Jumat, 21 Desember 2012

Fenomena II – by Aliya and Laila

Gak perlu banyak kata kalau mendeskripsikan fenomena dunia baru-baru ini. Terkadang kita tak sadar akan fenomena itu, terkadang kita ternganga, tak jarang kita hanya bisa urut-urut dada. Ada juga yang bikin senyum-senyum. Kalau bicara fenomena, aku dan sahabatku Aliya sering sekali membicarakannya. Awalnya itu memang hobinya Aliya yang suka sekali menyadari hal-hal ajaib itu, ketika kusadari ternyata asik juga mengamati itu. Sekalian saja jadi rangkaian kata yang mengisi blogku.

Seperti hari ini aku baru saja menemani Aliya membingkai daun-daun meaple di salah satu toko bingkai di Peunayong. Si Aliya mah idenya terkadang macam-macam, dia bawa pulang puluhan lembaran daun Meaple berbagai macam jenis dari Australia dan memintaku membantunya mengkreasikannya dalam sebuah karton tebal ditemani fotonya dan fotoku dimusim gugur – kami berdua mendapatkan kesempatan belajar di LN dalam program beasiswa yang berbeda, aku di Amerika, Aliya di Australia.

Kembali ke cerita awal, saat kami ingin melangkah pulang, suara azan menggema. Ya… waktu magrib telah datang.
“La, shalat dulu ya..”
“Oke!”, kataku.
Setelah menstarter motor matiknya, Aliya mengarahkan motornya kearah pasar ikan Peunayong. Aku menurut saja, toh…aku pengikutnya yang paling baik. Tapi, aku seperti mengingat sesuatu.
“Li, kita memangnya mau shalat dimana?”, tanyaku kemudian ketika kami sudah melewati para abang-abang penjual buah. Sebagian kedai kecil itu sudah mulai ditutup, namun sebagian besar masih terbuka – bahkan lampu-lampunya menyala dengan sangat terang, dan para penjualnya masih dengan santai duduk disana.
“Hmm… sekitaran ini kan banyak masjid, di masjid At-Taqwa aja…”, ucap Aliya sambil melambatkan gas motornya.
“Iyaa, that’s a good idea. Tapi bukannya Mesjid At-Taqwa diarah berlawanan ya?”
“Oh iya! Lupa… hehe, maklum aku kan bukan pengingat jalan yang baik Laila, hehe”, ucap Aliya sambil cekikikan.

Aku hafal banget kebiasaan Aliya. Dia memang sedikit banyaknya tahu tempat dan jalan di Banda Aceh, tapi jangan tanya the best way atau shortcut sama Aliya. Dia paling tidak “ngeh”. Aliya bisa menempuh jalan mana saja – panjang atau jalan pintas – asal dia mencapai tujuan.

Jadilah kami memutar kembali melewati jalan didepan Isaura Bakso, sepanjang jalan menuju Mesjid At-Taqwa, mataku seperti mengamati sesuatu. Suara azan masih saja bersahut-sahutan. Jumlah kendaraan juga semakin banyak dijalanan. Yang membuat wajahku berpaling kekanan kekiri adalah karena hanya sebagian kecil toko yang tutup, sedang sebagian besar yang lain terbuka lebar dengan cahaya lampu yang terang. Dan yang semakin membuatku sedikit kecewa adalah ketika banyak sekali pemuda-pemudi masih berkeliaran dijalanan dengan santainya – dan kurasa memang tidak menuju arah pulang – para pemuda yang bukannya menuju arah masjid terdekat tapi dengan santainya duduk di depan toko atau di depan kedai kecilnya sambil terus menghisap rokok atau mengobrol santai. Aku jadi prihatin dengan keadaan serambi mekkah ini. Apa orang-orang ini tak lagi mendengar panggilan shalat? Atau memang sudah tak memperdulikannya lagi?

Aku sibuk dengan lamunanku, hingga tepat di lampu lalulintas di depan Queen Resto, Aliya berkata…
“Kasihan sekali Serambi Mekkah ini kalau hanya tinggal nama, sedangkan para pemuda-pemudinya sibuk dengan hal dunia dan melupakan Allah…”
Aku terpana, ternyata tak hanya aku yang mengamati semuanya.
“Memang bukan urusan kita kan La, tapi apa susahnya meninggalkan semua itu sejenak dan it just takes 5 minutes to meet Him via Shalat…”, sambung Aliya ketika kami terkena lampu merah di simpang Queen Resto itu.
Aku mengangguk.
“Memang bukan urusan kita kok, Li… tapi kewajiban kita saling mengingatkan. Yaa…dalam hal ini kita berdoa saja… gak mungkin juga kan kita jalan dari satu toko ke toko lain untuk sosialisasi itu, sedang waktu magrib singkat gini…”
“That’s true. Sejujurnya sedih melihat fenomena ini, tapi apa iya mereka gak shalat?”, tanya Aliya ketika lampu hijau mulai hidup.
“Wallahu’alam. Berpositif thinking aja. Satu lagi, hanya bisa berdoa… tapi fenomena ini memang sudah dari dulu terjadi dan dimana saja. Coba perhatikan kedai-kedai kopi, dari sekian banyak lelaki disana, berapa jumlah yang bangkit shalat ketika azan mulai dikumandangkan? Belum lagi di tempat-tempat lain, dijalanan seperti ini…”
“Hmm… iyya, mudah-mudahan kita selalu diingatkan Allah untuk selalu istiqamah…”
“Amiin… yaa, walaupun kita bukan orang yang alim-alim banget, tapi mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita yaa…”

Akhirnya kami sampai di Mesjid At-Taqwa dan segelintir orang disana membuat perasaan tenang bukan kepalang. Ya Rabb, setidaknya mala mini rumahMu yang suci ini didatangi oleh beberapa orang yang masih Kau buka hatinya. Dua shaf laki-laki dan satu shaf di bagian perempuan. That’s better than no one. Dan inshaAllah kedepan akan lebih baik. Ketika kami selesai, masih ada beberapa orang yang datang, baik keluarga, para pasangan muda – pacaran atau suami istri, we don’t know, yang penting mereka shalat, anak-anak kecil kampung, para pemuda dan para remaja putri.

Ketika Aliya menarik tanganku, aku tersenyum sambil melihat kearah rombongan remaja putra yang baru keluar masjid dan bersenda gurau menuju sebuah mobil.
“Li, mudah-mudahan lelaki kita kelak yang senantiasa aware akan panggilang shalat dan sebisa mungkin shalat berjamaah yaa…”, kataku sambil melirik kearah remaja putra – kurasa masih sangat belia. Aliya terkekeh.
“Eh, masih daun muda tuch…”
“Yang penting shalat!”, ucapku dan Aliya mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar