Dan benar saja, lelaki itu
benar-benar menghubungiku. Aku mencoba biasa saja, karena memang proses seperti
ini harus dimulai dengan pertemanan. Bahaya sekali kalau langsung diawali
dengan harapan karena itu bisa menimbulkan virus merah jambu. Aku sedikit
bergidik. Tapi aku sadar, hati ini Allah yang mengatur.
Nadia, ini Faisal. Masih ingat? Yang diacara Kiki.
Ingat ^_^
Nadia apa kabar?
Sehat Alhamdulillah, bang Faisal?
Alhamdulillah sehat juga.
Karena dia lebih tua dariku,
maka aku berinisiatif memanggilnya “Abang”. Awalnya Cuma pembicaraan basa-basi
(untung gak basi duluan, karena aku tipe yang kurang suka basa-basi), akhirnya
dia mengajakku ketemuan lagi.
Nadia, sesekali kalau saya ajak keluar makan, mau gak?
Aku berpikir sejenak.
Sejujurnya aku tahu kalau keluar berduaan tidak baik, apalagi ditempat umum.
Tapi malah makin parah kalau ditempat sepi. Jadi…
insyaAllah, tapi ditempat rame kan?
Haha… iya, gak mungkin kan kita makan dikuburan. Oke,
I’ll text you later. Good night ^_^
Aku tersenyum. Dia lucu juga.
Tak kubalas lagi sms itu dan aku bergegas shalat isya dan mengerjakan tugasku.
***
Dua hari berlalu. Aku rindu
dapur. Aku rindu memasak. Tetapi tugasku terlanjur banyak dan memang baru
minggu depan aku baru berjualan.
Komunikasiku dengan Faisal
lumayan lancar. Kami jarang berbasa-basi, karena menurutku itu kurang penting
dan Alhamdulillah dia juga punya pemikiran yang sama. Sebenarnya aku takut
sekali kalau keintensitas itu membuat hatiku jatuh. Dia pun hanya akan menelpon
sesekali (selama dua hari ini baru sekali, itu pun gak sampai 10 menit). Kalau
pun mengirim pesan singkat, ada hal menarik yang bisa kami bahas. Dia punya
wawasan luas, jika pun ada perdebatan, dia punya pemikiran yang dewasa dalam
menanggapi. Dia cerdas, bahasa inggrisnya bagus. Aku terkadang merasa minder.
Sejujurnya, aku nyaman (titik yang sedikit berbahaya).
Tadi
pagi ketika aku masih dikelas ada satu sms masuk.
Nadia, I know you’re in class now, I’m also at work
actually J. Would you
like to have lunch together today?
Maka disaat istirahat jam pertama
aku mulai pertimbangkan. Hari ini tidak ada jadwal buat tugas dan kebetulan
kelas hanya sampai siang.
Dimana?
Ayam penyet suroboyo sp. BPKP. After dhuhur at 1.15.
Dijemput?
That’s oke. I’ll see you there.
***
“Nad, makan pangsit pertanian
yuk!”, ajak Rika. She’s my friend di program yang sama. Kami biasa menghabiskan
waktu bersama karena kebetulan punya hobi yang sama, yaitu makan dan memasak.
“So sorry Ka, hari ini ada
janji ma orang! Besok yaa! Ngajak kak Vera aja gih!”, kulihat wajah itu lumayan
kecewa. Aku pengen jujur, tapi kurasa ini masih terlalu dini. Maaf ya Rika.
It’s nearly 1 pm. Aku pun
bergegas menuju motor matikku dan melaju ke masjid putih berdinding kaca di
Lampineung. Langit terlihat mulai gelap. Ketika aku sampai disana, shalat
berjamaah telah selesai. Ketika aku memarkirkan motor matik, ada satu benda
unik dan colorful menarik mataku. Sebuah sepeda dengan ban tipisnya dan sepeda
itu berwarna menarik. Betapa aku sangat tertarik. Punya siapa yaa? Dengan helm
khususnya. Imut.
Ketika aku memasuki masjid
selesai berwhudu, tak ada satu orang pun disana, hanya beberapa lelaki di
bagian lelaki. Hujan turun lebat. Aku selesai dan mulai melipat mukenaku. Aku
mulai cemas, sepertinya hujannya tidak memberi tanda akan berhenti segera. Bang
Faisal udah nyampe belum ya? Pasti dia udah nunggu. Aku pun berdiri pasrah di
teras masjid memandang hujan berharap Tuhan sedikit memberi harapan. Ketika aku
sedang melamun, sesosok itu membuyarkan lamunanku. Sesosok lelaki baru keluar
dari toilet dan berlari menuju teras masjid. Wajahnya tidak asing. Aku kenal.
Tapi, ngapain dia disini?
Aku seperti orang bego.
Beberapa detik memperhatikan lelaki itu berlari dan ketika dia tepat berdiri
beberapa langkah disampingku, aku tersadar. Dia pun kini seperti sedikit
terkejut akan keberadaanku. Detik kemudian kami berdua tersenyum. Kulihat dia
akan bertanya sessuatu ketika handphoneku berbunyi…
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam, Nadia
dimana? I’m here”
“Kejebak hujan, hehe… ini
hujannya udah mau reda, I’ll be there soon!”,ucapku merasa kurang enak. Dia
hanya terkekeh. Tiba-tiba, sudut mataku menangkap sesuatu. Lelaki itu melirik
jamnya dan melirikku sekilas. Detik selanjutnya dia berlalu.
“Jangan buru-buru. Atau saya
jemput? Sekarang dimana?”
“Nope! Nadia dengan motor matik
ini, kasihan kalau ditinggal, hehe”
“Oke-oke… hati-hati ya.
Assalamualaikum”.
“Waalaikumussalam…”,
Refleks kucari lelaki itu yang
kini sudah tak ada diteras yang sama. Benar saja, dia kini sudah berada di atas
sepeda unik itu dan dengan helm dikepalanya, lelaki itu kini telah beranjak
pergi. Sepertinya dia buru-buru. Lelaki Chinese tak sipit mata. Siapa namamu?
Ngapain kamu disini? Gak mungkin kamu shalat dhuhur kan? Atau kamu hanya
numpang ke toilet? Haduuh…aku harus buru-buru juga ini.
Namun, ketika aku sudah akan
melaju, hujan pun turun dengan sangat lebatnya lagi dan terpaksa aku berlindung
lagi. Dan kali ini hujannya tidak berhenti sampai setengah jam ke depan…
Akhirnya pertemuan itu tak terjadi (Allah mungkin belum mengizinkan, hehe),
karena Bang Faisal harus kembali ke kantor.
***
Hampir satu jam aku termenung
di teras masjid, menunggu hujan reda. Perutku sudah tak mau kompromi. Lapaaar,
hiks. Cuaca dingin makin membuat cacing-cacing makin semangat bersuara. Syukur
akhirnya Tuhan mengerti bahwa hambaNya ini butuh asupan makanan segera setelah
menguras otak di kampus setengah hari, hujan berhenti. Aku melajukan motor
matikku, tepatnya ketika melewati Hotel Hermes Palace kulihat sekilas kearah
lampu lalu lintas sekitar 10 detik lagi lampu hijau akan segera berganti.
Tidaaak. Perkiraanku, jika aku terjebak dilampu merah, aku akan menghabiskan
semenit berikutnya. Dan dalam keadaan kelaparan seperti ini rasanya sedetik pun
sangat berharga. Ku lajukan motorku seolah aku pembalap professional
(kadang-kadang aku memang suka tak pikir panjang, ini jangan diikuti yaa,
hehe). Namun aku gagal. Keprofesionalanku yang tak seberapa itu membuatku harus
dengan ikhlas berhenti di lampu lalu lintas simpang BPKP itu.
Mungkin awalnya itu kusesali
karena itu menjatuhkan keprofesionalanku sebagai pembalap kelas bilis (padahal,
faktanya aku menyesal karena cacing-cacingku sudah tak mau bekerjasama, hiks).
Aku mendesah lemah dengan pandangan tak jelas kemana (lebai banget kan
kelaparanku hingga membuatku seperti orang yang hilang arah). Sebuah Toyota
Harrier putih gading memaksa mataku yang awalnya tak bersemangat lagi menoleh
tepat kesamping (aku memang penggemar mobil juga, walaupun hanya bisa
mengagumi, hehe). Gagah dan sekaligus cantik. Yaah..setidaknya ini mengobati
kepasrahanku walaupun perutku masih keroncongan. Mataku masih menyusuri body
gagah itu (ingat yaa, bukan body gagah yang ehem..ehem..).
Tiba-tiba dari arah jembatan
layang sederetan mobil melaju dengan kencang lurus menuju kantor gubernur,
kurasa orang penting (pejabat maksud gue), karena diikuti oleh iringan mobil
dan motor ge de patroli polisi. Suara klakson yang bersahut-sahutan memaksa
semua mata tertuju kearah itu (Ini..ni yang salah strategi… kalau mau aman,
ngapain menarik perhatian banget gitu siyh?). Aku saja yang sudah tak semangat
melihat apa-apa, menoleh (suara klakson itu sangat keterlaluan). Dari sudut
mataku, kulihat sekilas jendela kaca Harrier itu mulai turun membuka. Ternyata
si pengendara juga tertarik melihat iring-iringan itu denga suara klakson yang
sangat berlebihan dan tidak salah jika menarik perhatian.
Kupalingkan mukaku melihat
detik-detik itu. 15 detik terakhir. Horee… Aku seperti tersenyum sumringah.
Namun lagi-lagi sudut mataku kini berulah lagi. Dengan reflex yang 80%
disengaja ku palingkan wajahku kesamping tepat menatap kearah Harrier. Jadi penasaran
sama yang empunya si Harrier gagah nan cantik itu. Aku terpana bukan karena… Wajah
itu. Aku seperti mengenali. Wajah putih dengan rangkaian hidung, bibir, dagu
yang tepat. Wajah itu kini sedikit berubah karena kacamata menghiasi matanya.
Apa aku tak salah lihat? Dia berbeda. Bukan hanya karena kacamata, tapi
penampilan dengan kemeja dan tentu kendaraan yang sekarang dia duduki. Lelaki yangbaru
saja kutemui beberapa waktu lalu dengan gaya casualnya dan sepeda sportnya kini
menjelma menjadi seorang eksekutif. Tidak, aku pasti salah kira.
Mataku benar-benar keterlaluan,
terpana kurang beralasan (menurutku siapapun dia, bukan urusanku). Namun, aku
tak mengerti ketika di detik selanjutnya lelaki yang sedang menikmati
iring-iringan mobil itu menyadari kepenasaranku. Dan kini matanya seperti
mengarah kepadaku. Dia membuka kacamatanya. Nah, kan? Dan kami saling menatap
sepersekian detik.
“Hai”, ucapnya tiba-tiba dengan
senyumannya yang mempesona itu, kali ini ditambah dengan lambaian tangan. Aku
sedikit terkejut namun hanya bisa membalas dengan senyum karena detik selanjutnya
lampu hijau telah menyala (bisa berabe kalau orang-orang menyadari
keterpanaanku yang sedikit keterlaluan akan wajah itu, suara klakson bisa
menghancurkan harga diriku…mending cabut).
Aku berbelok kekanan, sedang
Harrier putih gading melaju lurus ke depan menuju jembatan layang. Ya Allah,
itu kan lelaki Chinese di toko bahan kue. He’s truly different. Toyota
Harrier?? Penjual bahan kue?? Kemeja ala eksekutif, bukan gaya casual? Haduu,
aku pusing. However, he’s charming and he said “Hai”. What a Wow!! Aku
tersenyum sendiri, bahkan aku lupa bahwa aku sedang keroncongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar