Seperti
hari ini aku baru saja menemani Aliya membingkai daun-daun meaple di salah satu
toko bingkai di Peunayong. Si Aliya mah idenya terkadang macam-macam, dia bawa
pulang puluhan lembaran daun Meaple berbagai macam jenis dari Australia dan
memintaku membantunya mengkreasikannya dalam sebuah karton tebal ditemani
fotonya dan fotoku dimusim gugur – kami berdua mendapatkan kesempatan belajar
di LN dalam program beasiswa yang berbeda, aku di Amerika, Aliya di Australia.
Kembali ke
cerita awal, saat kami ingin melangkah pulang, suara azan menggema. Ya… waktu
magrib telah datang.
“La, shalat
dulu ya..”
“Oke!”,
kataku.
Setelah
menstarter motor matiknya, Aliya mengarahkan motornya kearah pasar ikan
Peunayong. Aku menurut saja, toh…aku pengikutnya yang paling baik. Tapi, aku
seperti mengingat sesuatu.
“Li, kita
memangnya mau shalat dimana?”, tanyaku kemudian ketika kami sudah melewati para
abang-abang penjual buah. Sebagian kedai kecil itu sudah mulai ditutup, namun
sebagian besar masih terbuka – bahkan lampu-lampunya menyala dengan sangat
terang, dan para penjualnya masih dengan santai duduk disana.
“Hmm…
sekitaran ini kan banyak masjid, di masjid At-Taqwa aja…”, ucap Aliya sambil
melambatkan gas motornya.
“Iyaa,
that’s a good idea. Tapi bukannya Mesjid At-Taqwa diarah berlawanan ya?”
“Oh iya!
Lupa… hehe, maklum aku kan bukan pengingat jalan yang baik Laila, hehe”, ucap
Aliya sambil cekikikan.
Aku hafal
banget kebiasaan Aliya. Dia memang sedikit banyaknya tahu tempat dan jalan di
Banda Aceh, tapi jangan tanya the best way atau shortcut sama Aliya. Dia paling
tidak “ngeh”. Aliya bisa menempuh jalan mana saja – panjang atau jalan pintas –
asal dia mencapai tujuan.
Jadilah
kami memutar kembali melewati jalan didepan Isaura Bakso, sepanjang jalan
menuju Mesjid At-Taqwa, mataku seperti mengamati sesuatu. Suara azan masih saja
bersahut-sahutan. Jumlah kendaraan juga semakin banyak dijalanan. Yang membuat
wajahku berpaling kekanan kekiri adalah karena hanya sebagian kecil toko yang
tutup, sedang sebagian besar yang lain terbuka lebar dengan cahaya lampu yang
terang. Dan yang semakin membuatku sedikit kecewa adalah ketika banyak sekali
pemuda-pemudi masih berkeliaran dijalanan dengan santainya – dan kurasa memang
tidak menuju arah pulang – para pemuda yang bukannya menuju arah masjid
terdekat tapi dengan santainya duduk di depan toko atau di depan kedai kecilnya
sambil terus menghisap rokok atau mengobrol santai. Aku jadi prihatin dengan
keadaan serambi mekkah ini. Apa orang-orang ini tak lagi mendengar panggilan
shalat? Atau memang sudah tak memperdulikannya lagi?
Aku sibuk
dengan lamunanku, hingga tepat di lampu lalulintas di depan Queen Resto, Aliya
berkata…
“Kasihan
sekali Serambi Mekkah ini kalau hanya tinggal nama, sedangkan para
pemuda-pemudinya sibuk dengan hal dunia dan melupakan Allah…”
Aku
terpana, ternyata tak hanya aku yang mengamati semuanya.
“Memang
bukan urusan kita kan La, tapi apa susahnya meninggalkan semua itu sejenak dan
it just takes 5 minutes to meet Him via Shalat…”, sambung Aliya ketika kami terkena
lampu merah di simpang Queen Resto itu.
Aku
mengangguk.
“Memang
bukan urusan kita kok, Li… tapi kewajiban kita saling mengingatkan. Yaa…dalam
hal ini kita berdoa saja… gak mungkin juga kan kita jalan dari satu toko ke
toko lain untuk sosialisasi itu, sedang waktu magrib singkat gini…”
“That’s
true. Sejujurnya sedih melihat fenomena ini, tapi apa iya mereka gak shalat?”,
tanya Aliya ketika lampu hijau mulai hidup.
“Wallahu’alam.
Berpositif thinking aja. Satu lagi, hanya bisa berdoa… tapi fenomena ini memang
sudah dari dulu terjadi dan dimana saja. Coba perhatikan kedai-kedai kopi, dari
sekian banyak lelaki disana, berapa jumlah yang bangkit shalat ketika azan
mulai dikumandangkan? Belum lagi di tempat-tempat lain, dijalanan seperti ini…”
“Hmm… iyya,
mudah-mudahan kita selalu diingatkan Allah untuk selalu istiqamah…”
“Amiin…
yaa, walaupun kita bukan orang yang alim-alim banget, tapi mudah-mudahan Allah
selalu menjaga kita yaa…”
Akhirnya
kami sampai di Mesjid At-Taqwa dan segelintir orang disana membuat perasaan
tenang bukan kepalang. Ya Rabb, setidaknya mala mini rumahMu yang suci ini
didatangi oleh beberapa orang yang masih Kau buka hatinya. Dua shaf laki-laki
dan satu shaf di bagian perempuan. That’s better than no one. Dan inshaAllah
kedepan akan lebih baik. Ketika kami selesai, masih ada beberapa orang yang
datang, baik keluarga, para pasangan muda – pacaran atau suami istri, we don’t
know, yang penting mereka shalat, anak-anak kecil kampung, para pemuda dan para
remaja putri.
Ketika
Aliya menarik tanganku, aku tersenyum sambil melihat kearah rombongan remaja
putra yang baru keluar masjid dan bersenda gurau menuju sebuah mobil.
“Li,
mudah-mudahan lelaki kita kelak yang senantiasa aware akan panggilang shalat
dan sebisa mungkin shalat berjamaah yaa…”, kataku sambil melirik kearah remaja
putra – kurasa masih sangat belia. Aliya terkekeh.
“Eh, masih
daun muda tuch…”
“Yang
penting shalat!”, ucapku dan Aliya mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar