-hati. Jangan pernah bermain api. Aku lelaki Annisa, aku bisa lihat kalau Rizal memang mencintaimu.”

***

Setelah kunjungan Nino dan percakapannya itu, Annisa mulai menjaga jarak. Rizal tentu merasakan itu. Annisa juga begitu menghindari berbicara dengannya. Tapi, Rizal bukan menjauh, dia makin mendekat. Dia juga begitu hafal makanan apa yan paling disukai Annisa selama di Inggris. Samosa. Dia juga tahu jadwal haidhnya Annisa karena Annisa selalu bolos khursus saat dia nyeri haidh. Dan Rizal akan datang membawa sebotol air hangat. Lelaki itu tak berniat mengkhianati istrinya, tapi dia juga tak bisa menghindari perasaannya. Perasaan yang baru pertama kali dirasakannya. Jatuh hati. Pernikahannya dengan Rara ternyata Arranged Marriage. Dia menyayangi wanita itu apalagi sejak mereka memiliki seorang putri yang cantik. Tapi tak lebih dari itu. Sekarang Annisa malah datang dan berhasil mencuri hatinya.

Sementara Annisa mulai tidak nyaman. Dia cemas kalau saja memang benar perasaanya berbalas. Tapi semakin mendekati waktu pulang semakin Rizal menunjukkan tanda-tanda itu. Namun lelaki itu tak pernah mengngkapkan secara gamblang hanya lewat bahasa tubuh dan perhatian. Satu sisi dia tak memungkiri, perasaannya bahagia ketika lelaki yang dicintainya itu ada dihari-harinya. Dan benar-benar ingin menanyakannya.

Weekend lagi.

Satu sms masuk. Rizal.

[Kita sudah menjelajahi sebagian kota dengan berjalan, hari ini kita jelajahi London by train. Ikut?].

Ini moment yang tepat pikirnya.

Mereka pun menjelajahi London naik kereta api menuju kota lain. Tepat disebuah kota kecil dengan landscape yang sangat indah. Mereka memasuki sebuah toko kecil. Annisa juga berniat membeli oleh-oleh karena hitungan hari mereka akan mendarat di Indonesia lagi. Rizal terlihat asik melihat-lihat kacamata dan topi. Mereka selesai dan berjalan santai. Membeli burger dan makan di pemberhentian bus.

“Annisa…”

“Iya kak!”

“Selamat Ulang tahun!”, bahkan Annisa lupa hari ini ulang tahunnya. Dan topi pantai serta kacamata yang dibelinya tadi yang awalnya dikira Annisa untuk istrinya diberikan sebagai kado ulang tahunnya. Annisa terpana. Tapi tak dipungkiri satu sisinya membuncah bahagia.
Mereka berjalan lagi. Kini Annisa tertinggal beberapa langkah dibelakang mencoba menikmati pandangannya kearah lelaki itu. Dia takut moment ini tak akan terjadi lagi. Aku tahu ini berdosa Ya Allah, tapi apa aku salah jika aku menikmati rasaku ini. Saat dia sedang asik dengan pandangannya tangan itu meraih tangannya. Mengenggamnya erat. Annisa terpana. Mereka hanya diam. Lama. Tidak! Annisa, ini salah!

Annisa pun berhenti melangkah. Rizal pun berhenti dan menoleh.

“Kenapa? Capek?”, Tanya lembut sambil menunduk kearah Annisa. Dan lagi-lagi tatapan itu… Tuhan, seharusnya tak perlu Engkau kabulkan doaku waktu itu. Aku ingin tatapan ini, tapi bukan darinya…Mba Rara, maafkan aku! Annisa menggeleng. Annisa melepas genggaman tangannya.

“Kak Rizal, ini maksudnya apa? Tolong jelaskan!”, Annisa bertanya dengan wajah yang sangat memperihatinkan. Rizal mendesah.

“Iyya Annisa. Yang kau pikirkan benar adanya. Aku jatuh cinta padamu. Untuk pertama kalinya, aku telah jatuh hati.” Ucapnya lembut.

“Apa?”, kini Annisa tak bisa membendung air matanya. Mba Rara, aku benra minta maaf.

“Iya, aku jatuh hati padamu untuk pertama kali dalam hidupku…”

***

Annisa seorang wanita. Dia ingan Rara.Dia punya keinginan kuat mengubur perasaaanya dan menghindari Rizal. Tapi, jarak dan intensitas tak mengizinkan. Dan niatnya hanya dapat berlangsung hitungan jam selanjutnya dia menikmati perasaannya dan kebersamaannya bersama Rizal. Apalagi sejak tahu kisah Rizal dan Rara, perasaan itu semakin menjadi-jadi. Mungkin peran orang ketiga pun sangat kuat (nafsu dan syeitan), seolah berbisik dihatinya Kamu menang Annisa! Kini pandangan itu hanya milikmu, bahkan pandangan itu berbeda dan hanya untukmu. Annisa tersenyum bahagia.

Annisa dan Rizal mungkin tak sadar, jika kedua orang sudah tak ada batasan dalam berbicara apapun. Kemungkinan jatuh hati lebih besar dan mereka melewatinya. Semuanya terasa nyaman. Jika dua orang sudah sangat dekat, tak ada jarak yang signifikan dalam menghabiskan waktu bersama, maka itu juga hal yang membuat perasaan semakin besar dan yang mereka juga menjalaninya. Yeng terakhir mungkin yang masih terjaga karena mereka juga manusia bertuhan, ketika tak ada jarak lagi dalam sentuhan (artikan sendiri). Annisa dan Rizal seolah lupa ada seorang wanita dan anak kecil bahkan seorang calon bayi menunggu Rizal dengan rindu di Indonesia. Namun, Allah tak membiarkan mereka selalu dalam ketenangan karena memang hubungannya tidak benar.

Menjelang tiga hari kepulangan, malam itu Annisa sedang menikmati waktu mengobrol dengan Rizal via chatting. Sebuah sms masuk dan itu sangat mengejutkannya.

From: Mba Rara.

Annisa, apa kabar ? Mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah. Annisa, perasaan mba tidak enak beberapa minggu terakhir, apalagi sudah dua hari nomor Kak Riza tidak aktif, tidak terjadi apa-apa kan sama Kak Rizal?

Firasat seorang istri. Dan seketika itu seperti ditampar, hati Annisa penuh dengan dosa. Dia menangis. Aku telah jadi selingkuhan. Aku wanita jahat.

[Aku sehat Mba, Kak Rizal juga baik saja. Alhamdulillah. Mba Rara apa kabar?]. Send. Tidak Mba. Aku bohong. Kak Rizal memang sehat dan baik tapi hatinya yang tidak lagi untukmu dan aku wanita jahat yang tega merebutnya darimu.

Dua menit kemudian masuk sms kedua.

[Alhamdulillah. Mba juga baik disini, sedang menunggu kelahiran adiknya Nabila ini. Nisa, tolong jaga Kak Rizal ya? Walaupun hanya tiga hari lagi. Send

Sms itu mungkin berisi kata-kata biasa, tapi bisikan lain mengartikannya berbeda.

***

Annisa hanyalah tetap seorang manusia biasa, ketika dia berusaha tapi disaat Rizal menjelaskan bahwa perasaannya lebih besar dan baru kali ini dia merasakannya. Dia luluh. Dan ketika bisikan lain itu juga melancarkan aksinya. Hanya hitungan jam lagi, nikmati kebersamaan ini.

Hari ini merupakan hari terakhir. Mereka sudah berada didalam burung besi itu. Semuanya seperti diatur sedemikian rupa, dimana teman yang lain duduk terpisah-pisah, mereka duduk bersama di kursi yang bersebelahan. Mereka menikmati kebersamaan yang tidak mungkin sama lagi itu dengan berbincang lama. Tertawa sampai waktu pun terlupa dan malam terlewat.

Dan welcome back to Indonesia. Saat-saat itu lah yang paling menyakitkan. Saat-saat dia melihat Mba Rara yang hamil besar menunggu suaminya beserta si kecil Nabila. Bukan karena wanita itu memeluk erat sang suami tapi karena perasaannya yang sekarang tak terhindarkan lagi dari perasaan dosa. Dan yang paling mengejutkan, wanita itu menangis seolah suaminya memang bukan miliknya lagi. Rizal menenangkannya dan mengusap airmata itu. Tidak. Annisa bukan cemburu tapi perasan itu lebih besar lagi. Perasaan dosa. Mba, aku minta maaf telah mencintai suamimu dan membiarkannya juga mencintaiku. Aku benar tak bermaksud. Dia diam-diam menangis. Aku janji Mba akan segera mengubur rasa ini. Ironis sekali, pertama kali jatuh hati dia harus benar-benar sakit hati.

Rizal benar pindah ke kantor pusat. Dan itu artinya pertemuan mereka tak terhindarkan. Dan kali ini benar-benar sudah tidak nyaman. Ternyata kenyataan memang menyadarkan Annisa bahwa mereka telah berbuat dosa.  Annisa benar-benar menghindar. Tapi Rizal ternyata tak begitu saja membiarkannya mundur. Semakin Annisa mundur, dia mendekat. Kalau pun Annisa tak mau bertemu, Rizal akan menelpon berulang kali dan mengirim sms puluhan. Suatu ketika ketika memang pembicaraan itu tak bisa dihindarkan…

“Annisa, please jangan berubah. Kita tetap bisa seperti dulu…”, Annisa tersentak. Apaan ini?

“Istighfar kak. Ingat Mba Rara. Sudah cukup kita berbuat salah sejak di London. Please, stop doing this. Leave me alone and go back to your wife, please!”, ucapnya memohon.
Rizal memang tak pernah berniat meninggalkan Rara. Tapi dia juga ingin Annisa tetap bisa bersamanya. Egois memang. Dia ingin Annisa bisa masuk ke keluarganya. Tapi dia tidak sadar keegoisannya itu menyakiti Annisa dan tentu istrinya.


***

“Mba, aku udah gak sanggup. Sepertinya aku harus resign… aku sudah berusaha bersikap wajar, tapi Kak Rizal malah semakin mendekat. Semuanya tak akan berhasil kalau begini terus. Aku harus pergi. Segera. Kasihan Mba Rara,” isaknya ketika Reni menelponnya dari York.

“Sabar Nisa. Tenang, jangan buru-buru. Tunggu beberapa saat lagi, insyAllah pasti ada jalan”.
Seminggu telah berlalu. Ketika dia sedang sibuk dengan laptopnya, sebuah sms masuk. Rizal.

[Alhamdulillah putra kedua kami telah lahir tadi subuh]. Annisa mengucap syukur tapi satu sisi, dia tidak butuh ini semua.

[Selamat. Mudah-mudahan menjadi anak yang sholeh]. Send

[Kapan datang kerumah?]. Tidak digubrisnya lagi sms itu. Ternyata Rizal masih tetap dengan usahanya mendekatkannya dengan keluarganya.

Beberapa hari berlalu.

[Annisa, Alhamdulillah putra kedua Mba sudah lahir. Kapan datang melihat sikecil? Mab kangen sama kamu Nisa]. Sms itu membuatnya terisak lagi. Wanita itu tak pantas disakiti, apalagi olehku. Dia tak sanggup bahkan untuk melihat wajah itu. Dia merasa sangat berdosa.

[Alhamdulillah Mba. Selamat. Mohon maaf Mba, Nisa lagi banyak deadline ini jadi belum bis liat sikecil. InsyAllah Nisa kirim doa buat si pengeran kecil. Jaga kesehatan Mba].

[Nisa, padahal Mba ingin sekali bertemu, tapi ya sudah. Kamu juga jaga kesehatan. Oia, Mba belum bilang terima kasih udah jagain suami Mba. Dia bilang Annisa yang selalu perhatian disana saat aku tak ada]. Dan sms ini benar-benar membuat Annisa seperti pendosa. Air matanya mengalir deras.

***

Beberapa bulan berlalu… disaat dia sedang bersiap ke kantor, hpnya berbunyi. Nomor luar. Pasti Mba Reni.

“Annisa, Mba ada berita gembira buatmu. Setelah beberapa saat lalu berbicara dan meminta sebuah lowongan buat kamu di York sama Mba Diana. Akhirnya…Alhamdulillah beliau setuju…”, Annisa mengucap syukur.

Dua minggu setelahnya hanya dengan memberitahu atasan dan menyerahkan surat rekomendasi dari Mba Diana, Annisa benar-benar pergi. Empat hari dia habiskan bersama keluarganya. Rizal tak tahu apa-pun hingga dihari keberangkatannya. Dia dengan buru-buru mengejar ke bandara mencegah pujaan hatinya terbang. Begitu pun Rara yang mengetahui keberangkatan Annisa dari Reni. Dia bergegas menuju bandara, dengan pakaian seadanya. Ketika bersalaman dengan Abah, Bunda dan saudaranya, Annisa bergegas masuk ruang tunggu. Namun sebuah panggilan menghentikan langkahnya dan suara itu sangat dikenalnya…

“Annisa…Tunggu!”, Annisa menoleh dan melihat kearah seseorang itu. Tas jinjing yang dipegangnya jatuh seketika bersamaan dengan tetes airmatanya yang tumpah. Mba Rara.
Annisa berjalan cepat menuju wanita itu dan memeluknya erat. Airmatanya tumpah tak tertahan, dia menangis terisak. Keluarga Annisa terpana.

“Mba..ma..maa..maafin An..Ni.i..sa!”, isaknya didalam pelukan itu. Rara merasakan sedih yang luar biasa. Dia tahu Annisa juga sangat terluka. Dia membelai kepala itu. Dia pun terisak. Seseorang yang baru saja tiba itu tertahan langkahnya. Rizal. Dia terpana. Ternyata begitu besar lukamu Annisa. Maafkan aku!

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nisa… kamu gak salah! Waktunya saja yang tidak tepat!”

“Mba…Ann..Nii..sa berdosa sam..ma..Mba..Rara…”

“Sudah cukup Dik! Jangan mengulang-ngulang, tidak ada manusia yang sempurna. Kamu juga tidak pernah meminta ini semua terjadi kan? Ini sudah jalan Allah…”, Annisa semakin terisak. Bagaimana mungkin dia tega menyakiti hati wanita mulia ini.

Jeda. Lama.

Bagi penumpang dengan nomor penerbangan GA321 tujuan Bangkok mohon segera…”

Suara panggilan itu menyadarkan Annisa bahwa dia harus segera pergi. Pesawatnya akan transit di Bangkok dan kembali menuju Inggris. Dia memeluk Rara untuk terakhir kalinya dan mengucap selamat tinggal. Dia pergi. Rizal hanya bisa terpana melihat Annisa benar pergi.
Garuda membelah angkasa dan mengantarkan Annisa menuju suatu tempat dimana dia akan 
menata hatinya…


***

Annisa tak menyadari air mata telah jatuh di pipinya. Kenangan masa lalunya. Malam pun tak terasa telah menjelang. Dan kini dia disini dengan sebuah kisah baru… tiba-tiba dia ingat lelaki itu. Lelaki yang baru saja mengupkapkan isi hatinya kepadanya. Adam. Dia lagi ngapain ya?

“Tok…tok..”, ada yang mengetuk pintu unitnya.

Dia meraih jilbabnya dan buru-buru menuju pintu masuk. Dia raih gagang pintu itu dan membuka. Dan seperti membaca pikirannya Aku disini, kekasih! Adam berdiri gagah di depan pintu masuknya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar