Jumat, 21 Desember 2012

Fenomena IV by Laila


Sebulan sebelum kepulangan Aliya dari Oz, aku sudah mewanti-wantinya agar menikmati waktu-waktunya disana sebelum akhirnya harus pulang. Serindu-rindunya dia pada kampung halaman, kebiasaan dan suasana yang sudah terbiasa di negeri orang akan dengan mudah dirindukan kelak ketika sudah berada di negeri sendiri. Apalagi dengan keadaan dan system yang berbeda jauh antara kampung halaman kita dengan Negara sekelas Down Under, Australia.

Kami pernah punya pengalaman reverse culture shock sebelumnya. Aku baru saja kembali dari study Masterku di Amerika, sedang Aliya sekitar 4 tahun kembali dari Kanada – program pertukaran pemuda. Aku memang seharusnya tak perlu khawatir berlebihan karena kurasa Aliya sudah bisa mengerti bagaimana rasa mengalami reverse culture shock itu. Tetapi, satu sisi hatiku merasa Aliya belum cukup kuat kelak ketika harus menjalani hari-hari baru dikampung halaman setelah hampir setahun setengah di rantau dengan keadaan yang lebih teratur di Oz.

Sekembalinya aku ke Banda Aceh, hal pertama yang membuatku terkejut adalah cuaca. Kebetulan aku kembali Oktober, yaitu ketika musim peralihan fall ke winter. Cuaca dingin mencekam kentara terasa berubah ketika aku menginjakkan kaki ke Jakarta. Kulitku yang dulunya kering kini sedikit berpeluh dan lembah. That’s a good one. Tapi, aku tak tahan berdiri lama-lama dalam keadaan panas. Rasanya mau pingsan.

Dan banyak hal lainnya mulai dari lalu lintas yang berantakan di nagroe tercinta. Para pengendara seperti asal-asalan dalam mengemudi atau mengendarai sepeda motornya. Lampu lalu lintas terkadang hanya menjadi symbol, tak pun dipatuhi. Padahal, resikonya sangat berbahaya jika melanggar itu. Speechless kalau kata Aliya. Belum lagi kondisi parkir yang tak berarturan, birokrasi pemerintahan yang juga seenak pegawainya. Pussing. Awalnya ibuku sempat resah melihat keadaanku yang malas keluar kemana-kemana saking shocknya.
“Laila, mana boleh begitu? Kamu disekolahkan sampai ke Amerika untuk bisa mengabdi di daerah kita. Kamu disana sudah mandiri selama hampir dua tahun, kalau hanya karena keadaan yang sudah 24 tahun kamu alami ini kamu kalah, untuk apa sekolah jauh-jauh sampai ke LN? mending sekolah disini dan tidak perlu ada masalah ini…”, aku terdiam meresapi kata-kata ibuku.
“Lagi pula, bersyukurlah dengan segala kondisi yang Allah berikan, artinya sudah bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Ini kenyataan, Nak! Anggap saja dua tahun lalu itu hanya mimpi, dan kamu kini sudah kembali bangun dan inilah hidup…”

Dan sejak saat itulah aku mencoba kembali hidup normal seperti sebelum aku berangkat ke LN.

Dan benar saja anggapanku, Aliya sepertinya belum cukup mempersiapkan diri. Sepulangnya dari LN, mulailah kebiasannya melihat fenomena-fenomena ajaib terbentuk.
“That’s not true Laila, emang dari dulu aku suka perhatiin fenomena-fenomena, gak cuma sepulang dari Oz, ayoo…edit statement diatas!”, ucapnya ketika berhasil membaca tulisanku. Aku terkekeh tapi tidak mengedit statement itu karena bukan inti yang ingin kubicarakan.

Fenomena pertama yang diperhatikannya adalah masalah lalu lintas. Ketika kuajak keluar pertama kali, Aliya memegang erat pinggangku.
“La, jangan ngebut donk! Ah… gak sayang nyawa nih anak!”, cerocosnya dan aku hanya cekikikan.
“Apanya ngebut? Ini cuma 60km/jam… biasanya kamu lebih dari itu…”
“Itu kan dulu La, gak liat ni orang bawa kendaraan kok ngasal gini, kita mana boleh juga asal-asalan plus ngebut lagi… Kalau di luar kan walaupun 100km/jam tapi mereka teratur dan hukumnya jelas dan mahal…Please dech La!”, kulambatkan motorku.
“Seeh… cewek ni baru pulang dari LN rupanya…hehe”
“Ah, Laila…”

Kami terkena lampu merah di simpang Surabaya. Tiba-tiba seorang cewek disebelah kami menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi, dan Aliya sadar akan itu.
“Wah…wah, bahaya banget tuch…”
Dan memang nasibnya sedikit kurang beruntung karena tiba-tiba  dari arah jalan Ladiagalaska, sebuah mobil dengan kecepatan tidak kalah cepat – mungkin mengejra lampu hijau yang segera berganti – hampir saja menabraknya. Syukurnya si cewek mengerem dengan cepat hingga dia hampir terjatuh, kulihat lelaki dalam mobil itu berang dan mengeluarkan sepah serapah. Dan yang membuatku mulai tersenyum, adalah kudengar Aliya mengucap istighfar sambil urut-urut dada.
“Sabar ya Ya, this’s the real life we have to be through…”, bisikku.

Tak lama tibalah kami di lampu lalu lintas simpang Lamprit. Kebetulan lalu lintas tidak begitu sibuk, tapi persoalannya karena tidak sibuk kebanyakan orang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedikit diatas rata-rata karena menganggap jalanan sedikit sepi. Kendaraan dari dua arah Lamprit dan jalan didepan stadium Lampineung sedang sangat lempang, padahal lampu hijau sedang menyala. Suara klakson kendaraan dibelakang kami satu persatu berbunyi, dan semakin nyaring ketika aku dan sebuah mobil disamping enggan menerobos lampu lalulintas. Namun, aku tak sanggup mendengarnya jadi ketika aku memutuskan menarik gas motorku…
“Jangan macam-macam ya La! Aku baru pulang dan masih ingin bareng keluargaku…”, ucap Laila sambil memegang pundakku erat. Kuturunkan kembali gasku dan dengan sabar mendengarkan suara klakson.
“Inilah fenomena kita Aliya…”
“I know… tapi kalau bukan kita yang berusaha mengubah, siapa lagi?”
“Apa kita bisa bertahan? Sehari dua hari, that’s ok! Tapi setelah itu…”
“Gak ada salahnya mencoba, kan? Urusan hari ketiga, kita liat saja nanti…”
Aku mengangguk serius. Benar kata Aliya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar